PUASA, https://storage.nu.or.id |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mukallaf. Di samping untuk menunaikan kewajiban, puasa adalah tangga untuk menuju tingkat ketakwaan. Dalam ibadah puasa terdapat banyak hikmah, dan hikmah akan mendatangkan ma’rifah, sementara ma’rifah akan mendatangkan yakin.
Untuk itu, agar puasa kita diterima oleh Allah swt. maka perlu memahami segala hal yang berkenaan dengan puasa, seperti dasar hukum, syarat-syarat, rukun, dan lain sebagainya.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana biografi penulis tafsir al-Munir?
2. Apa pengertian puasa?
3. Bagaimana penafsiran al-Qur’an tentang Puasa Menurut Tafsir al-Munir?
4. Apa saja macam-macam puasa?
5. Apa saja syarat-syarat puasa?
6. Apa saja rukun Puasa?
7. Apa saja hal-hal yang membatalkan puasa?
8. Siapa saja orang yang tidak wajib berpuasa?
9. Apa saja sunnah-sunnah berpuasa?
10. Apa saja hal-hal yang makruh dalam berpuasa?
C. Tujuan Kepenulisan
1. Untuk mengetahui pengertian puasa
2. Untuk mengetahui penafsiran al-Qur’an tentang puasa menurut tafsir al-Munir
3. Untuk mengetahui macam-macam puasa
4. Untuk mengetahui syarat-syarat puasa
5. Untuk mengetahui rukun Puasa
6. Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa
7. Untuk mengetahui orang-orang yang tidak wajib berpuasa
8. Untuk mengetahui sunnah-sunnah berpuasa
9. Untuk mengetahui hal-hal yang makruh dalam berpuasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Pengarang
Nama pengarang Tafsir al-Munir adalah Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafaaz-Zuhaili Abu ‘Ubadah. Ia dilahirkan di kawasan Dir `Athiyah pada tanggal 6 Maret 1932 dari orang tua yang terkenal dengan keshalehan dan ketaqwaannya. Ayahnya, Musthafaaz-Zuhaili, adalah seorang penghafal Alquran dan banyak melakukan kajian terhadap kandungannya. Ibunya bernama Fathimah binti Musthafa Sa`dah, dikenal dengan sosok yang kuat berpegang teguh pada ajaran agama.
Lazimnya anak-anak pada saat itu, Wahbah kecil belajar Alquran dan menghafalnya dalam waktu relatif singkat. Setelah menamatkan sekolah dasar, ayahnya menganjurkan kepada Wahbah untukmelanjutkan sekolah di Damaskus. Pada tahun 1946, Wahbah pindah ke Damskus untuk melanjutkan sekolah ke tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Setelah itu, Wahbah melanjutkan keperguruan tinggi dan meraih gelar sarjana mudanya di jurusan Ilmu-ilmu Syari`ah di Syuria.
Dalam menuntut ilmu, Wahbah tidak memadakan di negerinya sendiri. Ia harus mencari universitas yang lebih baik. Untuk itu, ia pindah ke Mesir, dan kuliyah di dua universitas sekaligus: Universitas Al-Azhar, jurusan Syari`ah dan Bahasa Arab; dan Universitas Ain Syams, jurusan Hukum. Setelah menyelesaikan kuliyah di du auniversitas tersebut, Wahbah melanjutkan pada jenjang berikutnya, program magister Universitas Cairo, jurusan Hukum Islam. Hanya dalam waktu dua tahun, Wahbah menyelesaikan program magisternya dengan judul tesis adz-Dzara’i` fi as-Siyasahasy-Syar`iyyahwa al-Fiqh al-Islamiy.
Semangat menuntut ilmu Wahbah tidak putus, ia melanjutkan pendidikannya sampai jenjang doktoral. Dengan judul penelitian Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy: Dirasatan Muqaranatan, ia berhasil menyelesaikan program doktoralnya pada tahun 1963. Majlis sidang pada saat itu terdiri dari ulama terkenal, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi pada saat itu). Majlis sidang sepakat untuk menganugrahkan Wahbah predikat “Sangat Memuaskan” (Syarafula), dan merekomendasikan disertasinya layak cetak serta dikirim ke universitas-universitas luar negeri.
Untuk menjadi ulama segudang ilmu, mestilah memiliki banyak guru. Begitu juga dengan Wahbah.
B. Pengertian Puasa
Arti ash-Shiyam, secara etimologi atau asal-usul kata adalah menahan diri dari sesuatu. Bila seseorang menahan diri untuk tidak bicara atau makan secara bahasa ia disebut sha-im.
