Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Agama Baha,i


Rumah Ibadah Agama Bahai, rimanews.com


Pengantar

            Puji syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu nikmat kepada kami, begitupun shalawat beserta salam tiada yang berhak menjadi hilir kecuali baginda Rasulullah SAW, semoga rahmat dan hidayah dapat tercurahkan kepada kita semua. Tanpa nikmat, hidayah, inayah serta iradah-Nya, mustahil kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Beberapa kalimat yang kami sumbangkan dari daya pikir yang lemah ini, terkumpullah kini menjadi satu makalah.
            Dalam aspek manapun, makalah ini belum memenuhi kebenaran yang sempurna, bahkan nanti pembaca mungkin dengan mudah akan menemukan kesalahan. Itu semua murni karena ketidaktahuan serta keteledoran kami. Namun, dari segala kekurangan sudah kami saring menjadi seminimal mungkin, kamipun menaruh harapan yang begitu agung dalam penyusunan makalah ini.
            Setidaknya, dalam penyusunan makalah ini kami tidak mendasarkan pada pemikiran kami sendiri, ada banyak rujukan buku yang kami gunakan, sehingga kami berharap akan banyak manfaat yang dapat pembaca ambil dari makalah ini.
            Pada akhirnya, makalah yang kami susun ini, kami persembahkan kepada beliau khususnya ibu Zuhrotul Latifah S. Ag., M. Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Agama-agama yang memberi kami kesempatan untuk menyusun makalah ini, dan yang terakhir kepada teman-teman mahasiswa yang seperjuangan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan agama. Semoga Allah memberkati makalah kami. Aamiin.

                                                                                                            Sleman, 3 Mei 2016


                                                                                                            Kelompok Penyusun


BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

          Agama adalah ekspresi simbolik dari keyakinan terhadap ajaran yang mengandung nila-nilai kebaikan dan spiritualitas manusia, agama juga dapat diartikan sebagai bentuk respon berdasarkan pengalaman dan pemahaman sehingga menghasilkan penghayatan yang beragam bagi setiap pemeluknya. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama.
          Tidak dapat dipungkiri bahwa agama mengambil peran penting dalam kehidupan manusia, agama hadir disaat-saat yang fital dalam pengalaman hidup manusia. Sebuah penyelidikan menyebutkan bahwa 70 persen penduduk bumi adalah mereka yang menganut salah satu agama. Artinya segala aktifitas dan perilaku sehari-hari yang dilakukan manusia di bumi ini adalah berdaskan tindakan-tindakan yang terkait dengan agama.
          Disisi lain, jika ditelusuri sejarah agama tidak terlepas dari kekerasan, kekejaman, dan perang. Perbedaan dalam agama sering sekali menjadi hambatan yang karenanya manusia seakan tersekat oleh banteng yang kokoh dan tidak mungkin untuk bersatu. Perang yang terjadi antara india dan Pakistan pasca perang dunia kedua mengakibatkan sebuah pemisahan dengan harapan berdirinya sebuah negara muslim yang setara dengan Hindustan, belum lagi perseteruan antara muslim Sunni dan Syiah yang terus berlangsung dan telah menewaskan jutaan jiwa.
          Seiring tingginya jumlah konflik dan kekerasan agama yang terjadi, disisi lain kita akan menemukan banyak individu dan kelompok-kelompok agama yang menyuarakan tentang kesatuan dan perdamaian manusia. Dengan semangat rohani dan spiritualitas melalui sebuah ajaran dan pemahaman agama. Dari uraian diatas perlu untuk mengetahui tentang ajaran agama baha’I yang berkenaan dengan kesatuan umat manusia, bagaimana ajaran kesatuan agama tersebut dapat diterapkan dan berlaku untuk semua manusia secara keseluruhan sehingga kekerasan agama yang telah berlangsung berabad-abad tidak lagi terulangdan menjadikan kehidupan manusia berada pada sebuah perdamaian. [1]

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaimana Latar Belakang Kemunculan Agama Baha’i?
2.    Bagaimana Sejarah Berdirinya Agama Baha’i?
3.    Bagaimana Ajaran Agama Baha’i?
4.    Bagaimana Perkemmbangan Agama Baha’i Di Indonesia?

