Ilmu Mukhtalaful al-Hadis


Kitab Hadis, blogspot.com
Kadang-kadang para muhaddisin menyebutnya dengan musykil al-hadits. Yaitu hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash syara’ yang lain.
Kajian ini merupakan kebutuhan yang sangat pentng bagu setiap orang alim dan faqih, agar dapat mengetahui maksud yang hakiki dari hadis-hadis yang demikian. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini kecuali Imam Hadis yang tajam analisanya.
Berapa kelompok ahli bid’ah melancarkan serangan dengan gencar kepada sunah dan ahli hadis karena kesalahan mereka dalam memahami hadis, sehingga mereka menduh ahli hadis telah melakukukan dusta dan meriwayatkan keterangan-keterangan yang bertentangan, lalu menyandarkanya kepada rasulullah SAW. Mereka ditiru oleh orientalis dan pengikut-pengikutnya dewasa ini, yaitu orang-orang yang tergiur oleh materi dan berpola piker materialistis, serta akalnya telah di selimuti perasaanya, meskipun sebagian mereka mengaku sebagai penelaanh agama Islam atau sebagai pembuka pintu ijtihad.
Mereka sama bahanyanya dengan orang-orang bodoh yang zuhud dan membolehkan pemalsuan hadis dalam rangka al-Targhib wa at-Tarhib, karena mereka sama-sama menganggap diri mereka berhak menetapkan suatu hokum ke dalam matan hadis lalu dijadikan pedoman hidup oleh sebagian umat Islam karena kebodohanya, sementara sebagian yang lain mengingkari matan yang sahih karena kecemburuanya[1].
Demikian pengantar untuk Ilmu Mukhtalif al-Hadis untuk selanjutnya akan di paparkan berbegai pengertian dari berbagai Muhaddisin mengenati Ilmu tersebut.

B.       Pengertian Mukhtalif al-Hadits
1.      Makna Etimologis
Dalam kajian Ilmu Hadis, hadis-hadis kontradiktif serig disebut dengan istilah mukhtalif al-hadis. Secara bahasa mukhtalif (مختلف) dalam bentuk isim fa’il dari kata اختلف Menurut Ibn Manzur, kata ikhtilaf (اختلاف) yakni bentuk masdar, merujuk pada makna لم يتفق . (tidak serasi/tidak cocok) dan كل ما لم يتساوى (segala sesuatu yang tidak sama/beragam).
Sedangkan menurut Lois Ma’luf, ikhtilaf mempunyai beberapa makna diantaranya, تعارض. (bertentangan), تناوع (beragam) atau تعدد  (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang).
Dengan melihat pengertian yang dikemukakan diatas, maka nama ikhtilaf  mengandung dua makna pokok yaitu, تعارض (pertentangan/kontradiksi) dan تناوع (variasi). Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya, kedua istilah tersebut akan dihubungkan dalam konteks hadis. 
a.       Kontradiksi Hadis (تعارض الحديث)
Secara etimologi, kata “at-Ta’arud” terbentuk dari kata dasar “‘A-ra-da” dan “I’tarada”, atau “membandingi. Makna kata ini, bermula dari adanya sebuah bangunan atau lainnya, seperti kayu penghalang atau gunung yang menghalangi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata “at-Ta’arud” berarti saling mencegah, saling menentang atau saling menghalangi.
Secara terminology, terdapat beberapa definisi istilah “at-Ta’arud”. Menurut  al-Zarkasyi, at-Ta’arud adalah “perbandingan dua dalil dengan sifat cara saling mencegah”. Sedangkan menurut al-Asnawi: “berbandingnya dua hal (perkara), dimana masing-masing pernyataanya saling bertentangan.
b.      Variasi Hadis (تناوع الحديث)
Istilah ikhtilaf dalam pengertian yang kedua berarti at-Tanawwu (variasi). Adanya variasi hadis (Tanawwu’ al-Hadis) oleh as-Syafi’i dimaknai sebagai variasi dalam beribadah (at-Tanawwu’ fi al-Ibadah) yang boleh diikuti dan diamalkan mana yang suka.[2]