Sementara itu, secara terminologi atau istilah syara’, puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.
C. Penafsiran al-Qur’an tentang Puasa Menurut Tafsir al-Munir
1. Surah al-Baqarah (2) : 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
a. I’raab:
(كَمَا كُتِبَ) huruf kaf menempati kedudukan nashb karena ia menjadi sifat bagi mashdar yang dihapusnya, taqdiirnya adalah (كتب عليكم الصيام كتابتة كماكتب ) dan kata maa adalah mashdariyyah, sehingga ia bermakna: (مثل كتا بته); atau karena ia menjadi haal dari kata ash-shiyaam, taqdiirnya adalah (كتب عليكم الصيام مشبهاكماكتب على الذين من قبلكم).
b. Balaaghah:
(كَمَا كُتِبَ) ini adalah tasybiih yang dikenal dengan istilah tasybiih mursal mujmal. Tasybiih di sisni berkenaan dengan kewajiban puasa, bukan tata caranya.
c. Mufradat lughawiyyah:
( كتب ) diwajibkan. ( الصيام ) dalam bahasa Arab, shiyaam artinya menahan diri dari sesuatu dan meninggalkannya. Sedang artinya dalam istilah syariat adalah menahan dari makan, minum, dan jimak sejak fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat dari orang yang memenuhi syarat puasa, demi mengharap pahala dari Allah dan mempersiapkan jiwa untuk takwa kepada Allah. (كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) yakni persamaan dengan puasa orang-orang terdahulu adalah dalam hal kefardhuannya. Namun ada pula yang berkata: Persamaan itu berkenaan dengan ukurannya (lamanya puasa). Ada pula yang berkata: sama dalam caranya, yaitu menahan diri dari makan dan minum. Pendapat pertama lebih kuat sebab untuk memahami ayat ini cukup dengan mengetahui bahwa Allah telah mewajibkan suatu puasa atas orang-orang sebelum kita, dan hal ini diakui oleh para penganut semua agama (sebab sudah diketahui bahwa puasa disyariatkan dalam semua agama).
d. Tafsir dan penjelasan
Allah mewajibkan puasa atas kalian sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang beriman, para pemeluk agama-agama lain sejak zaman Nabi Adam. Dia menyeru mereka dengan atribut “iman” yang menuntut untuk melaksanakan apa yang diserukan itu. Dia menjelaskan bahwa puasa adalah kewajiban atas seluruh manusia. Ini merupakan anjuran untuk menjalani puasa, sekaligus merupakan penjelasan bahwa perkara-perkara yang berat –apabila sudah menjadi umum (dikerjakan semua orang)- terasa ringan untuk dikerjakan, dan orang-orang yang melaksanakannya merasa santai dan tenteram karena perkara-perkara (yang berat) tersebut berlandaskan kebenaran, keadilan, dan persamaan.
Puasa menjadi penyuci jiwa, mendatangkan keridhoan Tuhan, dan mendidik jiwa agar bertakwa kepada Allah pada saat sepi dan ramai, membina kemauan, dan mengajarkan kesabaran dan ketahanan dalam menanggung kesusahan, penderitaan, dan penghindaran syahwat.
Puasa dapat mendidik jiwa untuk bertakwa terwujud dari beberapa aspek, yang terpenting di antaranya berikut ini:
a) Puasa memupuk di dalam jiwa rasa takut kepada Allah Ta’ala pada saat sepi dan ramai, sebab tidak ada yang mengawasi orang yang berpuasa kecuali Tuhannya.
b) Puasa meredakan syahwat dan mengurangi pengaruh dan kendalinya, sehingga ia kembali ke batas normal dan keadaan tenang.
c) Puasa memunculkan perasaan yang peka dan melahirkan rasa kasih sayang yang mendorong seseorang untuk memberi.
d) Puasa merealisasikan konsep persamaan antara si kaya dan si miskin, anatara orang terpandang dan rakyat biasa, dalam pelaksanaan satu kewajiban yang sama.
e) Puasa membiasakan kedisiplinan dalam penghidupan, pengekangan kehendak dalam tempo antara waktu sahur dan berbuka dalam satu waktu.
f) Puasa memperbarui struktur fisik, menguatkan kesehatan.
e. Fiqh kehidupan atau hukum-hukum
Ayat ini mengandung beberapa hukum, di antaranya:
a) Puasa punya keutamaan dan pahala yang besar.
b) Puasa mempersiapkan jiwa untuk ketakwaan.
