Sosialisasi Bahtsul Masail Terhadap Masyarakat Muslim Nahdlotul Ulama di Sidoarjo pada tahun 1996-1999, www.google.com |
A. PENDAHULUAN
Agama Islam masuk ke Indonesia
membawa pengaruh besar bagi masyarakat Indonesia. Penyebarannya yang dilakukan
oleh para wali atau pun kiai dengan mengakulturasikan budaya yang sudah ada di
Indonesia sejak masa Hindu-Budha. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat lebih
mudah menerima Islam.
Seiring berjalannya waktu, semakin
banyak masalah yang harus dihadapi sementara hukum-hukum yang sudah tertera
dalam Al-Quran dan Hadis masih terbatas. Maka peran para kiai sangat penting
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Diperlukan usaha untuk menentukan hukum mengenai sesuatu yang
belum jelas hukumnya.
Nahdlotul Ulama atau NU adalah jam’iyah yang didirikan di
Surabaya pada tanggal 31 Janiari 1926 oleh para kiai pengasuh pesantren.
Didalam kepengurusannya NU memiliki lembaga atau forum yang bertugas mengambil
keputusan hukum-hukum Islam, yang terkait masalah fikih, ketauhidan dan
tasawuf. Forum tersebut disebut Bahtsul masail yang di dalamnya terdiri dari
para kiai juga santri yang memiliki pengetahuan cukup untuk bisa turut andil
dalam pengambilan keputusan.
Rumusan masalah:
1.
Bagaiaman perkembangan Bahtsul Masail?
2.
Apa saja masalah-masalah yang menjadi bahasan
dalam hukum Bahtsul Masail?
3.
Bagaimana dampak dan hsil sosialisasi Bahtsul
Masail terhadap masyarakat Nahdlotul ulama?
B.
Metodologi Sejarah
Dalam membahas masalah bahtsul
masail ini, digunakan pendekatan sosiologis-agama. Terdapat berbagai logika
teoritis yang dikembangkan sebagai perspektif
utama sosiologi yang seringkali digunakan dalam melihat fenomena
keagamaan di masyarakat.
Digunakan beberapa konsep dan teori
untuk mendukung penjelasan tentang masalah Bahtsul Masail. Bahtsul Masail
adalah sebuah forum diskusi antar ahli keilmuan Islam terutama di bidang fikih
dilingkungan pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlotul Ulama.
Selain fikih di dalamnya juga membahas mengenai berbagai problematika sosial,
kenegaraan, hukum hal-hal kontemporer dan berbagai bidang lainnya.[1]
Nahdlotul Ulama adalah suatu
Jam’iyyah Diniyyah Islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang didirikan di
Surabaya pada 31 Januari 1926, berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah Wal
Jamaah dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hambali. [2]
Selanjutnya metode penelitian yang
digunakan dalam penyusunan makalah menggunakan beberapa metode. Yang pertama
dengan metode heuristik atau pengumpulan data merupakan proses mencari data
sejarah, yaitu dengan menggunakn metode studi pustaka di perpustakaan. Tahap
kedua adalah verivikasi bertujuan untuk menguji keaslian sumber-sumber
tersebut. Selanjutnya, tahap interpretasi dengan melakukan penafsiran terhadap data
yang telah lolos verifikasi dan terakhir tahap historiografi. Historiografi
adalah cara penulisan, pemapara, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang
telah dilakukan.
C.
Pembahasan
1.
Perkembangan Bahtsul Masail
Awal-mula
yang menjadi latar belakang munculnya Bahtsul Masail (pengkajian
masalah-masalah agama), yaitu adanya kebutuhan masyarakat terhadap agama Islam
praktis (amaliy) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan
intelektual Nahdlotul Ulama untuk mencari solusinya dengan melakukan Bahtsul
Masail. Kegiatan Bahtsul Masail sudah ada sejak kongres/muktamar I, namun
Lajnah Bahtsul Masail diresmikan pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta tahun 1899.
Keputusan-keputusan
Lajnah Bahtsul Masail dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama
adalah keputusan non-fikih, yaitu keputusan yang tidak berkaitan dengan masalah
hukum praktis. Kedua adalah keputusan hukum fikih, yakni yang berkaitan dengan
hukum praktis (amaliy). Masalah fikih sendiri dibagi dalam dua bagian yaitu,
fikih spiritual dan fikih sosial. Adanya pembagian fikih menjadi dua
dimaksudkan untuk mengetahui frekuensi permasalahan fikih antara yang ritual
dengan yang sosial.[3]
Adapun
proses masuknya suatu permasalahan di Bahtsul Masail adalah sebagai berikut.
