Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah
kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi
hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga
rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah
serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami
sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu
makalah.
Dalam
aspek manapun, makalah ini belum memenuhi
kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan
menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran
kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin,
kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
Setidaknya,
dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri,
ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak
manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
Pada
akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada khususnya Drs. H. Maman A. Malik Sy., M. S. selaku dosen pengampu mata kuliah
Sejarah Indonesia Pra-Islam yang memberi
kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada
teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan
agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.
Sleman,
22 Maret 2016
Irfan Hamid
BAB. I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejarah Indonesia
Pra-Islam adalah mata kuliah pendukung Sejarah Islam khususnya di Indonesia.
Dikatakan demikian karena dalam mengkaji sejarah islam di Indonesia (Kepulauan
Indonesia) haruslah mengetahui latar belakang sebelum masuknya Islam di
Indonesia dan sebelum islam bersentuhan dengan budaya Indonesia (Bukan Islam).
Karena setelah memahami latar belakang sejarah indonesia pra-islam, maka kita
dapat memahami pula sebab-sebab masuknya islam dan akulturasi yang berkaitan
dengan budaya. Dan memahami sebab akibat pertemuan budaya yang ada.
Bicara tentang sejarah,
sejarah adalah proses perkembangan dan perubahan, begitupun dengan sejarah
islam di Indonesia. Perkembangan ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh
masyarakat pra-islam yang ada di Kepulauan Indonesia. Jika menyinggung
pra-islam, tentunya kita akan membahas semua yang terjadi sebelum masa islam.
Di Indonesia sendiri, pra-islam dimulai dari jaman pra-sejarah/pra-aksara,
sampai masa Hindu-Budha.
Islam di Indonesia
mempunyai prinsip dasar yang sama dengan islam dibelahan bumi lain. Namun yang
membedakan adalah dimensi kebudayaan peninggalan pra-islam yang masih
dipergunakan masyarakat islam. Seperti kita ketahui, budaya adalah apa yang
diciptakan, difikirkan, dan diinginkan oleh manusia. Kebudayaan yang dihasilkan
manusia ini (khususnya di Indonesia) tidak semata-mata sama, namun hasil budaya
ditentukan oleh faktor lingkungan. Seperti berbedanya curah hujan di Jawa dan Kalimantan
yang menyebabkan kesuburan tanah dijawa lebih baik daripada Kalimantan, dan
karena kesuburan yang berbeda inilah tingkat kemakmuran masyarakat nya juga
berbeda. Hal ini secara tidak langsung juga memengaruhi hasil budaya di kedua
tempat ini juga memiliki perbedaan.
Dalam makalah ini kita
akan kerucutkan budaya pra-islam di Indonesia menjadi pra-islam di jawa. Jawa
sebagai pusat peradaban di Indonesia sejak jaman dahulu, dan banyak sekali
literature sejarah tentang sejarah pra-islam di jawa. Hal ini tidak semata-mata
tanpa alasan, di jawa memiliki kesuburan yang baik dan menyebabkan masyarakat
yang ada didalamnya menjadi makmur. Karena alasan inilah sumber sejarah
pra-islam banyak ditemukan di jawa.
Sunda adalah kawasan di
sebelah barat pulau jawa. Nama sunda sendiri sebenaranya diambil dari nama kuno
dataran sunda yang meliputi jawa, sumatera, Kalimantan dan semenanjung malaka.
Namun dalam perkembangan nya, nama sunda saat ini hanya digunakan untuk daerah
yang ada dipulau jawa bagian barat dan selat yang menghubungkan jawa, sumatera,
dan nusa tenggara sebagai sunda kecil. Untuk memahami lebih jauh sejarah Sunda
Pra-Islam, kami selaku penyusun makalah akan mengupas tentang kerajaan sunda
yang ada di Jawa Barat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penjelasan Pusat Kerajaan Sunda?
2. Bagaimana Struktur Kerajaan Dan Birokrasi
Kerajaan Sunda?
3. Bagaimana Kehidupan Masyarakat Di Kerajaan
Sunda?