C. Tujuan

1.    Mengetahui Latar Belakang Kemunculan Agama Baha’i
2.    Mengetahui Sejarah Berdirinya Agama Baha’i
3.    Mengetahui Ajaran Agama Baha’i
4.    Mengetahui Perkemmbangan Agama Baha’i Di Indonesia





BAB. II
PEMBAHASAN


A.  LatarBelakang Kemunculan Agama Baha’i

          Baha’i bermula sebagai sekte islam, namun bergerak sangat jauh dari agama asalnya sehingga secara keseluruhan dianggap sebagai agama baru. Baha’i menyatakan bahwa agama yang ada di dunia berasal dari satu sumber, yaitu suatu kesatuan dasar dari semua kebenaran agama. Begitu juga halnya dengan para nabi yang bersal dari satu Tuhan. Setiap agama harus melakukan penyesuaian dengan sains dan pendidikan sehingga dapat memberikan satu tatanan perdamaian dunia, mengakui persamaan antar bangsa dan adanya kesempatan yang sama antara kaum laki-laki dan wanita. Melalui pokok-pokok ajaran tersebut, baha’i memperoleh banyak pengikut di berbagai belahan dunia.[2]          
          Masa awal abad ke Sembilan belas, latar belakang Negara iran atau Persia ketika itu dalam keadaan yang parah dan pada tahap keruntuhan, keganasan dan fanatisme menguasai bumi yang penuh dengan kemiskinan, kejahilan, dan kemrosotan akhlak. Dengan keadaan yang sedemikian maka muncullah sekumpulan ulama cerdik yang menyuarakan sebuah reformasi atau pembaharuan sebagai bintang harapan untuk keberlangsungan masa depan yang lebih baik.[3]

