Salah Satu Upacara Agama Sunda Wiwitan, .rimanews.com |
Sunda wiwitan adalah agama. Maka dalam pandangan Islam dia adalah kafir karena posisi agamanya itu diluar Islam. Disebut pula agama Cigugur karena lahir dan berpusat di Cigugur Kuningan. Ada hal yang perlu diungkap, apakah munculnya agama Sunda wiwitan ada kaitannya dengan seorang tokoh yang namanya Madrais atau tidak? Karena Sunda wiwitan erat kaitannya dengan Madrais, bahkan ada juga yang menyebut agama Madrais atau agama Jawa Sunda sebagaimana penjajah Belanda menyebutnya kepada kelompok Madrais ini.
Mari kita ungkap riwayat hidup
Madrais yang nama lengkapnya Madrais Sadewa Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat
hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, Madrais sebenarnya nam pesantren yang dia
dirikan di Cigugur yang sekarang menjelma menjadi Paseban, nama Madrais adalah
kependekan dari Muhammad Rois. Dari berbagai informasi, Madrais masih memiliki
hubungan darah dengan Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung
raja Gebang yang bangunan keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Ayahnya
pangeran Alibassa cucu dari pangeran Sutajaya Upas menantu pangeran
Kasepuhan keturunan ke-8 dari Sunan Gunung Jati. Karena keadaan genting
dikejar-kejar Belanda maka oleh ibunya, anak yang belum genap satu tahun itu
kemudian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput dari
kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi
yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta
yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais
dewasa sangat prihatin dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman
kaum penjajah. Ia kemudian membuat semacam komunitas atau jamaah untuk
selanjutnya ia didik dengan cara pandang yang memiliki kepedulian dan anti
penjajahan. Komunitas itu ia wadahi dalam satu lembaga bernama perguruan
(paguron), ada juga yang menyebutnya dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan
Kepangeranan Gebang Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat)
itu pernah dibuang penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda
menuduh Madrais telah menyebarkan ajaran sesat padahal Belanda khawatir dengan
pengaruh Madrais yang semakin meluas dalam membangun perlawanan kepada Belanda
melalui ajaran Islam yang disebarkannya. Namun tokoh ini berhasil pulang ke
kampung halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan Islam kepada rakyat
dan mengajarkan pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai
sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang
popular di kalangan penganut Sunda komunitasnya adalah makan dan minumlah dari
hasil keringat sendiri. Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima
uluran belas kasihan orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak
senang dengan Madrais, ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini
mengharuskan para pengikutnya untuk menghisap keringat sang guru.
Madrais didalam membentuk
komunitas yang diwadahi dengan pesantren, maksudnya membina masyarakat
untuk mandiri dan memiliki keberanian untuk menentang penjajah dan mengajarkan
Islam sebagai pokok ajarannya. Hanya strategi dia supaya kaum penjajah tidak
curiga maka ajaran Islam [Qur’an dan hadits] disampaikan dalam tulisan
Jawa Sunda yaitu tulisan ha, na, ca, ra. ka dst. Sehingga komunitas Madrais
disebut agama Jawa Sunda yang sekarang disebut Sunda Wiwitan. Akan tetapi, pada
waktu itu ajaran Madrais adalah Tauhid hanya Allah yang wajib di sembah.
Sepeninggal Madrais tahun 1939
kominitas ini dilanjutkan dipimpin oleh putranya bernama pangeran Tedja Buana
Alibassa sampai tahun 1958. Komunitas Madrais ini berubah dan dipandang sebagai
aliran kepercayaan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah, karena pangeran
Tedja Buana mengajarkan Islam dengan menggunakan aksara dan bahasa Jawa-Sunda,
yang dikenal sebagai agama Jawa Sunda. Hal ini merupakan kelanjutan metode
Kiayi Madrais, kemudian dilanjutkan oleh Ratu Siti Djenar Alibassa puteri Raden
Tedja Buana dari istri pertama karena pangeran Tedja pindah ke Cirebon.
