PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada tahun 1546 , sultan Trenggana berusaha menguasai pelabuhan penarukan.
Tiga bulan lamanya, sultan Trenggana memimpin pasukan Islam dari Demak
berperang melawan penarukan yang
mendapat bantuan dari Bali . dalam perang ini Sultan Trenggana memimpin pasukan
Islam dari Demak berperang melawan penarukan yang mendapat bantuan dari Bali.
Dalam perang ini sultan Trenggono tidak berhasil merebut Penarukan, bahkan
ia sendiri wafat di Penarukan. Setelah wafatnya sultan Trenggana, kondisi
kesultanan Demak jatuh dalam konflik istana dalam memperebutkan
jabatan sultan. Akhirnya kesultana Demak mengalami kemunduran dan sebagai gantinya, maka lahirlah kesultanan Pajang di bawah pimpinan sultan HAdiwijaya alias Jaka Tingkir. Maka dari itu pemakalah akan membahas tentang kesultanan Pajang lebih dalam lagi.
jabatan sultan. Akhirnya kesultana Demak mengalami kemunduran dan sebagai gantinya, maka lahirlah kesultanan Pajang di bawah pimpinan sultan HAdiwijaya alias Jaka Tingkir. Maka dari itu pemakalah akan membahas tentang kesultanan Pajang lebih dalam lagi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya kerajaan Pajang ?
2.
Bagaimana
perkembangan kerajaan Pajang ?
3.
Bagaimana
Raja-raja kesultanan Pajang ?
4.
Bagaimana
runtuhnya kerajaan Pajang ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
sejarah berdirinya kerajaan Pajang
2.
Mengetahui
perkembangan kerajaan Pajang
3.
Mengetahui
Raja-raja Kesultanan Pajang
4.
Mengetahui
runtuhnya kerajaan Pajang
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah
berdirinya Kesultanan Pajang
Baik
serat kandha maupun Babad Tanah Jawi memuat banyak cerita mengenai pendiri
kerajaan Pajang. Waktu kecilnya bernama mas Karebet, sebab pada saat lahirnya sedang diadakan wayang beber di rumahnya. Pada masa remaja ia bernama
Jaka Tingkir, karena sepeninggal ayahnya ia dipelihara oleh janda di Tingkir.
Letak Tingkir di sebelah selatan Kota Salatiga sekarang.
Banyak cerita yang hebat-hebat tersebar luas, pejuang muda ini kemudian
mengabdi ke Keraton Demak sebagai prajurit tamtama. Karena perkawinannya dengan
putri sultan Trenggana ia pun dapat memasuki kehidupan keluarga istana.[1]
Setelah wafatnya Sultan Trenggana, maka terjadilah kekacauan akibat
perebutan tahta antara calon pengganti Sultan Trenggana. Para pengganti Sultan
Trenggana adalah pangeran Prawoto, anak sultan Trenggana dan pangeran Seda Ing
Lepen, adik Sultan Trenggana. Dalam pertikaian ini Pangeran Seda Ing Lepen mati
terbunuh dan Pangeran Prawoto beserta keluarganya mati dibunuh oleh anak
Pangeran Seda Ing Lepen, Aryo Penangsang. Aryo Penangsang terkenal sebagai
orang yang sangat kejam. Untuk dapat merebut tahta Kesultanan Demak, maka ia
harus mengalahkan menantu sultan Trenggana, Adiwijaya. Pada masa ini, Adiwijaya
kedudukannya adalah sebagai adipati Pajang. Akhirnya atas bantuan beberapa
adipati, Adiwijaya berhasil membunuh Aryo Penangsang.[2]
Setelah Arya Panangsang berhasil
dikalahkan, Joko Tingkir diangkat menjadi raja pertama Pajang. Pengangkatan
tersebut disahkan oleh Sunan Giri. Selanjutnya, demak diubah statusnya menjadi
kadipaten. Setelah menjadi kadipaten, demak dipimpin oleh adik ipar Sultan
Adiwijaya, yaitu, Arya Pangiri.[3]
2.
