DIN-I-ILAHI


DIN-I-ILAHI, wikimedia.org

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan puja dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayat, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Din-i-Ilahi.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Umat Islam Masa Pertengahan. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca demi perbaikan penulisan makalah kedepannya.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Din-i-Ilahi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, 2 April 2019

Penyusun

BAB I 
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dinasti Mughal adalah salah satu dari tiga kerajaan besar yang ada pada periode pertengahan. Sebelumnya di tanah Hindustan telah berdiri dinasti Ghazni, dinasti Ghuri dan Kesultanan Delhi (awal kekuasaan Turki di India). Namun dinasti-dinasti tersebut belum mampu mencapai kejayaannya. Lain mulanya dengan dinasti Mughal yang berhasil mempersembahkan sebuah kemajuan sehingga mampu bersinar dan berjaya pada masanya. Dinasti ini mampu menciptakan berbagai revolusi dari segala aspek, mulai dari politik, militer, ekonomi agama, ilmu pengetahuan, seni dan arsitektur.
Sultan yang pernah berkuasa di dinasti Mughal adalah Babur, Humayun, Akbar, Jahangir, Shah Jahan, Aurangzeb, dan lain-lain. Dinasti Mughal mencapai puncak keemasannya ketika diperintah oleh Jalaludin Muhammad Akbar atau terkenal dengan nama Sultan Akbar (1560-1605 M). Ia tidak hanya menjadi seorang raja yang brilian tapi juga karena usahanya untuk menciptakan masyarakat sekuler dan toleran. Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Sultan Akbar selama memerintah kerajaan Mughal ialah menawarkan konsep penyatuan agama yang disebut dengan Din-i-Ilahi. Konsep Din-i-Ilahi ini mendapat banyak kecaman dari kaum ortodoks Islam sebab dengan terwujudnya ide Din-i-Ilahi ini, maka agama Islam agak tertekan, sedangkan agama Hindu dan Sikh serta missionaris Kristen agak mendapat angin.  Kebijakan ini sangat kontroversial karena di ambil dari intisari semua agama yang berkembang di India seperti Islam, Hindu, Buddha, Jaina, Kristen dan Sikh. Kebijakan ini berakhir setelah Sultan Akbar meninggal dan digantikan oleh putranya yaitu Jahangir. Jahangir tidak menerapkan kebijakan Din-i-Ilahi karena menurutnya ajaran-ajarannya melenceng dari ajaran agama Islam dan membuat umat Islam terpecah belah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi singkat Sultan Akbar ?
2. Bagaimana situasi keagamaan di masa Sultan Akbar ?
3. Bagaimana konsep Din-i-Ilahi ?
4. Apa dampak adanya Din-i-Ilahi ?

C. TUJUAN PENULISAN 
1. Untuk mengetahui biografi singkat dari Sultan Akbar. 
2. Untuk mendeskripsikan kehidupan keagamaan kerajaan Mughal pada masa pemerintahan Sultan Akbar.
3. Untuk menjelaskan konsep Din-i-Ilahi yang diterapkan pada masa Sultan Akbar.
4. Untuk mengetahui dampak adanya kebijakan Din-i-Ilahi bagi kehidupan keagamaan di kerajaan Mughal.