B.   Sejarah Berdirinya Agama Baha’i

          Telah disebutkan dalam latar belakang bahwa di Iran muncul banyak ulama cerdik yang menyuarakan pembaruan. Di antara mereka termasuklah seorang terkemuka dan amat dihormati orang, bernama Syeikh Ahmad Ahsai yang menetap dikota suci karbila (karbala). Awalnya ia mengajarkan kepada masyarakat akan kemunculan “Yang Dijanjikan” seperti yang ia ramalkan. Ajaran-ajaran Syeikh Ahmad menarik banyak pengikut bahkan shah Parsi dan Kaum kerabat turut tertarik dan membawa ke istana Tihran. Sebelum meninggal, pada tahun 1826 Syeikh Ahmad telah memberikan amanah kepada salah seorang pengikut untuk meneruskan kepeminpinan serta gerakan mencari Yang Dijanjikan. Siyyid Kazim menyeru kepada pengikut untuk terus mencari Yang Dijanjikan dengan menelusuri setiap sudut kota dan daerah-daerah terpencil sekaligus menjernihkan hati sebagai persiapan untuk kehadiran Yang Dijanjikan.
          Pengikut-pengikut Siyyid Kazim bertambah pesat, mereka berasal dari Parsi, Iraq dan mencakup para remaja seperti Mulla Husein. Ia adalah seorang pengikut terkemuka dan terpercaya dalam gerakan yang dipelopori oleh Siyyid Kazim. Ketika Mulla Husein sibuk menyempurnakan tugas dan amanat gurunya di Karbila (Iraq), Siyyid Kazim meninggal dunia (Desember 1843). Walaupun berduka atas kematian gurunya, Mulla Husein berikhtiar untuk memulai gerakan mencari yang dijanjikan setelah kembali dari Karbila.
          Sesuai pesan yang disampaikan Siyyid Kazim, dengan tegas Mulla Husein memerintahkan kepada setiap pengikut agar meninggalkan rumah mereka dan menyebar jauh kemana-mana untuk mencari Yang kedatangannya ditunggu-tunggu. Setelah menghabiskan 40 hari dalam ibadah, puasa, tafakur, Mulla Husein menguatkan tekad meskipun pengikut pengikut lain enggan dan keberatan meninggalkan rumah mereka.
          Dia melangkah menuju Parsi bersama dua orang teman, mula-mula ke kota Bushir yang terletak di teluk Parsi dan selanjutnya ke kota Shiraz, seperti tertarik pada daya kuat hati nurani ke arah kota Shiraz, letih dan berdebu setelah perjalanan jauh yang memakan waktu, kemudian ia ditemui oleh seorang anak muda yang tak dikenali dipintu masuk kota Shiraz, dan Mulla Husein disambut dengan mesra selayak teman dekat, pemuda itu menggunakan pakaian serba hijau yang menandakan ia adalah keturuna nabi Muhammad SAW, nama nya adalah Siyyid Ali Muhammad. Mulla Husein dibawa kerumah Siyyid Ali. Setalah beristirahat, minum dan membersihkan diri, Mulla Husein berbincang tentang kedatangannya ke kota Shiraz. Tanpa diduga, pemuda itu megatakan dengan suara lantang dan jelas bahwa dia adalah orang yang Mulla Husein cari.
          Sesuai ramalah oleh kedua pendahulunya yaitu, Syeikh Ahmad dan Siyyid Kazim, bahwa Siyyid Ali Muhammad memenuhi kriteria yang mereka cari sebagai bab atau pintu gerbang atau utusan Tuhan di bumi untuk membawa kedewasaan manusia di bumi. Adapun ramalan tersebut berbunyi:
“Sesungguhnya dalam tahun ’60 (1260 Hijriah/1844 Masehi) agama akan dilahirkan dan dan nama akan terdengar kemana-mana”
“Dalam nama, nama Ali mendahului nama nabi Muhammad”
“Dalam tahun 1260 pohon hidayat illahi akan ditanam”
“Menteri-menteri dan para pendukung agama akan terdiri dari orang-orang Persia”
          Mulla juga membuktikan dengan risalah yang berasal dari Syeikh Ahmad & Siyyid Kazim “siapa yang dapat membuka rahasia maka akan diuji dengan menerangkan Tafsiran surat Yusuf”. Mulla Husein menjadi bertambah yakin tatkala pemuda itu secara spontan memberikan penafsiran mengenai surat Yusuf. Setelah bercakap-cakap lebih jauh, Mulla Husein takjub atas penjelasan-penjelasan Siyyid Ali Muhammad yang belum pernah ia dengar dari Siyyid Kazim maupun pendahulunya, Syeikh Ahmad Ahsai. Sejak itulah Mulla Husein berjanji setia kepada Siyyid Ali Muhammad dan 17 rombongan lainnya. Detik-detik bersejarah ini terjadi pada 22 Mei 1844.[4]

C.  Ajaran Agama Baha’i

          Baha’i bersal  dari sekte islam Syiah, namun agama ini dengan cepat tampil sangat berbeda dengan sekte asalnya (Syi’ah). Baha’i memperlakukan Al-Qur’an pada kadar yang berbeda dengan umat Islam lainnya. Lebih jauh lagi, mereka memodifikasi, memjelaskan, dan menafsirkan Al-Qur’an melalui metode kiasan serta logika-logika simbolis. Agama Baha’i menggunakan Al-Qur’an bersamaaan dengan kitab suci Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya sebagai sumber dalam peribadahannya. Kepercayaan terhadap malaikat dan setan ditiadakan. Secara hukum, Baha’i dipandang sbagai aliran sesat di Iran, negeri kelahirannya.[5]
          Menurut mereka, ajaran-ajaran khas dalam agama Baha’i, dianggap ilahiah dalam asal, ilmiah dalam metode, dan humanistik dalam konsep. Agama Baha’I meyakini bahwa hanya ada satu agama yang sejati, yang merupakan agama Allah.[6] Agama ini sangat menghormati keanekaragaman dalam melakukan ibadah keagamaan. Baha’i percaya bahwa semua agama berasal dari satu sumber, dan mereka senang untuk mempelajari agama-agama lain. Agama ini sangat menghormati keaneka ragaman dalam melakukan ibadah keagamaan. Baha’i percaya bahwa semua agama berasal dari satu sumber, dan mereka senang untuk mempelajari agama-agama lain.[7]

