Asal-Usul Kesultanan Mughal India

Logo Kerajaan Mughal, wikia.nocookie.net

Pengantar

          Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
          Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
          Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
          Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Dr. Nurul Hak, S. Ag., M. Hum.  selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Islam Periode Pertengahan yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                Sleman, 17 September 2016



                                                                                                Irfan Hamid
                                                                                                Nim. 15120066


BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Sejarah memang sebuah ilmu yang menarik untuk selalu dikaji, terlebih lagi sejarah Islam. Dari mulai masa pemerintahan Nabi di Madinah, pasca wafatnya Nabi atau kita kenal sebagai masa Khulafa al-Rasidun, lalu masa Umayyah yang menjadikan wilayah Islam berdiri di atas 3 benua, dan pada masa Daulah Abbasiyah dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa. Hal ini tentu menjadi bahasan yang menarik untuk selalu dikaji. Sejarah yang panjang dan gemilang tersebut penting untuk dipelajari, karena mau tidak mau sejarah Islam mempunyai andil besar dalam sejarah dunia.
          Di dunia Islam antara tahun 1500 sampai dengan tahun 1700 M terdapat tiga kerajaan besar dalam islam, yaitu Turki Usmani, Syafawiyah, dan Mughal. Meskipun saat itu dunia islam dikatakan seagai zaman kemunduran pasca hancurnya Baghdad, namun hadirnya 3 kerajaan besar dalamn islam ini dianggap sebagai penyelamat peradaban Islam. Ketiga kerajaan ini hadir dalam peradaban Islam dengan peran penting yang berbeda. Turki Usmani banyak berperan dalam perluasan wilayah, Syafawiyah terfokus pada pengembangan keilmuan, dan Mughal berperan dalam mengakarkan kembali islam dan menempatkan diri sebagai pelindung bagi umat Islam di India.[1]
          Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di India, melainkan sudah ada beberapa kerajaan yang berdiri disana. Bahkan kontak India dengan Islam sudah dimulai sejak zaman nabi Muhammad SAW melalui perdagangan. Setelah itu adanya ekspedisi ke Asia Selatan melalui laut pada masa Khulafa al-Rasidun, walaupun akhirnya menuai kegagalan. Selanjutnya pada masa Daulah Umayyah khususnya pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik, Islam datang ke India membawa harapan bagi kaum tertindas di India, dan akhirnya berhak atas daerah India barat laut.
          Pada masa kemunduran Daulah Abbasiyah banyak muncul dinasti yang memisahkann diri dari kekuasaan di Baghdad Salah satunya adalah dinasti Ghazni yang didirikan oleh Mahmud Ghaznawi di India, dilanjutkan oleh Dinasti Ghuri 1175-1192, kekuasaan Turki 1206-1290, dan beberapa dinasti yaitu Khalji 1290-1320, Tughlaq 1320-1414, Sayyed 1414-1452, dan Lodi 1451-1526.[2] Sampai akhirnya berdirilah kerajaan Mughal oleh  Ziharuddin Babur setelah mengalahkan Sultan Ibrahim dari Dinasti Lodi dan mengukuhkan kekuasaannya di masjid Delhi atas wilayah Hindustan yang luas. (Hamka, 1949: 141). Berdasar latar belakang di atas, saya sebagai penyusun makalah mengemukakan 2 rumusan masalah sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Asal-Usul Kerajaan Islam Mughal di India?
2.      Bagaimana Penguasa dan Sistem Politik Kerajaan Islam Mughal di India?

C. Tujuan

1.      Mengetahui Asal-Usul Kerajaan Islam Mughal di India
2.      Mengetahui Penguasa dan Sistem Politik Kerajaan Islam Mughal di India



BAB. II
ISI

A.  Asal-Usul Kerajaan Islam Mughal di India

              Kerajaan Mughal didirikan tahun 1526 oleh Babur, ia lahir pada jumat 24 Februari 1483 M (Mahmudunnasir, 1994: 295). Ia mempunyai nama lengkap Zahirudin Muhammad Babur bin Syeikh Mirza bin Abu Said bin Miransyah putera ketiga dari Timur Lang, sedangkan ibunya adalah seorang Puteri keturunan langsung Jekutai putera Chengis Khan (Hamka, 1975: 139-140).

