Kerajaan Banten


Masjid Agung Banten, 1.Blogspot

Pengantar


            Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
            Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
            Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Dra. Himayatul Ittihadiyah, M. Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Indonesia Pra-Kolonial  yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                Sleman, 17 September 2016


                                                                                              Irfan Hamid




BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Sejarah Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama-agama. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa benda, kebiasaan, dan pemikiran yang berbau agama. Agama yang di Indonesia masuk secara berangsur, mulai dari agama Hindu dari India, Budha dari Asia Timur, Islam dari Gujarat dan Arab, dan Kristen pengaruh kolonial.
          Dari banyak agama yang masuk ke Indonesia, realitanya sekarang agama Islamlah yang menjadi mayoritas di Negara ini. Hal tersebut mengindikasikan bahwa agama Islam sangatlah erat hubungannya dengan sejarah yang ada di Indonesia. Dibuktikan dari peristiwa pra-kemerdekaan Republik Indonesia, bahwa para penggerak perlawanan terhadap kolonialisme berasal dari kaum muslim. Sebagai contoh Muhammadiyah oleh K. H. Ahmad Dahlan pada 1912, dan Nahdhatul Ulama’ oleh K. H. Hasyim Assyi’ari pada 1926.
          Kemerdekaan Indonesia terjadi pada 1945 M, namun jauh sebelum masa kemerdekaan bahkan sebelum masa kolonialisme, Islam sudah banyak berkontribusi banyak dalam hal budaya, ekonomi, politik, dan religiusme di Nusantara (nama yang dikenal sebelum Indonesia). Telah di jelaskan pada kuliah Sejarah Indonesia Pra-Kolonial pada 15/9/16 oleh Dra. Himayatul Ittihadiyah, M. Hum. mengatakan bahwa saat itu Indonesia menjadi pusat perdagangan banyak negara (lebih tepatnya di wilayah selat malaka). Hal tersebut menyebabkan banyak bermunculan kerajaan-kerajaan islam yang memiliki kekayaan yang melimpah dan Berjaya di jamannya.
          Kerajaan-kerajaan islam yang berdiri di Indonesia sebagai contoh adalah Kesultanan Banten. Dalam makalah ini kami sebagai penyusun makalah akan membahas tentang Kesultanan banten dalam 4 rumusan masalah yaitu sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaimana letak geografis Kesultanan Banten?
2.    Bagaimana sejarah singkat berdiri & pemerintahan Kesultanan Banten?

C. Tujuan

1.    Mengetahui letak geografis Kesultanan Banten
2.    Mengetahui sejarah singkat berdiri & pemerintahan Kesultanan Banten


BAB. II
PEMBAHASAN

A.  Letak GeografisKesultanan Banten


          Wilayah kesultanan Banten berada di sebelah ujung Barat pulau jawa. Batas teritorialnya bagian utara dengan laut jawa, selatan berbatasan dengan kerajaan Pajajaran yang akhirnya juga bisa dikuasai Banten, bagian barat terdapat selat sunda dan lampung, bagian timur berbatasan dengan kerajaan Demak.
          Karena posisinya yang strategis ini, sejak masa kerajaan Sunda, Banten sudah menjadi tempat bersinggahnya kapal-kapal dagang dari luar negeri. Banten yang pada awalnya hanyalah salah satu pelabuhan yang dimiliki kerajaan Sunda, namun seiring perkembangannya Banten menjadi wilayah yang kaya dan kuat. Bahkan setelah menjadi kesultanan, wilayah banten meluas hingga selatan Sumatera.
          Namun dibalik segala kelebihan letak geografisnya, tetap saja mempunyai kelemahan. Banten sebagai salah satu pelabuhan dagang internasional saat itu nyatanya menjadi sorotan para pedagang Eropa yang haus akan kekuasaan dan hasil alam nusantara. Inilah yang menjadi cikal bakal hancurnya Kesultanan Banten Islam.