4. Bagaumana Proses Kehancuran Kerajaan Sunda?
C. Tujuan
1. Mengetahui Penjelasan Pusat Kerajaan Sunda
2. Mengetahui Struktur Kerajaan Dan Birokrasi
Kerajaan Sunda
3. Mengetahui Kehidupan Masyarakat Di Kerajaan
Sunda
4. Mengetahui Proses Kehancuran Kerajaan Sunda
BAB. II
Isi
1. Pusat Kerajaan Sunda
Perpindahan pusat
kerajaan dari suatu tempat ke tempat lain, bukanlah hal yang asing di dalam
perjalanan sejarah Indonesia. Seperti halnya Mataram yang awalnya berdaulat di
Jawa tengah akhirnya berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan ini didasari oleh
banyak alasan, mulai dari alasan ekonomi, keamanan, politik, sampai dikarenakan
bencana alam.
Di Jawa Barat, hal yang
sama juga terjadi. Sepanjang naskah-naskah kuna yang ditemukan di Jawa Barat
yang berbahasa Sunda Buhun dapat dipercaya, di daerah Sunda pun telah terjadi
beberapa kali perpindahan pusat kerajaan. Terjadinya perpindahan pusat kerajaan
tersebut, memhyebabkan kita harus mempertimbangkan kembali adanya beberapa buah
kerajaan yang saling mengganti, sebagai mana menjadi dugaan umum sampai saat
ini. Barangkali, sebenarnya di jawa barat hanya ada 1 kerajaan setelah
runtuhnya tarumanegara ditahun 669 M (Abad-7 M), sedangkan nama-nama yang
sekarang dianggap sebagai nama kerajaan, adalah nama ibukota atau pusat
kerajaan tersebut.
Jika kita mengenal, bahwa
masyarakat Sunda masa lampau pada dasar nya adalah masyarakat lading yang
mengharuskan dirinya senantiasa berpindah-pindah tempat sesuai dengan tingkat
kesuburan tanah garapan mereka. Jika dugaan ini benar, maka sampai keruntuhan
pada tahun 1579 M, kerajaan sunda telah beberapa kali berpindah pusat kerajaan
dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan Pajajaran.[1]
Berikut adalah daftar
raja-raja dalam kerajaan Galuh Berdasarkan cerita Parahyangan:
1.
Wretikandayun (612-702)
2.
Mandiminyak (702-709)
3.
Séna/Sannaha (709-716)
4.
Purbasora (716-723)
5.
Sanjaya/Harisdarma (723-732)
6.
Tamperan Barmawijaya (732-739)
7.
Rahiyang Banga (739-746)
8.
Rakeyan ri Medang (746-753)
9.
Rakeyan Diwus (753-777)
10.
Rakeyan Wuwus (777-849)
11.
Sang Hujung Carian (849-852)
12.
Rakeyan Gendang (852-875)
13.
Dewa Sanghiyang (875-882)
14.
Prabu Sanghiyang (882-893)
15.
Prabu Ditiya Maharaja (893-900)
16.
Sang Lumahing Winduraja (900-923)
17.
Sang Lumahing Kreta (923-1015)
18.
Sang Lumahing Winduruja (1015-1033)
19.
Rakeyan Darmasiksa (1033-1183)
20.
Sang Lumahing Taman (1183-1189)
21.
Sang Lumahing Tanjung (1189-1197)
22.
Sang Lumahing Kikis (1197-1219)
23.
Sang Lumahing Kiding (1219-1229)
24.
Aki Kolot (1229-1239)
25.
Prabu Maharaja (1239-1246)
26. Prabu Bunisora (1357-1371)
27. Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
28. Dewa Niskala (1475-1483)
29. Ningratwangi (1483-1502)
30. Jayaningrat (1502-1528)
3.
Tamperan
Barmawijaya (732 - 739)
4.
Rakeyan Banga
(739 - 766)
5.
Rakeyan Medang
Prabu Hulukujang (766 - 783)
6.
Prabu
Gilingwesi (783 - 795)
7.
Pucukbumi
Darmeswara (795 - 819)
8.
Rakeyan Wuwus
Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9.
Prabu
Darmaraksa (891 - 895)
10.
Windusakti
Prabu Déwageng (895 - 913)
11.
Rakeyan
Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12.
Rakeyan
Jayagiri (916 - 942)
13.
Atmayadarma
Hariwangsa (942 - 954)
14.
Limbur Kancana
(954 - 964)
15.
Munding
Ganawirya (964 - 973)
16.
Rakeyan Wulung
Gadung (973 - 989)
17.
Brajawisésa
(989 - 1012)
18.
Déwa Sanghyang (1012
- 1019)
19.
