Sunda Wiwitan


Bibit-bibit Muda Sunda Wiwitsn, tfortys.files.wordpress.com

Pengantar

            Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
            Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
            Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Dra. Soraya Adnani, M. Si. selaku dosen pengampu mata kuliah Antropologi yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                Sleman, 17 September 2016


                                                                                                Irfan Hamid




BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Antroplogi adalah ilmu yang membahas tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Dalam perkuliahan Antropologi 18/11/16 oleh Dra. Soraya Adnani M. Si. telah ditambahkan pengertian yang lebih spesifik ke arah Antropologi budaya, yaitu ilmu tentang manusia yang ditinjau dari sudut pandang budaya dan sejarahnya.
          Dalam sejarahnya, Antropologi berangkat saat bangsa Eropa melakukan perjalanan menuju wilayah di luar Eropa (Asia, Afrika, Amerika, Australia, dan Ocenia-Pasifik) sebelum tahun 1800. Pada fase pertama bangsa Eropa sangatlah tertarik pada budaya yang dihasilkan bangsa luar Eropa, mereka membuat catatan dan mengumpulkan hasil budaya yang bersifat material yang akhirnya dimuseumkan. Fase kedua terjadi pada pertengahan abad 19, pada fase ini muncul teori bahwa manusia dan kebudayaannya berevolusi menuju masyarakat yang maju seperti bangsa Eropa, sedangkan bangsa luar Eropa adalah masyarakat primitif. Fase ketiga terjadi pada permulaan abad 20, pada fase ini Antropologi digunakan oleh bangsa Eropa untuk kepentingan imperealisme nya terhadap bangsa luar Eropa. Fase keempat terjadi setelah 1930an, fase ini sudah banyak penduduk primitif yang lenyap, ini menyebabkan Antropologi seolah kehilangan lapangan penelitian, maka terjadilah pergeseran ke arah penduduk pedesaan dengan segala macam budayanya.[1]
          Jenis karangan terpenting yang mengandung bahan pokok dari pengolahan dan analisa Antropologi adalah karangan etnografi. Etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa. Namun karena di dunia ini terdapat suku bangsa yang kecil dan besar, maka perlu diperuncing lagi dengan membatasi wilayah dan deskripsi mereka.[2] Salah satu pembatasan deskripsi Antropologi adalah tentang sistem Religi, dalam makalah ini kamu selaku penyusun akan memaparkannya melalui beberapa rumusan masalah dibawah.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Perhatian Antropologi Terhadap Etnografi Sistem Religi?
2.      Bagaimana Unsur-Unsur Dalam Kerangka Sistem Religi?
3.      Bagaimana Etnografi Demokrasi Sunda Wiwitan?

C. Tujuan

1.      Mengetahui Perhatian Antropologi Terhadap Etnografi Sistem Religi
2.      Mengetahui Unsur-Unsur Dalam Kerangka Sistem Religi
3.      Mengetahui Etnografi Demokrasi Suku Sunda Wiwitan






BAB. II
ISI

A. Pehatian Antropologi Terhadap Etnografi Sistem Religi

          Sejak Antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Sistem religi mendapat perhatian yang besar dalam etnografi, ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
1.    Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak secara lahir,
2.    Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi.
          Pengarang etnografi yang datang kepada masyarakat suku-suku tertentu menganggap ritual keagamaan masyarakat luar Eropa adalah tindakan yang aneh. Karena keanehannya, akhirnya hal itu menarik perhatian mereka.
          Bahasan etnografi sistem religi ditekankan pada beberapa poin, yaitu:
1.    Mengapa manusia percaya dengan zat yang maha memiliki kekuatan gaib.
2.    Mengapa manusia melakukan ritual beraneka-warna untuk berkomunikasi dengan kekuatan tadi.
3.    Memecahkan asal mula religi.
4.    Anggapan mereka terhadap religi suku bangsa luar Eropa adalah sisa-sisa dari bentuk religi kuno.
          Empat poin diatas menjadi bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia, dan sangat banyak diperhatikan dalam usaha menyusun teori-teori tentang asal mula agama.[3]

B.       Unsur-Unsur Dalam Kerangka Sistem Religi

          Dalam rangka pokok antropologi tentang religi, sebaiknya juga dibicarakan sistem ilmu gaib sehingga pokok itu dapat dibagi menjadi 2 pokok kasus yaitu sistem religi dan sistem ilmu gaib.