BAB II 
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI SINGKAT SULTAN AKBAR
Jalaludin Muhamma Akbar (1560-1605 M) dilahirkan tanggal 15 Oktober 1542. Ia adalah sultan Mughal ketika India. Akbar berhasil menyatukan kembali kerajaan Islam di India. Ia berhasil memeprluas batas wilayah negaranya dari Kabul di barat hingga Bihar di Timur yang sebelumnya kerajaan itu terkoyak-koyak setelah Babur meninggal. Akbar adalah seorang pemberani, berwatak keras, senang berperang, berburu dan memanah. Kakeknya Babur, pernah berwasiat agar ia tidak mempersulit kehidupan rakyat yang tidak muslim, karena hal itu merupakan cara yang paling bijaksana dalam memperingan masalah-masalah hukum di India. Akbar sendiri memulainya dengan menikahi wanita Hindu. Dia memperbolehkan istrinya dan wanita-wanita Harem lainnya untuk mengerjakan ajaran-ajaran agma mereka di istana dengan sebebas-bebasnya. Bahkan Akbar juga mengundang para pendeta Kristen dan para pendakwah ke istananya untuk berdiskusi dengan para ahli fikih Muslim dengan tetap memegang akidah Islam yang benar. Dia melihat bahwa untuk menjamin kedamaian masyarakat Islam di India, Islam harus menerima unsur-unsur dari luar baik Hindu, Zoroaster maupun dari agama lainya.
Sistem pemerintahan Akbar adalah militeristik. Pemerintah pusat dipimpin oleh raja. Selama menjalankan pemerintahannya, Akbar menekankan terciptanya stabilitas dan keamanan dalam negeri. Dia menyadari bahwa masyarakat India merupakan masyarakat yang plural baik dari segi agama maupun etnis. Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya bertujuan untuk menjaga persatuan wilayahnya.
Selain merupakan seorang negarawan sekaligus jenderal besar, sultan Akbar juga lebih menarik sebagai seorang pemikir dan pembaharu keagamaan. Din-i-Ilahi sinkretisnya memperlihatkan keingintahuan yang mendalam tentang agama-agama pada umumnya. Orang-orang Hindu dapat berpartisipasi dan turut mengarahkan jalannya kekaisaran. Di bawah sultan Akbar inilah sistem pemerintahan kekaisaran terbentuk dan dia memperlihatkan berbagai etnis kedalam suatu kelas penguasa yamng meliputi orang Turki, Aghanistan, Persia dan Hindu.
B. KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI MASA SULTAN AKBAR
1. Agama Islam
Sebelum sultan Akbar naik tahta, pemerintahan di India telah diwarnai oleh kaum ortodoks Sunni, baik di masa dinasti Ghaznawi dan Ghor, atau di masa kesultanan Delhi dan dinasti Sur. Namun ketika terjadinya disintegrasi pada kesultanaan Delhi, beberapa negara bagian di India menyatakan Syiah Itsna’ Asy’ariyah sebagai agama negara, seperti Bijapur pada tahun 1502 dan Ahmadagar tahun 1537. Penyebabnya adalah adanya pengaruh dari kerajaan Safawi di Persia (1501-1722) yang menganut aliran Syi’ah Itsna’ Asy’ariyah sebagai agama resmi negara. Meskipun begitu, kaum ortodoks Sunni masih tetap menjadi mayoritas yang paling berpengaruh. Sejak awal berdirinya kerajaan Mughal sampai dengan pertengahan pemerintahan Sultan Akbar, para ulama sangat memegang peranan penting dalam berbagai persoalan yang berkaitan dengan agama dan kemasyarakatan.
Sultan Akbar pada mulanya sangat antusias dalam mengembangkan agama Islam. Hal ini terbukti dengan didirikannya Ibadat Khana  (982 H / 1574 M) di negeri-negeri yang berhasil di taklukkannya, seperti Gondwana, Chitor, Ranthamanbor, Kalanjar dan Gujarat. Selain itu sultan Akbar sering menziarahi makam Mu’inuddin Chistiy di Ajmer dan gemar mendengarkan pelajaran agama melalui Syekh Abdul Nabi. Hal ini menunjukkan tingginya semangat agama Islam Sultan Akbar.
2. Agama Hindu
Agama Hindu berkembang perlahan melalui percampuran sistem kepercayaan yang dibawa oleh bangsa Arya kira-kira 1500 SM dengan kepercayaan asli bangsa Dravida yang mereka taklukkan. Didalamnya termuat juga kebudayaan rakyat Harappa yang tinggi peradabannya dari lembah Indus.
Pada masa periode Veda, kira-kira 600 SM timbul ajaran baru dalam agama Hindu yaitu kelahiran kembali (reincarnation of the soul) yang digabungkan dengan ide karma yaitu undang-undang fundamental sebab-akibat. Sedangkan pada masa periode Epik, kurang lebih 200 M muncul ajaran pembagian manusia ke dalam empat kelas atau varna, yaitu Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan Sudra. Sesudahnya muncul pula kelas kelima yang tidak dapat disentuh yaitu Pariya.
Interaksi antara Islam dan Hindu pertama kali dilakukan oleh Kabir. Ia adalah seorang agamawan radikal yang menentang agama Islam dan sekte-sekte Hindu. Beberapa ajarannya adalah penentangannya terhadap politeisme, penyembahan berhala dan kasta. Dia mengutuk formalitas muslim dan berusaha keras untuk menghilangkan penghalang antara orang-orang Hindu dan Islam.
3. Agama Sikh
Agama Sikh muncul pada awal abad ke-16 sebagai sinkretisme dari agama Hindu dan Islam. Peletak dasar agama Sikh adalah Nanak. Dia dilahirkan di Nankana, 40 mil dari Lahore tahun 1469. Sasaran dakwah Nanak adalah orang-orang Islam dan Hindu. Meskipun pada masa itu tidak lazim menyamakan agama Hindu dan Islam, akan tetapi Nanak tidak mempedulikan hal itu.
Ajaran nanak terdiri atas cinta kepada Tuhan, cinta kepada manusia dan cinta kepada makhluk Tuhan. Para pengikutnya menamakan dirinya Sikh yang berasal dari bahasa SansEkerta sishya, berarti seorang pelajar atau seorang yang memperoleh pelajaran spiritual dari seorang guru. Perkumpulan Sikh dinamakan Sangat. Tempat-tempat orang Sikh berkumpul mendengarkan khutbah gurunya dan bernyanyi bersama memuji Tuhan terkenal sebagai Gurdwaras.
Pada awalnya Sikh merupakan sekte dalam agama Hindu tetapi pada masa Guru ke-5, Arjun, yang semasa dengan Sultan Akbar, sekte ini berkembang menjadi sebuah agama yang berdiri sendiri. Tujuannya adalah Guru Arjun ingin meninggikan status Sikhisme dari sebuah aliran menjadi sebuah agama. Ia mengumpulkan himne-himne Sikh menjadi sebuah buku suci yang bernama Adi Granth sebagai kitab suci kepercayaan agama Sikh.
4. Agama Kristen
Penyebaran agama Kristen di India dilakukan olehnya orang-orang Portugis yang berhasil menguasai Goa oleh Alfonso d’Albuquerque tahun 1510. Selain itu ada pula kelompok Jesuit atau masyarakat Yesus yang merupakan sebuah ordo agama Katolik Roma yang didirikan oleh St. Ignatius Loyola. Jesuit terdiri dari sejumlah orang pendeta yang telah disumpah untuk menjadi miskin, terhormat dan patuh. Tujuan Loyola membentuk Jesuit adalah untuk menyediakan sekawanan pendeta pengabdi yang seluruh kehidupannya dibaktikan untuk kebutuhan gereja.
Hubungan Sultan Akbar dengan orang-orang Jesuit ini bermula dari adanya perhatian Sultan Akbar terhadap persoalan agama dan keinginannya untuk mengetahui lebih banyak tentang kebenaran. Sultan Akbar mengundang mereka untuk berperan serta dalam perdebatan di Ibadat Khana. Kesempatan ini digunakan oleh para Jesuit untuk mengkonversi Sultan Akbar. Dalam tiga kali misi yang diutus dari Goa ke istana Mughal membawa harapan membujuk Sultan Akbar agar mau memperkenalkan agama Kristen di daerah kekuasaannya dan meminta sang Sultan untuk memeluk agama Kristen. Namun Sultan Akbar selalu menolaknya dengan halus. Orang-orang Jesuit ini hanya berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan gereja di Agra, Lahore dan Cambay. 