sumber sililah.[3]
          Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun (Hamka mengatakan 12 tahun). Ia berambisi dan bertekad untuk membenahi Imperium Asia Tengah warisan nenek moyang nya yang agung (Timur Lang), untuk langkah awal ia berencana menakhlukan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia Tengah pada masa itu. Walaupun pada awalnya kalah dan terusir, namun akhirnya dapat menakhlukan Samarkand berkat bantuan Raja Syafawi, Ismail I pada tahun 1494 (Karim mengatakan 1497). Namun pada 4 tahun kemudian Ferghana diperebutkan 2 sepupunya, yaitu Ali dan Jehangir membuatnya terusir dan tidak ada harapan untuk menguasai Ferghana.[4]
          Kendala-kendala yang dilaluinya menjadi modal penting untuk menjadi seorang penjelajah yang ulung dan tangguh, seperti dalam catatan tentang Babur “Bergerak dari satu medan ke medan yang lain, laksana sebuah raja di atas papan catur”. Walalupun kehilangan Ferghana namun ia tidak pernah patah semangat, pada 1504 dibantu oleh raja Khurasan ia menyebrangi Hindukush dan berhasil merebut Kabul (ibukota Afghanistan sekarang) dan Kandahar. Walaupun Babur  sudah berkuasa di Negeri Afghan, ia masih memiliki ambisi untuk menguasai Asia Tengah dan sekali lagi berusaha menguasai Samarkand, namun gagal dan kembali ke Kabul.[5]
          Babur memutuskan untuk memfokuskan perhatian pada Kabul dan Kandahar, namun tidak dipungkiri jika seorang penguasa telah menguasai Kabul dan Kandahar maka sudah dapat diterka bahwa ia juga akan menguasai India. Karena Afghanistan adalah pintu menuju India sejak zaman dahulu. Selain faktor politik, Babur ingin menguasai India juga dikarenakan faktor ekonomi, kekayaan India yang melimpah ruah sangat menguntungkan bagi Babur dan tentaranya. Maka pada tahun 1525 Babur dan 13.000 tentaranya menuju Punjab dan menakhlukannya. Pertahanan Punjab yang jauh lebih besar tidak dapat melawan tentara Babur yang menggunakan meriam.[6]
          Setelah menakhlukan Punjab, terbukalah kesempatan untuk menguasai Kesultanan Delhi yang kala itu dipimpin Sultan Ibrahim II dari keluarga Lodi, lebih-lebih saat itu Ibrahim II sedang berselisih dengan pamannya, Alam. Pada 21 April 1526 terjadilah peperangan yang dahsyat di Panipat, Sultan Ibrahim dengan gigih mempertahankan negeri bersama 100.000 tentara dan 1000 kendaraan gajah. Namun biar bagaimanapun, Babur dan pasukannya menggunakan meriam (Mahmudunnasir berkata juga menggunakan senapan lantak) yang akhirnya membunuh Ibrahim II dan 25.000 tentaranya. Setelah itu Babur juga menyerang sekaligus menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di India termasuk memporak-porandakan pasukan Hindu di Khanwa. Hamayun (Anak Babur) diperintah menyerang Agra dan kota penting lainnya.[7]
          Setelah keberhasilannya, Babur mengukuhkan dirinya sebagai sultan atas wilayah Hindustan di Masjid besar Dehi. Maka terbukalah kesempatan Babur untuk mendirikan kerajaan diatas daerah kekuasaan barunya di India, ditambah lagi Hamayun menjalankan perintah Babur dengan baik dan berhasil menakhlukan Agra dan kota penting lainnya. Disanalah saat itu Mughal pertama kali berdiri.[8]

B.  Penguasa dan Sistem Politik Kerajaan Islam Mughal di India

1.    Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530)