1.    Sistem Religi

a.    Emosi keagamaan
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, disebut emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini biasanya telah dirasakan oleh semua manusia. Emosi keagamaan itu yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Emosi keagamaan menyebabkan suatu benda, tindakan, dan gagasan, dianggap memiliki suatu nilai keramat. Seperti contoh:
i.      Seorang Islam yang bergetar hatinya ketika mendengar hadits Nabi SAW.
ii.    Kristiani yang menganggap simbol salib sebagai benda yang suci dan keramat.
iii.  Seorang Hindu yang bergetar hatinya ketika dibacakan Weda yang suci.
iv.  Seorang Buddha yang menangis ketika beribadah di Borobudur, dll.
b.    Sistem keyakinan/kepercayaan
Para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa dan sifatnya, konsepsi tentang makhluk halus (roh nenek moyang, hantu, dll), konsepsi tentang penciptaan alam (kosmologi), serta konsepsi tentang hidup setelah kematian (alam akhirat) yang biasanya tercantum dalam tulisan/kitab suci.
c.    Sistem upacara keagamaan
Upacara keagamaan dikenal juga sebagai Ritual, seperti bersaji, berkurban, berdoa, makan makanan yang telah dimantrai/didoakan, menari, drama suci, bertapa, bersemadi, dll. Yang menjadi perhatian khusus dalam antropologi adalah:
i.      Tempat yang di keramatkan atau tempat ibadah seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid, dll.
ii.   Hari-hari keagamaan yang biasa disebut hari raya atau hari yang dikeramatkan.
iii. Benda-benda upacara keagamaan, seperti patung perlambang dewa, alat bunyi-bunyian, seruling, dll.
iv.  Pemuka adat/agama seperti biksu, syaman, dukun, dll yang dipercaya memimpin ritual keagamaan.
Diantara sistem upacara keagamaan itu tentunya dianggap penting dalam suatu agama dan tidak dikenal dalam agama lain.
d.    Suatu umat yang menganut religi
Dalam unsur ini hal yang dibahas adalah mengenai umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan. Secara khusus membahas tentang pengikut sebuah agama, hubungan satu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama (baik dalam upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari).

2.    Sistem Ilmu Gaib

          Sistem ilmu gaib sekilas mirip seperti sistem religi (khususnya upacara religi) dan sangat sukar dibedakan antara keduanya. Pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara 2 pokok itu. Perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama manusia bersikap menyerahkan diri kepada kekuatan yang dianggap maha (Tuhan, roh nenek moyang, dewa, dll) dan terjadilah proses emosi keagamaan. Namun jika sistem ilmu gaib, manusia berusaha memperlakukan kekuatan tinggi dan gaib untuk menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ingin dicapainya (Santet, pelet, vodo, dll).[4]

C.      Etnografi Demokrasi Sunda Wiwitan

1.      Sejarah Singkat

              Baduy merupakan masyarakat hukum adat yang masih ada serta sangat kuat dalam menjalani adat istiadat hingga saat ini. Penyebutan Baduy diberikan oleh orang luar yang menyamakan mereka seperti Badui yang ada di pedalaman Arab saat masa jahiliyyah. Mereka menyebut diri mereka sebagai urang kanekes (orang kanekes) sesuai dengan wilayah mereka tinggal. Baduy dibedakan menjadi 2 yaitu, Dalam dan Luar.
              Ada beberapa versi terkait asal-usul orang Baduy. Pertama, berasal dari masyarakat Kerajaan Pajajaran, yang pada abad 15 ada pengaruh islam dari pedagang Arab, Gujarat, dan Persia serta disusul masa Dakwah Sunan Gunung Jati, akhirnya raja beserta senopati dan punggawa yang setia melarikan diri ke tengah hutan, berjalan tanpa tujuan hingga sampai di Cibeo, Baduy Dalam. Kedua, berasal dari Banten Girang/Serang yang terdesak islamisasi masa Sultan Hasanuddin, [5]
Tidak berbeda jauh dari ayahnya, Hasanuddin meneruskan cita-cita ayahnya untuk meluaskan pengaruh islam. Ia membangun di antaranya Masjid Agung Banten dan Masjid Pecinan. Ia juga membangun fasilitas pendidikan dan sarana pendidikan berupa pesantren di Sasunyatan (pengembangannya terjadi pada masa pemerintahan Maulana Yusuf) adalah karya nyata Maulana Hasanudin yang menumental terhadap generasi penerusnya. Di era pemerintahan Maulana Yusuf, Banten berada selangkah lebih maju disbanding masa penguasa terdahulunya. Proses islamisasi terbilang sukses, tidak hanya di pusat kesultanan Banten, namun juga di pelosok wilayah dan wilayah selatan hal ini disebabkan karena Adipati Pucuk Umum (penguasa tertinggi Banten Hindu) telah menyerahkan kekuasaanya kepada penguasa Islam. Pengembangan Pesantren Kasunyatan memberikan dampak besar dalam melahirkan kader-kader dakwah yang handal & bertanggung jawab. (Harun, 1995: 34-35)