2.      Makna Terminologis
Pelopor dalam ilmu Mukhtalif al-hadis ini adalah Imam as-Syafi’i. dalm kitabnya yang berjudul Ikhtilaf al-hadis, dia menuangkan gagasan teoritisnya tentang upaya menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan. Oleh karenanya, asy-Syafi’I dianggap sebagai peletak dasar ilmu ini, yang kemudian diteruskan oleh ulama sepeninggalanya, diantaranya Ibn Qutaibah.
Ulama ahli hadis berbeda dalam memberikan pengertian mukhtalif al-hadis. Al-Hakim an-naisaburi dalm bukunya, Marifat Ulum al-Hadis, sebuah karya yang dianggap salah satu literature pertama dan tertua dalam Ulum al-Hadis, menyebutkan bahwa Ilmu Mukhtalif al-Hadis adalah:
“Mengetahui sunah-sunah Rasulullah saw. Yang bertentangan dengan sesammmanya, lalu para ulama madzhab memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahanya”

Sedangkan an-Nawawi mendefinisikan Mukhtalif al-Hadis sebagai berikut:
“Ialah dua hadis yang makna lahiriahnya saling betentangan, maka kedua hadis tersebut dikompromikan atau di-tarjih (untuk diambil mana yang kuat dari salah satunya).”

At-Tahawi memberikan definisi sebagai berikut :
“Ialah dua hadis yang maqbul yang makna lahiriyahnya saling bertentangan, dimana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan(tidak dicari-cari)[3].

Ulama berikutnya yang merumuskan definisi Ilmu Mukhtalif al-Hadis adalah Subhi Shalih yaitu:
“ Ilmu muktalif hadis sebagai suatu disiplin ilmu yang mengkaji hadis-hadis Nabi saw. yang secara lahiriyah saling bertentangan, karena adanya kemungkinan bias di kompromikan, baik dengan cara mentaqyidkan kemutlakanya maupun mentashih keumumanya atau dengan cara membawaya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut dan lain-lain.[4]
Hadis-hadis bisa dikatakan sebagai hadis mukhtalif apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Hadisnya lebih dari satu
2.      Sama-sama maqbul
3.      Hadis-hadis tersebut secara lahiriyah bertentangan
4.      Konteks hadis-hadis yang bertentangan dalam persoalan yang sama
5.      Antara hadis-hadis yang bertentangan itu dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan[5]
Dan apabila ditemukan hadis yang tidak memenuhi salah satu dari kelima syarat di atas, maka tidaklah termasuk hadis mukhtalif karena tidak mengandung pertentangan diantaranya.

C.        Urgensi Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib para ulama telah memberikan perhatian yang serius terhadap Ilmu Mukhtalif al-Hadis sejak masa sahabat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antara berbagai hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang tampak saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Dengan demikian Ilmu Mukhtalif al-Hadis merupakan salah satu cabang ilmu hadis yang perlu diketahui oleh semua umat islam khususnya para fukaha dan ahli hadis dalam usaha untuk mempertahankan kewibawaan hadis nabi saw sebagai sumber hukum islam.[6]
Sejalan dengan pendapat diatas, Imam an-Nawawi berkomentar dalam at-Taqrib”  ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayat yang terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya. Jelasnya, seumpama ada dua hadis yang saling bertentangan makna lahirnya, kemudian dapat diambil jalan tengahnya atau diutamakan salah satu diantaranya.”[7]
Untuk lebih jelasnya berikut kami sampaikan beberapa urgensi dari Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu :
   1.      Untuk menyelesaikan hadis yang tampak bertentangan secara lahir.[8]
   2.      Salah satu fungsinya lagi ialah untuk memepertemukan dua atau lebih hadis yang bertentangan cara lahir.[9]
  3.  Membahas hadis-hadis yang sulit dipahami atau sulit digambarkan agar hilang kesulitan itu dan menjadi jelas hakikatnya.[10]
   4.  Sebagai alat panduan dalam memahami hadis-hadis nabi.
  5. Membantu ulama dalam menghindari dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadis-hadis mukhtalif.[11]
Itulah beberapa urgensi dari ilmu mukhtalaful hadis, satu hal yang dapat kita tangkap adalah bahwa sebelum menghakimi suatu hadis tersebut termasuk sebagai hadis mukhtalif, maka pengkaji Hadis harus mengembangkan sikap hati-hati dan cermat, dalam bahasa Yusuf al-Qardhawi,” Wujub at-tasabbut qabla al-hukm fi at-ta’arud” (wajib melakukan verifikasi sebelum menghukumi bahwa hadis itu bertentangan atau kontradiktif).

