Yppq, blogspot.com |
1.1 LATAR BELAKANG
Pesantren
sebagai lembaga yang mengiringi dakwah Islamiyah di Indonesia memiliki persepsi
yang plural. Pesantren bisa dipandang sebagai lembaga ritual, lembaga pembinaan
moral, lembaga dakwah, dan yang paling populer adalah sebagai institusi
pendidikan Islam yang mengalami konjungtur dan romantika kehidupan dalam
menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.
Pesantren
merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zamannya masing-masing
yang memiliki karakteristik berlainan baik menyangkut sosio-politik,
sosio-kultular, sosio-ekonomi maupun sosio-religius. Antara pesantren dan
masyarakat sekitar, khususnya masyarakat desa, telah terjalin interaksi yang
harmonis, bahkan keterlibatan mereka cukup besar dalam mendirikan pesantren.
Sebaliknya kontribusi yang relatif besar acapkali dihadiahkan pesantren untuk
pembangunan masyarakat desa.
Sejak
awal keberadaanya sampai sekarang dan di masa yang akan datang, pondok
pesantren selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan keagamaan, juga berperan
sebagai pusat pengembangan masyarakat dan pusat pengembangan sumber daya
manusia. Dalam posisinya yang unik ini, pondok pesantren diharapkan dapat
menjadi bagian yang lebih nyata dalam sistem pendidikan nasional, sehingga
lebih bermakna peranannya dalam pencerdasan masyarakat dan pembangunan bangsa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarahnya berdirinya pesantren?
2. Bagaimana
metode pembelajaran didalam pesantren?
3. Apa
potensi dari pendidikan pesantren?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
sejarah berdirinya pesantren.
2. Mengetahui
metode pembelajaran didalam pesantren.
3. Mengetahui
potensi dari pendidikan pesantren.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH BERDIRINYA
PESANTREN
Sejumlah
pakar memandang pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang indegenous Indonesia.[1]
Pendidikan model ini, kata Said Aqil Husein Al-Munawwar (2005: 205) telah hidup
dan berada dalam budaya bangsa Indonesia pada masa Hindu-Budha dan diteruskan
hingga masa kejayaan Islam. Adapun madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal
yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.
Pandangan
Al-Munawwar sedikit berbeda dengan tesis Karl A. Steenbrink. Berpijak dari
bentuk dan sistem pesantren, ia menyimpulkan bahwa pesantren berasal dari
India.[2]
Sistem pesantren sudah digunakan secara umum sebagai wadah pengajaran agama
Hindu Jawa. Setelah Islam tersebar di Jawa, sistem itu kemudian diambil alih
oleh Islam (Streenbrink, 1983: 20). Artinya, pesantren di Jawa dan di Indonesia
pada umumnya tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya
agama Hindu, bukan mendahului keberadaan agama Hindu sebagaimana diungkapkan
Al-Munawwar.
Di
Pulau Jawa, pesantren pertama kali berdiri di zaman Walisongo. Syeikh Malik
Ibrahim atau Syeikh Maulana Maghribi dianggap pendiri pertama pesantren di Pulau
Jawa.[3]
Muh. Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai
pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya. Bahkan Kiai Machrus Aly
menginformasikan bahwa disamping Sunan Ampel (Raden Rahmat) Surabaya, ada ulama
yang menggangap Sunan Gunung Jati (Syaikh Syarif Hidayatullah) di Cirebon
sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengsingkan diri bersama pengikutnya
dalam khalwat, beribadah secara
istiqomah untuk ber-taqarrub kepada
Allah.[4]
Peranan
pesantren sendiri pertama-tama dapat dilihat dari eksistensi pesantren itu
sendiri. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren selain
dikunjungi oleh anak-anak Islam dari desa-desa sekitarnya, juga dikunjungi
anak-anak Islam dari kota-kota/daerah lain yang jauh. Lebih-lebih dengan
semakin tersohornya beberapa pesantren terkemuka di Pulau Jawa dengan para
kiainya yang menguasai ilmu-ilmu tertentu telah menarik anak-anak Islam dari
berbagai daerah dan suku bangsa Indonesia di luar Pulau Jawa untuk datang dan
bermukim di pesantren tersebut.