          Penyerangan Babur yang sangat dahsyat terhadap Ibrahim II (Lodi) telah mengguncangkan hati Amir islam dan Maharaja Hindu diseluruh Hindustan. Maka seorang Maharaja bernama Sangga berinisiatif mengadakan persekutuan para Maharaja dan termsuk didalamnya Amir Mahmud Lodi (Saudara Ibrahim II) untuk menghancurkan Babur dengan kekuatan 100.000 tentara[9] (Mahmudunnasir berkata 82.150 orang). Babur tau bahwa kekuatan gabungan Maharaja Sangga lebih kuat dibanding tentara Ibrahim II. Melihat kekuatan itu sebenarnya tentara Babur telah menunjukkan kepanikan, namun Babur menyampaikan pidato didepan prajurit yang menyentuh hati dan akhirnya menghasilkan pengaruh yang besar dengan sumpah setia para prajurit dengan kitab suci. Maharaja Sangga akhirnya terbunuh bersama tentaranya.
          Mahmud Lodi berhasil meloloskan diri dan membangun kekuasaan di Benggala (wilayah Bangladesh sekarang). Babur mengirim pasukan yang dipimpin oleh Askari, anaknya, untuk menundukkan Mahmud Lodi. Babur menyusul pasukan Askari melalui jalur yang berbeda, hingga berhasil menakhlukan Bihar (wilayah dekat Benggala), mengetahui hal itu, Mahmud Lodi panik dan meminta bantuan kepada Nasrat Shah dari Benggala. Akhirnya pecah pertempuran di Gogra, namun sebelum pasukan Mahmud dan Nasrat porak-poranda, akhirnya diadakanlah perjanjian damai dan pengakuan kekuasaan Babur di Hindustan oleh Nasrat Shah pada 16 Mei 1529.
          Sebagai hasil peperangan melawan Ibrahim Lodi, Maharaja Sangga, dan Mahmud Lodi, Babur memperoleh wilayah; Badakhsan, Afghanistan, Punjab, Delhi, Bihar, dan wilayah selatan.[10] Babur terkenal sebagai sultan yang gagah perkasa, selain itu diapun seorang penyair yang besar. Kurang dari 2 tahun dari kemenangan besar ketiganya 1529, Babur wafat dalam usia 48 tahun, ia meninggalkan wilayah luas yang diwariskan kepada keturunannya dan bangsa Mongol di India yang selama 200 tahun menguasai India (Hamka, 1975: 143).

2.    Nahiruddin Hamayun (1530-1539) dan (1555-1556)

          Ia memerintah antara 1530-1539 dan 1555-1556. Periode pemerintahannya banyak diwarnai oleh kerusuhan dan berbagai pemberontakan. Ini dikarenakan usia pemerintahan yang diwariskan ayahnya masih tergolong muda dan belum stabil (Thohir, 2006: 94). Hamayun senantiasa melawan musuh. Diantaranya, tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi. Pemberontakan ini dapat diatasi dan akhirnya Gujarat dapat dikuasai kembali.[11]
          Sementara Hamayun membereskan pemberontakan Bahadur Syah, ternyata Sher Khan menyusun tentara untuk menyerang Hamayun. Sher Khan pertama-tama menakhlukkan daerah yang dahulunya direbut Babur dari Mahmud Lodi (Benggala). Terjadilah pertempuran berseri yang berawal di tepi sungai Gangga 1535, sampai ahirnya 1540[12] (Thohir mengatakan 1539) pasukan Hamayun hancur dan negara dalam kondisi tak menentu. Tetapi, Hamayun dapat melarikan diri ke Persia. Di sana, ia disambut dengan baik oleh Raja Syafawi, Shah Tahmasph. Di perasingan ia mengenal tradisi Syiah, bahkan sering dibujuk untuk memasukinya, termasuk anaknya bernama jalaludin Muhammad Akbar, hasil perkawinannya dengan Putri Hamidah Banu Begum.
          Di sini ia membangun kembali kekuatan militernya untuk kembali menguasai Delhi. Berkat bantuan 12.000 tentara dari Shah Tahmasph, Hamayun akhirnya mempuyai total 14.000 (Hamka berkata 15.000) tentara.[13] Melihat keturunan Sher Khan yang lemah karena terjadi perebutan kekuasaan, maka Hamayun memanfaatkan momen ini untuk menguasai tanah warisan Babur di Delhi kembali. Hamayun menuju Delhi melalui Punjab, ditengah perjalanan ia ditangkis oleh Iskandar Syah (pengganti Sher Khan) dengan 80.000 pasukannya. Persiapan persenjataan Hamayun lebih memadai, pertempuran dahsyat itu dimenangkan oleh pasukan Hamayun pada 1555. Akhirnya Hamayun kembali berkuasa di Delhi, sampai satu tahun kemudian ia wafat.[14]