Perkembangan
kesultanan Pajang
Wilayah
ini di akhir abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan Pajang, yaitu Jaka
tingkir telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang “Ki Gede Ngenis”
yang kemudian popular dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk memasukan
wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang. Wilayah
Mataram dianugrahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta puteranya,
yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka dalam ikut serta
melumpuhkan Aria Penangsang di Jipang Panolan.
Ki
Pamanahan disinyalir sebagai penguasa Mataram yang patuh dan taat kepada Sultan
Pajang. Ia mulai naik tahta di istananya yang baru di Kotagede pada tahun 1577
M sampai tutup usianya di tahun 1584.[4]
Selama
pemerintahan Jaka Tingkir, kesusastraan dan kesenian kraton yang sudah maju
peradabannya di demak dan jepara, lambat laun dikenal di pedalaman jawa tengah.
Berkat ajaran
tokoh legendaris Syaikh Stiti Jenar, agama islam juga tersebar di Pengging.
Diberitakan bahwa hubungan keagamaan antara keratin Pajang dengan masyarakat
santrinya yang telah dibentuk oleh ulama dari Semarang. Di samping masalah
keagamaan, di pajang juga terdapat tulisan tentang sajak monolistik Jawa yang
dikenal dengan Niti Sruti. Sajak tersebut ditulis oleh pujangga Pajang,
pangeran Karang Gayam. Pada masa kesultanan Pajang, kesusastraan Jawa juga
dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan. Selanjutnya,
kesusastraan Jawa di Pedalaman berkembang pada masa Mataram Islam.[5]
Setelah
Jaka Tingkir meninggal dunia pada tahun 1587, para penggantiya tidak dapat
mempertahankan pemerintahannya. Ahli waris sultan pajang ialah tiga orang putra
menantu’ yaitu raja Tuban, raja di Demak, dan raja di Araos Baya, di samping
putranya sendiri, pangeran Benawa, yang konon masih sangat muda. Oleh karena
itu dia disingkirkan oleh Arya Pangiri (dari demak) dan dijadikan adipati di
Jipang. Sebagai pemimpin Pajang adalah Arya Pangiri. Ternyata,
tindakan-tindakannya banyak yang merugikan rakyat sehingga menimbulkan rasa
tidak senang di mana-mana.
Keadaan
semacam itu dimanfaatkan oleh pangeran Benawa untuk merebut kembali
kekuasaaannya. Usahanya berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat pada
tahun 1588. Selanjutnya, Arya Pangiri dikembalikan ke demak. Kemenangan
tersebut atas peran senopati mataram yang dianggapnya sebagai kakak. Namun,
baru satu tahun memerintah, dia wafat. Meskipun ada pendapat yang mengatakan
bahwa dia meninggalkan Pajang, menuju Parakan (kedu).
Setelah
itu, pemerintah Pajang banyak dikendalikan oleh orang-orang mataram. Buktinya,
senopati mataram mengangkat Gagak
Bening, yang memerintah sampai dengan tahun 1591. Senopati Mataram
mengendalikan Pajang sampai dengan tahun 1618.[6]
Setelah wafat Gagak Bening diganti
putranya, Ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang
sebagai Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur dengan Panembahan
Senopati.
Berbeda
dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan bawahan Pajang, ia
dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan dengan tidak seba
atau sowan tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya akhirnya raja pajang
memutuskan untuk menyelesaikan
pembangkangan Mataram dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata.
Ekspedisi penyerbuan dibawah komando Sultan Pajang sendiri itu mengalami
kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya Gunung Merapi yang mengakibatkan
bercerai berainya prajurit Pajang. Beberapa saat kemudian, sekembalinya dari
ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang meninggal dunia. Momentum ini
dimanfaatkan oleh panembahan Senopati untuk memproklamasikan dirinya sebagai
penguasa di seluruh Jawa.[7]
Pengambil
alihan kekuasaan kraton Islam di Jawa Tengah oleh Sultan Pajang tidak
menimbulkan keguncangan di pasuruan maupun di Jawa Timur lainnya. Ketika tahun
1581 Sultan Pajang diakui sebagai Sultan oleh Sunan Prapen dari Giri dalam
suatu rapat Adipati Jawa Timur, Adipati Pasuruan hadir juga. Ada dugaan bahwa
penyatuan kekuasaan politik raja-raja Islam jawa Tengah dan jawa Timur di bawah
pimponan pemuka agama dari Giri dan Sultan Pajang juga bertujuan mengatasi
ancaman raja-raja di ujung timur Jawa yang dibantu oleh Dewa Agung dari Bali.