              hingga Bupati Pucuk Umum bersama punggawa kerajaan lari ke hutan dan menetap di daerah yang sekarang bernama Cikeusik (Baduy Dalam). Ketiga, berasal dari masyarakat Pajajaran yang melanggar Adat dan akhirnya oleh Bupati Pucuk Umun dan Prabu Siliwangi diasingkan ke sebuah daerah. Golongan terasing ini juga mendapat desakan dari islam dan akhirnya melarikan diri ke hutan belantara dan tiba di Baduy Penamping (Baduy Luar) yang sekarang berada di 27 perkampungan di Kanekes. Keempat, berbeda dengan 3 versi diatas, menurut penuturan Ayah Mursyid (Jubir Baduy), bahwa mereka berasal dari sejak awal penciptaan manusia (Adam), dan mereka mengaku menerima ajaran Agama langsung dari Adam.[6]

2.      Alasan Memilih Sunda Wiwitan (Syarat Menjadi Sebuah Agama)

              Orang Baduy Dalam memahami agama bukan seperti kita memahami agama, namun Agama menurut mereka adalah dengan tidak berbuat kerusakan pada Alam dan terus menjaganya, itulah yang disebut Agama (Lucky Hendrawan biasa disapa Kang Uky, tokoh adat). Mereka menganut keyakinanSunda Wiwitan”, dan telah dijelaskan di pembahasan sebelumnya masyarakat Baduy Dalam meyakini bahwa mereka menerima ajaran yang dibawa oleh Nabi Adam sebagai penyampai risalah.[7] Mereka mempercayai Tuhan yang mereka sebut “Tuhan Gusti nu Maha” tidak bisa digambarkan oleh fikiran, dan tidak bisa diucapkan oleh lidah yang keluar melalui mulut (Kang Uky), pemimpin atau ketua adat Sunda Wiwitan adalah seorang Pu’un, Sedangkan mengenai kitab nya, wawancara metroTv dengan seorang penganut Sunda Wiwitan bernama Rakean Pitara mengatakan bahwa Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian adalah kitab mereka. Jika kita telurusuri sejarah Naskah ini, kita akan dibawa ke masa kerajaan Pajajaran.
Menurut Carita Pahrayangan, sang Ratu Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasar kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahan berjalan dengan tentram… naskah ini berasal dari abad 16, maka apakah tidak mungkin jika kitab yang dimaksudkan adalah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, sebuah naskah yang berasal dari 1518? (Marwati, 1992: 369)

              Ajaran yang terdapat dalam Sunda Wiwitan ditekankan pada praktik dalam kehidupan dengan mengesampingkan teori, karena bagi mereka ajaran yang paling nyata adalah sebuah praktik. Kang Uky menuturkan “Praktika sebagai ajaran Sunda Wiwitan, karena dengan kita menjaga alam dan tidak merusaknya, sesungguhnya itulah yang disebut ajaran… dan Praktika berasal dari 2 kata, Prak= laku, dan Tika= waktu, jadi ajaran adalah waktu dimana kita melakukan itu, bukan ajaran secara teori”.