3.    Jalaluddin Akbar Khan (1556-1605)

          Setelah Hamayun wafat, diangkatlah anaknya, Sultan Akbar Khan. Saat itu usianya baru 15 tahun, ia lahir di negeri Sind 15 Oktober 1542, yaitu saat ayahnya kehilangan singgasananya di Delhi dan melarikan diri ke Persia (Syafawiyah). Di Persia Hamayun dan Akbar kecil tidaklah menetap disuatu tempat, selalu berpindah, dikejar-kejar oleh nasib sebagai seorang pelarian. Karena itulah Akbar kecil tidak sempat mendapat pendidikan dari ayahhnya kecuali hanya mengaji Al-Qur’an. Namun disisi lain, penderitaan ayahnya karena kehilangan singgasananya ternyata berdampak besar kepada Akbar yang beranjak dewasa. Akbar menjadi pribadi yang kuat dan tanggung jawab, sampai tiba saatnya ketika ayahnya berhasil menguasai Delhi kembali 1555 dan wafat setahun setelah itu.[15]
          Akbar diangkat sebagai penguasa Mughal di Punjab oleh seorang Perdana Menteri, karena saat Hamayun pindah ke Delhi, Akbar belumlah diboyong bersamanya. Akbar remaja sedang di medan perang di bawah bimbingan Bhairam Khan. Di awal kekuasaan Akbar, rupanya keadaan kerajaan belumlah aman dari serangan musuh. Akbar mempunyai musuh Sher Shah, Ibrahim Sur, dan Sikandar Sur. [16]
          Musuh terberatnya sebenarnya Muhammad Adil Khan, Adil Khan mempunyai Panglima perang yang gagah perkasa bernama Himu. Barulah sebentar Akbar berkuasa, Himu dengan 100.000 tentara dan 500 gajah menyerang Delhi, maka berlarilah Akbar menuju Punjab dengan 20.000 tentaranya (sisa tentara warisan Hamayun). Himu terus mengejar akbar dan pasukannya, akhirnya Akbar mengambil langkah berani dengan berbalik menghadapi pasukan yang dipimpin Himu. Belum lama  perang dimulai akhirnya Himu terbunuh, hal ini menimbulkan kekacauan dalam pasukannya, akhirnya pasukan Akbar justru berbalik mendominasi peperangan dan akhirnya menang. Atas kemenangan besar itu, Akbar akhirnya dapat meneruskan kembali pemerintahannya atas Mughal di Delhi. Setelah kemenangannya atas Adil Khan dengan panglimanya Himu, Akbar meneruskan peperagan ke daerah Benggal, disana berkuasa seorang Afghanistan, dan berhasil dibuat tunduk pada kekuasaan Akbar.
          Kemenangannya di Benggala membuat India pada saat itu bersih dari raja-raja Afghanistan. Namun masih ada para Maharaja Hindu yang selalu mencari celah untuk memberontak kekuasaan islam di India. Akbar tidak menngambil cara peperangan, namun ia mengajak untuk turut serta dalam tanggung jawab kerajaan, hanyalah yang melawan yang ditumpas dengan pedang.[17]
          Akbar dikenal sebagai pribadi yang jenius, bijaksana, ahli perang, dan administrator negara yang ulung. Selain itu ia juga dikenal sebagai tokoh Perbandingan agama. Prestasi ini dikarenakan pemikirannya dalam konsep Din-e-Ilahi yang mempunyaii inti ajaran, agama hakekatnya adalah satu, oleh karena itu harus dicari jalan kesatuan inti agama. Pada 1605 ia wafat dan digantikan oleh puteranya, Jahanggir.[18]

4.    Nuruddin Jahangir (1605-1627)

          Setelah Akbar wafat, maka puteranya Salim naik tahta dengan gelar Jahangir. Ia sangat memegang teguh mazhab Ahlussunnah wa Aljama’ah, sehingga pemikiran ayahnya tentang kasatuan agama-agama lambat laun menghilang seiring kematian ayahnya. Jahangir dikenal sebagai pemimpin yang terlalu baik dan lemah, terutama karena Permaisuri yang cantik serta cerdik kerap kali mencampuri urusan kerajaan. Hal ini membuat kebijaksanaannya luntur, sehingga muncul pemberontakan, walau akhirnya bisa diredam.
          Karena sikap Jahangir ini, muncullah pula ulah para pegawai yang memungut pajak secara sewenang-wenang. Hal ini menimbulkan kemarahan dari anaknya, Churam yang dibantu Panglima Mubahat Khan untuk menangkap dan memenjarakan Jahangir. Namun berkat kebijaksanaan Permaisuri Nur Mahal pemberontakan Churam itu dapat dipadamkan.[19]