C. KONSEP DIN-I-ILAHI
1. Sebab munculnya Din-i-Ilahi
Pada awalnya Sultan Akbar adalah seorang penganut Sunni yang taat. Dia menunaikan shalat lima waktu berjama’ah, mengumandangkan azan, membersihkan masjid, menghormati dua pimpinan agama utama di istana yaitu Makhdum-ul Mulk dan Syekh Abdul Nabi. Syekh Abdul Nabi diberi otoritas yang pemegang jabatan lain tidak pernah menikmatinya. Sultan Akbar sering pergi ke rumahnya untuk mendengarkan dakwahnya mengenai hadist Nabi saw dan menyerahkan pengasuhan Pangeran Salim kepadanya. Bukti lain ialah Sultan Akbar selalu menziarahi makam sufi Chistiyah yaitu Khawaja Muinuddin di Ajmer setiap tahunnya.
Kekecewaannya pada kaum ortodoks Sunni berawal dari kegiatan diskusi keagamaan yang diadakannya di Ibadat Khana selalu diwarnai dengan pertengkaran, saling menghina, dan memojokkan lawan. Selain itu dua pejabat tertinggi keagamaan istana yaitu Makdamul Mulk dan Syekh Abdul Nabi kerap terlibat dalam perdebatan keras seputar masalah-masalah agama. Kekecewaan Sultan Akbar mencapai puncaknya ketika Syekh Abdul Nabi sebagai Sadrul Sudur menjatuhkan hukuman mati kepada seorang brahmana yang didakwa mengambil material membangun masjid untuk membangun candi, mengutuk Nabi Muhammad saw dan menunjukkan kebenciannya kepada orang-orang Islam dengan berbagai cara. Keputusan Syekh Abdul Nabi ini mendapat kritik keras dari pejabat- pejabat istana yang beragama Hindu dan istri Sultan Akbar sendiri dari suku Rajput, sehingga hal tersebut menyulitkan posisi Sultan Akbar.
Lalu Sultan Akbar pun datang kepada Syekh Mubarak, seorang ulama yang memiliki pikiran bebas. Beliau menerangkan bahwa menurut undang-undang Islam, jika ada pertikaian pendapat antara ahli hukum maka kepala pemerintahan Isalm memiliki hak untuk memilih salah satu pendapat tersebut. Dari sinilah kemudian disusun dokumen yang berisi bahwa Akbar memiliki otoritas untuk memilih pendapat yang menguntungkan bangsa jika terjadi perselisihan. Selain itu akbar juga berhak mengeluarkan perintah baru yang tidak hanya sesuai ajaran Islam namun juga menguntungkan berbagai bangsa.
Melalui dokumen tersebut, Sultan Akbar kemudian membuka Ibadat Khana yang pada awalnya hanya diperuntukkan bagi muslim, kemudian terbuka bagi seluruh agama yang ada di India. Akbar mengumumkan suatu pembaharuan yaitu sijda atau sujud ketika menghadap raja, dikenal dengan zaminbos. Dengan diumumkannya sijda ini, maka resmilah Sultan Akbar menyatakan gagasannya tentang Din-i-Ilahi yaitu sebuah ajaran yang memandang semua agama adalah sama dan agar semua rakyat mendapat keadilan yang sama. Din-i-Ilahi bukanlah sebuah agama baru, melainkan sebuah perkumpulan yang memiliki tujuan agar semua orang masuk ke dalam perkumpulan itu, terutama pembesar kerajaan baik Islam atau Hindu, dengan loyalitas dan rela berkorban untuk kepentingan Akbar. Meskipun begitu, Sultan Akbar sendiri tidak pernah memaksakan gagasannya tersebut kepada siapa pun juga. 

