Mahkum Alaih, coursehero.com |
n B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian Mahkum Alaih?
2. Bagaimana
syarat Mahkum Alaih?
3. Apa saja
kecakapan dalam Mahkum Alaih?
4. Apa pengertian
Ahliyah ?
5. Apa saja
macam Ahliyah?
C.
TUJUAN MASALAH
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum
‘Alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum
syar’i[1].
Secara etimologi , Mukallaf adalah orang yang dibebani hukum. Secara istilah,
yaitu orang yang dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa, mahkum ‘alaih adalah perbuatan mukallaf (orang yang terkena
taklif) baik iyu perbuatan yang menyangkut perintah maupun larangan-Nya.
Dalam
memberikan beban kepada seorang mukallaf, terdapat dua syarat, yakni :
1. Mampu memahami dalil taklif (pembebanan
hukum)[2]
Yaitu, nash-nash hukum yang terkandung dalam Al-quran dan Hadis, baik
langsung maupun dari orang lain ( lewat perantaraan ). Orang yang tidak mampu
memahami dalil taklif, tidak dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan
memahami maksudnya. Sedangkan kemampuan untuk memahami dalil hanya diperoleh
melalui akal. Tetapi, dikarenakan
keberadaan akal itu tersembunyi maka, kedewasaan atau kebalighan yang menjadi
tolak ukur seseorang dalam memahami dalil syar’i. Hal ini telah dijelaskan
dalam Al-Qur’an Q.S An-Nur : 59, sebagai berkut :
Namun, ketika seseorang yang sudah baligh terdapat sifat-sifat yang
menyebabkan rusaknya akal, maka pembebanan hukum itu menjadi gugur. Seperti
sabda Rasulullah Saw. :
Dapat
disimpukan bahwa anak kecil dan orang gila tidak terkena pembebanan hukum dikarenakan
tidak adanya akal yang menjadi alat untuk memahami hal yang membebankan mereka.
Sedangkan orang lupa, mabuk, dan tidur
tidak terkena beban hukum sampai mereka bangun dan tersadarkan.
2. Cakap / ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepada mereka.[3]
Secara etimologi, ahli berarti kelayakan atau layak. Menurut Ulama ahli
‘ Ushul kecakapan terbagi menjadi dua :
a. Ahliyyatul Wujub
Ialah kelayakan seseorang disebabkan layaknya ada hak-hak dan kewajiban
padanya. Dasar kelayakannya yaitu adanya
karakteristik tertentu yang diciptakan Allah Swt. Kepada manusia dan menjadi
spesifikasi dintara berbagai macam binatang. Spesifikasi ini oleh para ahli
Fiqh disebut dengan dzimmah (
sifat naluri kemanusiaan yang dengannya manusia dianggap mampu menerima
ketetapan hak-hak orang lain dan dianggap mampu menerima kewajiban orang lain
pula ).[4] Para Ulama membagi Ahliyyatul Wujub mejadi dua
tingkatan, yaitu[5]
:
1. Ahliyyatul Wujub Naqish
Yaitu, kecakapan dikenai hukum secara lemah, maksudnya kecakapan
seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau kecakapan
seseorang untuk menerima kewajiban, tetapi tidak dengan hak. Sifat lemah ini
ada disebabkan karena seseorang itu hanya memenuhi satu diantara dua syarat
dalam pembebanan hukum.
Contoh kecakapan menerima hak saja, yaitu
bayi dalam kandungan Ibunya. Seorang bayi meskipu didalam kandungan ia tetap
berhak atas wasiat dan warisan. Namun, untuk menuntuk hak-haknya tersebut
terjadi ketika si bayi sudah berada di dunia atau dalam artian sudah hidup. Ia
tidak menerima kecakapan menerima kewajban karena, bayi tidak dikatakan sebagai
orang yang baligh.
Sedangkan contoh kecakapan menerima
kewajiban saja, yaitu Orang yang mati tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
Kecakapan menerima hak tidak ada pada dirinya, karena hak hanya diberikan
kepada orang yang masih hidup. Sedangkan kecakapan menerima kewajiban ada,
dikarenakan hutang didalam hidupnya harus dibayarkan kepada orang yang
dihutanginya.