Tahun 1964 oleh kelompok tertentu,
komunitas Muslim yang mendapat julukan agama Jawa Sunda ini difitnah sebagai
komunitas PKI (komunis). Dan kelompok Muslim lainnya terprovokasi dan
menyerangnya. Akhirnya, komunitas keturunan Madrais ini terpecah menjadi 3.
Pertama, ada yang tetap sebagai Muslim, tetapi kajiannya mengikuti Muslim
lainnya yakni mengkaji Qur’an tanpa menggunakan aksara dan bahasa Jawa Sunda,
karena dipandang tak usah pakai siloka lagi dalam mempelajari Islam karena
sudah merdeka.
Kedua, ada juga yang masuk agama
Protestan dan yang terbesar masuk agama Katolik, termasuk pangeran Tedja Buana
dan keturunannya karena merasa takut mendekati kelompok Muslim lainnya yang
terus mengejar, dan kalau tidak beragama takut oleh negara dimasukan kelompok
komunis sebagai mana isu yang berkembang. Pada saat yang bersamaan, para
misionaris Katolik berhasil memanfaatkan konflik yang terjadi. Mulai saat itu,
Cigugur berubah menjadi kampung Katolik, lambat laun berdiri tegak gereja dan
yang masuk Katolik semakin bertambah, bahkan kawin silang antara Muslim dengan
katolik sudah terbiasa, yang akhirnya anak-anaknya ada yang Muslim ada pula
yang katolik
Tahun 1970 kekuasaan Ratu Siti
Djenar direbut paksa oleh Raden Djati Kusumah Alibassa, putra Raden Tedja Buana
dari istri keduanya, tahun 1980. Djati Kusumah keluar dari Katolik dan
mendirikan aliran bernama PACKU (Perkumpulan Aliran Cara Karuhun Urang).
Tetapi, tahun 1982 dibekukan oleh KEJATI Jabar dengan SK pembekuan no.42 dan
dinyatakan sebagai aliran sesat, setelah PACKU dibekukan Djati Kusumah
mendirikan aliran AKUR [Aliran Karuhun Urang], dan sekarang diganti
menjadi Sunda Wiwitan yang menyatakan bukan aliran tetapi agama Sunda Wiwitan.
Untuk mempertahankan pengaruhnya,
maka Djati Kusumah selalu mengkaitkan dengan Madrais dan seolah alirannya
tersebut adalah kelanjutan dari ajaran Madrais, sehingga kalau dulu Madrais
dicitra burukan oleh Belanda sebagai pendiri dan penyebar agama Jawa Sunda,
dikarenakan ajaran Islam yang disampaikan dalam tulisan dan bahasa Jawa Sunda,
kalau sekarang madrais dicitra burukan ooleh cucunya sendiri yang menyebutkan
bahwa Madrais adalah pendiri dan penyebar agama Sunda Wiwitan, dan
berkelanjutan diteruskan oleh Djati Kusumah, sehingga masyarakat Muslim
terutama sangat berpandangan negatif kepada Kiayi Madrais.
Kita mendengar bahwa Sunda Wiwitan
ini adalah ageman (pegangan) kepercayaan masyarakat Baduy Kab. Lebak Banten,
apakah ada kaitannya Sunda Wiwitan Djati Kusumah dengan Sunda Wiwitan
masyarakat Baduy?
Dahulu, pada waktu Madrais hidup di
Cigugur tegak pesantren dan tegak sebuah mesjid, tetapi sekarang pesantren dan
mesjid itu lenyap dan di atasnya tegak sebuah bangunan namanya Paseban.
Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting untuk melestarikan
ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu.
Ritual-ritual penting ajaran
komunitas ini berlangsung di komplek Paseban. Salah satu kegiatan tahunan yang
digelar dengan cukup meriah, dan melibatkan berbagai komunitas adalah upacara Seren
Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun sekali, dalam rangka menyongsong
datangnya Tahun Baru Saka dalam hitungan kalender Jawa-Sunda. Motivasi
pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh
Tuhan kepada kita semua. Di event ini, sebagian masyarakat Cigugur
bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk diarak dalam satu episode
pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT, juga
tinggal para penganut ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa
hingga orang tua. Mereka biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti
keluarga. Ini merupakan ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini:
setiap manusia bersaudara. Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan
dalam keluarga. Di sinipun dibangun sekolah menengah pertama (SMP) Trimulya
sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga Paseban TPT, yang juga dibuka
umum.