5.    Syihabuddin Syah Jihan (1627-1659)

          Pada tahun 1627 wafatlah Jahangir, lalu naik tahtalah Churam dengan gelar Syah Jihan. Syah Jihan lebih kuat dari ayahnya, pemberontakan Dekan dapat diatasi karena ia memiliki putera yang gagah perkasa Aurangzib, putera ketiganya. Aurangazib yang gagah perkasa berinisiatif menumpas segala pemberontakan yang ada di India, namun setiap hampir mendapat kemenangan, selalu saja ia mendapat perintah dari ayahnya untuk menghentikan penyerangan. Adapun orang yang diutus Aurangzib untuk mengabari Ayahnya adalah saudara tertuanya, Dara. Disinilah muncul prasangka Aurangzib terhadap Dara yang dianggapnya iri terhadap pencapaian Aurangzib dalam dinasti Mughal. Maka disusunlah strategi untuk melawan Dara sekaligus Ayahnya. Aurangzib mengajak saudara nya yang lain yaitu Syuja’ dan Murad untuk berada di pihaknya. Akhirnya Dara kalah, dan pasukan Aurangzib masuk ke dalam istana lalu mengirim utusan ke pada Syah Jihan, dan diminta untuk tidak khawatir atas masuknya ia ke dalam kota. Mendengar kabar itu, maka tenanglah Syah Jihan dan pintu kota dibuka untuk menyambut Aurangzib. Namun barulah tiba di istana, Aurangzib mengingkari janjinya, Syah Jihan ditangkap dan dipenjarakan. Kejadian ini persis seperti yang Syah Jihan dahulu lakukan terhadap Jahangir.[20]

6.    Muhyiddin Aurangzib ‘Alamgir (1659-1707)

          Aurangzib naik tahta setelah memenjarakan Ayahnya (Syah Jihan), menangkap dan membunuh Murad, memenggal kepala saudara Tertuanya (Dara), dan mengusir Syuja’ dari tahtanya di Benggala. Maka ia resmi mengangkat dirinya sebagai Raja pada 1659. Aurangzib adalah raja yang senantiasa diperbincangkan oleh sejarawan karena keganjilan kepribadiannya. Kendati demikian, ternyata Aurangzib adalah raja yang taat kepada Allah dan melakukan apapun demi Agama yang di anutnya.[21]
          Motif kudeta yang dilakukannya lebih didasarkan pada kepentingan penyelamatan nilai-nilai Syariat Islam, sekalipun tidak menutup kemungkinan adanya faktor pribadi. Sepanjang masa pemerintahannya banyak keberhasilan yang dicapai dalam bidang ekonomi, sosial, politik, maupun agama. Dan penakhlukan wilayah baru melebihi pencapaian wilayah Sultan Akbar.[22]
          Motif penakhlukan yang dilakukan Aurangzib sejarawan sepakat karena cita-citanya menyatukan Hindustan di bawah kekuasaan Mongol (Hamka, 1975: 157) dan (Thohir, 2006: 101). Saat itu di Hindustan ada 3 kerajaan yang masih berdiri (2 Islam, 1 Hindu), lalu ditumpaslah kerajaan-kerajaan itu. Kerajaan Mughal saat itu sangatlah luas berkat kemahiran Aurangzib.
          Seperti yang telah dikemukakan, disamping kejamnya Aurangzib, ternyata ia adalah orang yang sholeh, rajin Tahaujjud, berpuasa, dan hidup sederhana serta suka mendengar pengajaran hikmat dari ulama’ Tassawuf. Maka setelah memerintah selama 47 tahun dengan pencapaian-pencapaian yang gemilang, mangkatlah sultan yang gagah perkasa itu pada 1707.[23]