1.    Konsep Ketuhanan Agama Baha’i

          Umat Baha’i percaya bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber dari semua ciptaan. Dia telah mengirim, dan akan terus mengirim nabi besar kepada umat islam. Tuhan bersifat tidak terbatas, tak terhingga dan maha kuasa. Hakikat tuhan tidak dapat dipahami, dan manusia tidak dapat sepenuhnya memahami realitas keilahian, agar manusia mengenal Tuhan sebagai pencipta, maka Tuhan mengutus melalui perwujudan Tuhan, antara lain:


a.    Adam
b.    Abraham
c.    Musa (1456 SM)
d.    Krishana (1249 SM)
e.    Zoroaster (1000 SM)
f.     Buddha (757 SM)
g.    Isa (34 M)
h.    Muhammad (613 M)
i.      Bab (1844 M)
j.      Baha’u’llah (1863 M)


          Perwujudan Tuhan tersebut seperti cermin yang memantulkan sifat kesempurnaan Tuhan. Dan seperti saluran suci yang menyerukan kehendak Tuhan melalui wahyu ilahi yang dimuat dalam kitab-kitab suci dari berbagai agama yang ada didunia..[8]

2.    Doktrin

a.    Persatuan dan persamaan seluruh ras manusia, merupakan doktrin yang sangat prinsip dan fundamental dari kebenaran agama.
b.    Kemandirian dalam mencari kebenaran.
c.    Persatuan agama-agama.
d.    Semua bentuk prasangka, apakah berhubungan dengan agama, rasional, kelas-kelas, atau nasional adalah terkutuk.
e.    Harmonisasi agama dan sains
f.     Persamaan kaum pria dan wanita.
g.    Pendidikan merupakan kewajiban yag harus diterapkan.
h.    Bahasa Esperanto sebagai bahasa Universal.
i.      Perbedaan antara kekayaan dan kemiskinan harus dihilangkan.
j.      Pembentukan liga bangsa-bangsa.
k.    Melakukan pekerjaan dengan semangat pengabdian, dan memuliakannya karena termasuk rangkaian kegiatan ibadah.
l.      Untuk melindungi bangsa-bangsa, maka keadilan harus dijunjung tinggi dan ditegaskan sebagai peraturan yang prinsip dalam masyarakat dan agama.
          Kebiasaan atau peraturan perkawinan kaum Baha’i adalah monogami. Mereka menolak khotbah dan kurban serta menolak semua bentuk masukan, nasihat, dan sumbangan-sumbangan lain dari non Baha’i.
          Agama Baha’i meyakini bahwa surga dan neraka bukanlah tempat. Melainkan, kondisi dari jiwa. Jiwa yang tiada lain adalah realitas manusia, adalah abadi dan terus sesuai dengan keinginan Tuhan, maka itulah surga. Sebaliknya, ketika jiwa manusia jauh dari Tuhan, maka itulah neraka. [9]

