Sumbr Hukum Islam "Qiyas"


Sumver Hukum Islam"Qiyas", data:image





Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sumber Hukum Islam
Qiyas” sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk
memenuhi tugas perkuliahan terutama pada mata kuliah Fiqih dan Usul Fiqih.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak penyusunan makalah ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik
oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bpk. H.Syihabuddin Qalyubi, selaku Dosen Fiqih dan Ushul
Fiqih.
Penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan
penulis dalam hal kemampuan yang masih dalam taraf belajar oleh karena itu kritik
dan saran yang sifatnya membangun dalam penulisan karya tulis ini sangat penulis
harapkan dan semoga penulisan laporan ini bermanfaat bagi penulis dan dapat
menambah bahan referensi bagi orang lain.


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum islam merupakan terjemahan dari al-fiqh al-islamy. Dalam Al-Quran
dan sunnah istilah hukum islam tidak digunakan. Namun yang digunakan adalah kata
syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih. Sumber
hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber
syari’at islam yaitu Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad. Sebagian besar pendapat
ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah
Al-Qur’an dan Hadist.disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat
kaitannya dengan sumber hukum islam antara lain: ijma’,
ijtihad,istishab,istislah,istihsun, maslahat, mursalah,qiyas,ray’yu,dan ‘urf.
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan
perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Qiyas sebagai salah satu sumber hukum
islam yang tidak dapat dikesampingkan keberadaanya didalam menetapkan ketentuan
hukum islam .

B. RUMUSAN MASALAH
Penulis telah menyusun beberapa yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Apa pengertian Qiyas……?
2. Bagaimana kehujjahan Qiyas…?
3. Apa saja rukun Qiyas……?
4. Apa saja macam-macam Qiyas…..?


C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian Qiyas
2. Mengetahui kehujjahan Qiyas
3. Mengetahui rukun Qiyas
4. Mengetahui macam-macam Qiyas

D. MANFAAT
Hasil penelitian ini pada akhirnya dapat bermanfaat :
1. Dapat memberikan bahan masukan dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan yang selanjutnya dapat dijadikan acuan bagi penelitian.
2. Dapat memberikan pengertian kepada masyarakat tentang sumber hukum
islam Qias
3. Diharapkan sebagai langkah awal bagi pengembangan ilmu pengetahuan
yang penulis miliki, serta merupakan suatu karya ilmiah untuk memenuhi
tugas perkuliahan.


BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN QIYAS
Secara bahasa (Arab) qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu
membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Qiyas menurut istilah ahli ilmu fiqih adalah menyamakan suatu kasus yang
tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, karena
terdapat persamaan kedua kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya.
Apabila nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dan ‘illat
hukum telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui ‘illat hukum,
kemudian ada kasus lain yang ‘illatnya sama dengan kasus yang terdapat nash-nya,
maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang ada nash-nya
berdasarkan persamaan ‘illatnya, karena suatu hukum dapat diketahui manakala
ditemukan ‘illat hukumnya.
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi
mengandung pengertian yang sama. Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh
Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah :
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang
tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada
kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka
hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan
oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama mendefinisikan qiyas dengan :
“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam
rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, baik hukum maupun sifat.”
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan:
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara
keduanya”.
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas
tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode
qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu)
melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyfwa al-Izhhar li alHukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan
penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari
suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang
disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum
yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky.
Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu
mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang
memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid
tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum
khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak
ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan
hukum.

B. KEHUJJAHAN QIYAS
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil syara’, muhammad
abu zahrah membagi menjadi 3 kelompok:


a. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil hukum
syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam
nash alqur’an dan sunnah dan ijma’ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara
tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.


b) Kelompok ulama zhahiriyah dan syi’ah dan imamiyah yang menolak

penggunaan qiyas secara mutlak. Zahiriah juga menolak penemuan ‘ilat atas

suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya
suatu hukum syara’
c) Kelompok yang menggunakan qiyas secara mudah mereka pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘ilatdiantara keduanya:
kadang-kadang memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas
sehingga qiyas itu dapat dapat membatasi keumuman sebagian ayat alqur’an
dan sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil hukum
syara’:
a. Al-Qur'an
1) Allah SWT memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara
menyamakan dua hal sebagai mana yang terdapat dalam surat yasiin: 36:78-79,
yang artinya:
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya;
ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah
hancur luluh?"
79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat ini menjelaskan bahwa allah menyamakan kemampuannya menghidupkan
tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya
menciptakan tulang belulang pertama kali.
Kelompok zahiriyah menolak argumentasi ini.mereka mengatakan bahwa
allahtidak pernah menyatakan bahwa ia mengembalikan tulang-belulang oleh
karena ia menciptakannya pertama kali.
Kalau seseorang berkata: saya mengi’tibarkan pakaian ini kepada pakaian yang ini.
Maksudnya: dia menyamakan dalam hitungan. Inilah yang dinamakan dengan
qiyas.
b. Dalil Sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah:
Artinya:
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu
peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an.
Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku
tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah
Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku
dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk
dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas
yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan
Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan
al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat
dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan
qiyas.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAWbanyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nash-nya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu
Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah
dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW
mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah
SAWridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih
ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada
itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang
tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar
dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan
hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan
hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya
diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah
kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

