Al-Urf, data:image |
Puji syukur kita ucapkan
kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-‘Urf” ini dengan sebagaimana
mestinya.
Makalah ini kami susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu kami berharap makalah ini
tidak hanya menjadi sekedar rangkaian kata-kata diatas kertas saja. Akan tetapi
dapat menjadi penambah wawasan kita dalam mengetahui salah satu sumber dalam
menetapkan hukum Islam yaitu Al-‘Urf.
Dalam penulisan makalah ini
tentunya tidak sedikit kendala yang kami temui. Akan tetapi karena kerja sama
dari berbagai pihak yang terlibat maka kesulitan tersebut dapat teratasi. Kami
juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Sehingga itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
kami harapkan guna perbaikan penulisan makalah kedepannya.
Akhir kata, kami tetap
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Wassalamualaikum wr.wb
Yogyakarta, 17 November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………….
1.2
RUMUSAN MASALAH…………………………………………………….
1.3
TUJUAN PENULISAN……………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ‘URF………………………………………………………..
2.2
MACAM-MACAM ‘URF…………………………………………………...
2.3
KEHUJJAHAN ‘URF……………………………………………………….
2.4
SYARAT-SYARAT ‘URF…………………………………………………..
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………………
3.2
SARAN………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu fiqh merupakan salah
satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim karena menyangkut
hukum-hukum Islam. Memang secara keseluruhan ilmu tersebut tidak mudah untuk
dipahami. Oleh karena itu, perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut karena
dapat mengarahkan pemahaman menuju ilmu fiqh sesungguhnya.
Selain
itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan ilmu fiqh akan terus berkembang.
Sekalipun demikian perubahannya dalam sejarah kadang pesat dan adakalanya lambat.
Bahkan tidak jarang tampak statis. Padahal tuntutan atas perkembangannya
merupakan konsekuensi logis. Disini akan membahas sesuatu yang berhubungan
dengan kehidupan sosial masyarakat yaitu kebiasaan atau dalam bahasa ushul fiqh
disebut ‘urf.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian ‘Urf ?
2. Apa saja macam-macam ‘Urf ?
3. Bagaimana kehujjahan ‘Urf ?
4. Apa saja syarat-syarat ‘Urf ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian ‘urf.
2. Untuk mengetahui macam-macam ‘urf.
3. Untuk mengetahui kehujjahan ‘urf.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat ‘urf.
BAB
II
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN
‘URF
Dari
segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf
‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti kenal.[1] ‘Urf juga berarti “yang baik” dan sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.
Sedangkan dari segi istilah (terminologi), ‘urf menurut ulama
ushul fiqh adalah “kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan maupun
perbuatan”. Menurut Abu Zahra, pengertian ‘urf secara istilah ialah “sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap dan
melekat dalam urusan-urusan mereka.[2] Ada
juga yang mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak
ramai di mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.
‘Urf
memiliki pengertian yang sama dengan al-‘adah (kebiasaan) yaitu sesuatu yang
telah mantap didalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal sehat dan watak
yang benar.[3] Sehingga
dilakukan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
Jadi,
berdasarkan pengertian diatas ‘urf adalah kebiasaan yang telah dikenal dan
dilakukan oleh masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dianggap
baik karena tidak bertentangan dengan syariat Islam. Akan tetapi, jika kebiasaan
tersebut bertentangan dengan syari'at islam, maka kebiasaan tersebut dihapus
dengan dalil yang ada pada syara'.
- MACAM-MACAM
URF
- Dilihat
dari segi sumbernya, ‘urf digolongkan kedalam dua macam yaitu :
- ‘Urf
Qauly atau Lafzhi, yaitu kebiasaan
yang berupa kata-kata atau ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila
lafal atau ungkapan tersebut digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, maka
makna ungkapan itu akan langsung dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat. Contohnya ialah pengggunaan kata “lahm” atau “daging”. Dalam
bahasa Arab, kata daging mencakup pengertian semua daging, baik daging
sapi dan ikan. Tetapi dalam kebiasaan sehari-hari kata daging mayoritas
digunakan untuk menyebut daging sapi. Karena kebiasaan masyarakat setempat
telah mengkhususkan penggunaan kata daging untuk daging sapi.