3.    Ritual dan Peribadatan

          Dalam agama Baha’i, ada beberapa sumber ajaran yang dijadikan pedoman hidup misalnya, buku dan surat yang ditulis Abdul Baha dan Shoghi Effendi. Kitab utamanya yaitu kitab suci I-Aqdas (Kitab Tersuci), yang diturunkan di Akka, Israel. Dalam kitab I-Aqdas terdapat syariat agama Baha’i yang sudah berlaku secara umum, antara lain:
a.    Sembahyang wajib Baha’i
b.    Membaca tulisan suci setiap hari
c.    Dilarang menggunjing dan menfitnah
d.    Dilarang meminum minuman beralkohol dan obat bius, kecuali untuk perawatan medis
e.    Dilarag melakukan hubungan seksual diluar nikah, dan homoseksual, dan
f.     Dilarang berjudi
g.    Menjalankan puasa setiap tahun [10]  
          Kaum Baha’i dianjurkan berpuasa satu bulan dari 19 bulan yang ada dalam kalender Baha’i (bulan A’la) yang dimulai hari-hari pertama bulan Maret. Waktu puasa bertepatan dengan musim semi yang datang setiap tahun, tidak makan dan minum ditetapkan antara pukul 6 pagi sampai 6 sore.[11]
          Didalam keyakinan agama Baha’i, tidak terdapat pendeta atau sakramen, dan hampir tidak dijumpai ritual. Secara umum, hanya ada tiga ritul utama, yaitu doa harian wajib, membaca doa bagi orang mati di pemakaman, dan ritus pernikahan sederhana. Terdapat dua alasan agama Baha’i menghindari ritual. Pertama, ritual mudah berubah dan bisa menjadi tidak berarti, sehingga orang membawa mereka keluar demi ritual dan melupakan tujuan spiritual dibelakang mereka. Kedua, ritual dapat menjadi bentuk imperialism budaya, memaksakan ritual yang sama pada budaya yang berbeda dan menghancurkan keragaman mereka.[12]
          Doa yang mereka panjatkan memiliki maksud untuk mengubah sendiri datang lebih dekat kepada Allah dan memuliakan-Nya. Dan tujuan dari shalat atau sembahyang wajib adalah untuk menumbuhkan kerendahan hati dan pengabdian. Cara umat Baha’i berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa:
a.    Meditasi. Berpikir tentang apa yang mereka lakuakan pada siang hari, dan pada apa tindakan mereka yang layak. Pintu pengetahuan yang lebih dalam dan inspirasi dapat dibuka apabila mereka melakukan meditasi, tetapi mereka harus menghindarkan takhayul saat meditasi.
b.    Shalat Wajib. berdoa minimal satu kali dalam sehari sebuah kewajiban bagi semua Baha’I dari berusia 15 ke atas.[13]
          Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan ibadah-ibadah agama Baha’I ialah:
a.    Sebelum melakukan shalat, seseorang harus berwudhu
b.    Ibadah dilakukan ditempat yang bersih
c.    Menghadap ke Gunung Karmel, Akka, Palestina (Sebagai kiblat)
          Mereka yang sakit atau tua (lebih dari 70 tahun) dibebaskan dari pelaksanaan ibadah, namun mereka harus membaca ayat tertentu dari kitab suci mereka sebanyak 95 kali selama periode 24 jam. Bagi orang yang bepergian dan wanita selama periode menstruasi juga dibebaskan pelaksanaan ibadah.[14]

4.    Hari-Hari Besar

a.    Tahun baru pada tanggal 21 Maret
b.    Pesta Ridwan yang dilakukan antara 21 April sampai 2 Mei untuk memperingati perayaan Bahaullah.
c.    Hari Raya Ridwan ke-9. Pada 29 April
d.    22 Mei. Pengumuman sang Bab
e.    Wafatnya Bahaullah 29 Mei
f.     Kesyahidan Bab 9 Juli
g.    20 Oktober hari lahir sang Bab
h.    12 November hari lahir Bahaullah
i.      26 November hari perjanjian
j.      Wafatnya Abdul Baha’ 28 novermber
k.    Hari-hari sisipan 26 Feb-1 Mar
l.      2-20 Maret Puasa[15]

5.    Hasil budaya agama Baha’i

          Tempat ibadah agama Baha’i dinamakan Mashriul-Adhkar atau Tempat Terbit Pujian kepada Tuhan. Sampai sekarang di seluruh dunia, terdapat tujuh rumah ibadah Baha’i, yakni New Delhi (India), Kampala (Uganda), Frankfurt (Jerman), Wilmette, Illinois (Amerika Serikat), Panama City (Panama), Apia (Samoa Barat), dan Sidney, (Australia). Rumah ibadah yang pertama kali dibangun adalah di kota Ashkhabad di Asia Tengah, saat itu masih menjadi wilayah Rusia, yang selesai dibangun pada Tahun 1908.[16] Tiap-tiap rumah ibadah merefleksikan gaya arsitektur yang khas, yaitu berisi dan beratap Sembilan dengan satu kubah. Jumlah Sembilan merupakan symbol Baha’i.[17] Selain tempat ibadah, Baha’I memiliki dua tempat yang sangat disucikan, yaitu makam Sang Bab di kota Haifa, Israel, dan makam Bahaullah di kota Akka, Israel, sekitar 16 km ke arah utara.[18]
          Sebagaimana agama lain, Baha’i menetapkan kalender hari-hari besarnya yaitu system perhitungan tata surya yang tersusun dalam 19 bulan, sebulan terdiri dari 19 hari.untuk mencapai waktu 365 hari (tahun masehi), 4 hari dijumlahkan dengan bulan-bulan terakhir dalam tahun kalendernya. Permulaan tahu baru adalah tanggal 21 /maret, bertepatan dengan musim semi. Sama dengan orang Yahudi, permulaan hari adalah ketika terbenamnya matahari.[19]
          Pada Juli 2008, Taman Bah’I di Haifa dan Akka tersebut tertulis dalam daftar warisan dunia UNESCO. Ini merupakan bentuk pengakuan dunia  internasional terhadap nilai universal yang luar biasa sebagai tempat suci dan tempat berziarah para penganut Baha’I di seluruh Dunia.[20] sekalipun belum adanya angka statistic yang pasti, diperkirakan pengikut baha’I diseluruh dunia sekarang ini berjumlah 5 juta orang. Pengikutnya memang terlihat relative kecil, namun agama baha’I terus berkembang.