Melihat
peran penting pesantren dalam transmisi agama Islam di Indonesia, tidak
berlebihan kiranya apabila Mastuhu (1994: 21) menyebut pesantren sebagai
lembaga pendidikan grass root people[5]
yang sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat. Manfred Ziemek, misalnya,
menggangap pesantren tidak hanya merupakan pusat perubahan di bidang keagamaan,
namun juga perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya, dan sosial.[6]
Pada
awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan
juga dakwah, justru di misi yang kedua ini lebih menonjol. Lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat
menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran sehingga terjadi benturan dengan
nilai yang dibawanya dengan nilai yang telah mengakar di masyarakat setempat.
Mastuhu melaporkan bahwa pada periode awalnya pesantren berjuang melawan agama
dan kepercayaan serba Tuhan dan takhayul, pesantren tampil membawakan agama
tauhid.[7]
Selain itu terkadang pesantren juga menghadapi penyerangan penguasa yang merasa
tersaingi kewibawaanya. Sebagai contoh, Raden Paku (Sunan Giri) sewaktu
merintis pondok pesantren di kedaton pernah terancam pembunuhan atas perintah
Raja Majapahit.
Giliran
selanjutnya, pesantren berhadapan dengan tindakan tiran kaum kolonial Belanda.
Imperialis yang menguasai Indonesia menguasai ekonomi, politik dan militer yang
juga mengemban misi penyebaran agama Kristen. Bagi Belanda pesantren merupakan
antitesis terhadap gerak kristenisasi dan upaya pembodohan masyarakat. Anggapan
demikian merupakan basis argumentatif baginya untuk menekan pertumbuhan
pesantren. Sutari Imam Barnadib menuturkan bahwa penjajah malah menghalangi
perkembangan agama Islam sehingga pondok pesantren tidak dapat berkembang
secara normal. Bahkan pada 1882 Belanda membentuk Pristeranden yang bertugas mengawasi pengajaran agama di pesantren.[8]
Kemudian
pada awal penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru
ini lantaran penolakan Kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian diikuti kiai-kiai
pesantren lainnya terhadap Saikeree[9]
dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pagi
pukul 07.00, sehingga mereka ditangkap dan dipenjara pihak Jepang. Ribuan
santri dan kiai kemudian berdemonstrasi mendatangi penjara, membangkitkan dunia
pesantren untuk memulai gerakan bawah tanah menentang Jepang.
Ketahanan
pesantren ini menjadi lebih menarik jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan
serupa di negara lain. Abdurrahman Wahid membuat perbandingan bahwa pada masa
silam, pesantren di Indonesia dapat merespon tantangan zamannya dengan sukses.
Ini berarti ada langkah strategis yang ditempuh pesantren dalam menahan tekanan
sistem sekolah sekuler dari Barat.
Pada
saat yang sama, tidak sedikit ditemukan pesantren telah menginovasi diri,
sehinga terjadilah perubahan-perubahan didalamnya, baik ditinjau dari materi
yang diajarkan, metode, dan manajemen pengelolaanya, sehingga pada saat
sekarang pesantren tidak lagi semata-mata suatu lembaga pendidikan yang hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, tetapi juga pengembangan terhadap berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu umum, melalui lembga pendidikan formal
yang didirikannya.
Dalam
rangka itulah, pada perkembangan mutakhir ini tampaknya pesantren sedang dan
telah mempunyai kecenderungan baru dalam rangka inovasi tehadap sistem yang
selama ini digunakan, yaitu:
1. Mulai
akrab dengan metodologi modern.
2. Semakin
berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan
diluar dirinya.
3. Diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak
absolut, dan sekaligus dapat membekali santri dengan berbagai pengetahuan
diluar pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dalam dunia modern.
4. Dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Hal ini mengasumsikan bahwa pada dasarnya pesantren
kini sudah dan sedang mengalami transformasi kultur, sistem dan nilai (Mujib
& Muzakir, 2006: 237)
2.2 METODE PEMBELAJARAN DALAM
PESANTREN
Pada sebuah lembaga pendidikan, kurikulum merupakan
salah satu komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi
pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak-ukur keberhasilan
dan kualitas hasil pendidikan.[10]
Penyampaian materi tidak berarti apapun tanpa melibatkan metode. Metode selalu
mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan dengan bentuk dan coraknya, sehingga
metode mengalami transformasi bila materi yang disampaikan berubah.[11]
Pola pendidikan dan pengajaran di pesantren sangat
erat kaitannya dengan tipologinya. Pada sistem pendidikan dan pengajaran yang
bersifat tradisional dan modern oleh kalangan pesantren dan masyarakat lebih
dikenal dengan istilah pesantren salaf dan
pesantren kalaf.
