Sejarah Pondok Pesantren, Metode Pembelajaran dan Potensinya di Indonesia

Yppq, blogspot.com


      1.1  LATAR BELAKANG
Pesantren sebagai lembaga yang mengiringi dakwah Islamiyah di Indonesia memiliki persepsi yang plural. Pesantren bisa dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, dan yang paling populer adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami konjungtur dan romantika kehidupan dalam menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.
Pesantren merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya masing-masing yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut sosio-politik, sosio-kultular, sosio-ekonomi maupun sosio-religius. Antara pesantren dan masyarakat sekitar, khususnya masyarakat desa, telah terjalin interaksi yang harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup besar dalam mendirikan pesantren. Sebaliknya kontribusi yang relatif besar acapkali dihadiahkan pesantren untuk pembangunan masyarakat desa.
Sejak awal keberadaanya sampai sekarang dan di masa yang akan datang, pondok pesantren selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, juga berperan sebagai pusat pengembangan masyarakat dan pusat pengembangan sumber daya manusia. Dalam posisinya yang unik ini, pondok pesantren diharapkan dapat menjadi bagian yang lebih nyata dalam sistem pendidikan nasional, sehingga lebih bermakna peranannya dalam pencerdasan masyarakat dan pembangunan bangsa.

      1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarahnya berdirinya pesantren?
2.      Bagaimana metode pembelajaran didalam pesantren?
3.      Apa potensi dari pendidikan pesantren?
   
      1.3  TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui sejarah berdirinya pesantren.
2.      Mengetahui metode pembelajaran didalam pesantren.
3.      Mengetahui potensi dari pendidikan pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN

     2.1  SEJARAH BERDIRINYA PESANTREN
Sejumlah pakar memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indegenous Indonesia.[1] Pendidikan model ini, kata Said Aqil Husein Al-Munawwar (2005: 205) telah hidup dan berada dalam budaya bangsa Indonesia pada masa Hindu-Budha dan diteruskan hingga masa kejayaan Islam. Adapun madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.
Pandangan Al-Munawwar sedikit berbeda dengan tesis Karl A. Steenbrink. Berpijak dari bentuk dan sistem pesantren, ia menyimpulkan bahwa pesantren berasal dari India.[2] Sistem pesantren sudah digunakan secara umum sebagai wadah pengajaran agama Hindu Jawa. Setelah Islam tersebar di Jawa, sistem itu kemudian diambil alih oleh Islam (Streenbrink, 1983: 20). Artinya, pesantren di Jawa dan di Indonesia pada umumnya tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya agama Hindu, bukan mendahului keberadaan agama Hindu sebagaimana diungkapkan Al-Munawwar.
Di Pulau Jawa, pesantren pertama kali berdiri di zaman Walisongo. Syeikh Malik Ibrahim atau Syeikh Maulana Maghribi dianggap pendiri pertama pesantren di Pulau Jawa.[3] Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly menginformasikan bahwa disamping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada ulama yang menggangap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengsingkan diri bersama pengikutnya dalam khalwat, beribadah secara istiqomah untuk ber-taqarrub kepada Allah.[4]
Peranan pesantren sendiri pertama-tama dapat dilihat dari eksistensi pesantren itu sendiri. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren selain dikunjungi oleh anak-anak Islam dari desa-desa sekitarnya, juga dikunjungi anak-anak Islam dari kota-kota/daerah lain yang jauh. Lebih-lebih dengan semakin tersohornya beberapa pesantren terkemuka di Pulau Jawa dengan para kiainya yang menguasai ilmu-ilmu tertentu telah menarik anak-anak Islam dari berbagai daerah dan suku bangsa Indonesia di luar Pulau Jawa untuk datang dan bermukim di pesantren tersebut.
Melihat peran penting pesantren dalam transmisi agama Islam di Indonesia, tidak berlebihan kiranya apabila Mastuhu (1994: 21) menyebut pesantren sebagai lembaga pendidikan grass root people[5] yang sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat. Manfred Ziemek, misalnya, menggangap pesantren tidak hanya merupakan pusat perubahan di bidang keagamaan, namun juga perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya, dan sosial.[6]
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga dakwah, justru di misi yang kedua ini lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran sehingga terjadi benturan dengan nilai yang dibawanya dengan nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat. Mastuhu melaporkan bahwa pada periode awalnya pesantren berjuang melawan agama dan kepercayaan serba Tuhan dan takhayul, pesantren tampil membawakan agama tauhid.[7] Selain itu terkadang pesantren juga menghadapi penyerangan penguasa yang merasa tersaingi kewibawaanya. Sebagai contoh, Raden Paku (Sunan Giri) sewaktu merintis pondok pesantren di kedaton pernah terancam pembunuhan atas perintah Raja Majapahit.
Giliran selanjutnya, pesantren berhadapan dengan tindakan tiran kaum kolonial Belanda. Imperialis yang menguasai Indonesia menguasai ekonomi, politik dan militer yang juga mengemban misi penyebaran agama Kristen. Bagi Belanda pesantren merupakan antitesis terhadap gerak kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat. Anggapan demikian merupakan basis argumentatif baginya untuk menekan pertumbuhan pesantren. Sutari Imam Barnadib menuturkan bahwa penjajah malah menghalangi perkembangan agama Islam sehingga pondok pesantren tidak dapat berkembang secara normal. Bahkan pada 1882 Belanda membentuk Pristeranden yang bertugas mengawasi pengajaran agama di pesantren.[8]
Kemudian pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru ini lantaran penolakan Kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian diikuti kiai-kiai pesantren lainnya terhadap Saikeree[9] dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi pukul 07.00, sehingga mereka ditangkap dan dipenjara pihak Jepang. Ribuan santri dan kiai kemudian berdemonstrasi mendatangi penjara, membangkitkan dunia pesantren untuk memulai gerakan bawah tanah menentang Jepang.
Ketahanan pesantren ini menjadi lebih menarik jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan serupa di negara lain. Abdurrahman Wahid membuat perbandingan bahwa pada masa silam, pesantren di Indonesia dapat merespon tantangan zamannya dengan sukses. Ini berarti ada langkah strategis yang ditempuh pesantren dalam menahan tekanan sistem sekolah sekuler dari Barat.
Pada saat yang sama, tidak sedikit ditemukan pesantren telah menginovasi diri, sehinga terjadilah perubahan-perubahan didalamnya, baik ditinjau dari materi yang diajarkan, metode, dan manajemen pengelolaanya, sehingga pada saat sekarang pesantren tidak lagi semata-mata suatu lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, tetapi juga pengembangan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu umum, melalui lembga pendidikan formal yang didirikannya.
Dalam rangka itulah, pada perkembangan mutakhir ini tampaknya pesantren sedang dan telah mempunyai kecenderungan baru dalam rangka inovasi tehadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:
1.      Mulai akrab dengan metodologi modern.
2.      Semakin berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan diluar dirinya.
3.      Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak absolut, dan sekaligus dapat membekali santri dengan berbagai pengetahuan diluar pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dalam dunia modern.
4.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Hal ini mengasumsikan bahwa pada dasarnya pesantren kini sudah dan sedang mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai (Mujib & Muzakir, 2006: 237)