D.      Macam-macam dan Metode Penyelesaian Mukhtalif al-Hadis
Ada beberapa macam jenis hadis-hadis yang zahirnya dianggap bertentangan, yaitu:
1.      Hadis-hadis yang bertentangan dengan al-Quran
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ فِي الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ وَزَيْدَ بْنَ خَالِدٍ قَالَا كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا قُلْتُ لِسُفْيَانَ لَمْ يَقُلْ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَقَالَ الشَّكُّ فِيهَا مِنْ الزُّهْرِيِّ فَرُبَّمَا قُلْتُهَا وَرُبَّمَا سَكَتُّ
Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan mengatakan, kami menghapalnya dari orang yang berada di majlis Az Zuhri mengatakan, telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah ia mendengar Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid mengatakan; Kami disisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang dan berujar; 'Saya bersumpah atas nama Allah kepadamu, putuskanlah perkara diantara kami dengan kitabullah.' Lantas berdirilah lawan sengketanya yang lebih faqih dari dia dan berkata; 'Putuskanlah diantara kami dengan kitabullah, dan izinkanlah aku untuk bicara." Nabi berkata; "bicaralah". Lanjutnya; 'Anakku menjadi pekerja laki-laki ini, kemudian anakku berzina dengan isterinya, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan satu pembantu, kemudian aku bertanya kepada beberapa ahli ilmu, mereka mengabariku bahwa anakku berkewajiban didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang isterinya harus dirajam.' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, aku akan memutuskan diantara kalian dengan kitabullah yang agung sebutan-Nya. seratus ekor unta dan pembantu dikembalikan kepadamu, anakmu di cambuk sebanyak seratus kali dan disaingkan selama setahun, dan pergilah Unais Al Aslami ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya, maka rajamilah dia." Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut, dan dia mengakuinya, maka ia merajamnya.' Saya bertanya kepada Sufyan; apakah dia tidak berkata; 'mereka mengabariku bahwa anakku terkena rajam? ' Sufyan menjawab; 'keraguanku itu berasal dari Az Zuhri, maka terkadang saya katakan dan terkadang saya tinggalkan.' Sahih Bukhari no 6326
Hadis di atas terdapat redaksi لأقضين بينكم بكتاب الله, padahal di dalam al-Quran tidak terdapat ayat yang menjelaskan tentang rajam dan pengasingan. Hadis ini ungkin saja benar dan mungkin saja salah, ataukah malah ayat al-Quran yang kurang karena tidak menjelaskan tentang rajam dan pengasingan.[12]
2.      Hadis-hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ زُرْعَةَ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ جَرْهَدٍ الْأَسْلَمِيِّ عَنْ جَدِّهِ جَرْهَدٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَرْهَدٍ فِي الْمَسْجِدِ وَقَدْ انْكَشَفَ فَخِذُهُ فَقَال إِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ مَا أَرَى إِسْنَادَهُ بِمُتَّصِلٍ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu An Nadlrah bekas budak Umar bin 'Ubaidullah, dari Zur'ah bin Muslim bin Jarhad Al Aslami dari kakeknya yaitu Jarhad ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melintasi Jarhad di masjid, sedangkan pahanya tersingkap, maka beliau bersabda: "Sesungguhnya paha itu aurat." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan, menurutku sanadnya tidak bersambung. Sunan Tirmizi no 2719
Hadis di atas dianggap bertentangan dengan hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَيَّارٍ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ بِنْتَ طَلْحَةَ تَذْكُرُ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ جَالِسًا كَاشِفًا عَنْ فَخِذِهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُمَرُ فَأَذِنَ لَهُ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ فَأَرْخَى عَلَيْهِ ثِيَابَهُ فَلَمَّا قَامُوا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَأْذَنَ عَلَيْكَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَأَذِنْتَ لَهُمَا وَأَنْتَ عَلَى حَالِكَ فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ أَرْخَيْتَ عَلَيْكَ ثِيَابَكَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَلَا أَسْتَحْيِي مِنْ رَجُلٍ وَاللَّهِ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَسْتَحْيِي مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Marwan, dia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Yassar, dia berkata; Saya telah mendengar Aisyah binti Thalhah bercerita dari Aisyah Ummil Mukminin, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam duduk dalam keadaan tersingkap pahanya. Lalu Abu Bakar mohon ijin untuk masuk dan beliau mengijinkannya sedang beliau masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian Umar mohon ijin masuk dan beliau mengijinkannya sedang beliau juga masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian Utsman mohon ijin untuk masuk maka beliau menutupi pahanya dengan kainnya. Ketika mereka telah berdiri dan pergi saya berkata; 'Wahai Rasulullah! Abu Bakar dan Umar memohon ijin masuk kepada engkau dan engkau mengijinkannya sedangkan engkau masih dalam keadaan tersingkap pahanya, namun ketika Utsman datang memohon ijin masuk lantas engkau menutup paha engkau dengan kainmu, Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Wahai Aisyah! Apakah saya tidak malu dari seorang lelaki yang demi Allah, sesungguhnya Malaikat malu darinya." Musnad Ahmad no 23194
Dalam menyelesaikan pertentangan di atas, at-Tahawi menggunakan metode tarjih, hadis yang pertama adalah tarjih dan yang kedua marjuh, sementara Ibn Qutaibah menggunakan metode al-jam’u, karena masing-masing hadis mempunyai konteks yang berbeda..[13]