D.  Perkembangan Agama Baha’i Di Indonesia

          Berdasarkan kajian pustaka pada suatu tesis 1991 dari Universitas Monash (Aus) yang membahas mengenai agama Baha’I di Indonesia, masuknya agama Baha’I di Indonesia dapat dibagi atas 3 bagian berdasarkan tahun masuknya

1.    Tahun 1882-1883

          Agama Baha’I masuk pertama kali ke Batavia, Indonesia (Hindia-Belanda) pada masa penjajahan Belanda oleh Jamal Effendi dan Mustafa Rumi dari India yang sebelumnya juga singgah ke beberapa Negara di Asia Tenggara. Setelah dari Batavia ia menuju Surabaya, Bali, dan Sulawesi. Di Sulawesi mereka dikebal sebagai Tabib.

2.    Tahun 1925

          Tokoh Baha’I berikut yang masuk ke Hindia-Belanda adalah W.E.M. Grosfeld, adalah seorang berkebangsaan Belanda yang tinggal di Batavia. Ia tinggal di Batavia hingga taun 1958, walau ia cukup lama tinggal di Batavia, namun tidak ada catatan mengenai perkembangan agama Baha’I di Indonesia.[21]
          Namun Ir. Soekarno merujuk beberapa ajaran agama Baha’I selama masa kemerdekaan. Hal ini dibutikan dalam 2 tulisannya, yang pertama adalah suatu artikel Suluh Indonesia Muda pada 1928, “Seorang Pujangga Timurmengatakan bahwa laki-laki dan perempuan bagaikan 2 sayap dari seekor burung yang mana jika kedua sayap dari seekor burung yang mana jika kedua sayap dibuat menjadi sama kuat akan terbang ke udara menuju puncak pengembangan yang tertinggi”. Dan dalam artikel lain dikutip “Seorang Patriot Besar dari Timur yang merekomendasikan bahwa, jika tidak ada cukup uang untuk biaya sekolah bagi kedua putera-puteri, maka lebih baiklah bila anak perempuan diutamakan bersekolah, sebab dia akan menjadi sseorang ibu dan pendidikan dimulai sejak ibu menyusui bayi.” Bahkan Ir. Soekarno menyebut sumbernya, dengan kalimat “Kata-kata Bahaa’O’llah …”[22]

3.    Tahun 1953

          Menurut laposan World Health Organisation (WHO) tahun 1953 di Indonesia setiap 60.000 orang hanya ada 1 dokter dan tidak lebih dari 3 dokter yang lulus dalam kurun waktu 3 tahun. Indonesia saat itu menjadi Negara yang mengalami krisis tenaga kesehatan, maka Indonesia pun gencar mendatangkan Dokter dari luar negeri yang di tempatkan di berbagai wilayah di Indonesia.[23] Salah satunya ke Mentawai, dokter yang ditugaskan di sana adalah seorang Baha’I, bernama Dr. Muhajir. Ia dikenal sebagai pribadi yang sopan, menghormati budaya local, dan menerapkan ketiadaan derajar dalam masyarakat.
          Dalam suatu laporan mengenai Mentawai 1960 oleh Prof. Suherman S., Seorang peneliti dari Univ. Andalas, Sumatera Barat, memperkirakan bahwa pada 1955-1960 ada sekitar 2500 orang Baha’I di Mentawai. Walau perkembangannya cepat, namun angka ini masih dinilai kecil untuk suatu Negara sebesar Indonesia.