Sanghyang Ageng
(1019 - 1030)
20.
Sri Jayabupati
(1030 - 1042)
21.
Darmaraja (1042
- 1065)
22.
Langlangbumi
(1065 - 1155)
23.
Rakeyan
Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24.
Darmakusuma
(1157 - 1175)
26.
Ragasuci (1297
- 1303)
27.
Citraganda
(1303 - 1311)
28.
Prabu Linggadéwata
(1311-1333)
29.
Prabu Ajiguna
Linggawisésa (1333-1340)
30.
Prabu Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350)
31.
Prabu Maharaja
(1350-1357)
33.
Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
36.
Prabu
Surawisésa (1521-1535)
37.
Déwatabuanawisésa
(1535-1543)
38.
Prabu Sakti
(1543-1551)
39.
Prabu
Nilakéndra (1551-1567)
a.
Kerajaan Galuh
Menurut naskah Koprak
406 Maharaja Tarusbawa digantikan oleh Maharaja Harisdarma, kemudian
Harisdarma berputra Rahyang Tamperan, lalu Rahyang Tamperan berputra Rahyang
Banga. Karena dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa Rahyang Tamperan
adalah anak Sanjaya, maka dengan demikian jelaslah bahwa tokoh Harisdarma pada
naskah Koprak 406 adalah Sanjaya pada carita Parahyangan. Hal ini menjelaskan
bahwa antara Harisdarma, Tamperan, dan Banga memiliki hubungan darah. Berbeda
dengan hubungan Harisdarma dan Tarusbawa yang kemungkinan besar Harisdarma
adalah menantu Tarusbawa. Dengan demikian Harisdarma/Sanjaya berhak atas 2
pusat kerajaan. Ia mewarisi tahta Galuh dari pihak orang tuanya, setelah
berhasil mengalahkan rahyang Purbasora yang telah mengusir ayahnya yaitu sang
Sena. Sedangkan dari mertuanya, Maharaja Tarusbawa, ia mewarisi tahta Pakwan
Pajajaran. Namun dalam perjalanannya, Sanjaya lebih memilih memusatkan kerajaan
di Galuh.[2]
Silsilah Kerajaan, Pribadi |
Berita Sanjaya diperoleh
dari Carita Parahyangan, sebuah naskah berbahasa Sunda Buhun. Didalam
naskah ini diceritakan, bahwa Sanjaya adalah anak Sena, sama seperti yang
diberitakan oleh prasasti Canggal yang menyebut ayah Sanjaya dengan nama
Sanna. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sanjaya adalah anak Sena/Sanna hasil
perkawinannya dengan Sannaha. Berikut adalah bagan silsilah rumit kerajaan
sunda di Galuh:
Dari silsilah bagan di
atas kita diperlihhatkan bagaimana drama perebutan kekuasaan antara Sena dan
Purbasora, serta antara Purbasora dan Sanjaya. Hal ini berdasarkan adanya
hubungan gelap yang terjadi dikalangan kerajaan. Sena/Sanna adalah anak hasil
hubungan gelap antara Raja Mandiminyak
dengan Pwah Rababu, istri kakak sulungnya (Sempakwaja). Lalu setelah 7
tahun berkuasa, Sena diusir oleh saudara seibunya yaitu Purbasora ke daerah
sekitar Merapi (Ada yang menyebutkan di jawa Tengah dan ada yang menyebutkan di
daerah Kuningan). Namun setelah Sanjaya dewasa, ia kembali ke Galuh untuk
menggulingkan Purbasora, dan membalaskan dendam ayahnya.[3]
Pada masa raja pertama
hingga Sanjaya, agama yang dianut kerajaan Galuh adalah Hindu mazhab Siwa. Hal
ini antara lain di nyatakan oleh prasasti Canggal, yang memuja dewa Siwa
lebih banyak dibandingkan pemujaan kepada dewa besar lainnya. Hal yang sama
juga tertuang dalam Carita Parahyangan. Namun pada masa itu pula Nampak
tanda-tanda berkembangnya agama Budha, yang sebagaimana kita ketahui, memang
menjadi agama resmi raja-raja mataram yang mendirikan Borobudur. Tentang inipun
Carita Parahyangan sudah memberikan petunjuknya, melalui nasihat yang diberikan
oleh Sanjaya untuk Rahyang Tamperan Barmawijaya “…haywa dek nurutan agama
aing, kena aing mretakutna urang reya…” janganlah mengikuti agamaku, karena
dengan itu aku ditakuti orang banyak.[4]
b.