2. Pokok-pokok ajaran Din-i-Ilahi
Pokok ajaran Din-i-Ilahi versi Abul Fazl :
a. Untuk menjadi pengikut Din-i-Ilahi, kandidat dengan serban di tangannya harus meletakkan kepalanya di kaki Sultan Akbar dan melepaskan dari dari segala benttuk keangkuhan, keegoisan dan kejahatan. Kemudian Sultan Akbar mengembangkan tangan kandidat, menegakkannya dan meletakkan serban tersebut di kepalanya.
b. Ketika berjumpa dengan temannya, anggota Din-i-Ilahi harus mengucapkan “Allahu Akbar” dan dijawab “Jalla Jallahu”.
c. Para anggota Din-i-Ilahi selama masa hidupnya harus mempersiapkan makanan untuk peringatan kematiannya. Namun anggota Din-i-Ilahi harus melakukan pesta yang mewah ketika hari ulang tahunnya.
d. Berusaha tidak memakan daging, terutama ketika bulan kelahiran anggota. Tidak boleh memakan sembelihan sendiri, tidak boleh memakai tempat yang sama yang pernah dipakai oleh tukang daging, penangkap ikan dan penangkap burung.
e. Tidak boleh bergaul dengan wanita hamil atau mandul dan gadis-gadis yang belum akil baligh.