          Pada 1962, Soekarno melarang Baha’I dan 6 organisasi lainnya berkembang di Indonesia. Alasannya bahwa tujuan organisasi dinilai tidak sesuai dengan identitas bangsa Indonesia. Hal ini yang menyebabkan di Indonesia sampai saat ini pergerakan agama ini tidak disadari keberadaannya. Pada umumnya baha’I hanya sekumpulan jemaat/mukmin yang kecil.[24]

BAB. III
PENUTUP

Kesimpulan

          Baha’i bermula sebagai sekte islam, namun bergerak sangat jauh dari agama asalnya sehingga secara keseluruhan dianggap sebagai agama baru. Baha’i menyatakan bahwa agama yang ada di dunia berasal dari satu sumber, yaitu suatu kesatuan dasar dari semua kebenaran agama. Di Iran muncul banyak ulama cerdik yang menyuarakan pembaruan. Di antara mereka termasuklah seorang terkemuka dan amat dihormati orang, bernama Syeikh Ahmad Ahsai yang menjadi awal munculnya agama Baha’i.
          Baha’i bersal  dari sekte islam Syiah, namun agama ini dengan cepat tampil sangat berbeda dengan sekte asalnya (Syi’ah). Baha’i memperlakukan Al-Qur’an pada kadar yang berbeda dengan umat Islam lainnya. Negara yang menjadi sentra agama Baha’i, yakni New Delhi (India), Kampala (Uganda), Frankfurt (Jerman), Wilmette, Illinois (Amerika Serikat), Panama City (Panama), Apia (Samoa Barat), dan Sidney, (Australia).
          Sedangkan di Indonesia, Baha’i belum merupakan agama yang resmi diakui Negara. Pada awal perkembangannya agama ini dibagi dalam 3 periode. Namun pada akhirnya agama ini menghilang seiring dilarangnya/diilegalkannya organisasi agama ini pada tahun 1962 oleh Ir. Soekarno. Hal ini yang menyebabkan di Indonesia sampai saat ini pergerakan agama ini tidak disadari keberadaannya. Pada umumnya baha’I hanya sekumpulan jemaat/mukmin yang kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Skripsi: Muhammad Abduh Lubis, Kesatuan Manusia dalam Agama Baha’I, Yogyakarta:            Ushuluddin, 2015
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2000
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama Dunia, (
Moch Qasim, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Aga



[1] Skripsi: Muhammad Abduh Lubis, Kesatuan Manusia dalam Agama Baha’I, (Yogyakarta: Ushuluddin, 2015), Hlm: 1-5
[2] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 99
[3] Skripsi: Muhammad Abduh Lubis, Kesatuan Manusia dalam Agama Baha’I, (Yogyakarta: Ushuluddin, 2015), hlm. 18
[4] Skripsi: Muhammad Abduh Lubis, Kesatuan Manusia dalam Agama Baha’I, (Yogyakarta: Ushuluddin, 2015), hlm. 18-22
[5] Adeg Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.101
[6] M. Ali Imron, hlm. 519
[7] M. Ali Imron, hlm. 521-522
[8] Skripsi: Muhammad Abduh Lubis, Kesatuan Manusia dalam Agama Baha’I, (Yogyakarta: Ushuluddin, 2015), hlm. 36
[9] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 102-105
[10] M. Ali Imron, hlm. 517
[11] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 106
[12] M. Ali Imron, hlm. 528
[13] M. Ali Imron, hlm. 529
[14] M. Ali Imron, hlm. 529
[15] M. Ali Imron, hlm. 532
[16] M. Ali Imron, hlm. 532
[17] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 108
[18] M. Ali Imron, hlm. 532
[19] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 109
[20] M. Ali Imron, hlm. 532
[21] Moch Qasim, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama (Sleman: Interfidei, 2003), hlm. 41
[22] Moch Qasim, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama (Sleman: Interfidei, 2003), hlm. 43
[23] Moch Qasim, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama (Sleman: Interfidei, 2003), hlm. 41
[24] Moch Qasim, Sejarah Teologi dan Etika Agama-Agama (Sleman: Interfidei, 2003), hlm. 44

0 komentar:

Post a Comment