1.
Pondok Pesantren Salaf
Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran
al-Quran dengan ilmu-ilmu agama Islam yang kegiatan pendidikan dan
pengajarannya sebagaimana berlangsung sejak awal pertumbuhan. Penjenjangan
dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun (tema kitab) yang sama, setelah
tamatnya suatu kitab.[12]
Dalam pembelajaran sistem salaf,
terlebih dahulu antri diarahkan untuk menguasai pengajian dasar secara
individual.
Pondok pesantren salaf
sebenarnya telah pula menyerap sistem klasikal, tetapi tidak dengan batas-batas
fisik yang jelas sebagaimana sistem klasikal pada pesantren modern.[13]
Metode pembelajaran yang menjadi ciri utama pembelajaran di pondok pesantren Salaf adalah:
a. Sorogan
Sorogan
berasal dari kata sorog (Bahasa
Jawa), yang berarti menyodorkan. Sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di
hadapan kiai atau pembantunya. Sistem sorogan
termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan
seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem
ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, membimbing secara maksimal
kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembalajaran.
b. Wetonan/Bandongan
Wetonan
berasal dari Bahasa Jawa wektu yang berarti waktu, sebab pengajian ini diberikan pada waktu
tertentu. Istilah wetonan di Jawa
Barat disebut sebagai Bandongan.
Metode ini dilakukan dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan
mengulas buku-buku Islam dalam Bahasa Arab sedang sekelompok santri
mendengarkannya.
c. Musyawarah/Bahtsul Masa’il
Meode pembelajaran yang lebih mirip
dengan seminar atau diskusi. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu
membentuk halaqah yang dipimpin
langsung oleh kiai atau ustad untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang
ditentukan sebelumnya.
d. Pasaran
Kegiatan belajar para santri melalui
pengajian materi (kitab) tertentu pada seorang kiai/ustaz yang dilakukan secara
terus menerus (maraton) selama waktu tertentu. Metode ini lebih mirip ke metode
Bandongan, tetapi targetnya adalah
selesainya kitab yang dipelajari. Pengajian Pasaran dahulu banyak dilakukandi
pesantren-pesantren tua di Jawa, dan dilakukan oleh kiai-kiai yang senior
dibidangnya.
e. Hapalan/Muhafazhah
Metode yang menghafal suatu teks
tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan kiai/ustaz. Para santri diberi tugas
untuk menghafal bacaan dalam kurun waktu tertentu. Hafalan ini secara periodik
kemudian dibacakan dihadapan kiai/ustaz tergantung kepada petunjuk yang telah
diberikan.
f.
Metode
demonstrasi/praktek ibadah
Cara pembelajaran ynag dilakukan
dengan mendemonstrasikan suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah
tertentu yang dilakukan secara perorangan ataupun kelompok dibawah petunjuk
atau bimbingan kiai/ustaz.
2. Pondok
Pesantren Kalaf
Pondok pesantren ini selain menyelenggarakan kegiatan
kepesantrenan, juga menyelenggarakan pendidikan formal (jalur sekolah) baik
umum maupun madrasah. Biasanya memiliki kurikulum pondok pesantren yang
berjenjang dan klasikal, dan bahkan di sebagian kecil berdasar pada kurikulum
mandiri, bukan dari Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama.[14]
Pimpinan-pimpinan pesantren yang tergabung dalam Rabithat Ma’ahid[15]
telah mempraktekan metode-metode yang sangat beragam, kemudia mereka
menetapkannya dalam muktamar ke-1 pada 1959, yang meliputi metode tanya jawab,
diskusi, imla’, muthala’ah/recital, proyek, dialog, karyawisata,
hafalan/verbalisme, sosiodrama, widyawisata, problem solving, pemberian situasi, pembiasaan/habituasi,
dramatisasi (percontohan tingkah laku), reinfroment,
stimulus-respon, dan sistem modul (meskipun agak sulit).[16]
Beberapa pesantren Kalaf
menerapkan metode muhawarah, yaitu
suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan Bahasa Arab yang diwajibkan di
pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok. Frekuensi penerapan
metode yang dalam Bahasa Inggris disebut conversation
ini tidak ada keragaman di kalangan pesantren.