C. RUKUN QIYAS
Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu:
ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang
akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh
mujtahid pada ashl, dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau
ijma’).
1. Ashl, menurut para ahli ushul fiqh, merupakan objek yang telah ditetapkan
hukumnya oleh ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah saw. atau ijma’. Misalnya
pengharaman wisky dengan meng-qiyas-kannya kepada khamar; maka yang
ashl itu adalah khamar yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut
para ahli ushul fiqh khususnya dari kalangan mutakallimin yang dikatakan alashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash inilah yang akan
dijadikan patokan penentuan hukum furu’. Dalam kasus wisky yang di-qiyas-
kan pada khamar, maka yang menjadi ashl menurut mereka adalah ayat 90-91
surat Al-Maidah.
2. Far’u, adalah objek yang akan ditentukkan hukumnya, yang tidak ada nash atau
ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus
diatas.
3. ‘illat, adalah sifat yang menjadi dasar dalam menentukan hukum, dalam kasus
khamar di atas ‘illat-nya adalah memabukkan.
4. Hukm al- Ashl, adalah hukum syara’ yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang
akan diberlakukan oleh far’u, seperti keharaman meminum khamar. Adapun
hukum yang ditetapkan pada far’u pada dasarnya merupakan buah(hasil) dari
qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.

D. MACAM-MACAM QIYAS
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa
segi, yaitu:
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan
yang terdapat pada ashl. Dari segi ini qiyas dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu:
a. Qiyas al-aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat dari pada
hukum ashl, karena ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada
pada ashl. Misalnya, memgqiyaskan memukul kepada ucapan “ah”
Dalam surat al-isra’, 17:23 Allah berfirman , yang artinya:
….janganlah kamu katakana kepada kedua (orangtua) kata-kata “ah”
Para ulama usul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah
menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada
sekedar mengatakan “ah”, karena sifat menyakiti melalui pukulan lebih
kuatdari pada ucapan “ah”.
b. Qiyas al-musawi, yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum
yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama.
Misalnya, Allah berfirman dalam surat an-nisa’,2:2 yang artinya:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu…..
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar. Para
ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada
memakan harta secara tidak wajar sebagaimana yang disebutakan dalam
ayat, karena kedua sikapa itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim
dengan cara zalim.
c. Qiyas al-adna’, yaitu ‘illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan
dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada furu’
sangat lemah dibandingkan iktan ‘illat yang ada pada ashl. Misalnya
mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena
keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan.
Dalam hadist Rasulullah saw. dikatakan bahwa benda sejenis apabila
dipertukarkan dengan berbeda kuantitas maka perbedaan itu menjadi riba
fadhl. Dalam hadist tersebut, diantaranya disebutkan gandum (H.R Bukhari
dan Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa dalam jual
beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi berlakunya hukum riba
pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum,
karena ‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.
2. Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi menjadi 2
macam:
a. Qiyas al-jaliy, yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan oleh nash bersamaan
dengan hukum al-ashl; atau nash tidak menetapkan ‘illat-nya, tetapi
dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu’.
Contoh ‘illat yang ditetapkan nash bersamaan denga hukum ashl adalah
mengqiyaskan memukul orangtua pada ucapan “ah” yang terdapat dalam surat alisra’, 17:23 yang telah disebutkan diatas, yang ‘illat-nya sama-sama menyakiti orang
tua.

