Metode Hukum Islam "Maslahah Mursalah"

blogspot.com/


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Metode
Hukum Islam Mashalih Mursalah” dengan baik. Selanjutnya, kami berterima kasih
kepada Bapak H. Syihabuddin Qalyubi selaku dosen pengampu mata kuliah Fikih
dan Usul Fikih yang telah memberikan serta membantu penyelesaian tugas
makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai hukum Islam Mashalih Mursalah. Kami
juga menyadari bahwa sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan katakata yang kurang berkenan dan semoga makalah ini bermanfaat baik bagi
pembaca pada umumnya, dan penulis pada khususnnya.

Yogyakarta, 7 November 2017
Penulis,

DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
Bab I Pendahuluan 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 5
Bab II Isi 6-11
Bab III Penutup 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
Daftar Pustaka 13



BAB I
PENDAHULUAN
i.
LATAR BELAKANG
Segala perbuatan manusia telah diatur oleh Allah SWT. Apa yang
dikehendaki oleh Allah untuk dipatuhi oleh umat manusia, seperti yang
sudah terhimpun di dalam Al-qur’an dan penjelasannya yang telah
diberikan oleh Nabi Muhammad dalam sunahnya. Titah Allah berkenaan
dengan amaliah manusia di dunia, tampil dengan bentuk suruhan, larangan,
dalam bentuk membiarkan dan dalam bentuk ketentuan yang berkenaan
dengan itu. Titah itu dinamai hukum syara’ atau syariat yang diperinci lagi
oleh hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dan dibuat
pula pedoman amaliah kehidupan sehari-hari dengan adanya fiqh yang
dirumuskan oleh fuqoha, yang kemudian dikenal dengan hukum islam.
Maka dapat diketahui bahwa sumber hukum pokok adalah Al-Quran dan
Hadis, dan selanjutnya ada pula ushul fiqih yang juga meuat metode
metode pengambilan hukum Islam sebagai ketentuan dan aturan dalam
membina kehidupan manusia untuk lebih baik beribadah.
Maka dibentuklah mengenai metode hukum Islam Marsalih Mursalah
yang bertujuan untuk mendatangkan kemanfaatan, kebaikan, dan
kemudahan bagi seluruh umat.

ii. RUMUSAN MASALAH
Penulis telah menyusun beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah
ini antara lain:
1. Apa pengertian Maslahah Mursalah?
2. Apa saja macam-macam Marslahah Mursalah?
3. Apa saja syarat-syarat Maslahah Mursalah?
4. Bagaimana kehujjahan Maslahah Mursalah?

iii. TUJUAN PEMBAHASAN
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan dari
makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian Maslahah Mursalah.
2. Mengetahui macam-macam Maslahah Mursalah.
3. Mengetahui syarat-syarat Maslahah Mursalah.
4. Mengetahui kehujjahan Maslahah Mursalah.


BAB II

PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN
Kata “maslahah” berakar pada s-l-h; yang merupakan bentuk masdar
dari kata kerja salaha dan saluha, yang secara etimologis artinya manfaat,
faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Sedangkan secara terminologis, almaslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk hambahambanya, baik berupa pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa/diri,
pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan, pemeliharaan akal budi,
maupun berupa pemeliharaan harta benda mereka.
Jadi, Mashalih Mursalah atau Istishlah ialah maslahat-maslahat yang
bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak ditopang oleh
sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan
kemashalatan tersebut. Jika maslahat didukung oleh sumber dalil yang
khusus, maka termasuk kedalam qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat
ashl khas (sumber dalil yang khusus)yang bersifat membatalkan, maka
maslahat tersebut menjadi batal.
A. Dari segi kualitas dan kepentingan kemashalatan, para ahli ushul Fiqih
membagi dalam tiga macam, yaitu:
a. Mashlahah Dharuriyyah
Mashlahah Dharuriyyah adalah maslahah primer bagi kehidupan
manusia, yang meliputi penjagaan atau pemeliharaan terhadap lima
hal :
1. Keselamatan keyakinan agama
2. Keselamatan jiwa
(al-Muhafazhah al-Nafs)
3. Keselamatan akal (al-Muhafazhah alal-‘Aql)