3.       Demokrasi

            Dalam sistem demokrasi Sunda Wiwitan tidak terlepas dari peran Pu’un (pemimpin adat) yang menjaga adat istiadat berdasar peraturan yang tertuang dalam Amanat Buyut. Amanat Buyut adalah pakem yang dipegang masyarakat, semacam UUD 1945 yang bunyi dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
“Amanat yang dititipkan kepada Pu’un. Negara tiga puluh tiga. Sungai enam puluh lima. Pusat duapuluh lima negara. Gunung tidak boleh dihancurkan. Lembah tidak boleh dirusak. Larangan tidak boleh dilanggar. Buyut tidak boleh dirubah. Panjang tidak boleh dipotong. Pendek tidak boleh disambung. Yang bukan harus ditiadakan. Yang jangan harus dinafikan. Yang benar harus dibenarkan.”
Amanat ini berisikan tentang pedoman sehari-hari kehidupan masyarakat Sunda Wiwitan. Untuk pelaksanaan dan penafsiran amanat ini hanya boleh dilakukan oleh petinggi adat, yaitu Pu’un beserta jajarannya.[8]
            Demokrasi tidak terlepas dari pemilihan pemimpin seperti halnya di Indonesia tentang Pemilu/Pilkada/Pilkades, dll. Dalam masyarakat Sunda Wiwitan juga mengenal sistem pemilihan ketua adat (Pu’un). Jumlah Pu’un masyarakat Baduy sudah mencapai ribuan orang karena sistem pemilihan sudah diterapkan sejak Wiwitan atau awal masyarakat Baduy berdiri. Sistem pemilihannya juga tak pernah bergeser hingga saat ini. Di Baduy Dalam sendiri ada 3 Pu’un yang memiliki tugas berbeda, yang pertama pu’un Cikeusik bertugas mengatur keagamaan, pu’un Cikatawarna mengatur sebagai pengawas dan penasehat adat, pu’un Cibeo bertugas menjalankan adat dan pertanian. Semua pu’un memiliki hak istimewa yaitu, berhak atas Rumah Dinas, ladang perkebunan, menerima sebagian hasil panen masyarakatnya, menerima hadiah dari tamu, dan sebagainya.
            Proses pemilihan Pu’un Sunda Wiwitan sangatlah tersistematis dan tetap terkait dengan Amanat Buyut. Proses pemilihan dan pengangkatan Pu’un sangatlah menarik untuk ditelusuri. Adapun rangkaian pemilihan Pu’un terbagi atas 3 langkah besar sebagai berikut:
Langkah Batin Pertama:
a.    Pu’un mendapat semacam wangsit melalui mimpi, perasaan, dan keinginan yang mengisyaratkan habisnya masa jabatan sebagai pu’un.
b.    Pu’un yang bersangkutan merenungkan wangsit tersebut.
Langkah Lahir:
a.    Pu’un yang mendapat wangsit berunding dengan pu’un lain yang ada di Baduy Dalam untuk mempertimbangkan makna wangsit tersebut (layak/tidak).
b.    Hasil dari wangsit dibawa ke lembaga musyawarah adat yang bernama Tangtu telu jaro tujuh.
c.    Pelaksanaan musyawarah membahas siapa yang akan ditugaskan sebagai petugas nujum, waktu, dan hal yang bersifat lahir dari seorang calon pu’un, sampai akhirnya mengerucut pada satu nama.
Langkah Batin Kedua:
a.    Proses nujum di suatu tempat yang telah ditentukan Lembaga Musyawarah, dijelaskan tentang aturan batin dan Amanat Buyut bagi calon pu’un.
b.    Ditanyakan kesiapan sebagai pu’un, jika menolak maka akan diadakan musyawarah ulang.[9]
Dalam pemilihan pu’un ini tampak sekali perbedaan dengan sistem yang ada di negara kita. Namun jika dihayati sebenarnya secara substansial telah menerapkan pancasila sila ke-4 yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan” serta penerapan nilai religuis, keadilan, kesetaraan, gotong-royong, kejujuran, dan toleransi. Kesemua nilai ini merupakan nilai-nilai mendasar dari demokrasi asli bangsa kita yang luhur. Demokrasi Nusantara yang memang sudah mendarah daging jauh sebelum demokrasi ala barat mewarnai sistem demokrasi di Nusantara.[10]


   Baca Juga: Kerajaan Sunda

BAB. III
PENUTUP

Kesimpulan

          Sistem religi dalam dalam bahasan Etnografi-Antropologi awalnya dianggap oleh orang Eropa adalah sisa dari religi kuno dan primitif dibandingkan Agama milik masyarakat Eropa. Mereka yang menganut religi kuno ini dianggap aneh, dan karena keanehannya ini justru menarik untuk diteliti mengenai asal-usulnya. Unsur-unsur sistem religi dibagi menjadi 4 yaitu; 1) Emosi keagamaan, 2) Sistem keyakinan/kepercayaan, 3) Sistem upacara keagamaan, 4) Suatu umat yang menganut religi.
          Sistem religi Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyarakat Sunda yang telah ada sebelum ajaran Hindu masuk. Ajaran Sunda Wiwitan ini menekankan pada kealamian hidup dengan bersinergi dengan alam, menolak segala bentuk perkembangan dunia luar, dan menanamkan nilai luhur. Masyarakat Kanekes (Baduy Dalam) sampai saat ini masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka yang tertuang dalam Amanat Buyut, termasuk dengan cara pemilihan ketua Adat/Pu’un.



Daftar Pustaka

Hamidi, Jazim, dkk, Demokrasi Lokal nurut Masyarakat Baduy. Malang: Nuswantara, 2015
Harun, Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam           Sejahtera, 1995
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1980
Marwati, dan Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1992



[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 13-17
[2] Ibid, hlm. 343-344
[3] Ibid, hlm. 390-391
[4] Ibid, hlm. 391-395
[5] Jazim Hamidi, dkk, Demokrasi Lokal nurut Masyarakat Baduy (Malang: Nuswantara, 2015), hlm. 54
[6] Ibid, hlm. 55-57
[7] Ibid, hlm. 47
[8] Ibid, hlm. 64-65
[9] Ibid, hlm. 59-62
[10] Ibid, hlm. 63                                                                                       

0 komentar:

Post a Comment