2. Surah al-Baqarah (2) : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.”
a. Qiraa’aat
( فالان ) dibaca ( فالان ) oleh Warsy.
b. I’raab
(أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ) kata lailata berkedudukan manshuub sebagai zharf; ‘aamil yang menashabkannya adalah (أُحِلَّ).
(وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ) ini adalah jumlah ismiyyah yang menempati kedudukan nashb sebagai haal dari dhamiir (تُبَاشِرُوهُنَّ).
c. Balaaghah
(الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ) ini adalah kinayaah (ungkapan kiasan) tentang jimak, dan di sini dipakai kata sambung (إِلَىٰ) karena ungkapan ini mengandung makna “mencapai”.
(هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ) susunan ini disebut isti’aarah: suami dan istri–karena keduanya saling melingkupi pasangannya ketika berdekatan-diserupakan dengan pakaian yang melingkupi tubuh pemakainya.
(الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ) susunan ini juga termasuk isti’aarah. Yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah penyerupaan terangnya pagi dengan benang putih dan penyerupaan gelapnya malam dengan benang hitam. Kedua benang itu adalah majaaz. Penyerupaan dengan dua benang ini karena keduanya (terangnya psgi dan gelapnya malam) lemah pada saat matahari sedang terbit. Namun az-Zamakhsyari berkata: ini adalah tasybiih baliigh, karena firman-Nya (مِنَ الْفَجْرِ) membuatnya tidak termasuk jenis isti’aarah.
Firman-Nya (مِنَ الْفَجْرِ) adalah bayaan (penjelasan) bagi al-khaitul abyadh “benang putih”; dan yang dijelaskan hanya kata ini, sementara kata al-khaitul aswad tidak diberi penjelasan karena penjelasan bagi salah satunya terhitung sebagai penjelasan pula bagi yang lain. Boleh pula kata (مِنَ) berfungsi untuk menyatakan tab’iidh (pembagian), karena “benang putih” itu adalah sebagian dari fajar atau awal fajar.
d. Mufradat lughawiyyah
(لَيْلَةَ الصِّيَامِ) malam-malam puasa
(الرَّفَثُ) kata ini asalnya bermakna “perkataan kotor” atau “mengungkap secara terang-terangan perkara yang semestinya dinyatakan secara sindiran”; kemudian kata ini dipakai dengan makna “jimak” atau “segala sesuatu yang diinginkan laki-laki dari perempuan” karena biasanya hal itu tidak lepas dari “kekotoran”.
(هُنَّ لِبَاسٌ) masing-masing dari suami istri ibaratnya pakaian bagi pasangannya karena ia menutupi pasangannya-sebagaimana pakaian menutupi pemakainya-dan mencegahnya dari perbuatan maksiat. (تَخْتَانُونَ) kalian mengkhianati diri kalian dengan berjimak pada malam puasa.
(الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ) adalah putihnya (terangnya) siang yang pertama kali terlihat, seperti benang yang terbentang tipis kemudian menyebar.
(الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ) adalah hitamnya (gelapnya) malam yang membentang dan bercampur dengan terangnya siang, seakan-akan ia adalah benang yang dibentangkan. (مِنَ الْفَجْرِ) yakni fajar shadiq. Ini adalah kata penjelas (bayaan) bagi ungkapan al-khaithul-abyadh (benang putih). Adapun bayaan bagi al-khaithul-aswad dihapus, taqdiirnya adalah: (مناللَّيْلِ). Yang disebutkan hanya bayaan yang pertama karena penjelasan salah satunya merupakan penjelasan bagi kata yang lain. Allah menyerupakan keadaan terang yang muncul dengan kegelapan yang mengiringinya dengan dua benang: putih dan hitam yang terbentang.
(ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ) kemudian sempurnakan puasa dari fajar hingga (اللَّيْل) yakni terbenamnya matahari. Itmaamush-shaum artinya mengerjakan puasa secara sempurna.
(وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ) jangan menggauli istri-istri kalian. Al-Mubaasyarah artinya saling menyentuh kulit pasangan; tapi yang dimaksud di sini adalah jimak. (وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ) arti i’tikaf dalam bahasa Arab adalah berdiam dan tetap bertahan pada sesuatu. Sedangkan artinya dalam istilah syari’at adalah berdiam di masjid demi mendekatkan diri kepada Allah.