4. Keselamatan keluarga dan keturunan (al-Muhafazhah alan-Nasl)
5. Keselamatan harta benda (al-Muhafazhah alal-Mal)
Contohnya : berjihad diwajibkan karena untuk memelihara jiwa,
larangan membunuh bertujuan untuk memelihara jiwa,keharaman
meminum minuman keras adalah untuk menjaga akal manusia,larangan
berzina berfungsi untuk menjaga kesucian keturunan, dan pencurian
dilaran untuk menjaga pemeliharaan harta.
b. Maslahat Hajiyat
Persoalan-persoalan yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan
kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Maslahat ini maslahat sekunder,
bukan pokok, tetapi keberadaannya mendukung terwujudnya
kemashalatan primer. Jika kemashalatan ini tidak terwujud, maka akan
menimbulkan kesulitan atau kesempitan.
Contohnya : qasar shalat, buka puasa bagi musafir ( dalam masalah
ibadah), jual beli salam atau pesanan (dalam bidang muamalah),
berpaiakan yang rapi dan indah (dalam hal kebiasaan hidup).
c. Maslahat Tahsiniyah/Takmiliyah
Kemashalatan yang bersifat tersier,bukan pokok atau pendukung, tapi
pelengkap atau penyempurna. Sifatnya untuk memelihara kebagusan dan
kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Atau kemaslahatan yang
bersifat sebagai pelengkap yaitu berupa keleluasaan untuk melengkapi
kemaslahatan yang sebelumnya. Jadi meskipun tidak terpenuhi tidak akan
menimbulkan kesulitan atau kesempitan. Keberadaannya akan
mempermudah manusia.
Contohnya : memperbanyak ibadah sunnah, menjaga etika makan dan
minum, dan sebagainya.
Berdasarkan dari beberapa pengertian Maslahah Mursalah, para ahli Ushul
Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahat, jika dilihat dari
beberapa segi, diantaranya:
a. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
· Maslahat Mu’tabarah(yang dapat diterima) ialah kemaslahatn yang
didukung oleh suyara’, maksudnya ada dalil khusus yang menjadi
dasar bentuk dan jenis kemashalatan tersebut. Contohnya :
kemaslahatan yang dihasilkan oleh pernikahan yang sah adalah
supaya hidup sakinah, memperoleh keturunan yang shalih,
menambah populasi muslim yang bisa melanjutkan eksistensi
keislaman, dan lain-lain.
· Maslahat Al-Mughah ialah kemaslahatan yang berlawanan dengan
ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada
dalil yang menunjukkan bahwa ia berentangan dengan ketentuan
dalil yang jelas atau dengan ketentuan syara’. Contoh : demi
mencapai kemaslahatan perkawinan di atas, seseorang memperkosa
setiap wanita, menikahi perempuan menggunakan ilmu pelet, atau
poliandri.
· Maslahat Mursalah ialah kemashalatan yang keberadaannya tidak
didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak oleh syara’
melalui dalil-dalil yang rinci. Kemashalatan dalam bentuk ini dibagi
atas dua yaitu :
a) Maslahat Al-Ghariban, yaitu kemashalatan yang tidak asing tau
kemashalatan yang sama sekali tidak ada dukungan syara’.
b.) Maslahat Al-Mursalah, yaitu kemashalatan yang tidak didukung
oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
b. Dari segi kandungan Maslahat
1.) Maslahat Al-Ammah, yaitu kemashalatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kepentingan umum ini tidak berarti untuk
semua kepentingan orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas ummat/kelompok. Contoh: mencegah kemelaratan
orang banyak (kaum Muslim), menciptakan lapangan kerja untuk
mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat,
menegakkan kontrol sosial melalui amar ma’ruf nahi mungkar,
mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan,
bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.
2.) Maslahat Al-Khasha, yaitu kemashalatan pribadi seperti
kemashalatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud). Contoh :
pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pentingnya pembagian kedua kemashalatan ini berkaitan dengan
mana yang harus didahulukan apabila kemashalatan umum
bertentangan dengan kemashalatan pribadi. Dalam pertentangan kedua
kemashalatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada
kemashalatan pribadi.
c. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahat
1.) Maslahat Al-Tsabitah, yaitu kemashalatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman. Misalnya, kewajuban shalat, puasa,
zakat, haji.
2.) Maslahat Al-Mutagayyirah, yakni kemashalatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek umum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa Al-Syalabi, dimaksudkan
untuk memberi batasan kemashalatan mana yang bisa berubah dan
tidak.

Syarat-syarat Maslahah Mursalih
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum maslahah mursalah
adalah ketika tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan. Selanjutnya Imam
Malik mengajukan syarat-syarat khususnya yaitu, :
1. Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang
berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah). Dengan
adanya persyaratan ini berarti maslahat tidak boleh menegaskan sumber dalil
yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai
dengan maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya,
jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
2. Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai
dengan pemikiran yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok
rasionalis akan dapat diterima.
3. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang
terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat
diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
Sebagaimana surat al-Hajj ayat 78
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
Syarat-syarat di atas adalah syarat yang masuk akal yang dapat mencegah
penggunaan sumber dalil ini (Maslahah Mursalah) tersebut dari akarnya
(menyimpang dari esensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk
kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan
Maslahah Mursalah.