3.      Hadis-hadis yang bertentangan dengan fakta ilmiah atau sains
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَارِثِ الْمِصْرِيَّانِ قَالَا حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ فِي الْحَبَّةِ السَّوْدَاءِ شِفَاءً مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا السَّامَ وَالسَّامُ الْمَوْتُ وَالْحَبَّةُ السَّوْدَاءُ الشُّونِيزُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh dan Muhammad bin Al Harits Al Mushriyan keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Al Laits bin Sa'd dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman dan Sa'id bin Al Musayyab bahwa Abu Hurairah mengabarkan kepada keduanya, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya dalam habbatus sauda' (jintan hitam) terdapat obat dari segala jenis penyakit kecuali as saam, dan as saam adalah kematian, dan habbatus sauda' adalah Asy syuniz.". Sunan Ibn Majah no 3438
Hadis di atas oleh beberapa ahli medis dianggap bertentangan dengan sains. Letak pertentangannya karena dianggap tidak sesuai dengan kenyataan ilmu pengetahuan dan fenomena kehidupan yang menunjukkan bahwa masih banyak penyakit yang belum bisa terobati.[14]
4.      Hadis-hadis yang bertentangan dengan akal/logika
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى سَوْأَةِ بَعْضٍ وَكَانَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلَّا أَنَّهُ آدَرُ قَالَ فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ الْحَجَرُ بِثَوْبِهِ قَالَ فَجَمَحَ مُوسَى بِإِثْرِهِ يَقُولُ ثَوْبِي حَجَرُ ثَوْبِي حَجَرُ حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى سَوْأَةِ مُوسَى قَالُوا وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ فَقَامَ الْحَجَرُ حَتَّى نُظِرَ إِلَيْهِ قَالَ فَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَاللَّهِ إِنَّهُ بِالْحَجَرِ نَدَبٌ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبُ مُوسَى بِالْحَجَرِ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi' telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Hammam bin Munabbih dia berkata, ini adalah sesuatu yang diceritakan Abu Hurairah dari Muhammad, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam maka dia menyebutkan beberapa hadits darinya. Dan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam pernah bersabda, "Dahulu, orang-orang Bani Israil mandi telanjang. Sebagian mereka melihat aurat sebagian yang lain. Dahulu Musa 'Alaihissalam juga mandi sendirian. Lalu Mereka berkata, 'Demi Allah, sesuatu yang menyebabkan Musa tidak mau mandi bersama dengan kita ialah karena penyakit pada zakar yang menjadikannya mengembang.' Suatu ketika Musa mandi. Dia letakkan pakaiannya di atas sebuah batu. Tiba-tiba batu tadi bergerak dengan membawa pakaiannya. Musa berlari mengejarnya sambil berteriak, 'Hai batu! Tinggalkan pakaianku! Hai batu! Tinggalkan pakaianku! Sehingga orang-orang Bani Israil dapat melihat aurat Musa.' Kemudian mereka berkata, 'Demi Allah ternyata Musa tiada sedikit pun aib penyakit.' Setelah itu batu tersebut berhenti lalu Musa mengambil pakaiannya kemudian memukul batu tadi'." Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, pada batu tadi terdapat bekas pukulan Musa, tujuh atau enam kali pukulan." Sahih Muslim no 513