Adipati Pasuruan, yang tlatahnya hamper berbatasan langsung dengan Blambangan,
mempunyai alasan kuat untuk mengusahakan persahabatan dengan raja-raja Islam
lainnya. Sultan Pajang memang juga menguasai tlatah Pasuruan.[8]
Sebagaiaman
disebutkan diatas, menjelang keruntuhan pemerintahan pajang, orang-orang
mataram sudah memainkan peran penting disana. Peran tersebut diawali tatkala
senopati, anak Kiai Ageng Pamanahan (teman adiwijaya) yang dapat membunuh Aria
Panangsang, mendapat gelar panembahan (bupati) mataram. Setelah aria panangsang
meninggal pada tahun 1558, orang-orang sela menerima daerah pati dan Daerah mataram
sebagai hadiah bagi jasa yang telah mereka berikan.[9]
3.
Raja-raja di Kesultanan Pajang
a. Jaka
Tingkir
Nama kecil Jaka Tingkir adalah Mas Krebet. Hal tersebut dikarenakan
ketika kelahiran Jaka Tingkir, sedang ada pertunjukan wayang beber di rumahnya.
Saat remaja, ia memiliki nama Jaka Tingkir. Nama itu dinisbatkan pada tempat
dimana ia dibesarkan. Pada perkembangannya, Jaka Tingkir menjadi menantu dari
Sultan Trenggana (Sultan Kerajaan Demak). Setelah berkuasa di Pajang, ia
kemudian mendapat gelar “Hadiwijaya”. Jaka Tingkir berasal dari daerah
Pengging, di Lereng Gunung Merapi. Jaka Tingkir juga merupakan cucu dari Sunan
Kalijaga yang berasal dari daerah Kadilangun.
Melalui pemberontakan yang kemudian menjadi akhir dari kerajaan Demak,
Jaka Tingkir berhasil mendirikan kerajaan Islam baru. Meskipun tidak lama,
namun bukan berarti kerajaan ini tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap
perkembangan Islam di Jawa Tengah, tepatnya di daerah pedalam Jawa Tengah. Di
bawah pimpinanya, kerajaan ini mengalami beberapa kemajuan. Salah satu
kemajuannya adalah usaha ekspansi wilayah kekuasaan, seperti ekspansi ke
daerah Madiun.
b.
Arya Pengiri
Saat memerintah Pajang, Arya Pengiri terkesan kurang
bijaksana. Oleh sebab itu, pada tahun 1588 Pangeran Benawa atas bantuan
Senopati dari Mataram mengambil alih takhta Kesultanan Pajang. Senopati sendiri
merupakan anak angkat Sultan Adiwijaya. Sejak saat itu, Pajang diperintah
oleh Pangeran benawa.
c.
Pangeran Benawa
Setelah berhasil mendapatkan kembali
tahta Kesultanan Pajang, pangeran benawa menyerahkan kekuasaannya kepada
Senopati yang dianggap sebagai saudaranya sendiri. Namun, Senopati lebih suka
tinggal di Mataram, sehingga Pangeran benawa tetap menjadi Raja Pajang.
Dalam memerintah pajang, pangeran Benawa
didampingi oleh Senopati. Masa pemerintahan Pangeran Benawa tidak lama. Baru
satu tahun menjadi raja, Pangeran Benawa wafat. Ada yang mengatakan bahwa
Pangeran benawa tidak wafat melainkan meninggalkan Pajang untuk membaktikan
diri pada agama.[10]
d.
Gagak Bening
Sepeninggalan Pangeran Benawa, Pajang
diperintah oleh gagak Bening. Gagak Bening adalah seorang Pangeran dari
Mataram. Dalam pemerintahannya, Gagak Bening banyak melakukan perombakan dan
perluasan istana. Pemerintahan Gagak Bening tidak berlangsung lama, hanya
sampai tahun 1591.
e.