2. Ahliyyatul wujub kamilah
Yaitu kecakapan dikenainya hukum seseorang secara
sempurna[6]. Maksudnya
dikenainya kewajiban dan hak seseorang pada pembebanan hukum. Contohnya, yaitu
pembebanan hukum kepada seseorang dari lahir sampai sekarat. Bayi yang terlahir,
selain mempunyai kecakapan dalam menerima hak juga mempunyai kewajiban dalam
memenuhi zakatnya. Namun, dalam pelaksanaanya yaitu dilakukan oleh orang tua
atau wali jika kedua orang tuanya sudah tidak ada ( pendapat sebagain Ulama’ )
Sedangkan orang yang sekaat selain mempunyai hak dalam menerima hak dan wasiat
dari orang-orang seelumnya, juga mempunyai kecakapan dalam kewajibannya, yaitu
memberi zakat karena, harta yang dimilikinya sudah memenuhi syarat wajib zakat
( zakat mal ).
b. Ahliyyatul ‘Ada
Ialah, kepantasan seseorang untuk diperhitungkan segala tindakannya
menurut hukum. Hal ini berarti dalam segala tindakannya, baik dalam perbuatan
maupun ucapannya telah mempunyai akibat hukum[7]. Contoh
dalam ucapannya, yaitu seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan
lisannya mengucapkan akad. Dengan adanya akad berarti pernikahan itu dianggap
sah dan si laki-laki telah mempunyai akibat hukumnya. Sedangkan dalam bentuk perbuatan sebagai contohnya yaitu, dalam
seseorang dikatakan sudah memenuhi kewajiban puasa Ramadhan ketika sudah
melaksanakannya , orang yang mencuri. Kecakapan dalam bertindak hukum ini
terbagi menjadi tiga tingkatan, yang dikelompokkan berdasarkan dengan batas
umur seseorang :
a. ‘Adim Al-ahliyah atau ( tidak cakap sama
sekali ), yaitu terdapat pada manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz
atau sekitar umur 7 tahun.
b. Ahliyatul Ada’ Naqishah ( tidak sempurna ) atau
cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah tamyiz sampai
batas dewasa.
c. Ahliyatul Ada’ kamilah atau (sempurna ) cakap
berbuat hukum secara sempurna, tolak ukurnya yaitu pada manusia yang telah mencapai usia
dewasa ( wanita ditandai dengan haid dan laki-laki dengan mimpi basah ).
A. Awaridh al-Ahliyah
Dalam menjalani kehidupannya, keadaan
manusia selalu berbeda-beda yang menyebabkan menghalangi adanya taklif (pembebanan hukum ). Awaridh al- Ahliyah merupakan
hal-hal yang menyebabkan terhalanginya kecakapan Ahliyah, maka dibedakan
menjadi dua macam, yaitu :
1) Awaridh
Samawiyah
Yaitu halangan yang datang dari Allah.
Dalam hal ini, manusia tidak bisa memungkiri keadaan tersebut karena memang
mutlak kehendak dari Allah.Contohnya yaitu:
a. Gila,
merupakan penyakit pada akal yang menghalangi ucapan dan perbuatan seseorang
menurut yang semestinya[8]. Gila
dapat dibedakan menjadi dua, dalam keadaannya, yaitu orng gila yang
berkelanjutan dan orang gila yang tidak berkelanjutan, atau dapat dikatakan
kumat-kumatan. Dalam menetapkan lamanya gila itu diukur ulama fiqih berbeda
dalam pendapatnya. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa gila yang berkelanjutan, yaitu berdasarkan kebiasaannya
( ‘urf ). Ulama Hanafiyah berrpendapat bahwa
gila yang berkelanjutan , dihitung berdasarkan ibadahnya. Misalnya dalam
sholat, orang dikatakan gila yang berkelanjutan apabila sudah melebihi lima waktu
dalam sholat. Dalam berpuasa, dikatakan gila berkelanjuta apabila sudah
mencapai satu bulan Ramadhan. Dan dalam urusan ibadah haji dan zakat, dikatakan
orang gila yang berkelanjutan apabila sudah satu tahun.
b. Lupa, yaitu
tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu yang diperlukan.[9]
c. Ketiduran,
yaitu halangan taklif bersifat
kontemporer yang dalam waktu itu seseorang tidak memahami tuntutan hukum[10].
2) Awaridh
muktasabah
Yaitu, halangan yang menimpa seseorang
dalam taklif yang bersumber dari
perbuatan manusia atau dalam keberadaannya masih didapatkan kehendak manusia
walaupun dalam keadaan terbatas.
a) Mabuk, yaitu
tertutupnya akal disebabkan oleh minuman atau makanan yang memabukkan dan mempengaruhi daya akal sehingga dalam kelakuannya mengelantur.
b) Bodoh,
c)
Sakit,
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Bibliography
Khalaf, P. D. (1996). Ilmu Ushul
Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
Syarifuddin, P. D. (1997). Ushul Fiqh
Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Baca Juga: Hukum Wadh'i
[1] Prof. Dr.
Abdullah Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah, dalam, Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh),
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hlm.213
[2] Prof. Dr.
Abdullah Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah, dalam, Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh),
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 230
[3] Prof. Dr.
Abdullah Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah, dalam, Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh),
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 233
[4] Prof. Dr. Abdullah
Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah, dalam, Hukum Islam, (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 233
Syarifuddin,
P. D. (1997). Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Khalaf,
P. D. (1996). Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press.
Syarifuddin, P. D.
(1997). Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Wacana Ilmu, 1997) hlm. 358
0 komentar:
Post a Comment