Jika ada permasalahan yang dihadapi oelh anggota masyarakat, maka mereka
mengajukannya kepada Majelis Syuriah NU tingkat Cabang (kebupaten, Kota atau
Pesantren Besar). Selanjutnya diserahkan kepada Majelis Syuriah NU tingkat
Wilayah (Propinsi) kemudian diadakan sidang Bahtsul Masail. Apabila beberapa
permasalahan belum tuntas atau masih diperselisihkan maka akan diserahkan
kepada Majelis Syuriah PBNU (Pusat).[4]
2.
Permasalahan yang dibahas dalam Bahtsul Masail
Lajnah
Bahtsul Masail merupakan forum ilmiah keagamaan tertinggi bagi warga NU.
Berikut ini merupakan hasil keputusan hukum fikih yang ditetapkan oleh Lajnah
Bahtsul Masail yang valid. Maksud dari valid di sini adalah apakah hasil
keputusan Bahtsul Masail tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an,
as-Sunnah, maqasid asy-syariah, ataupun al-qawa’id al-alfiqhiyyah.
Dalam
telaah kritis terhadap validitas hasil keputusan Bahtsul Masail, terdapat tiga
kategori, yaitu:
A.
Keputusan-keputusan yang diyakini valid dan
masih berlaku sampai saat ini.
1. Hukum memecahkan
kendi dan telur dalam walimah al-haml. Dalam Muktamar V di Pekalongan
pada 7-10 September 1930, upacara kehamilan yang dalam bahasa Jawa dinamakan tingkepan
adalah tindakan tabdzir (sia-sia). Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pengharaman memecah kendi dan telur itu didasarkan pada pertimbangan timbulnya
perilaku tabdzir yang dalam Al-Qur’an sendiri dikecam keras, bahkan
diketegorikan sabagai saudara setan. Apalagi jika dikaitkan dengan adanya
keyakinan bahwa memecahkan kendi dan telur tersebut menjadikan kelahiran bayi
menjadi lancar, maka hal ini jelas bertentangan dengan akidah Islam.[5]
2. Hukum operasi
ganti kelamin. Muktamar XXVI di Semarang pada 6-11 tahun 1979, memutuskan bahwa
penggantian jenis kelamin hukumnya haram. Didasarkan pada pada ayat Al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 119.
B.
Keputusan yang dianggap tidak valid dan tetap
berlaku sampai sekarang.
1. Hukum
menyuntik mayat untuk mengetahui penyakitnya. Muktamar VI di Cirebon pada 26-29
Agustus 1931 memutuskan bahwa menyuntik mayat untuk mengetahui penyakitnya
adalah haram, karena menodai kehormatan mayat. Hal ini didasarkan pada
keterangan di kitab Mauhibah dzi al-Fadl jus II/409 yang menjelaskan bagian dari
tubuh mayat itu harus dihormati.
Bila dikaitakn dengan kondisi saat
itu (1931) maka keputusan ini bisa dimaklumi karena keterbatasan teknologi dan
frekuensi kejahatan belum tinggi. Namun bila dipertimbangkan bahwa urgensi
memeriksa mayat secara medis untuk berbagai kebutuhan medis saat ini maka sudah
sepatutnya keputusan ini perlu ditinjau kembali.[6]
2. Hukum
membayar Fidyah untuk shalat yang ditinggalkan. Dalam Muktamar X di Surakarta
pada 13-18 April 1935, diputuskan bahwa orang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan shalat selama delapan hari supaya membayar fidyah empat puluh mud
(tiap satu kali shalat sebanyak satu mud). Keputusan ini didasarkan pada kitab
I’anah at-Thalibin juz II/239.
C.
Keputusan yang mengalami pelenturan dan
perubahan.
1. Hukum
transplantasi organ tubuh. Dalam Muktamar XXIII di Solo pada 24-29 Desember
1962, diputuskan bahwa fatwa Mufti Mesir yang meperbolehkan mengambil bola mata
mayit untuk mengganti bola mata orang buta itu tidak benar dan juga haram
menyambung anggota manusia dengan manusia yang lain, karena bahayanya buta itu
tidak melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.[7]
2. Hukum keluarga
berencana (KB). Muktamar XIII di Banten pada 11-16 Juni 1938, memutuskan bahwa
berobat untuk mencegah kehamilan karena takut menularnya penyakit semisal
lepra, hukumnya tidak boleh dan haram, karena ketakutannya hanya sangkaan yang
belum tentu.
Namun setelah ditinjau ulang, pada
konferensi besar NU di Jakartapada 18-22 April 1960, menyepakati suatu
keputusan yang secara tidak langsung menjelaskan dan menetralisir keputusan di
atas bahwa hukum membatasi kehamilan adalah makruh, tetapi kalau dengan sesuatu
yang memutus kehamilan sama seklai, maka hukumnya haram, kecuali kalau ada
bahaya.