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan
tersebar di beberapa kota, dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup
kemungkinan juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun
kegiatan ritual budaya dan keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Gedung
Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra
kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam
menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang
sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga
adat pimpinan agama Sunda Wiwitan saat ini.
Hati-hati kaum Muslimin atas gerakan
pemurtadan yang dilakukan oleh kafir sunda wiwitan dan mari kembalikan paseban
untuk kembali menjadi pesantren dan mesjid dan tegaknya syi’ar Islam di
Cigugur, yang sekarang dikuasai agama Sunda Wiwitan dan Katolik.
- See more
at: http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap-asal-usul-agama-sunda-wiwitan/#sthash.oU4ftMFe.dpuf
(TUHAN/ZAT YANG MAHA). adalah agama atau
kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme)
yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Akan
tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga
memiliki unsur monoteisme purba,
yaitu di atas para dewata dan hyang dalam
pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang
disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat
ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat,
seperti di Kanekes, Lebak, Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon;
dan Cigugur, Kuningan.
Menurut penganutnya, Sunda
Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum
datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung
dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab
yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan
tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630
oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua)
kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganutHindu atau Buddha,
melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh
unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas
tertentu, ajaranIslam.[2] Dalam Carita
Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai
ajaran "Jatisunda".
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada
pada Sang Hyang Kersa (Yang
Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga
disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara
Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang
Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep
Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara
Seda Niskala.[3]
Ada tiga macam alam dalam
kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi
orang Kanekes:
- Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang
letaknya paling atas
- Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk
lainnya, letaknya di tengah
- Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana
Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan
teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630
bernama Alam Kahyangan atau
Mandala Hyang. Lapisan alam kedua
tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh
batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara
Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan
lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di
tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini
bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama
senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang
tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus
dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas
ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip,
yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah
unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang
termasuk di dalamnya:
- Welas asih: cinta kasih
- Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
- Tata krama: tatanan perilaku
- Budi bahasa dan budaya
- Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia
yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia
yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan
melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara
Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam
hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara
manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan,
perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang
terdiri dari:
- Rupa
- Adat
- Bahasa
- Aksara
- Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara
pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng
karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya
dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan
dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani
hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa
menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak
mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di
dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
- Yang tidak disenangi orang lain dan yang
membahayakan orang lain
- Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena
perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan,
yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian
aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan
mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam
bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh
mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai
orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan
penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak
tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan
pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan
nama Perayaan Seren Taun.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan
dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa
desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung Naga;
dan Cigugur, Kuningan.
Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya
Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru
negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi
dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham
dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di
dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum
meninggalkan agama Sunda ini. [4]
Tempat suci
Tempat suci atau tempat pemujaan
yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan
atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakanpunden
berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di
Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok,
Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak
sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung
Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat
Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa
diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan
Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini
Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang
paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di
Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat
ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau
Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau
agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan,
ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi.
Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka
Nagara juga Tarumanagara adalah
seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi
Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaanSiwa dan Percandian
Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks
bangunan stupa Buddha.
Polemik dan kontroversi di sekitar Sunda Wiwitan
Madrais, Menyemai Tradisi Menuai Diskriminasi
Kiai Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat (m.
1939) dari Cigugur, Kuningan merupakan nasionalis. Namun karena sejarah ia
pernah dipahami secara keliru dan dimusuhi oleh komunitasnya sendiri.
Awal September 2012 lalu penulis mendengar sosok Madrais
melalui penuturan para penganutnya. Adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar
ajaran—untuk tidak menyebutnya ‘agama’—Sunda Wiwitan (Sunda permulaan; lama).