Contoh ‘illat yang tidak disebutkan nash bersamaan dengan hukum ashl adalah
mengqiyaskan budak yang perempuan kepada budak yang laki-laki dalam masalah
memerdekakan mereka. Antara keduanya, sebenarnya terdapat perbedaan, yaitu
perbedaan jenis kelamin. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa perbedaan ini tidak
berpengaruh dalam hukum memerdekakan budak. Oleh sebab itu apabila seseorang
mengatakan akan memerdekakan budaknya maka pernyataan itu berlaku sama baik
untuk budak laki-laki maupun perempuan.
Contoh lain adalah dalam kasus kebolehan mengqashr shalat bagi musafir lakilaki dan wanita. Sekalipun antara keduanya terdapat perrbedaan kelamin, tetapi
perbedaan ini tidak berpengaruh atas kebolehan wanita menqashr shalat.
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa qiyas al-jaliy ini mencakup qiyas alaulawi dan qiyas al-musawi dalam pembagian qiyas pertama diatas.
b. Qiyas al-khafiy, yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Contohnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukuman
qishash, karena ‘illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja. Dengan unsur
(Drs.H.Nasrun Haroen, 1996) permusuhan. Dalam kasus seperti ini ‘illat
pada hukum ashl yaitu pembunuhan dengan benda tajam lebih kuat dari
pada ‘illat yang terdapat pada furu’, yaitu pembunuhan dengan benda
keras. Qiyas al-adna’ yang dikemukakan pada pembagian pertama termasuk
kedalam qiyas al-khafiy ini.
3. Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi atas 2 bentuk yaitu:
a. Qiyas al-mu’atstsir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl
dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma’; atau qiyas yang ‘ain
sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan ashl dengan furu’ berpengaruh
pada hukum itu sendiri. Contoh yang ditetapkan melalui nash atau ijma’
adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak dibawah
umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan ‘illat “belum dewasa”.
‘illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’. Contoh ‘ain sifat yang
berpengaruh pada ‘ain hukum adalah mengqiyaskan minuman keras yang
dibuat dari bahan selain anggur kepada khamar (dibuat dari anggur)
dengan ‘illat sama-sama “memabukkan” pada kedua jenis benda ini
berpengaruh pada hukum keharaman meminumnya.
b. Qiyas al-mula’im, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashl-nya mempunyai
hubungan yang serasi. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda
berat kepada pembunuhan dengan benda tajam yang telah disebutkan
diatas. ‘illat pada hukum ashl mempunyai hubungan yang serasi.
4. Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut, qiyas dapat
dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu:
a. Qiyas al-ma’na atau qiyas pada makna ashl, yaitu qiyas yang didalamnya
tidak dijelaskan ‘illat-nya, terapi antara ashl dengan furu’ tidak dapat
dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan ashl. Misalnya mengqiyaskan
membakar harta anak yatim pada memakannya, yang ‘illat-nya sama-sama
menghabiskan harta anak yatim itu secara dzalim; sebagaimana yang
dijelaskan diatas.
b. Qiyas al-‘illat, yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illat-nya dan ‘illat itu sendiri
merupakan motivasi bagi hukum ashl. Umpamanya, mengqiyaskan nabidz
(minuman keras yang terbuat dari selain anggur) kepada khamar, karena
kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik
pada ashl maupun pada furu’.
c. Qiyas al-dalalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi
penetapan hukum itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang
memberi petunjuk adanya ‘illat. Misalnya dalam kasus mengqiyaskan alnabidz kepada khamar dengan alasan “bau menyengat” yang menjadi
akibat langsung dari sifat memabukkan.
5. Dililhat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi
kepada:
a. Qiyas al-ikhalah, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui munasabah dan
ikhhalah
b. Qiyas al-syabah, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode syabah
c. Qiyas al-sibru, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode al-sibr wa altaqsim
12
d. Qiyas al-thard, yaitu yang ‘illat-nya ditetapkan melalui metode thard.
Contoh-contoh qiyas ini telah di kemukakan diatas.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Makalah tentang Sumber hukum islam Qias ini dapat ditarik beberapa butir
kesimpulan, antara lain:
1. Rumusan masalah 1. Qiyas menurut istilah ahli ilmu fiqih adalah
menyamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu
kasus yang ada nash hukumnya, karena terdapat persamaan kedua
kasus tersebut dalam ‘illat hukumnya.
2. Rumusan masalah 2.
3. Rumusan masalah 3. Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa rukun
qiyas itu ada empat, yaitu: ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui
nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat
(motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl,
dan hukm al-ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
4. Rumusan masalah 4. Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa
qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, yaitu: Dilihat dari segi kekuatan
‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat pada
ashl, Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, Dilihat dari
keserasian ‘illat dengan hukum, Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya
‘illat pada qiyas tersebut, Dililhat dari segi metode (masalik) dalam
menemukan ‘illat,

B. SARAN
Maka sebagai tindak lanjut terdapat beberapa saran antara lain :
1. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang sumber hukum islam Qias secara
lebih lanjut, dan lebih detail serta mendalam. Agar mendapatkan data yang
lebih lengkap. Untuk pembelajaran serta informasi bagi masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Drs.H.Nasrun Haroen, M. (1996). ushul fiqh 1. jakarta: logos.
Ilmu Usul Fiqih, Prof.Abdul Wahhab Khallaf
Hhtp://sumarjiono.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-sumber-hukumislam.html?m=1


Bca Juga: AL-URF

0 komentar:

Post a Comment