Meskipun hadis di atas diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, namun oleh beberapa kalangan dianggap musykil dan mukhtalif, karena tidak sejalan dan selaras dengan nalar dan logika manusia. Bagaimana mungkin seorang Nabi Musa a.s mandi di ruang terbuka dengan tanpa mengenakan sehelai pakaian pun, sehingga terlihat kemaluannya di hadapan umum? Selain itu bagaimana mungkin sebuah batu dapat berjalan dan bergerak dengan sendirinya? Hal tersebut adalah aneh dan tidak bisa diterima oleh akal manusia.[15]
5.      Hadis-hadis yang bertentangan dengan ijma’
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ ذَكْوَانَ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَرِبُوا الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُمْ ثُمَّ إِنْ شَرِبُوا فَاجْلِدُوهُمْ ثُمَّ إِنْ شَرِبُوا فَاجْلِدُوهُمْ ثُمَّ إِنْ شَرِبُوا فَاقْتُلُوهُمْ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بِهَذَا الْمَعْنَى قَالَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ فِي الْخَامِسَةِ إِنْ شَرِبَهَا فَاقْتُلُوهُ قَالَ أَبُو دَاوُد وَكَذَا فِي حَدِيثِ أَبِي غُطَيْفٍ فِي الْخَامِسَةِ
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Aban dari Ashim dari Abu Shalih Dzakwan dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika mereka minum khamer maka cambuklah, jika mereka minum lagi maka cambuklah, jika mereka minum lagi maka cambuklah, dan jika mereka minum lagi maka bunuhlah." Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Humaid bin Yazid dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dengan makna tersebut. Ia (perawi) berkata, "Menurutku beliau bersabda pada kali kelima: "Jika ia meminumnya lagi maka bunuhlah." Abu Dawud berkata, "Dalam hadits Abu Ghuthaif juga dengan lafadz 'pada kali kelima'." Sunan Abu Daud no 3886
Hadis di atas menyatakan bahwa orang yang minum khamr harus dicambuk, dan jika terus berulang sampai empat kali, harus dirajam (bunuh). Hal ini dianggap bertentangan dengan ijma’, yang menyatakan bahwa hukum di atas telah dinaskh oleh hadis lain yang menyatakan bahwa hukuman bagi orang yang minum khamr adalah dipukul, tidak sampai dibunuh.[16]
Hadis-hadis di atas juga disebut para ulama dengan Hadis Musykil dikarenakan isinya mengandung kemusykilan dalam isi dan pemahamannya. Oleh karena alasan demikian beberapa ulama menyamakan antara istilah Mukhtalif al-Hadis dengan Musykil al-Hadis.
Sedangkan untuk penyelesaian hadis muhktalif para ulama menawarkan berbagai metode yang bermacam-macam, dan dari beberapa metode yang ditawarkan oleh ulama maka secara global, metode penyelesaian hadis mukhtalif tersebut bisa dirumuskan ke dalam empat metode, yaitu: Pertama, metode al-Jam’u, Kedua, metode at-Tarjih, Ketiga, metode an-Naskh, dan Keempat, metode at-Tasaqut atau dalam istilah Ibn Hajar al-Asqalani, disebut dengan metode at-Tawaquf.[17] Dan apabila kedua hadis mukhtalif sama kuatnya dan tidak dapat dikompromikan diambil titik temunya, maka keduanya dihukumi sebagai hadis mudhtarib dan dhaif.[18]