Kerajaan Prahajan Sunda
Nama Sunda kemudian
muncul lagi pada prasasti yang berasal dari tahun 952 saka atau 1030 Masehi.
Prasasti ini ditemukan di kampung Pancalikan dan Bantarmuncang, ditepi Cicatih,
daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti Sanghyang Tapak 9 ini berbahasa Jawa
Kuna, sedangkan aksaranya Kawi. Nama tokoh yang
disebut di prasastii ini adalah Maharaja Sri Jaya Bhupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakhalabhuwanamandaleswaranindita Horo Gowardhana
Wikramottungadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajan Sunda. Gelar
Jayabhupati ternyata sangat mirip dengan gelar Raja Airlangga di Jawa Timur.
Ada anggapan bahwa Sri Jayabhupati adalah raja adalah seorang raja bawahan
Airlangga. Disamping anggapan justru sebaliknya, Jayamanahen yang terselip pada
nama yang demikian panjang itu, ditafsirkan sebagai peringatan bahwa ia telah
berhasil mengalahkan musuh besarnya. Sementara itu ada yang beranggapan bahwa
gelar tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kehiduppan politik antara dua
kerajaan.
Namun pernyataan Sri
Jayabhupati berulangkali bahwa dia adalah haji ri sunda, raja di Sunda,
dapat dianggap sebagai usahanya untuk lebih meyakinkan orang banyak akan
kedudukannya sebagai raja Sunda. Hal yang mendukung dugaan ini adalah tidak
ditemukan prasasti berbahasa Sunda Buhun, melainkan berbahasa Jawa Kawi. Dan
prasasti berbahassa Jawa biasanya berisi banyak ancaman, berbeda dengan
prasasti berbahasa Sunda yang berisi tentang janji kebahagiaan. Seperti contoh
Sri Jayabhupati membuat daerah larangan di daerah sungai untuk tidak menangkap
ikan yang ada di sungi itu. Apakah adanya hal-hal demikian pada prasasti yang
dikeluarkan oleh Jayabhupati itu, sebenarnya disebabkan karena ia sadar, bahwa
dirinya adalah seorang yang berbudaya lain ditengah penduduknya yang berbudaya
Sunda?
Dari gelar nama yang panjang
tersebut, dapat diketahui bahwa Sri Jayabhupati beragama Hindu Mazhab Waisnawa.
Dan ini adalah agama yang sama seperti yang dianut Airlangga di Jawa Timur,
sehingga barangkali dapat dikatakan bahwa agama resmi di oulau jawa pada abad
ke 11M, ialah agama Hindu aliran Waisnawa.
Apakah tokoh Sri
Jayabhupati dapat ditemukan kesesuaiannya dengan salah seorang tokoh yang
disebutkan dalam Carita Parahyangan? Berdasarkan perhitungan tahun-tahun
lamanya pemerintahan seorang raja sebagaimana disebutkan dalam Carita
Parahyangan, maka akan terdapat kecocokan masa pemerintahan Sri Jayabhupati
dengan Rakeyan Darmasiksa. Dan dalam carita Parahyangn juga disebutkan bahwa
Rakeyan Darmasiksa membuat beberapa daerah larangan juga. Bukti selanjutnya
adalah bahwa Rakean Darmasiksa dapat cukup lama, yaitu karena ia memperoleh
berkah dari para Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa. Jika kita perhatikan
bahwa berulang kali Jayabhupati menekankan kedudukannya sebagai haji ri
Sunda, apakah tidak terbuka adanya
kemungkinan, bahwa agar kedudukannya sebagai Raja di sunda itu kokoh, ia pun
meminta berkah kepada Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa pula?
Kesimpulannya adalah
bahwa daerah yang diperintah oleh Sri Jayabhupati atau Sang Rakeyan Darmasiksa
adalah potongan dari satu babak dari seluruh kisah kerajaan Sunda. Jadi, bukan
meruppakan suatu kerajaan atau Negara tersendiri sebagai mana anggapan pada
saat itu.[5]
c.