     2.2  METODE PEMBELAJARAN DALAM PESANTREN
Pada sebuah lembaga pendidikan, kurikulum merupakan salah satu komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan.[10] Penyampaian materi tidak berarti apapun tanpa melibatkan metode. Metode selalu mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan dengan bentuk dan coraknya, sehingga metode mengalami transformasi bila materi yang disampaikan berubah.[11]
Pola pendidikan dan pengajaran di pesantren sangat erat kaitannya dengan tipologinya. Pada sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat tradisional dan modern oleh kalangan pesantren dan masyarakat lebih dikenal dengan istilah pesantren salaf dan pesantren kalaf.
            1.      Pondok Pesantren Salaf
Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran al-Quran dengan ilmu-ilmu agama Islam yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana berlangsung sejak awal pertumbuhan. Penjenjangan dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun (tema kitab) yang sama, setelah tamatnya suatu kitab.[12] Dalam pembelajaran sistem salaf, terlebih dahulu antri diarahkan untuk menguasai pengajian dasar secara individual.
Pondok pesantren salaf sebenarnya telah pula menyerap sistem klasikal, tetapi tidak dengan batas-batas fisik yang jelas sebagaimana sistem klasikal pada pesantren modern.[13] Metode pembelajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren Salaf adalah:
a.       Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (Bahasa Jawa), yang berarti menyodorkan. Sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau pembantunya. Sistem sorogan termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembalajaran.
b.      Wetonan/Bandongan
Wetonan berasal dari Bahasa Jawa wektu yang berarti waktu, sebab pengajian ini diberikan pada waktu tertentu. Istilah wetonan di Jawa Barat disebut sebagai Bandongan. Metode ini dilakukan dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam Bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya.
c.       Musyawarah/Bahtsul Masa’il
Meode pembelajaran yang lebih mirip dengan seminar atau diskusi. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kiai atau ustad untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang ditentukan sebelumnya.
d.      Pasaran
Kegiatan belajar para santri melalui pengajian materi (kitab) tertentu pada seorang kiai/ustaz yang dilakukan secara terus menerus (maraton) selama waktu tertentu. Metode ini lebih mirip ke metode Bandongan, tetapi targetnya adalah selesainya kitab yang dipelajari. Pengajian Pasaran dahulu banyak dilakukandi pesantren-pesantren tua di Jawa, dan dilakukan oleh kiai-kiai yang senior dibidangnya.
e.       Hapalan/Muhafazhah
Metode yang menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan kiai/ustaz. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan dalam kurun waktu tertentu. Hafalan ini secara periodik kemudian dibacakan dihadapan kiai/ustaz tergantung kepada petunjuk yang telah diberikan.
f.        Metode demonstrasi/praktek ibadah
Cara pembelajaran ynag dilakukan dengan mendemonstrasikan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan ataupun kelompok dibawah petunjuk atau bimbingan kiai/ustaz.