3. Dampak
dan Hasil Sosialisasi Hukum Bahtsul Masail
Lajnah Bahtsul Masail Diniyyah
(lembaga pengkajian masalah-masalah agama) sebagai lembaga permanen yang khusus
menangani permasalahan terkait keagamaan. Melihat dari kapasitas para
ulama serta pemikir-pemikir Nahdlotul Ulama yang turut andil dalam pelaksanaan
istinbath hukum oleh lajnah Bahtsul Masail, tentunya hasil keputusan dalam
majelis tersebut dapat memberikan pengaruh atau dampak yang signifikan terhadap
hukum Islam yang ada di Indonesia terlepas dari status Nahdlotul Ulama sebagai
salah satu ormas Islam dengan basis masa terbesar di Indonesia.[8]
Hasil
keputusan Bahtsul Masail yang telah berjalan sejak NU berdiri sampai sekarang,
ternyata ada yang tidak dipatuhi oleh NU, baik dari lembaga pendidikan, sistem
pergaulan sosial maupun oleh warga NU sendiri. Seperti tentang hukum menjual
padi di tangkainya (Mukatmar XV, 1940), hukum menyerahkan kambing untuk dipelihara
dengan janji mendapat separuh anaknya atau tambahannya (Munas di Jakarta,
1960), hukum seseorang yang ihram haji/ umrah untuk melepas burung piaraan di
tanah airnya (Munas di Jakarta, 1960) dan hukum tentang program TRI/ Tebu
Rakyat Intensutasi (Muktamar XXVIII, 1989). Terhadap keempat hal tersebut,
warga Nahdliyyin tidak ada yang mempedulikannya, dalam arti melakukan hal-hal
yang berlawanan dengan isi keputusan tersebut, sementara tidak diketahui ada
kiai NU yang menyatakan keberatan.[9]
D. Kesimpulan
Bahtsul Masail merupakan sebuah
forum diskusi antar ahli keilmuan Islam terutama di bidang fikih di lingkungan
pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlotul Ulama. . Aktivitas
Bahtsul Masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah
masyarakat muslim nusantara, yang merupakan tradisi diskusi atau musyawarah
untuk mencari jawaban dalam rangka menyelesaikan persoalan yang ditanyakan oleh
anggota masyarakat kepada para kiayi.
Pelaksanaan Bahtsul Masail yang
berupa diskusi dalam bentuk rapat yang terdiri atas kiayi, ulama juga para
santri yang dirasa mempu untuk mengambil peran dalam penetapan keputusan
Bahtsul Masail. Masalahyang sering dibahas biasanya pemasalahan isu-isu
kontemporer, kemudian memunculkan argumentasi dari para peserta yang bersumber
dari kitab-kitab kuning dan Al-Quran Hadis.
Dampak dan hasil sosialisasi
keputusan hukum Bahtsul Masail masih sering diacuhkan oleh warga Nahdliyyin
terutama yang ada di daerah Nganjuk dan Sidoarjo yang merupakan daerah basis
NU.
Daftar Pustaka
Ar
Rasyid, Muhammad Awwaluddin. 2017.
Istinbath Hukum oleh Lajnah Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama (LBM NU) dan
Pengaruhnya terhadap Hukum Islam di Indoensia. Makassar: UIN Alauddin.
Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul
Masail 1926-1999. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama. Sejarah Lembaga
Bahtsul Masail NU. Diambil dari https://ibmnu.blogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-nu.html?m=1,
pada tanggal 03 desember 2018 pukul 18.25.
Aswaja Muda. Bahtsul Masail. Diambil dari https://aswajamuda.com/tag/bahtsul-masail/,
pada tanggal 30 November 2018 pukul 17.10.
Baca Juga: Kumpulan Makalah Lainnya
[1] https://aswajamuda.com/tag/bahtsul-masail/,
pada tanggal 30 November 2018 pukul 17.10.
[2] Ahmad Zuhro, Tradisi
Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: PT LkiS
Pelangi Aksara, 2004), hlm. 15
[3] Ibid, hlm. 67-70.
[4] Ibid, hlm. 78.
[5] Ibid, hlm. 176-178
[6] Ibid, hlm. 208-210.
[7] Ibid, hlm. 260-264.
[8] M. Alauddin Ar Rasyid, Istinbath
Hukum oleh Lajnah Bahtsul Masail Nahdlotul Ulama (LBM NU) dan Pengaruhnya
terhadap Hukum Islam di Indoensia, hlm. 69-71.
[9] Ahmad Zuhro, Tradisi
Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: PT LkiS
Pelangi Aksara, 2004), hlm. 265-266
0 komentar:
Post a Comment