Kerajaan Kawali
Belum diketahui secara
paasti pada zaman pemerintahan siapa pusat kerajaan dipindahkan ke Kawali. Menurut
bukti prasasti yang terdapat dikampung Astanagede (Kawali) dapat diketahui
bahwa setidak-tidaknya pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat kerajaan
telah ada disitu. Prabu Raja wastu pada Prasasti Kawali ini tentulah tokoh yang
sama dengan yang disebut sebagai Rahyang Niskala Wastu Kencana pada prasasti
Batutulis dan Kebantenan, yaitu kakek Sri Baduga Maharaja.
Menurut Prapraton pada
tahun 1357 M terjadi peristiwa yang dikenal dengan Pasunda-Bubat, suatu
pertikaian politik yang terjadi antara kerajaan Sunda dan Majapahit. Peristiwa
ini juga tertulis dalam Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa yang
memerintah ketika itu ialah Prabu Maharaja (sejak 1350M) sama dengan masa
pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Dalam pertempuran Bubat ini, hampir
seluruh pasukan Sunda gugur, termasuk Prabu Maharaja, namun bukan berarti Sunda
tidak memiliki rajanpengganti, Prabu Maharaja masih memiliki anak yang kala itu
yang bernama Niskala Wastu Kencana, namun kala itu ia masih berusia sangat
belia, maka tampuk kekuasaan diwakilkan oleh pengasuhnya yaitu Hyang Bunisora.
Barulah saat dewasa Niskala Wastu Kencana sepenuhnya diberi wewenang sebagai
raja.
Dalam Carita
Parahyangan menceritakan sangat banyak Niskala Wastu Kencana dengan banyak
pujian bagi nya, berbeda dengan raja-raja lain yang hanya disebuutkan satu atau
dua saja. Hal ini dikarenakan Niskala wastu kencana memerintah selama 104
tahun. Setelah tahun 1475 ia wafat dan digankan oleh anakknya yang bernama
Rahyang Ningrat Kencana yang hanya berkuasa selama 7 tahun, ditahun 1482
pemerintahannya jatuh dan digantikan anaknya karena ia jatuh cinta kepada
wanita terlarang dari luar[6]
d.
Kerajaan Pakwan Pajajaran
Telah disebutkan
sebelumnya bahwa Ningrat Kencana digantikan oleh anaknya sendiri yaitu Sang
Ratu Jayadewata (Carita Parahyangan) dan memerintah selama 39 tahun (Prasasti
Kebantenan). Dapat dipastikan tokoh Ratu Jayadewata adalah tokoh yang
dituliskan didalam Prasasti Batutulis dengan sebutan nama Prabu Guru
Dewataprana dan Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata. Hal ini membuktikan bahwa pusat kerajaan yang ada di Kawali dengan
kraton Suryawisesa telah dipindah menuju Pakwan Pajajaran dengan kraton Sri
Bima punta narayana Madura suradipati (Naskah Koprak 406).
Pada masa Sri Baduga
Maharaja, pemerintahannya dijalankan berdasar kitab-kitab hukum yang berlaku,
sehingga pemerintahannya berjala aman dan tentram. Kecuali bagi orang yang
melanggar Sanghyang Siksa. Berkaitan dengan orang yang melanggar
ketentuan Sanghyang Siksa ini, diperoleh berita portugis bahwa di sebelah timur
kerajaan (Perbatasan) telah ada yang berpindah agama dari Budha ke Islam,
orang-orang inilah yang di duga kuat sebagai orang yang melanggar ketentuan
Sanghyang Siksa dan dalam ketidak amanan.
Masa Sri Baduga Maharaja dinilai
sebagai masa penuh derita. Sebelum 1559 islam berhasil menakhlukan Sunda,
beberapa kali pula Islam di bawah pimpinan Maulana Hasanudin dan anaknya
Maulana Yussuf berusaha merebut pusat kerajaan, namun saat itu Islam belum
begitu kuat, alhasil dapat ditangkis, selain itu Sri Baduga Maharaja pun sudah
menjalin kerjasama dengan Portugis untuk melawan islam (Portugis yang menduduki
Malaka).
Pada saat itu di wilayah
Cirebon sekitar abad 15 M telah berdiri perguruan Islam, jauh sebelum Sunan
Gunung Jati/Syarif Hidayatullah dilahirkan. Cirebon saat itu merupakan kota
yang terbilang cukup ramai dengan percampuran orang Jawa dan Sunda. Saat jatuhnya
Sunda Kelapa (sekarang Jakarta) ke tangan Islam, 1527 M, menyebabkan hubungan
Sunda dengan Portugis menjadi terhalang pasukan Islam di Sunda Kelapa.