Menurut cerita, Madrais masih memiliki hubungan darah dengan
Kepangeranan (keraton) Gebang. Seorang putera kandung raja Gebang yang bangunan
keratonnya dibumihanguskan kolonial Belanda. Oleh ibunya, anak yang belum genap
satu tahun itu kemuian diselamatkan dan disembunyikan di Cigugur supaya luput
dari kejaran Belanda.
Madrais menjelma menjadi pribadi yang memiliki kepekaan
rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki cinta yang tinggi terhadap
budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan bangsa. Madrais dewasa sangat prihatin
dengan nasib bangsanya yang berada dalam cengkeraman kaum penjajah. Ia kemuian
membuat semacam komunitas atau jamaah untuk selanjutnya ia didik dengan cara
pandang yang memiliki kepedulian dan anti penjajahan. Komunitas itu ia wadahi
dalam satu lembaga bernama perguruan (paguron), ada juga yang menyebutnya
dengan pesantren.
Selama hidupnya, pangeran keturunan Kepangeranan Gebang
Kinatar (sekarang lokasinya di Losari, Cirebon, Jawa Barat) itu pernah dibuang
penjajah Belanda ke Tanah Merah, Maluku (1901-1908). Belanda menuduh Madrais
telah menyebarkan ajaran sesat. Namun tokoh ini berhasil pulang ke kampung
halaman, di Cigugur, dan kembali mengajarkan kepada rakyat pentingnya hidup
sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.
Salah satu ajaran Madrais yang popular di kalangan
penganut Sunda Wiwitan adalah makan dan minumlah dari hasil keringat sendiri.
Satu pesan yang menganjurkan untuk tidak mudah menerima uluran belas kasihan
orang lain kecuali dari kerja keras. Orang yang tidak senang dengan Madrais,
ajaran ini dipelintir sehingga berkesan tokoh ini mengharuskan para pengikutnya
untuk menghisap keringat sang guru.
Sadar Kebangsaan
Madrais hidup sekitar tahun 1832 sampai 1939, ketika
seluruh kekayaan bangsa Indonesia: sumber daya alam, ilmu pengetahuan, agama,
budaya, hingga akal sehat sudah hilang dari manusianya.
Dalam kondisi yang demikian, Madrais tampil sebagai
putera pribumi yang sadar dan merasa harus bangkit dari kehancuran sebagai
bangsa. Kritik yang disampaikan Madrais, yang selanjutnya menjadi ajaran yang
ia tanamkan kepada para pengikutnya adalah: tidak adanya tatanan sosial untuk
menciptakan keadilan di masyarakat, tidak berfungsinya agama-agama dalam
melahirkan manusia yang saling menghargai kedaulatan sebagai bangsa, dan
hilangnya kepercayaan diri sebagai bangsa yang berdaulat di muka bumi.
Tiga hal ini, menurut saya, menjadi saka guru ajaran Kiai
Madrais. Pangeran Madrais mengajarkan pentingnya kesadaran sebagai manusia dan
bangsa yang mengenal cara dan ciri manusia, antara lain, welas asih (cinta)
kepada sesama, tata kerama, berbudaya, berbahasa, beraksara dan wiwaha danaraga
(mempertimbangkan segala keputusan dan perilaku dalam hidup). Sebagai manusia
harus sadar atas keberadaannya sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa. Cara-ciri ini,
rupa, bahasa dan budaya tidak bisa dihindari. Karena merupakan karunia Tuhan,
maka harus disyukuri, dijaga dan dilestarikan.
Eksistensi Ajaran Madrais
Para penganut ajaran Sunda Wiwitan tersebar di beberapa
kota dan kabupaten di Jawa Barat, dan tidak menutup kemungkinan juga di Jawa
Tengah dan Jawa Timur serta D.I. Yogyakarta. Namun kegiatan ritual budaya dan
keagamaan komunitas ini berpusat di Cigugur. Di tempat ini juga terdapat gedung
Paseban Tri Panca Tunggal (TPT), semacam keraton yang berfungsi sebagai sentra
kegiatan keagamaan, budaya, hingga berfungsi sebagai tempat belajar dalam
menjalani kehidupan. Di gedung Paseban tinggal keluarga keturunan Madrais yang
sekaligus menjadi pimpinan warga adat. Pangeran Jatikusuma adalah ketua warga
adat dan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan saat ini.