Kehujjahan Marshalih Mursalah
Para ulama yang pro terhadap maslahah mursalah diantaranya
Imam Malik, Imam Hanbali dan al-Syatibi dengan argumen sebagai berikut :
1. 1. Adanya Takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang
akal menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan
Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini
mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah.
Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2. Adanya amaliyah dan praktek di jaman sahabat yang walaupun saat itu
belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan
yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti,
pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Memerangi orang yang
tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak
memberi hak zakat kepada muallaf pada jaman Umar ibn Khattab.
Penyatuan cara baca (qira’at) Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali
jaman Ustman ibn Affan.

3. Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan
maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan maslahah tersebut
berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang
mendukungnya.
4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh
menggunakan metoda maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat
dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan
menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya sebagaimana al-baqarah ayat 185.
Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam
kehidupannya.
Sebagaimana disebutkan Abu Zahrah, Imam Malik dan golongan
Hanbali menerima maslahah mursalah sebagai sumber hukum selama
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Sebab pada
hakekatnya, keberadaan maslahat adalah dalam rangka
merealisasikan maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i), meskipun secara
langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.[29]
Para ulama yang kontra atau menolak maslahah mursalah sebagai
metode ijtihad diantaranya Imam Syafi’i, al-Ghazali dan para pengikutnya
yang cenderung lebih menggunakan qiyas sebagai metoda ijtihad. Alasan
utamanya adalah di dalam semua nash al-Qur-an dan Sunnah sudah
terkandung segala kemaslahatan bagi umat manusia. Jika terjadi
permasalahan yang baru, para ulama tinggal meng-qiyas-kannya saja.
Sebaliknya jika ada satu saja maslahah yang tidak terkandung dalam nash
Qur’an dan Sunnah, maka artinya risalah yang dibawa Muhammad SAW itu
tidak sempurna atau tidak lengkap. Dan ini tentu saja bertentangan dengan
al-Maidah ayat 3.
Lebih rinci para ulama yang menolak maslahah mursalah
memberikan argumentasi sebagai berikut :
1. Bila suatu maslahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya
(mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada
petunjuk syara’ yang membenarkannya maka tidak mungkin disebut maslahah,
dan mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang
lengkap atau kurang sempurnya risalah Nabi.
2. Beramal dengan maslahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan
membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan
menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami.
Keberatan al-Ghazali menggunakan Istihsan dan Maslahah Mursalah karena ia
tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau
menetapkan syarat yang berat dalam menetapkan suatu hukum.
3. Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan
memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat
mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja
menyalahi prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4. Penggunaan maslahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan
memberi kemungkinan mudahnya perubahan hukum syara seiring perubahan
waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak
sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi
semua umat Islam.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tidak seorang pun yang menyangkal bahwa syariat Islam itu dimaksudkan
untuk kemashalatan umat manusia. Syariat itu membawa manusia kepada
kebaikan dan kebahagiaan serta mencegah kejahatan dan menolak kebinasaan.


B. SARAN
Hendaknya kita sebagai umat muslim senantiasa bersyukur kepada Allah Swt
karena Dia telah menciptakan segalanya dengan segenap perhitungan yang luar
biasa. Dari hal terkecil sampai hal terbesar, Allah SWT menciptakan dengan segala
kemanfaatnya. Harusnya kita sebagai umat yang beragama muslim harus lebih
dekat kepada Sang Pencipta.




Baca Juga:  Sumber Hukum Islam "Qiyas"



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Asmawi, M. (2011). Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH.
Zahrah, P. A. (1994). Ushul Fiqih. Jakarta: PT. PUSTAKA FIRDAUS.
www.iswahyudi-wahyudi.top (ushul fiqh 1 metodologi penetapan hukum islam)
diunduh pada 12 November 2017.
https://divafz.wordpress.com/2013/09/16/maslahah-mursalah/ diunduh pada 12
November
2017.
http://serba-makalah.blogspot.co.id/2015/04/makalah-sumber-dan-metodehukum-islam.html diunduh pada 12 November 17.
http://jangfierman.blogspot.co.id/2014/04/maslahah-mursalah-sebagai-sumberhukum.html
https://www.scribd.com/mobile/document/359653549/kehujjahan-maslahah-docx

0 komentar:

Post a Comment