Sedangkan di pusat kerajaan Sunda, sudah tidak memiliki pemimpin yang kuat.
Pengganti Suryawisesa yaitu Dewatabuana Wisesa adalah raja yang tak peduli akan
rakyatnya, selanjutnya prabu Sakti dan Prabu Nilakendra adalah pemimpin yang
kejam, pemabuk, dan gemar main wanita. Sampai raja terakhir kerajaan Sunda
Prabu Suryakencana, kerajaan sudah tidak bisa dipertahankan lagi.[7]
2.
Struktur Kerajaan dan Birokrasi
a. Ibukota
Pajajaran sebagai nama
kerajaan nampaknya tidak mempunyai bukti, karena bukti sejarah yang ada hampir
boleh dipastikan, semuanya menyebut Pajajaran hanya sebagai pusat kerajaan,
lengkapnya Pakwan Pajajaran. Sedangkan Pajajaran sebagai nama kerajaan hanylah
disebutkan dalam naskah-naskah yang bernilai sastra yang tentunya tidak sekuat
bukti naskah carita (Carita Parahyangan).
Sumber asing dari masa
yang sezaman, juga tidak pernah menyebutkan adanya kerajaan bernama Pajajaran,.
Tome Pires (Portugis) dalam catatannya menyebutkan adanya sebuah Negara bernama
Cunda, yang dipimpin seorang raja. Sedangkan sumber Portugis
lainnya menyebutkan bahwa Hendrik Leme memimpin perutusan ke Sunda (dari
Malaka). Bahan yang berasal dari dalam negeri, juga sesuai dengan sumber-sumber
luar. Carita Parahyangan sudah menyenutkan ada seorang Toohan di Sunda
(yang dipertuan di sunda). Disamping semua itu, ditemukan sebuah prasasti juga
menyebutkan adanya sebuah Negara yang bernama Prahajyan Sunda sendangkan
rajanya adalah Sri Jayabhupati, yang menyebut dirinya sebagai Haji ri Sunda atau
Raja di Sunda. Maka kesimpulan dari sumber diatas dan banyak sumber lain
mengatakan bahwan Pakwan Pajajaran bukanlah merupakan sebuah kerajaan,
melainkan hanyalah pusat kerajaan.
b. Birokrasi
Hirarki atau Birokrasi
kerajaan Sunda jelas membagi urutan-urutan jabatan kerajaan, seperti yang
tertuang pada naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, menyebutkan “anak
bakti kepada bapa, istri bakti kepada suami, rakyat bakti kepada majikan, murid
bakti kepada guru, petani bakti kepada wado (pejabat rendah), wado bakti kepada
mantri, mantri bakti kepada nunangganan, nunangganan bakti kepada mangkubumi,
mangkubumi bakti kepada raja, raja bakti kepada dewata, dewata bakti kepada
Hyang”. Selain itu, ada jabatan raja-raja daerah yang merdeka, namun tetap
mengakui raja sunda di Pakwan Pajajaran.
c. Keraton
Keraton dalam kerajaan
Sunda difungksikan sebagai tempat raja bertahta. Disimpulkan dari beberapa
sumber dan bukti bahwa keraton kerajaan Sunda ada 5 buah dengan susunan yang
berjajar. Yang pertama adalah Suradipati sebagai bangunan induk. Keempat
bangunan lainnya antara lain ialah Bima, Punta, Narayani, dan Madura.
Dan nama Pakwan Pajajaran diperkirakan berasal dari kata Pakwan yang
berarti keraton dan Pajajaran yang berarti berjajar.[8]
3.
Kehidupan Masyarakat Kerajaan
Sunda
a. Perekonomian
Naskah Sanghyang
Siksakanda ng Karesian menyebutkan adanya pembagian kelompok masyarakat
berdasarkan profesi atau ahlinya. Misalnya pandai gelang, juru lukis, pandai
mas, pandai tembaga, prajurit, penyadap, dan masih banyak profesi atau keahlian
lainnya.
Walau demikian,
profesi-profesi diatas masih kalah dengan dominasi masyarakat pertanian atau
masyarakat ladang dan peternakan. Pada umumnya masyarakat ladang tinggal
diladangnya masing-masing. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan sedikitnya
literatur kerajaan sunda, karena rendahnya minat menulis pada kalangan
masyarakat ladang. Hasil
perladangan/pertanian masyarakat kerajaan sunda pada waktu itu antara lain
sayur mayur, lada, asam, tuak dan buah-buahan. Sedangkan peternakan yaitu sapi,
kambing, biri-biri, babi, dll.