(حُدُودُ اللَّهِ) bentuk tunggal kata huduud adalah hadd, yang dalam bahasa Arab bermakna “pemisah antara dua hal/benda”, kemudian kata ini dipakai dengan makna “hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi hamba-hamba-Nya”. Kalau kalimat setelahnya adalah (فَلَا تَقْرَبُوهَا), berarti yang dimaksud adalah hukum-hukumNya, yakni apa yang dibatasi dan ditetapkan-Nya, maka manusia tidak boleh melampauinya. Tapi jika yang dimaksud dengan huduud adalah hukum-hukum secara umum, berarti yang dimaksud dengan firman-Nya (فَلَا تَقْرَبُوهَا) adalah “janganlah kalian melakukan pengubahan padanya”, atau “janganlah kalian mendekati batas yang memisahkan antara wilayah kebenaran dan wilayah kesesatan.
e. Asbabun nuzul
Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata: Kaum muslimin dulu makan, minum, menggauli istri selama mereka belum tidur. Kalau sudah tidur, mereka tidak mau melakukannya. Namun suatu ketika seorang laki-laki Anshar yang bernama Qish bin Shirma, menunaikan sholat Isya kemudian tidur, dan dia belum makan maupun minum, sehingga pada pagi harinya ia kepayahan. Dan umar pun pernah menggauli isterinya setelah ia tidur , maka keesokan harinya ia menemui nabi saw. dan menceritakan hal itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya , “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa“ sampai firman-Nya, “kemudian sempurnakanlah itu sampai (datang) malam”.
f. Sebab penambahan “Dari fajar”
Az-Zamakhsyari menulis: seandainya Allah tidak menyebut ungkapan (مِنَ الْفَجْرِ) tentu tidak diketahui bahwa kata khait (benang) dalam ayat ini adalah ungkapan isti’aarah. Setelah ditambah (مِنَ الْفَجْرِ), ungkapan ini berubah menjadi tasybiih baliigh dan bukan lagi tergolong isti’aarah.
g. Tafsir dan penjelasan
Ayat ini mengingatkan dan mengajari kaum mukminin tentang perkara yang mesti mereka perhatikan dalam puasa dan ibadah-ibadah lainnya, seperti ketaatan, keikhlasan, etika, dan hukum-hukum.
h. Hukum-hukum
a) Kebolehan jimak pada malam hari dan keharamannya pada siang hari, sama seperti makan dan minum. Dulu jimak itu haram setelah berbuka dan tidur, kemudian hukum ini dinasakh. Larangan-larangan puasa yang disebutkan dalam ayat ini antara lain: makan, minum, dan jimak. Adapun hal-hal yang hanya mengarah kepada jimak tidak membatalkan puasa. Tetapi dalam hal ini terjadi ikhtilaf di antara ulama.
b) Wajibnya menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan syarat niat sebelum fajar menurut jumhur ulama.
c) Jumhur ulama menganggap sah puasa orang yang masih junub ketika fajar terbit.
d) Wanita yang haid apabila telah suci. Jumhur berkata: Apabila wanita yang haid sudah suci sebelum fajar terbit dan ia tidak mandi hingga pagi, ia wajib berpuasa dan puasanya sah, baik ia tidak mandi secara sengaja maupun lupa, sama hukumnya dengan orang yang junub
e) Bekam tidak membatalkan puasa karena Nabi saw. dulu berbekam pada tahun haji Wada’ sementara beliau sedang ihram dan sedang puasa.
f) Barangsiapa ragu bahwa fajar telah terbit, maka ia harus berhenti makan. Jika ia makan padahal ia ragu, ia harus mengqadha, sama seperti orang yang makan karena lupa. Ini menurut Malik. Sedangkan Abu Hanifah dan Syafi’i berkata: Ia tidak menanggung apa-apa sampai jelas baginya bahwa fajar telah terbit. Jika sudah jelas bahwa fajar telah terbit (dan ia makan), ia wajib mengqadha, dengan kesepakatan para imam semua madzhab, dan ini didasarkan atas kaidah: laa ‘ibarata bizhzhannil-bayyini khatha’uhu (dugaan yang jelas kelirunya tidak diperhitungkan).
g) Firman Allah Ta’ala ( ) menunjukkan bahwa puasa wishal terlarang sebab malam merupakan ghaayah (batas akhir) puasa.
Menurut jumhur ulama, puasa wishal hukumnya makruh. Namun sebagian ulama mengharamkannya karena puasa ini bertentangan dengan lahiriah nash al-Qur’an dan tergolong perbuatan meniru ahli kitab.
h) Bagi orang yang berpuasa disunnahkan berbuka dengan beberapa kurma segar, kurma kering, atau beberapa teguk air putih.