Pangeran Benawa II
Setelah Gagak Bening wafat tahun 1591,
dia digantikan oleh Pangeran Benawa, cucu Sultan Adiwijaya. Ketika memerintah
Pajang, Pangeran Benawa masih muda, dia dikenal dengan Pangeran Benawa II. Pada
masa pemerintahannya, pajang tidak banyak mengalami kesulitan.
Pada tahun 1617-1618 Pajang mendapat
dukungan dari banyak pihak untuk melepaskan diri dari Mataram. Maka Pajang
kemudian menyerang Mataram. Penyerangan tersebut justru menjadi sebab
kehancuran Pajang.[11]
4.
Runtuhnya
kerajaan Pajang
Sultan Adiwijaya meninggal pada
1587. Kemudian dimakamkan di Butuh, yang terletak tidak jauh di sebelah barat
taman Kerajaan Pajang. Makam itu hingga kini masih dikenal sebagai Makam Aji.
Sepeninggalan Sultan Adiwijaya
pada 1587, kerajaan Pajang ditaklukan oleh negara bawahannya, mataram.
Keterangan mengenai hal ini pada umumnya hanya terdapat dalam buku-buku babad,
terutama Babad Tanah Jawi, yang ditulis oleh para pujangga Mataram satu abad
kemudian. Mudah dipahami apabila banyak keterangan-keterangan yang lebih
memihak kepada mataram, namun bahwa pertengahan terakhir abad ke-16 para sultan
Pajang hanyalah berkedudukan sebagai raja bawahan dari kerajaan mataram adalah
pasti.
Sesudah sultan Adiwijaya masih
ada lima raja lagi yang berturut-turut memerintah di Pajang. Ahli waris pertama
kerajaan Pajang ialah tiga putra menantu Sultan, yakni Raja di Tuban, Raja di
Demak dan raja di Arisbaya, disamping putranya sendiri, pangeran Banawa, yang
masih sangat muda ketika ayahnya meninggal dunia. Dalam hubungan ini Sunan
Kudus menggunakan wibawa kerohaniannya untuk mengangkat Aria Pangiri, anak
susuhunan Prawoto yang terbunuh, Raja Demak untuk menggantikan sebagai raja
pajang. Jelas usaha ini dimaksudkan untuk mengembalikan kekuasaan kesultanan
Islam di jawa kepada keturunan langsung dari Demak. Namun Aria Pangiri sebagai
sultan kedua di Pajang tidaklah berlangsung lama. Ia berhasil disingkirkan dan
dikembalikan ke Demak oleh Pangeran Banawa dengan dukungan Senapati dari
Mataram.
Menurut Babad Mataram Pangeran
Banawa menyerahkan hak waris kerajaanya kepada Senapati Mataram yang
dianggapnya sebagai kakak. Tetapi Senapati ingin tetap tinggal di Mataram dan
ia hanya minta perhiasan emas intan kerajaan Pajang. Pangeran Banawa dikukuhkan
sebagai raja Pajang di bawah perlindungannya.
Hanya setahun saja Pangeran
Banawa menjadi raja kemudian ia meninggalkan kerajaan untuk membaktikan diri pada
agama di Parakan (daerah Kedu utara). Oleh Senapati Pajang dipercayakan kepada
seorang Pangeran muda dari Mataram, Gagak Bening. Pangeran ini banyak melakukan
perombakan dan perluasan istana Pajang. Ia meninggal kira-kira tiga tahun
kemudian, 1591.
Sebagai penggantinya ditunjuk
putra Pangeran Banawa, cucu almarhum Sultan Adiwijaya. Pangeran Banawa II ini
masih sangat muda ketika mulai memerintah. Pada masa-masa pemerintahan
raja-raja mataram berikutnya seperti pada masa Panembahan Seda-ing-Krapyak,
Pangeran Banawa II ini juga tanpa mengalami kesulitan yang besar dalam
meemrintah.