              2.   Pondok Pesantren Kalaf
Pondok pesantren ini selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan pendidikan formal (jalur sekolah) baik umum maupun madrasah. Biasanya memiliki kurikulum pondok pesantren yang berjenjang dan klasikal, dan bahkan di sebagian kecil berdasar pada kurikulum mandiri, bukan dari Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama.[14]
Pimpinan-pimpinan pesantren yang tergabung dalam Rabithat Ma’ahid[15] telah mempraktekan metode-metode yang sangat beragam, kemudia mereka menetapkannya dalam muktamar ke-1 pada 1959, yang meliputi metode tanya jawab, diskusi, imla’, muthala’ah/recital, proyek, dialog, karyawisata, hafalan/verbalisme, sosiodrama, widyawisata, problem solving, pemberian situasi, pembiasaan/habituasi, dramatisasi (percontohan tingkah laku), reinfroment, stimulus-respon, dan sistem modul (meskipun agak sulit).[16]
Beberapa pesantren Kalaf menerapkan metode muhawarah, yaitu suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan Bahasa Arab yang diwajibkan di pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok. Frekuensi penerapan metode yang dalam Bahasa Inggris disebut conversation ini tidak ada keragaman di kalangan pesantren.
Kemudia metode mudzakarah, yaitu metode pertemuan secara ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyyah seperti aqidah, ibadah, dan masalah agama pada umumnya. Aplikasi ini dapat mengembangkan semangat intelektual santri. Namun metode ini belum bisa diterapkan secara optimal, karena selalu dibatasi oleh mahzab tertentu. Contoh dalam materi aqidah atau kalam dibatasi pada paham Asy’ariyyah, sedangkan dalam ibadah dibatasi pada pemaham fiqhiyyah Imam Syafi’i.

    2.3  POTENSI PESANTREN
Pesantren adalah lembaga yang merupakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik denganmakna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.[17] Pesantren memiliki karakteristik yang khusus dan potensi yang dimiliki para santri meliputi:
1.      Pondok pesantren sebagai pusat pengembangan dakwah
Pada awal pertumbuhannya, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, pondok pesantren berkembang menjadi satu kesatuan sistem yang menampung berbagai fungsi. Pondok pesantren, selain menyelenggarakan fungsi sebagai tempat untuk mendalami dan mengkaji berbagai ajaran dan ilmu pengetahuan Islam, juga menjalankan fungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat dan pusat pemberdayaan sumber daya manusia.
            Meskipun berbagai fungsi telah diperankan oleh pondok pesantren, dalam kenyataannya fungsi tafaqquh fiddin[18] masih tetap merupakan fungsi utama pondok pesantren. Melalui upaya tafaqquh fiddin inilah lahir ulama dan kyai yang menjadi pemimpin agama dan pemimpin masyarakat.
2.      Pondok pesantren sebagai pengembangan sumber daya umat
Pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam harus senantiasa memerankan fungsi dan misi profetis diatas dalam peningkatan kualitas SDU yang dimiliki, baik dalam penguasaan sains dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral, penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Dengan kata lain, pesantren secara ideal harus berfungsi dan berperan membina dan menyiapkan santri yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal shaleh.
Dengan demikian, keunggulan SDU yang ingin dicapai pesantren adalah terwujudnya generasi muda yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek psikomotorik dan afektif. Tetapi sesuai dengan sifat distingtifnya sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang mempunyai subkultur yang distingtif pula, pesantren harus lebih  mengorientasikan peningkatan kualitas santrinya kearah penugasan ilmu-ilmu agama Islam (Azyumardi Azra, 2004: 48)
3.      Pondok pesantren sebagai pengembang keterampilan
Dengan anggapan dasar bahwa tidak semua lulusan atau keluaran pondok pesantren akan menjadi kiai atau ulama, dan memilih lapangan pekerjaan di bidang agama, maka keahlian-keahlian lain seperti pendidikan keterampilan perlu diberikan kepada santri sebelum santri terjun ke tengah masyarakat yang sebenarnya.
Perkenalan atau atau persentuhan dunia pondok pesantren dengan berbagai bidang keterampilan dan usaha pemberdayaan masyarakat sangatlah menguntungkan dan amat strategis. Atas dasar tesebut dilakukan pemilihan terhadap jenis-jenis dan macam usaha yang dapat didirikan di pondok pesantren,diantaranya: Bidang niaga, koperasi, pertanian, industri kecil, dan lain sebagainya.



