Poligami Dalam Berbagai Pedapat

aa gaim, data:image

Perlu diketahui bahwa pada asalnya tidak ada perselisihan diantara para ulama’ tentang dibolehkannya berpoligami, mereka hanya berbeda pendapat tentang kebolehan statusnya apakah itu azimah atau rukhshah. Mereka sama-sama menyatakan bahwa adil merupakan syarat utama dalam kebolehan poligami, tapi dalam memahami syarat adil mereka juga saling berbeda pendapat. Berikut adalah penjelasannya sebagai berikut:
Kebolehan berpoligami ini sejalan dengan pandangan sebagai berikut:
1.      Islam mendapatkan masyarakat arab umumnya melakukan poligami dengan cara yang sewenang-wenang dan tidak terbatas, maka Islam memperbaiki kedudukan wanita dengan jalan memberi hak kepada mereka yang mesti dihormati oleh kaum pria, dan atas dasar ini pulalah poligami dibolehkan.
2.      Untuk mengatasi kekecewaan si suami karena istrinya mandul atau menderita sakit lumpuh dan sebagainya. Menutup poligami dalam keadaan seperti ini, akan mendorong sang suami memilih jalan yang kejam yaitu menceraikan istrinya untuk dapat kawin dengan wanita lain.
3.      Banyaknya jumlah wanita dari pria dan adanya peperangan yang mengakibatkan banyak korban, hal mana mengurangi jumlah pria dan semakin banyak wanita yang tidak bersuami. Menutup poligami artinya wanita yang tidak bersuami akan melakukan hubungan gelap dengan laki-laki secara terkutuk dan membawa masyarakat kepada bencana yang tidak diinginkan.
4.      Tiap-tiap bulan lebih kurang selama satu minggu si suami tidak dapat mendekati istrinya karena kedatangan haid dan dalam keadaan hamil enam bulan ke atas juga kurang baik didekati. Demikian juga sesudah melahirkan anak harus menunggu antara 40 sampai 60 hari. Sifat pria aktif dan agresif untuk menyerang dan jarang yang dapat menahan nafsunya disamping pada umumnya pria itu mata keranjang dan mempunyai pembawaan keinginan untuk berpoligami.
5.      Wanita sesudah usia umur 50 tahun tidak dapat hamil lagi, sedang pria sampai umur 100 tahun masih dapat menghamilkan. Jika seratus wanita berkumpul dengan seorang pria dalam masa satu tahun, maka kemungkinan akan melahirkan seratus bayi, tetapi seratus pria jika berkumpul dengan seorang wanita, maka tidak akan melahirkan seorang bayipun.
Atas dasar pandangan tersebut di atas, keizinan poligami hanyalah menyalurkan bagi pria yang berkepentingan dan mempunyai keyakinan bahwa ia sanggup berlaku adil sebagai salah satu kewajibannya untuk menghormati hak-hak wanita sebagai istri karena Islam mengharamkan berbuat zalim kepada manusia apalagi terhadap istrinya[1]. Dan menurut Ibrahim Hosen hukum kebolehan poligami merupakan azimah.
Akan tetapi sebagian Ulama Tafsir berpendirian bahwa hukum kebolehan berpoligami adalah rukhshah, dengan arti kata dibolehkan karena darurat. Jadi melakukan poligami dalam keadaan tidak darurat hukumnya adalah Haram. Selanjutnya menurut sebagian Ulama Tafsir tersebut bahwa kebolehan berpoligami yang hukumnya Rukhsah itu adalah di-qayid-kan dengan kesanggupan berlaku adil[2].
Dan yang dapat penulis kutip dari sumbernya adalah pendapat dalam Tafsir Fahrurrazy jilid 3 halaman 138, Tafsir Al-Manar juz 4 halaman 357-358 dan 369-370 dan Tafsir Al-Mughary juz 4 halaman 181. Kalau kita ikuti pembahasan ketiga Tafsir tersebut maka dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.     Kebolehan melakukan poligami mereka gantungkan pada syarat adil sebagai syarat mutlak atas dasar pandangan mereka bahwa ayat : فَانْكِحُوا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِسَاءِ مَثْنَى وَ ثُلثَ وَ رُبعَ   adalah diqayidkan dengan ayat: فَإنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذلِكَ أَدْنى أَلّا تَعُوْلُوا.
Atas dasar ayat ini mereka berpendirian bahwa melakukan poligami itu hukumnya dilarang. Hukum larangan ini mereka ambil dari fiil amar yang tersirat yang menjadi jawab syarat dalam ayat:  فَإنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوحِدَةً  jawab syarat tersebut dapat berbentuk  فَالْتَزِمُوا وَاحِدَةً  atau  وَاحِدَةً فَانْكِحُوا  atas dasar kaidah الأَمْرُ بِالشَّئِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ   mereka tafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
فَإنْ خِفْتُمْ ألّاتَعْدِلُوا فَلَاتَنْكِحُوا غَيْرَ وَحِدَةٍ
“Kalau kamu khawatir akan tidak berlaku adil, maka janganlah kamu menikahi lebih dari seorang wanita”.
Illat hukum larangan ini mereka ambil dari akhir ayat:
ذلِكَ أَدْنى أَلّا تَعُوْلُوا
“Hal demikian itu sekurang-kurangnya kamu tidak berlaku curang”.
Jadi illat hukum larangan berpoligami tersebut ialah menghindarkan kecurangan. Hukum larangan berpoligami mereka pandang ‘azimah, sedang hukum kebolehan melakukan poligami bagi yang sanggup berlaku adil adalah rukhshah karena darurat.
2.      Syarat adil bagi kebolehan berpoligami dipandang oleh mereka sebagai syarat hukum, dengan arti ketika terdapat keadilan maka terdapatlah hukum kebolehan berpoligami dan ketika tidak terdapat keadilan maka terdapatlah hukum larangan berpoligami. Larangan membawa pada batalnya pekerjaan yang dilarang. Disini mereka menggunakan kaidah : النَهْيُ يَدٌلُّ عَلى الفَسَادِ [3]
Kenyataan menunjukkan bahwa poligami itu membawa kehancuran rumah tangga. Dan kalau kita berpegang pada pendirian Ulama Tafsir yaitu kebolehan berpoligami itu adalah muqayyad, maka akan sejalanlah dengan kemaslahatan, akan tetapi dari segi kaidah Ushul Fiqh, pendirian Ulama Tafsir itu ternyata lemah.
Ulama Fiqh berpendirian bahwa kebolehan berpoligami itu adalah mutlak, maka bagaimanakah yang harus ditempuh oleh Ulama Fiqh dalam menghadapi kenyataan tersebut, sedangkan mutlaknya ayat Al-Quran tidak dapat diqayidkan kecuali oleh Al-Quran itu sendiri atau oleh sunnah. Dan kebolehan penguasa mengqayidkan mutlaknya ayat Al-Quran atau sunnah hukumnya masih diperselisihkan[4].


Dan menurut saya poligami itu dibolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi, saya tidak menganjurkannya terutama bagi orang-orang yang belum benar-benar mampu untuk berlaku adil. Karena pada dasarnya wanita itu tidak ingin dimadu atau lebih tepatnya tidak ingin kasih sayang dan perhatian suaminya dibagi pada wanita selain dirinya.




[1] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumiddin, 1971), hlm. 83-84.
[2] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, hlm. 88.
[3] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, hlm. 93-94.

[4] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, hlm. 95.

0 komentar:

Post a Comment