B.  Sejarah Singkat Berdiri & Pemerintahan Kesultanan Banten

          Peletak dasar nilai keislaman pertama di Sunda adalah Sunan Gunung jati yang memiliki nama lain Fatahillah, Syarif Hidayatullah, Syeikh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Ismail, dan Said Kamil. Ia dilahirkan di Pasai, dan setelah dewasa menuntut ilmu ke Mekkah. Ia mendedikasikan diri kepada kesultanan Demak pada masa Sultan Trenggono dan dikawinkan dengan adik sultan Trenggono. Pada saat itu Banten dikuasai Portugis, sultan Trenggono mengutus Syarif Hidayatullah mengusir Portugis dari Banten[1], memperluas daerah kekuasaan Kerajaan Demak, dan menyebarkan Islam di Banten.[2]

1. Syarif Hidayatullah (1527-1552)

          Dalam langkah awal pemerintahannya, Fatahillah menjalankan misi di atas dengan cara, 1) Menyingkirkan bupati di wilayah pelabuhan Banten, 2) Memerinah Banten di bawah kekuasaan Kerajaan Demak dengan wilayah Banten, Cirebon, & Jayakarta, 3) Mengganti sistem pemerintahan dari Hindu ke Islam. Pada masa awal pemerintahannya di Banten, ia sering berpindah dari Banten-Cirebon. Akhirnya Fatahillah pun menunjuk Pangeran Pasareyan sebagai wakilnya di Cirebon, dan Fatahillah menetap di Banten. Namun tidak lama setelah itu, pangeran Pasareyan meninggal pada Usia yang relatif muda (1522), lalu Fatahillah pun memutuskan untuk mengangkat Sultan Hasanuddin (anaknya) sebagai penguasa Banten dan Jayakarta, dan menetap di Cirebon[3] hingga wafat dan di makamkan di Gunung Jati, sehingga digelari sebagai Sunan Gunung Jati.[4]

2. Sultan Hasanuddin (1552-1570)

          Tidak berbeda jauh dari ayahnya, Hasanuddin meneruskan cita-cita ayahnya untuk meluaskan pengaruh islam. Ia membangun di antaranya Masjid Agung Banten dan Masjid Pecinan. Ia juga membangun fasilitas pendidikan dan sarana pendidikan berupa pesantren di Sasunyatan (pengembangannya terjadi pada masa pemerintahan Maulana Yusuf) adalah karya nyata Maulana Hasanudin yang menumental terhadap generasi penerusnya. Pencapaian lain Sultan hasanuddin adalah 1) 1552 Banten menjadi Negara bagian Kerajaan Demak dan Hasanuddin di tunjuk sebagai sultannya, 2) Wilayah Banten meliputi Lampung, Karawang, Banten, Bengkulu. 3) saat Demak runtuh dan digantikan kerajaan Pajang, Banten di bawah pemerintahan Hasanuddin memproklamirkan diri menjadi kesultanan Independen. 4) memindahakan pusat pemerintahan Banten ke daerah pesisir guna mempermudah perdagangan ke luar wilayah Banten (Pesisir barat Sumatera, Malaka, & Selat Sunda).
          Pada sekitar tahun 1570 M Sultan pertama Banten wafat dan digantikan putra sulungnya, Pangeran Yusuf. Setelah meninggal Maulana Hasanuddin terkenal dengan nama anumertanya "Pangeran Saba Kingking".[5]