BAB III
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
Pesantren sebagai lembaga yang mengiringi dakwah Islamiyah di Indonesia memiliki persepsi yang plural. Pesantren bisa dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pendidikan moral, lembaga dakwah, dan yang paling populer adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami konjungtur dan romantika kehidupan dalam menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh dan berkembang telah nendapat pengakuan dari masyarakat sekitar. Keunikan sistem pondok pesantren dengan segala potensi yang dimilikinya menjadikan pondok pesantren tetap mampu bertahan dan dianggap sebagai solusi alternatif bagi kehidupan masyarakat modern.

3.2    SARAN
Pesantren seharusnya menempatkan globalisasi sebagai tantangan, bukan ancaman yang dapat membumi hanguskan peradaban  pesantren. Pesantren tidak akan musnah hanya gara-gara globalisasi. Eksistensi pesantren sudah teruji disetiap dinamika zaman yang silih berganti. Namun tidak berarti pesantren bisa tinggal diam atau bersikap acuh tak acuh terhadap globalisasi. Sebaliknya, pesantren harus meresponnya dengan melakukan reevaluasi dan reorientasi amal usahanya bagi bangsa ini.



DAFTAR PUSTAKA

Indonesia, Dirjen Kelembagaan Islam. 2003. Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Indonesia: Departemen Agama Indonesia
Suharto, H. Babun. 2011. Dari Pesantren untuk Umat: Reinvetating Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi. Surabaya: Imtiyaz
Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren dan Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga
Nawawi. Jan-Juni 2006. Sejarah dan Perkembangan Pesantren. Ibda’ P3M STAIN Purwokerto. Volume 4
Asifudin, Ahmad Janan. 2008. Pondok Pesantren dalam Perjalanan Sejarah. Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga. Diunduh pada 22 Oktober 2017 pada pukul 17.22 http://digilib.uinsuka.ac.id/442/1/06.%20Ahmad%20Janan%20Asifudin%20%20PONDOK%20PESANTREN%20DALAM%20PERJALANAN%20%20SEJARAH.pdf
Sanada, Hasif. Diunduh pada 24 Oktober 2017 pukul 01.56. Potensi Pondok Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaannya.  http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html




[1]  Bahwa pondok pesantren merupakan hasil pemikiran dan kebudayaan asli pribumi Indonesia.
[2]  Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat, Imtiyaz, Surabaya, 2011, hlm. 20
[3]  Ahmad Janan Asifudin, Pondok Pesantren dalam Perjalanan Sejarah, digilib.uin-suka.ac.id, 2008, hlm. 55, diunduh pada 22 Oktober 2017 pukul 17.22
[4]  Mujamil Qomar, Pesantren dan Transformasi Metodologi menuju Demokratis Institusi, Erlangga, Jakarta, 2005, hlm. 8
[5]  Pesantren merasakan dan bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat.
[6]  Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat, hlm. 33
[7]  Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, hlm. 11
[8]  Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, hlm. 12
[9]  Penghormatan terhadap kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu.
[10]  Nawawi, Sejarah dan Perkembangan Pesantren, Ibda’, Jan-Juni 2006, hlm. 5
[11]  Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju demokratisasi institusi, hlm. 141
[12]  Hasif Sanada, “Potensi Pondok Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaanya”, diakses dari http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html, pada tanggal 24 Oktober 2017 pukul 01.56
[13]  Dirjen Kelembagaan Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya, Departemen Agama Indonesia, Indonesia, 2003, hlm. 38
[14]  Hasif Sanada, “Potensi Pondok Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaanya”, diakses dari http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html, pada tanggal 24 Oktober 2017 pukul 01.56
[15]  Lembaga Nahdlatul Ulama dengan basis pokok utama pondok pesantren, sering disebut Rabithat Ma’ahid Islamiyah (RMI).
[16]  Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, hlm. 152
[17]  Hasif Sanada, “Potensi Pondok Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaanya”, diakses dari http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html, diunduh pada 24 Oktober 2017 pukul 01.56
[18]  Dalam pengertian terbatas dapat diartikan sebagai upaya memperdalam ilmu-ilmu keislaman melalui kitab-kitab klasik atau modern berbahasa Arab.

0 komentar:

Post a Comment