E.       Problematika Ilmu Muhktalif al-Hadis
Dalam ilmu ini, yang menjadi problematika adalah nama dan penentuan hadis tersebut. Sebagaimana definisi yang telah disebutkan sebelumnya, sebenarnya masih menyisakan permasalahan tersendiri. Oleh karena itu sebagai tambahan informasi mengenai problematika ini guna memberikan pencerahan akan beberapa perbedaan ini.
Ada beberapa nama yang menurut sebagian ulama dianggap sama atau berhubungan erat dengan Ilmu Mukhtalif al-Hadis. Di antaranya ada yang menyebutnya dengan Ilmu Mukhtalaf al-Hadis, Ilmu Musykil al-Hadis, Ilmu Gharib al-Hadis dan ada juga yang menyebutnya dengan Ilmu Talfiq al-Hadis dan Ilmu Ta’wil al-Hadis.
Disebut dengan Ilmu Mukhtalaf al-Hadis karena ilmu ini membahas hadis-hadis yang secara zahir “dianggap bertentangan atau berbeda” dengan yang lainnya, walaupun pada hakikatnya belum tentu hadis itu bertentangan. Disebut dengan Ilmu Mukhtalif al-Hadis karena hadis-hadis itu secara zahir “bertentangan atau berbeda” dengan dalil yang lainnya, walaupun setelah dipahami dengan menggunakan metode yang tepat, hilanglah pertentangan itu. Jadi, titik tekannya ada pada persepsi awal pembaca hadis. Sementara yang menyebut dengan Ilmu Musykil al-Hadis, karena ilmu ini membahas hadis-hadis yang sulit dipahami atau menimbulkan musykilah dari segi pemahaman, baik itu karena adanya pertentangan dengan dalil lain, atau ketidakjelasan dan kekaburan makna. Sedangkan penyebutan dengan Ilmu Gharib al-Hadis dilihat dari sisi kejanggalan, keanehan dan keasingan redaksi yang dipakai. Disebut dengan Ilmu Ta’wil al-Hadis karena hadis-hadis kontradiktif tadi bisa dipahami maksudnya secara tepat setelah dilakukan upaya pengkompromian atau melalui metode takwil, namun jika dengan jalan kompromi masih belum bisa ditemukan titik temunya, maka kemungkinan lain telah terjadi pembatalan hukum antara hadis-hadis kontradiktif tadi. Dalam kondisi seperti ini, maka kajian telah masuk ke dalam wilayah Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh atau Tarjih.[19]
Dengan mengetahui macam definisi, perspektif dan sudut pandang masing-masing di atas, sebenarnya tidak ada masalah dalam perbedaan nama tersebut, sedangkan penulis memilih nama Ilmu Mukhtalif al-Hadis karena berdasarkan argumen yang telah dikemukakan sebelumnya.   
Sedangkan problematika penentuan hadis yaitu ketidaksepakatan para ulama mengenai hadis-hadis yang dianggap bertentangan. Suatu hadis dianggap sebagian ulama bertentangan, dan sebagian lain menganggapnya tidak. Begitu pula dalam definisi lain semisal Ilmu Musykil al-Hadis, sebagian ulama menganggap suatu hadis itu mengandung musykilah, sedangkan sebagian ulama yang lain tidak. Juga seperti dalam Ilmu Gharib al-Hadis, ada sebuah kata yang dianggap sebagian ulama adalah kata yang asing sedangkan bagi sebagian ulama yang lain tidak.
Perbedaan ulama dalam hal ini tidak lain disebabkan oleh pertentangan itu sendiri yang bersifat relatif yang juga terdapat pada kemusykilan dan keasingan kata. Maka dari itu, kerelatifan tidak perlu dipertentangkan, karena relatif merupakan hal yang tidak pasti dan sering menimbulkan perbedaan karena berbeda perspektif dan sudut pandang masing-masing yang melatarbelakanginya.