Pokok Din-i-Ilahi versi Badauni :
a. Dibolehkannya minum  anggur jika sekadar untuk menguatkan badan, serta hukuman yang ketat bagi pemabuk yang membuat keonaran. Praktek prostitusi dilokalisasi di suatu tempat yang dinamakan Shaitanpura atau Desa Syetan.
b. Larangan menyentuh dan memakan daging sapi. Tahun 999 H / 1490 M melarang total memakan daging sapi, keerbau, kambing, kuda dan unta. Sebaliknya menghalalkan daging daging babi, anjing dan singa sebab adanya pengaruh ajaran reinkarnasi dari agama Hindu.
c. Dilarang menikah dengan saudara sepupu dan famili dekat. Batasan minimal usia untuk pernikahan, anak laki-laki 16 tahun dan anak perempuan 14 tahun.
d. Diwajibkan memakai perhiasan dan pakaian sutra saat sembahyang dan tidak wajibnya mandi junub.
e. Tidak boleh mengadakan pesta menghormati orang yang telah meninggal. Sebaliknya diganti dengan pesta perayaan ulang tahun yang disebut Ash-i-hayat.
f. Penghapusan kalender hijriyah dan pemberlakuan Tarikh-i-Ilahi yang tahun pertamanya dimulai dari Sultan Akbar naik tahta (963 H / 1556 M). Bulan-bulanya sama dengan nama bulan raja Persia lama. Empat belas hari raya yang sama dengan hari raya agama Zoroaster. Akan tetapi tetap mempertahankan shalat jama’ah Jum’at.
g. Larangan mempelajari bahasa arab, undang-undang Islam, tafsir Al-Qur’an, dan hadits. Sebaliknya memandang penting ilmu duniawi seperti astronomi, filsafat, ilmu kedokteran, matematika, syair, sejarah dan novel.
h. Menyembah matahari sebanyak empat kali sehari, di waktu pagi, sore, tengah hari dan tengah malam.
i. Ungkapan Allahu Akbar harus digunakan sebagai kop dalam semua surat, dan untuk segala macam tindakan yang dilarang dam Islam seperti memperbolehkan berjudi dan bertaruh serta uang kas negara dipinjamkan kepada para penjudi dengan bunga.
j. Tidak boleh poligami kecuali dalam istri keadaan mandul, para janda diperbolehkan kawin lagi, wanita Hindu yang suaminya meninggal tidak boleh ikut dibakar bersama jasad suaminya kecuali wanita tersebut menginginkannya.
k. Ketika bertemu satu sama lain harus mengucapkan “Allahu Akbar” dan “Jalla Jalaluhu”.
l. Kasus-kasus di kalangan orang Hindu diserahkan kepada Brahmana bukan kepada Qadhi Islam.
m. Jenazah dikubur dengan posisi kepala membujur ke timur dan kaki ke barat.
n. Khitan dilakukan sebelum anak berusia 12 tahun, setelah itu dibiarkan menurut kehendak anak tersebut.
o. Suami tidak boleh berdusta terhadap istrinya yang lebih tua 12 tahun usianya darinya. Anak gadis yang berkeliaran di kota tanpa kerudung atau tidak, wanita jelek dan wanita yang bertengkar dengan suaminya harus dibuang ke tempat prostitusi.
p. Orang tua boleh menjual anaknya dalam keadaan sulit namun harus membelinya kembali nanti jika sudah memiliki rezeki. Orang Hindu yang terpaksa masuk Islam diizinkan kembali ke agamanya. Tidak boleh ikut campur urusan agama orang lain dan setiap orang diperbolehkan pindah agama jika dia suka. Wanita Hindu yang jatuh cinta dengan orang muslim tidak diperkenankan mengubah agamanya.
q. Tidak boleh menghalangi orang yang ingin membuat gereja, candi, ataupun tempat penyembahan api.