Komoditi-komoditi inilah
yang selanjutnya diperjual-belikan keluar kerajaan sunda melalui
pelabuhan-pelabuhan mereka. Adapun pelabuhan yang terkenal di kerajaan Sunda
ada 6, yaitu Kalapa, Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk. Untuk
mengakses jalan antara pelabuhan dan pusat kerajaan, kerajaan Sunda memliki
jalan lalu lintas darat yang cukup penting. Yang memusatkan jalan pada pusat
Pakwan Pajajaran.[9]
b. Agama dan Budaya
Agama yang di anut di kerajaan sunda adalah agama Hindu. Hal ini
didasarkan pada sumber Carita Parahyangan,naskah Sawakadharma, serta
Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Pada akhir abad 16, ajaran budha mulai
membaur dengan agama Hindu.[10] Selain
itu, pada akhir abad 15 telah muncul penganut agama baru yaitu Islam. Mereka
pada umumnya tinggal di kota pelabuhan seperti Cimanuk, berbatasan langsung
dengan Cirebon yang memang sebagian besar sudah menjadi masyarakat Islam.
Orang-orang yang masuk islam ini digambarakan dalam Carita Parahyangan sebagai
kaum yang melanggar ketentuan Sanghyang Siksa.
Saat itu Sang Suryawisesa
sebagai raja telah bersepakat dengan pihak Portugis untuk membantu kerajaan
Sunda bila sewaktu-waktu diperlukan untuk menahan serangan islam. Sebagai
imbalannya, Portugis diberi ijin untuk membangun banteng yang ada di pelabuhan
Banten. Kenyataanya pihak Portugis justru merencanakan mendirikan banteng di
Sunda Kalapa ditepi sungai Ciliwung. Namun karena Portugis justru mengulur
waktu pembangunan, islam terlanjur sudah menguasai pelabuhan Kalapa terlebih
dahulu. Pada masa Suryawisesa ia banyak melakukan perlawanan terhadap serangan
islam, dan tidak pernah kalah.[11]
Setelah Suryawisesa
wafat, kerajaan Sunda Justru tidak mempunyai lagi pemimpin yang meyakinkan.
Prabu Ratu Dewata yang menggantikan Suryawisesa, justru tidak memperdulikan
nasin rakyatnya. Lalu selanjutnya yang menggantikan Ratu Dewata ialah Ratu
Saksi yang gemar main perempuan. Selanjutnya Prabu Nilakéndra, justru sibuk memperindah keraton, mabuk, dan berfoya. Pada
pemerintahan raja terakhir yaitu Prabu
Suryakancana, negara
sudah tidak mampu dipertahankan lagi dan akhirnya di kalahkan oleh islam
dipenghujung masa kekuasaannya.[12]
BAB. III
Penutup
Kesimpulan
Sunda
adalah kawasan di sebelah barat pulau jawa. Nama sunda sendiri sebenaranya
diambil dari nama kuno dataran sunda yang meliputi jawa, sumatera, Kalimantan
dan semenanjung malaka. Namun dalam perkembangan nya, nama sunda saat ini hanya
digunakan untuk daerah yang ada dipulau jawa bagian barat dan selat yang
menghubungkan jawa, sumatera, dan nusa tenggara sebagai sunda kecil.
Kerajaan
Sunda telah beberapa kali berpindah ibukota dari Galuh, Prahajyan Sunda,
Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Dengan agama resmi kerajaan adalah Hindu. Wilayah
kerajaan sunda meliputi jawa barat, banten, dan jawa tengah bagian barat.
Perekonomian di dominasi pertanian, perladangan, peternakan, dan lain
sebagainya.
Baca Juga : Agama Baha'i
Kehancuran
kerajaan ini disebabkan kekalahan terhadap kerajaan islam. Diawali dengan
dikuasainya pelabuhan penting mereka, sunda kelapa, yang menyebabkan melemahnya
kemunduran secara besar-besaran. Selain itu kehancuran juga disebabkan empat
raja setelah Suryawisesa yang lalai dan tidak cakap dalam memangku jabatan.
Daftar Pustaka
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II Jakarta: Balai Pustaka, 1977
Wikipedia
[1] Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm. 206
0 komentar:
Post a Comment