Kemudia metode mudzakarah,
yaitu metode pertemuan secara ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyyah seperti aqidah, ibadah, dan
masalah agama pada umumnya. Aplikasi ini dapat mengembangkan semangat intelektual
santri. Namun metode ini belum bisa diterapkan secara optimal, karena selalu
dibatasi oleh mahzab tertentu. Contoh dalam materi aqidah atau kalam dibatasi
pada paham Asy’ariyyah, sedangkan dalam ibadah dibatasi pada pemaham fiqhiyyah
Imam Syafi’i.
2.3 POTENSI PESANTREN
Pesantren
adalah lembaga yang merupakan wujud proses perkembangan sistem pendidikan
nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik denganmakna
keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.[17]
Pesantren memiliki karakteristik yang khusus dan potensi yang dimiliki para
santri meliputi:
1. Pondok
pesantren sebagai pusat pengembangan dakwah
Pada awal pertumbuhannya,
pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam. Dalam perkembangan
selanjutnya, pondok pesantren berkembang menjadi satu kesatuan sistem yang
menampung berbagai fungsi. Pondok pesantren, selain menyelenggarakan fungsi
sebagai tempat untuk mendalami dan mengkaji berbagai ajaran dan ilmu
pengetahuan Islam, juga menjalankan fungsi sebagai pusat pengembangan
masyarakat dan pusat pemberdayaan sumber daya manusia.
Meskipun
berbagai fungsi telah diperankan oleh pondok pesantren, dalam kenyataannya
fungsi tafaqquh fiddin[18]
masih tetap merupakan fungsi utama pondok pesantren. Melalui upaya tafaqquh fiddin inilah lahir ulama dan
kyai yang menjadi pemimpin agama dan pemimpin masyarakat.
2. Pondok
pesantren sebagai pengembangan sumber daya umat
Pesantren sebagai
bagian dari pendidikan Islam harus senantiasa memerankan fungsi dan misi
profetis diatas dalam peningkatan kualitas SDU yang dimiliki, baik dalam
penguasaan sains dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Dengan kata lain, pesantren secara
ideal harus berfungsi dan berperan membina dan menyiapkan santri yang berilmu,
berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal shaleh.
Dengan demikian,
keunggulan SDU yang ingin dicapai pesantren adalah terwujudnya generasi muda
yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek
psikomotorik dan afektif. Tetapi sesuai dengan sifat distingtifnya sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam yang mempunyai subkultur yang distingtif pula,
pesantren harus lebih mengorientasikan
peningkatan kualitas santrinya kearah penugasan ilmu-ilmu agama Islam
(Azyumardi Azra, 2004: 48)
3. Pondok
pesantren sebagai pengembang keterampilan
Dengan anggapan dasar
bahwa tidak semua lulusan atau keluaran pondok pesantren akan menjadi kiai atau
ulama, dan memilih lapangan pekerjaan di bidang agama, maka keahlian-keahlian
lain seperti pendidikan keterampilan perlu diberikan kepada santri sebelum
santri terjun ke tengah masyarakat yang sebenarnya.
Perkenalan atau atau
persentuhan dunia pondok pesantren dengan berbagai bidang keterampilan dan
usaha pemberdayaan masyarakat sangatlah menguntungkan dan amat strategis. Atas
dasar tesebut dilakukan pemilihan terhadap jenis-jenis dan macam usaha yang
dapat didirikan di pondok pesantren,diantaranya: Bidang niaga, koperasi,
pertanian, industri kecil, dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Pesantren sebagai lembaga yang mengiringi dakwah
Islamiyah di Indonesia memiliki persepsi yang plural. Pesantren bisa dipandang
sebagai lembaga ritual, lembaga pendidikan moral, lembaga dakwah, dan yang
paling populer adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami
konjungtur dan romantika kehidupan dalam menghadapi berbagai tantangan internal
maupun eksternal.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama
Islam yang tumbuh dan berkembang telah nendapat pengakuan dari masyarakat
sekitar. Keunikan sistem pondok pesantren dengan segala potensi yang
dimilikinya menjadikan pondok pesantren tetap mampu bertahan dan dianggap
sebagai solusi alternatif bagi kehidupan masyarakat modern.