Namun pemberontakan Pajang
terhadap Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung telah mengancurkan Pajang
untuk selama-lamanya. Pemberontakan ini terjadi pada 1617-1618 dan memperoleh
dukungan dari pihak-pihak yang tidak puas di Mataram. Pmberontakan Pajang ini
mudah dipahami pula, karena secara ekonomis Pajang senantiasa ditekan, dahulu
oleh Demak dan sekarang oleh Mataram. Menurut catatan VOC pemberontakan itu
terjadi pada masa musim kering yang luar biasa hebatnya yang berlangsung dari
tahun 1618-1624.
Sebagai hukuman atas
pemberontakan yang berupa tidak mau menyetorkan hasil berasnya kepada Mataram,
sawah-sawah di Pajang yang padinya sedang menguning dibakar habis oleh pasukan
Mataram. Para petani yang terlibat dalam pemberontakan itu kemudian diangkut
secara paksa ke Mataram. Tenaga mereka dimanfaatkan dalam pembangunan kraton
baru di Plered yang letaknya 1 km sebelah timur laut ibukota Mataram yang lama.
Sesudah itu Pajang tidak lagi berarti baik politik ataupun ekonomi.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konflik
politik kerajaan Demak berakhir setelah terbunuhnya Arya Panangsang pada tahun
1549. Arya panangsang dibunuh oleh Pemanahan, Penjawi, juru Mrentani dan raden
bagus yang mengiikuti sayembara dari jaka tingkir. Sepeninggal arya penangsang,
jaka tingkir mendapat restu dari sunan kudus untuk menjadi sultan di pajan yang
kemudian menggunakan gelar sultam hadiwijayadalam memerintah kesultanan pajang.
Peran
Jaka Tingkir dalam merintis kesultanan pajang sangatlah vital, karena
kecerdasan dalam meramu strategi, ia berhasil menyingkirkan arya
penangsang yang memiliki kekuatan
militer lebih besar. Kemenangannya itu membuatnya dapat membentuk kerajaan
pajang. Kerajaan pajang menjadi pusat dakwah jaka tingkir yang ingin menyebarkan
islam di jawa sesuai cara sunan kalijaga.
Peralihan
wilayah demak ke pajang membawa beberapa dampak besar diantaranya adalah
perubhan dari kerajaan maritime ke agraris. Demak yang semula memiliki banyak
armada kapal, dan pelabuhan yang ramai oleh perdagangan, menjadi kerajaan
agraris setelah berpindah ke pajang, karena wilyah yang berada di daerah
pedalaman.
B.
Saran
Ø Diharapkan
penjelasan dari keterangan diatas dapat membantu dalam rangka melengkapi informasi tentang Kerajaan Pajang.
Ø Diharapkan
pembaca dapat mengkoreksi jika terdapat kesalahan-kesalahan informasi yang pemakalah sampaikan.
Daftar Pustaka
v
Daliman,
A. Islamisasi dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ombak : Jakarta , 2012
v
Darmawijaya.
Kesultanan Islam Nusantara. PUSTAKA
AL-KAUTSAR: Jakarta Timur, 2010.
v Badio,
Sabjan. Menelusur Kesultanan di Tanah
Jawa. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
v Harun,
Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI
dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995.
v Anshoriy,
Nasruddin. Arbaningsih, Dri. Negara
Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Tri Wacana,
2008.
v Burhanudin,
Jajat. Ulama dan kekuasaan Pergumulan
Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika, 2012.
v Yusuf,
Mundzirin. Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2006.
[1]
Daliman,
A. Islamisasi dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ombak : Jakarta , 2012, hlm: 166
[2]
Darmawijaya.
Kesultanan Islam Nusantara. PUSTAKA AL-KAUTSAR:
Jakarta Timur, 2010,hlm:
[3]
Sabjan Badio, Menelusuri Kesultanan di tanah Jawa (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2012), hlm. 22.
[4]
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 23
[5]
Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam
di Indonesia (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2006), hlm. 82.
[6]
Ibid., hlm. 83.
[7]
Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara
Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), hlm. 24.
[8]
Nasrudin anshary, Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus
(Yogyakarta: Tri Wacana, 2008), hlm.
236.
[9]
Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam
di Indonesia (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus, 2006), hlm. 83.
[10]
Ibid., hlm. 23.
[11] Ibid., hlm. 23.
[12]
Daliman,
A. Islamisasi dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ombak : Jakarta , 2012,hlm: 174-176
0 komentar:
Post a Comment