Keberadaan Paseban Tri Panca Tunggal ini menjadi penting
untuk melestarikan ajaran-ajaran yang telah ditanamkan para pendahulu.
Ritual-ritual penting ajaran komunitas ini berlangsung di komplek paseban.
Salah satu kegiatan tahunan yang digelar dengan cukup meriah dan melibatkan
berbagai komunitas adalah upacara Seren Taun. Perhelatan ini dilakukan setahun
sekali, dalam rangka menyongsong datangnya tahun baru Saka dalam hitungan
kalender Jawa-Sunda. Motivasi pagelaran ini adalah mensyukuri nikmat dan
karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita semua. Di event ini
sebagian masyarakat Cigugur bergotong-royong membawa hasil bumi mereka untuk
iarak dalam satu episode pawai yang meriah.
Di komplek gedung Paseban TPT juga tinggal para penganut
ajaran Sunda Wiwitan yang terdiri dari remaja, dewasa hingga orang tua. Mereka
biasa disebut sebagai warga atau sawarga, yang berarti keluarga. Ini merupakan
ekspresi dari pemahaman ajaran yang mereka yakini: setiap manusia bersaudara.
Mereka yang tinggal di Paseban menjadi satu kesatuan dalam keluarga. Pangeran
Jatikusuma, pimpinan ajaran Sunda Wiwitan saat ini juga membangun sekolah
menengah pertama (SMP) Trimulya sejak tahun 1958, sebagai tempat belajar warga
Paseban TPT, yang juga dibuka umum.
Perjalanan para penganut ajaran Sunda Wiwitan tidak
selamanya mulus. Ada lembaran-lembaran kelam yang meninggalkan trauma
tersendiri bagi warga adat dan penganut ajaran Kiai Madrais. Salah seorang anak
Jatikusuma, Gumirat Barna Alam harus berurusan dengan pengadilan Jakarta Timur
pada 1997. Gumirat ingin menikah dengan cara adat dan ajaran yang mereka
yakini. Namun saat itu kantor catatan sipil tidak mengizinkan, sampai akhirnya
harus diselesaikan di meja hijau.
Sejarah yang Kabur
Perjalanan sejarah terkadang bisa memutar-balik fakta.
Pada satu waktu seseorang diproklamirkan sejarah sebagai sosok agung, dan pada
masa berikutnya orang yang sama dijatuhkan—juga oleh sejarah itu sendiri—ke
derajat pecundang.
Demikian yang terjadi pada Pangeran (Kiai) Madrais saat
ini. Citra yang menempel pada sosok bangsawan keturunan keraton Gebang lama ini
adalah seorang pemberontak, penyebar aliran sesat, orang yang tidak beragama,
sampai anak haram. Selain itu juga ada masyarakat yang meyakininya sebagai
bangsawan, kiai (agamawan), cendekia, tokoh pembela rakyat dalam menghadapi
penjajah, sampai orang sakti yang rendah hati.
Menurut pendapat rektor Institut Studi Islam Fahmina
Cirebon, Khozin Nasuha, misalnya, Madrais sejatinya seorang pimpinan pesantren.
Bahkan nama Madrais, menurut salah seorang warga Cigugur, merupakan pengucapan
dari nama muslim, Ahmad Rais. Namun komentar ini disanggah oleh para cucu
Madrais sendiri. Dewi Kanthi menegaskan, kakek buyutnya bukan seorang muslim.
Memang ia pernah belajar keislaman di pesantren, tetapi itu karena minatnya yang
besar dalam hal ajaran keagamaan dan kemanusiaan yang universal.
Kita patut bangga memiliki pendahulu seperti Pangeran
Madrais. Wallahu a’lam bis-shawab.
-Sumber : Ali Romdhoni MA, Peneliti dan dosen di STAI
Mathali’ul Falah Pati, Jawa Tengah.
0 komentar:
Post a Comment