   F.  Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadis yang nampaknya bertentangan itu perlu dilihat lagi. Karena ada yang benar-benar bertentangan dan ada yang hanya merupakan variasi. Hadis yang bertentangan sendiri ada yang bertentangan dengan al-Quran, Hadis, fakta sains, logika akal sehat dan ijma’ ulama. Untuk hadis yang bertentangan dengan sesama hadis itu dinamakan Hadis Mukhtalif. Sedangkan untuk yang lainnya itu dinamakan Hadis Musykil.


Hadis Mukhtalif sendiri memiliki beberapa syarat agar bisa dinamakan sebagai hadis yang bertentangan. Adapun cara-cara yang ditempuh ulama untuk mengatasi hadis yang nampaknya bertentangan dengan empat cara, yakni, al-Jam’u, al-Tarjih, al-Naskh, dan al-Tauqif. Problematika yang terdapat dalam Hadis Mukhtalif adalah perbedaan pendapat ulama tentangnya. Ada yang menganggapnya bertentangan dan ada yang menganggapnya belum. Bahkan setelah kita benar-benar melakukan tahapan-tahapan untuk mengatasi pertentangannya itu, bisa saja ada ulama yang menganggapnya masih bertentangan. Dan perbedaan ulama mengenai ini tidak terlepas dari kemusykilan dan pertentangan itu sendiri merupakan hal yang relatif dan tidak ada tolak ukur yang pasti mengenainya.

   G.    Daftar Pustaka
Jamaluddin, Burhan. 2008. Ulumul Hadis dan Musthalah Hadis. Jombang: Darul Hikmah.
Qutaibah, Ibn. 2006. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis. Kairo: Dar al-Hadis.
Asror, Miftahul dan Imam Musbikin. 2015. Membedah Hadis Nabi SAW. Madiun: Jaya Star Nine.
A.B, Misbah. 2014. Mutiara Ilmu Hadis. Gresik: Mitra Pesantren
Zein, Muhammad Ma’shum. Ulumul Hadis Dan Musthalah Hadis.  Jombang: Darul-hikmah.
Itr, Nuruddin. 2014. ‘Ulumul Hadis. terj. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Noorhidayati, Salamah. 2013. Ilmu Mukhtalif al-Hadis: Kajian Metododologis dan Praktis. Tulungagung: STAIN Tulungagung Press.
Al-Shalih, Subhi. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.



[1] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, terj. Mujiyo, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 350.
[2] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis: Kajian Metododologis dan Praktis, Tulungagung: STAIN Tulungagung Press, 2013, hlm. 13-14.  
[3] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 22
[4] Burhan Jamaluddin, Ulumul Hadis dan Musthalah Hadis, Jombang: Darul Hikmah, 2008, hlm. 100.
[5] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 33.
[6] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 26-27.
[7] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj.    Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2013, hlm. 114.
[8] Miftahul Asror dan Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi SAW. Madiun: Jaya Star Nine, 2015, hlm. 373.
[9] Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadis Dan Musthalah Hadis.  Jombang: Darul-hikmah, 2008, hlm. 101.
[10] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis, Gresik: Mitra Pesantren, 2014, hlm. 332
[11] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 27.
[12] Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, Kairo: Dar al-Hadis, 2006, h. 147-148.
[13] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 36-38.
[14] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 38-39.
[15] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 40-42.
[16] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 43.
[17] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 112.
[18] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, hlm. 354.
[19] Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, hlm. 25-26.

0 komentar:

Post a Comment