3.2
SARAN
Pesantren
seharusnya menempatkan globalisasi sebagai tantangan, bukan ancaman yang dapat
membumi hanguskan peradaban pesantren.
Pesantren tidak akan musnah hanya gara-gara globalisasi. Eksistensi pesantren
sudah teruji disetiap dinamika zaman yang silih berganti. Namun tidak berarti
pesantren bisa tinggal diam atau bersikap acuh tak acuh terhadap globalisasi.
Sebaliknya, pesantren harus meresponnya dengan melakukan reevaluasi dan
reorientasi amal usahanya bagi bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Dirjen
Kelembagaan Islam. 2003. Pondok Pesantren
dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya. Indonesia:
Departemen Agama Indonesia
Suharto, H. Babun.
2011. Dari Pesantren untuk Umat:
Reinvetating Eksistensi Pesantren di Era Globalisasi. Surabaya: Imtiyaz
Qomar, Mujamil.
2005. Pesantren dan Transformasi
Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga
Nawawi. Jan-Juni
2006. Sejarah dan Perkembangan Pesantren.
Ibda’ P3M STAIN Purwokerto. Volume 4
Asifudin, Ahmad
Janan. 2008. Pondok Pesantren dalam
Perjalanan Sejarah. Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga. Diunduh pada
22 Oktober 2017 pada pukul 17.22 http://digilib.uinsuka.ac.id/442/1/06.%20Ahmad%20Janan%20Asifudin%20%20PONDOK%20PESANTREN%20DALAM%20PERJALANAN%20%20SEJARAH.pdf
Sanada, Hasif.
Diunduh pada 24 Oktober 2017 pukul 01.56. Potensi
Pondok Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaannya. http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html
[1] Bahwa pondok pesantren
merupakan hasil pemikiran dan kebudayaan asli pribumi Indonesia.
[2] Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat, Imtiyaz,
Surabaya, 2011, hlm. 20
[3] Ahmad Janan Asifudin, Pondok Pesantren dalam Perjalanan Sejarah,
digilib.uin-suka.ac.id, 2008, hlm. 55, diunduh pada 22 Oktober 2017 pukul 17.22
[4] Mujamil Qomar, Pesantren dan Transformasi Metodologi menuju
Demokratis Institusi, Erlangga, Jakarta, 2005, hlm. 8
[5] Pesantren merasakan dan
bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat.
[6] Babun Suharto, Dari Pesantren untuk Umat, hlm. 33
[7] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi
menuju Demokratisasi Institusi, hlm. 11
[8] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi
menuju Demokratisasi Institusi, hlm. 12
[9] Penghormatan terhadap kaisar
Jepang Tenno Haika sebagai keturunan Dewa Amaterasu.
[10] Nawawi, Sejarah dan
Perkembangan Pesantren, Ibda’, Jan-Juni
2006, hlm. 5
[11] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi
menuju demokratisasi institusi, hlm. 141
[12] Hasif Sanada, “Potensi Pondok
Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaanya”, diakses dari http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html,
pada tanggal 24 Oktober 2017 pukul 01.56
[13] Dirjen Kelembagaan Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah:
Pertumbuhan dan Perkembangannya, Departemen Agama Indonesia, Indonesia,
2003, hlm. 38
[14] Hasif Sanada, “Potensi Pondok
Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaanya”, diakses dari http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html,
pada tanggal 24 Oktober 2017 pukul 01.56
[15] Lembaga Nahdlatul Ulama dengan
basis pokok utama pondok pesantren, sering disebut Rabithat Ma’ahid Islamiyah (RMI).
[16] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi
menuju Demokratisasi Institusi, hlm. 152
[17] Hasif Sanada, “Potensi Pondok
Pesantren dan Upaya Pengembangan dan Pembinaanya”, diakses dari http://hasifsanada.blogspot.com/2015/05/potensi-pondok-pesantren-dan-upaya.html,
diunduh pada 24 Oktober 2017 pukul 01.56
[18] Dalam pengertian terbatas dapat
diartikan sebagai upaya memperdalam ilmu-ilmu keislaman melalui kitab-kitab klasik
atau modern berbahasa Arab.
0 komentar:
Post a Comment