3. Sultan Maulana Yusuf (1570-1580)

          Di era pemerintahan Maulana Yusuf, Banten berada selangkah lebih maju disbanding masa penguasa terdahulunya. Proses islamisasi terbilang sukses, tidak hanya di pusat kesultanan Banten, namun juga di pelosok wilayah dan wilayah selatan hal ini disebabkan karena Adipati Pucuk Umum (penguasa tertinggi Banten Hindu) telah menyerahkan kekuasaanya kepada penguasa Islam. Pengembangan Pesantren Kasunyatan memberikan dampak besar dalam melahirkan kader-kader dakwah yang handal & bertanggung jawab. Karya nyata dalam keilmuan dibuktikan dengan penulisan Alqur’an, yang sekarang diletakkan di makam Maulana Yusuf. Pemanfaatan Masjid Raya Banten tidak hanya soal ibadah, namun juga digunakan sebagai diskusi soal agama (Bashul masa’iluddiin).
          Dalam bidang kemiliteran, Maulana Yusuf dikenal sebagai sultan yang gagah dan terampil dalam berperang. Pencapaian nyata dalam bidang ini adalah saat Ia menakhlukan kerajaan kafir tua Pajajaran dan merebut ibukota Pakuan.
          Dalam bidang pertanian pada masa Maulana Yusuf mengadakan teknologi waduk untuk irigasi yang menaikkan tingkat kemakmuran rakyat. Selain sebagai sarana irigasi, waduk Tasikardi juga menjadi sumber air bagi istana & warga, bahkan kota lain disekitarnya. Maulana Yusuf wafat tahun 1580 dimakamkan di Pekalongan Gede dekat Kasunyatan maka ia terkenal dengan nama anumertanuya "Pangeran Panembahan Pekalongan Gede" atau "Pangeran Pasareyan".[6]

4. Sultan Maulana Muhammad (1580-1596)

          Meninggalnya Maulana Yusuf memunculkan intrik politik dalam kesultanan Banten perihal perebutan kekuasaan. Adik Maulana Yusuf, Pangeran Arya Jepara datang ke Banten untuk menggantikan posisi sebagai Sultan dengan alasan saat itu putra mahkots (Maulana Muhammad) masih berusia 9 tahun. Akan tetapi usahanya ditolak oleh pejabat kesultanan Banten yang tetap mengangkat Maulana Muhammad sebagai sultan. Kendati demikian, yang menjalankan roda pemerintahan sesungguhnya adalah Mangkubumi Jayanegara.
        Merasa kehendaknya tidak terkabul, maka tersinggunglah Pangeran Arya Jepara dan terjadilah bentrokan senjata antara kedua belah pihak. Dalam pertempuran itu Pangeran Jepara kalah dan akhirnya ia kembali ke Jepara dengan tangan hampa.
          Sultan Maulana Muhammad dikenal sebagai orang yang shalih dan memiliki tekad kuat untuk menyebarkan islam. Ia banyak membangun sarana ibadah sampai ke plosok desa, mengisi khutbah jum’at, dan mengarang kitab.
          Usaha tertinggi Maulana Muhammad adalah penyerbuan ke wilayah Palembang. Penyerangan ini diawali dari bujukan pangeran mas (putra Arya Tangiri) untuk menjadi raja di Palembang, dan meluaskan daerah kekuasaan islam. Namun saying, sultan Maulana Muhammad gagal dan terbunuh di medan peperangan dalam usia yang relatif muda dan meninggalkan pewaris tahta yaitu Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir yang saat itu masih berusia 5 bulan.[7]

5. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651)

          Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir diangkat menjadi sultan pada usia balita, maka untuk kedua kalinya peran sultan dibebankan kepada mangkubumi jaya negara. Kondisi pemerintahan terbilang stabil. Tahun 1602 saat mangkubumi wafat, dan usia Abdul Mufakhir masih menginjak 6 tahun, kondisi tersebut memunculkan banyak pemberontakan, terutama dikalangan kerabat kerajaan dan pangeran-pangeran. Akhirnya jabatan mangkubumi diserahkan kepada ayah tiri Sultan Abdul Mufakhir. Namun mangkubumi terpilih justru menerapkan kebijakan yang merugikan Banten dan menguntungkan pihak asing.
          Pemberontakan makin menambah rumit persoalan politik kesultanan Banten. Saat mangkubumi terbunuh, suasana semakin kacau karena banyak pihak yang menginginkan jabatan sebagai mangkubumi bahkan ingin menggulingkan Sang Sultan. Pemberontak paling menonjol ialah pangeran kulon (Cucu Maulana Yusuf) yang dibantu pangeran Singaraja dan Tubagus Prabangsa. Aksi ini dapat dibendung oleh pasukan Ranumanggala dan pangeran Jayakarta. Sebagai balas atas jasanya, posisi mangkubumi di serahkan kepada Arya Ranumanggala (Putra Maulana Yusuf dari sseorang selir).[8]
          Setelah memangku jabatan, ia melakukan penertiban, diantaranya adalah menetapkan pajak yang tinggi bagi pedagang Eropa yang berniaga di pelabuhan Banten. Kebijakan ini diambil antara lain dengan tujuan agar pedagang asing pergi dari Banten, khususnya kompeni. Kebijakan ini pun berhasil membuat kompeni pindah ke pelabuhan Sunda Kelapa, disana mereka justru disambut hangat karena dalih mereka untuk meramaikan perniagaan di Sunda Kelapa agar tidak tertinggal dengan pelabuhan Banten berhasil.
          Melihat hal itu, mangkubumi Arya Ranumanggala mengutus Upapatih untuk menghancurkan semua sarana milik asing yang ada di Jayakrta (khususnya oelabuhan Sunda Kelapa). Orang Inggris berhasil dibuat lari dari Jayakarta, namun tidak sama halnya dengan Belanda yang tetap melakukan perlawanan. Tidak disangka, ternyata Belanda meminta bantuan pasukan yang berada di Maluku, setelah bantuan datang prajurit Banten tidak ada apa-apanya lagi. Maka 1619 Jayakarta resmi jatuh ke tangan Belanda dan berubah menjadi Batavia.
          Peralihan kekuasaan dari Mangkubumi Ranumanggala ke Sultan Abdul Mufakhir yang kala itu sudah dewasa membuat Mataram kala itu ingin menganeksasi Banten lewat Cirebon. Kontak senjata antara Banten-Cirebon dimenangkan oleh Banten, kendati demikian, perlawanan Mataram sangatlah membuat Banten kewalahan (1650), saat itu adalah masa akhir kepemimpinan Abdul Mufakhir.[9]

6. Sultan Ageng Tertayasa (1651-

          Sultan Ageng Tirtayasa menjadi sultan Banten setelah menggantikan kakeknya (Abdul Mufakhir). Pada masanya, kontak senjata dengan kompeni kembali aktif. Keadaan Banten pada kepemimpinan Ageng Tirtayasa lebih baik lagi, baik di bidang politik, sosial-budaya, dan terutama perekonomiannya. Dalam bidang perdagangan Banten maju pesat. Hubungan dagang terjalin dengan Persia, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin, dan China (sekarang Tiongkok). Hal ini cukup mengancam kedudukan VOC di Batavia.
          Sebagai seorang yang taat beragama, ia sangat antipasti terhadap Belanda. Penyerangan terus dilancarkan, baik darat maupun laut. Kurang lebih 20 tahun di bawah kepemimpinannya merasakan aman dan tentram. Suasana tersebut berubah saat putra sulungnya, Abu Nas’r Abdul Kahar / Suyltan Haji kembali dari tanah suci dan banyak menjalin  hubungan dengan kompeni, bahkan mengadakan perjanjian-perjanjian yang berujung merugikan Banten di kemudian hari[10]




[1] Saifullah, Sejarah & Kkebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 25
[2] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 33
[3] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 34
[4]  Saifullah, Sejarah & Kkebudayaan Islam di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 25
[5]  M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 34
[6] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 34-35
[7] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 36
[8] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 37
[9] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 38
[10] M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 39

0 komentar:

Post a Comment