Contoh lain ialah penggunaan kata walad yang berarti anak.
Dalam pengertian ini sebenarnya yang termasuk anak ialah anak perempuan dan
laki-laki. Tetapi kebiasaan masyarakat banyak menyebutkan kata walad untuk
merujuk pada anak laki-laki.
- ‘Urf Amaly, yaitu kebiasaan masyarakat yang berlaku berupa perbuatan. Contohnya
ialah kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu, kebiasaan masyarakat
memakan makanan dan minuman tertentu atau pakaian tertentu dalam acara-acara
khusus[4].
Contoh lain ialah kebiasaan berbelanja di swalayan tanpa adanya transaksi dan akad jual beli
didalamnya.
- Dilihat dari ruang lingkupnya, ‘urf digolongkan mnejadi
dua macam yaitu :
- ‘Urf Umum (‘Amm), yaitu kebiasaan yang berlaku secara luas diseluruh
masyarakat dan diseluruh daerah. Contohnya membayar ongkos kendaraan umum
dengan harga tertentu, memberi hadiah bagi orang yang berjasa bagi kita
atau mungkin berprestasi, mengucapkan terima kasih pada orang yang telah
membantu kita[5],
membayar sewa penggunaan toilet umum dengan harga tertentu tanpa membatasi
jumlah air yang digunakan.
- ‘Urf Khusus (khash), yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang
ditempat tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku disembarang
tempat. Contohnya kebiasaan yang berlaku dikalangan pengacara hukum bahwa
jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian
oleh kliennya[6],
kebiasaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk
menunjuk pengertian luas tanah 10 kali 10 meter, kebiasaan
masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti yang sah
meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi, kebiasaan mengadakan acara halal bi halal yang dilakukan bangsa
Indonesia setiap selesai menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan sedang
pada negara-negara Islam lainnya tidak diadakan.
- Dilihat dari baik dan buruknya,’urf digolongkan menjadi
dua macam yaitu :
- ‘Urf Shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan syariat, tidak menggugurkan kewajiban, tidak
menghilangkan kemaslahatan dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.[7]
Contohnya ialah dalam mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad
nikah, pihak laki-laki memberikan hadiah (hantaran) kepada pihak wanita yang
akan dinikahinya dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin,
pemberian uang muka dalam jual beli dengan cara pemesanan, mengadakan
acara halal bi halal, bila seseorang
meninggal dunia maka akan diperingati oleh keluarga dengan mengundang
orang orang desa untuk bertahlil dan memohon ampun bagi si mayat.[8]
- ‘Urf Fasid, yaitu kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’. Contohnya ialah kebiasaan masyarakat yang melakukan praktik riba
dalam hal peminjaman uang, pemberian risywah (sogokan) bagi sesesorang
yang menginginkan posisi atau jabatan tertentu, penyuapan yang dilakukan
seseorang terhadap hakim agar dimenangkan perkaranya dalam pengadilan,
minum minuman keras (khamr) dalam pesta ulang tahun atau pernikahan, kebiasaan
berciuman atau cupika-cupiki antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram dalam acara pertemuan-pertemuan atau pesta, mengharamkan perkawinan
antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram karena berasal dari komunitas adat yang sama (pada
masyarakat Riau tertentu) atau karena keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli
atau Batak di Sumatera Utara)[9],
memberikan sesajen pada patung atau tempat yang dianggap keramat (pada
msayarakat Jawa).