D. DAMPAK DIN-I-ILAHI
Sultan Akbar tidak memaksakan gagasannya tentang Din-i-Ilahi kepada siapapun. Akan tetapi dia berusaha menyebarkannya kepada kalangan pejabat kerajaan. Mereka berjumlah 18 orang dimana 17 orang beragama Islam dan 1 orang beragama Hindu. Mereka adalah :
1. Abul Fazl (sekretaris kerajaan sekaligus sekretaris Din-i-Ilahi)
2. Fauzi (saudara Abul Fazl, penyair istana)
3. Syekh Mubarak (ayah Abu Fazl dan Fauzi)
4. Ja'far Beg Adat Khan (sejarawan dan penyair)
5. Qasim-i Kahi (penyair)
6. 'Abdus Salam (pelukis dan penyair istana)
7. A'z Khan Koka
8. Milla Shah Muhammad (sejarawan)
9. Sufi Ahmad
10.Sadr Jahan (Mufti kerajaan) dan 2 orang anaknya.
11. Mir Sharif
12. Sultan Khwaja (pejabat agama)
13. Mirza Jani (pemimpin Thathah)
14. Tapi (penyair dan komandan 200 pasukan berkuda)
15. Syaikhzada Gosala
16. Bir Bar (berasal dari agama Hindu)
Selama diberlakukannya Din-i-Ilahi, kalangan non muslim diikutsertakan dalam semua kegiatan diskusi yang dilakukan di Ibadat Khana. Hal ini memicu timbulnya pemberontakan di Jaunpur pada tahun 1579.  Selanjutnya dengan adanya pembaharuan agama itu sebagai akibat dari pertentangan kaum ulama Sunni sendiri dan sebagai upaya untuk menarik hati rakyat India yang mayoritas beragama Hindu, terjadi pula pemberontakan di Bihar yang menyebar hingga ke Benggala dan Kabul tahun 1579.
Muncul pula sosok Syekh Ahmad yang memberikan kritik terhadap pelaksanaan Din-i-Ilahi secara halus. Dalam surat-suratnya kepada Syekh Farid (ulama terdekat dengan Sultan Akbar) ia selalu menyuarakan ajaran-ajaran Islam pada umumnya, figur Nabi Muhammad saw sebagai panutan terbaik, peringatan tentang ulama duniawi, dan perhatian yang diberikan oleh Sultan Akbar kepada orang-orang Hindu telah menyebabkan mereka berani. Ketika Sultan Akbar wafat dan Jahangir naik tahta, Syekh Ahmad memahami bahwa itulah saat yang tepat untuk mengembalikan Islam dan kaum muslimin kepada posisi yang telah mereka miliki semula. Syekh Farid sendiri pun bertindak sesuai dengan nasihat yang diberikan oleh Syekh Ahmad sehingga mampu mengubah Jahangir menjadi seorang muslim Sunni. Kedua reaksi ini berhasil secara meyakinkan dengan bukti keluarnya dekrit dari Jahangir bahwa dia bersedia menjadi pembela kaum ortodoks Sunni.
BAB III
KESIMPULAN
Din-i-Ilahi adalah sebuah ajaran yang menghendaki semua rakyat mendapatkan perlakuan yang sama berdasarkan undang-undang keadilan. Gagasan ini diberlakukan pada masa Sultan Akbar yang memerintah di kerajaan Mughal. Penyebab munculnya ialah adanya kekecewaan Sultan Akbar terhadap ulama Sunni yang sering kali berselisih antar sesamanya dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada seorang Brahmana yang mengambil material untuk membangun masjid.
Wafatnya Sultan Akbar pada tanggal 15 Oktober 1605 menyebabkan berakhirnya praktik Din-i-Ilahi, karena Sultan Akbar hanya mengandalkan pengaruh dan contoh-contoh yang diberikannya. Beliau tidak mengangkat penerus untuk mempropagandakan gagasannya tersebut. Anaknya sendiri yaitu Jahangir yang naik tahta pada tanggal 21 Oktober 1605 tidak melanjutkan gagasan ayahnya tersebut. Ia hanya mempertahankan 1 ajaran Akbar yaitu sijda ketika menghadap raja. Sedangkan di masa pemerintahan Shah Jahan sijda resmi dihentikan karena sultan menganggapnya bertentangan dengan syariat. Begitu pula pada masa pemerintahan Aurangzeb, beliau sama sekali tidak mengindahkan ajaran Din-i-Ilahi. Politik pemerintahannya sepenuhnya diwarnai oleh dominasi ortodoks Sunni. Hal ini disebabkan adanya pengaruh tariqat Naqsabandiyah. Disamping itu pejabat tinggi kerajaan pun tidak memberikan dukungan bagi keeksistesian pembaharuan agama yang dilakukan oleh Sultan Akbar.

DAFTAR PUSTAKA
Sokah, Umar Asasuddin. Din-i-Ilahi : Kontroversi Keberagaman Sultan Akbar Agung 1560-1605. Yogyakarta : Ittaqa  Press. 1994.

0 komentar:

Post a Comment