7.    Pasca Aurangzib

          Setelah Aurangzib wafat, diangkatlah anaknya yaitu Sultan Muhammad Syah pada 1707. Tetapi Muhammad Syah tidaklah mampu mengatur kerajaan besar yang diwariskan oleh ayahnya, sehingga goyahlah kerajaan Mughal. Pada 1739 kerajaan Mughal diserang oleh Nadir Syah penguasa Afghanistan, akhirnya Mughal mengaku tunduk kepada kekuasaan Nadhir Syah Afghanistan. Kemunduran demi kemunduran melanda Mughal, sampai Sultan Muhammad Syah wafat dan digantikan Sultan A’lam Syah. Kendati tetap menggunakan gelar Syah, namun kekuasaannya berada dibawah naungan kerajaan Afghanistan. Belum lagi kekuatan Inggris yang kian lama kian besar pengaruhnya. Suasana bertambah kacau saat A’lam Syah dibutakan matanya oleh panglimanya sendiri, dan intervensi Inggris dalam perekonomian semakin kuat.    A’lam syah wafat pada 1806 dan digantikan Sultan Muhammad Akbar. Selama 31 tahun kekuasaannya (sampai 1837), ia hanya meneruskan penderitaan ayahnya saja. Setelah Akbar wafat, naiklah Bahadur Syah. Kondisinya pun tidak berbeda dari pendahulunya, ia menjadi sultan hanya sebagai simbol oleh kompeni Inggris, perbulannya pun Bahadur digaji. Semakin lama, Inggris pun semakin kuat dan berhasil melakukan politik memecah belah yang membuat rakyat seluruh Hindustan tertekan seperti api dalam sekam yang menuggu untuk meletus.[24]

BAB. III
PENUTUP

Kesimpulan

          Zahiruddin Babur sebagai pendiri Dinasti Mughal Islam telah berhasil membawa keturunan Bangsa Mongol menguasai India selama lebih dari 200 tahun. Selain keperkasaannya menakhlukkan wilayah Hindustan, ia juga meninggalkan generasi yang kuat dan cakap dalam memimpin wilayahnya. Walau saat kekuasaan Hamayun bin Babur, Delhi dapat direbut Sher Khan, namun Hamayun dapat merebutnya kembali. Terhitung penguasa setelah Hamayun yaitu Akbar, Jahangir, Syah Jihan, dan Aurangzib, berhasil membawa Mughal diperhitungkan dalam peta kekuasaan Islam, walau dalam perjalanannya tetap ada konflik internal.
          Setelah masa Aurangzib yang begitu kuat dan memiliki wilayah yang luas berakhir, ternyata tidaklah lagi ditemukan penguasa pengganti yang sepadan dengannya. Sehingga banyak wilayah yang diwariskan Aurangzib akhirnya satu-persatu lepas. Kembali para penguasa Afghanistan menguasai Delhi dan membuat penguasa Mughal sebagai boneka, begitu pula Maharaja Hindu juga membuat kekuasaan baru yang independen. Sampai akhirnya Inggris datang dengan Imperealismenya dan merebut secara perlahan wilayah India dari tangan bangsa Mongol, Afghan, dan Hindustan pada umumnya.

Daftar Pustaka

Hamka. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Karim, M. Abdul. Bulan Sabit di Gurun Gobi. Yogyakarta: Suka Pres, 2014.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban islam. Yogyakarta: Bagaskara, 2014.
Kusdiana, Ading. Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Pertengahan. Bandung: Pustaka             Setia, 2013.
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Thohir dan Ading, Islam di Asia Selatan. Bandung: Humaniora, 2006.




[1] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Pertengahan (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 227
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2014), hlm. 256-258
[3] M. Abdul Karim, Bulan Sabit di Gurun Gobi (Yogyakarta: Suka Pres, 2014), hlm. 83, 109, 120
[4] Ading, Sejarah, Bandung, 2013, hlm. 229
[5] Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 295
[6] Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 141
[7] Karim, Sejarah. Yogyakarta, 2014, hlm. 315
[8] Hamka, Sejarah, Jakarta, 1975, hlm. 141
[9] Ibid, hlm. 141-142
[10] Mahmudunnasir, Islam, Bandung, 2005, hlm. 296-297
[11] Ading, Sejarah, Bandung, 2013, hlm. 232
[12] Hamka, Sejarah, Jakarta, 1975, hlm. 144
[13] Thohir dan Ading, Islam di Asia Selatan (Bandung: Humaniora, 2006), hlm. 94-95
[14] Hamka, Sejarah, Jakarta, 1975, hlm. 145
[15] Ibid, hlm. 145
[16] Mahmudunnasir, Islam, Bandung, 2005, hlm 301
[17] Hamka, Sejarah, Jakarta, 1975, hlm. 145-149
[18] Karim, Sejarah. Yogyakarta, 2014, hlm. 315
[19] Hamka, Sejarah, Jakarta, 1975, hlm. 154-155
[20] Ibid, hlm. 156
[21] Ibid
[22] Thohir dan Ading, Islam. Bandung, 2006), hlm. 101
[23] Hamka, Sejarah, Jakarta, 1975, hlm. 158-159
[24] Ibid, hlm. 161-164

0 komentar:

Post a Comment