- KEHUJJAHAN ‘URF
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf shahih, yaitu ‘urf
yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang berkaitan dengan ‘urf qauly
(lafzhi) dan amaly, maupun yang menyangkut ‘urf ‘amm dan ‘urf khash dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.[10] Seluruh ulama
mazhab menerima dan menjadikan ‘urf sebagai sumber hukum. Karena menurut Imam al Qarafi, harus terlebih dahulu
meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang
ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemashlahatan yang menyangkut
masyarakat tersebut.[11]
Kehujjahan
‘urf sebagai sumber hukum didasarkan atas :
- Firman Allah
swt dalam QS. Al-A’raf ayat 199
Artinya ”jadilah
engkau pemaaf dan menyuruhlah kepada kebaikan, serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh."
Melalui ayat
diatas Allah swt memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf.
Sedangkan yang ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai
kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.[12]
- Ucapan Abdullah bin Mas’ud :
“Sesuatu
yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik disisi Allah swt, dan sesuatu
yang dinilai buruk maka ia buruk disisi Allah swt.”
- Firman Allah swt dalam QS
Al-Maidah ayat 6
Artinya
“Allah tidak hendak menyulitkan kam, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
- SYARAT-SYARAT ‘URF
- ‘Urf itu baik yang bersifat
khusus maupun umum maupun yang berbentuk perkataan dan perbuatan, harus
dikenal dan berlaku bagi mayoritas masyarakat tersebut.
- ‘Urf mengandung maslahat dan
dapat diterima oleh akal sehat.
- ‘Urf tidak bertentangan dengan dalil syara’.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu
yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Dari segi objeknya, ‘urf
dibagi menjadi ‘urf qauly atau lafzhi (kebiasaan yang emnuyangkut ungkapan) dan
‘urf amaly (kebiasaan yang berebentuk perbuatan). Dari segi cakupannya, ‘urf
terbagi menjadi dua yaitu ‘urf ‘amm (kebiasaan yang bersifat umum) dan ‘urf
khash (kebiasaan ayng bersifat khusus). Sedangkan dari segi keabsahannya dari
syara’, ‘urf terbagi menjadi dua yaitu ‘urf shahih (kebiasaan yang dianggap
sah) dan ‘urf fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
Para ulama ushul fiqh sepakat
bahwa ‘urf shahih merupakan ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’.
Karenanya dapat dijadikan sebagai sumber menetapkan hukum Islam.
B. SARAN
Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah, untuk itu penulis
berharap adanya kritik dan saran yang membangun, demi perbaikan penulisan
makalah kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
penulis khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, A. R. (2010). Ushul Fiqh.
Jakarta: Amzah
Haroen, Nasrun.(1996). Ushul Fiqh 1.Jakarta: Logos.
Hunainin.(2016). Modul
Ushul Fiqh. Yogyakarta: MAN 1 Gunungkidul.
http://erickyonanda.blogspot.co.id/2010/10/erick-yonanda-ushul-fiqh-tentang.html (diakses
pada 17 November 2017)
http://indonesia-admin.blogspot.co.id/2010/02/urf-dalam-masyarakat.html (diakses
pada 17 November 2017)
Bca Juga: Mahkum Alaih
[1] Dahlan, A. R. (2010). Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
[2] Hunainin.(2016). Modul Ushul
Fiqh. Yogyakarta: MAN 1 Gunungkidul.
[3] Dahlan, A. R. (2010). Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
[4] Haroen, Nasrun.(1996). Ushul
Fiqh 1.Jakarta: Logos.
[5] http://erickyonanda.blogspot.co.id/2010/10/erick-yonanda-ushul-fiqh-tentang.html
[6] Haroen, Nasrun.(1996). Ushul
Fiqh 1.Jakarta: Logos.
[7] Haroen, Nasrun.(1996). Ushul
Fiqh 1.Jakarta: Logos.
[8] http://indonesia-admin.blogspot.co.id/2010/02/urf-dalam-masyarakat.html
[9] Dahlan, A. R. (2010). Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
[10] Haroen, Nasrun.(1996). Ushul
Fiqh 1.Jakarta: Logos.
[11] Haroen, Nasrun.(1996). Ushul
Fiqh 1.Jakarta: Logos.
[12] Dahlan, A. R. (2010). Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah.
0 komentar:
Post a Comment