Disunnahkan berdoa sesudah berbuka.
i) Disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawwal.
j) Jimak membatalkan i’tikaf, denngan dalil firman-Nya, “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”
k) Disunnahkan beri’tikaf di masjid.
l) Wajib manaati hukum-hukum (perintah dan larangan) Allah.
D. Macam-macam Puasa
1. Puasa wajib
a. Puasa di bulan Ramadhan
b. Puasa yang dinazarkan
c. Puasa qadha’
d. Puasa kaffarah (denda) yang disebabkan oleh:
a) Jima di siang hari pada bulan Ramadhan
b) Dzihar
c) Melanggar sumpah
d) Membunuh dengan sengaja
2. Puasa sunnah
a. Puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Hal ini didasarkan pada hadits dari Ibnu Abbas:
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda: “Andai aku masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal sembilan (bulan Muharram).” (HR. Ibn Majah dan Ahmad)
b. Puasa hari arafah
Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Qatadah r.a:
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Puasa Asyura adalah kaffarah (dari dosa) satu tahun. Puasa Arafah adalah kaffarah (dari dosa) dua tahun, satu tahun sebelumnya dan satu tahun berikutnya.” (HR. Ahmad)
c. Puasa senin dan kamis
Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah r.a:
Sesungguhnya Nabi saw. telah memilih waktu untuk berpuasa pada hari senin dan kamis. (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ahmad)
d. Puasa enam hari pada bulan syawal
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Dari Abu Ayyub, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “siapa yang berpuasa Ramadhan dan dilanjutkan dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal, maka seperti berpuasa satu masa.” (Shahih Muslim).
e. Puasa Daud
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Puasa yang lebih disukai oleh Allah adalah puasa Daud dan sholat yang disukai Allah adalah shalat Daud. Ia tidur sepertiga malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya, dan ia berpuasa satu hari lalu berbuka satu hari.” (Mutaffaq ‘alaih)
f. Puasa Ayyamul bidh
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepada saya, “tiga perkara yang harus saya (Abu Hurairah) lakukan yaitu shalat witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan shalat dhuha.” (Sunan Tirmidzi)
g. Puasa Rajab, Sya’ban, dan pada Bulan–bulan Suci
3. Puasa makruh
Puasa makruh yaitu puasa yang dilakukan pada hari jum’at, kecuali apabila kelanjutan dari puasa pada hari sebelumnya atau puasa sunnah yang bertepatan dengan hari jum’at.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari jum’at kecuali ia berpuasa sebelum atau sesudahnya.” (HR. Muslim. No. 1144)
4. Puasa haram
Puasa yang diharamkan yaitu:
a. Puasa pada hari syak/meragukan, yaitu hari ke 30 bulan Sya’ban, kecuali bila bertujuan untuk puasa qadha, puasa sunnah yang sudah menjadi kebiasaan, dan puasa karena melanggar sumpah (puasa kaffarah).
b. Hari-hari sesudah Nisfu Sya’ban
Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda: “Apabila tinggal setengah dari Sya’ban, janganlah kamu berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi).
Namun dalam kitab Fathul Mu’in dan Hasyiah I’anatuth Thalibin jilid 2 hal 273, keharaman ini tidak berlaku mutlak.
c. Puasa pada hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha.
d. Puasa pada hari tasyrik, yaitu hari ke-11, ke-12, dan ke-13 bulan Dzulhijjah, kecuali untuk dam (sebagai ganti dari menyembelih kurban).
e. Puasa sepanjang tahun (Shaum ad-Dahri), yakni puasa setiap hari di sepanjang tahun, kecuali pada lima hari yang diharamkan puasa, yakni dua hari raya (Idhul Fithri dan Idhul Adha) dan tiga hari tasyrik.
Dari Abdullah bin Syikhir dia berkata, Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa berpuasa selamanya, maka (dia dipandang) tidak berpuasa dan tidak pula berbuka.” (HR. Ibnu Majah [1705], an-Nasai, Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah, sanad hadits ini shohih).
f. Puasa wishal, yakni melakukan puasa secara berkesinambungan sehari semalam atau lebih tanpa berbuka.
Dari Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah saw. melarang dari wishal karena rasa kasihan kepada mereka. Mereka (para sahabat) bertanya: Sesungguhnya engkau sendiri melakukan wishal? Beliau saw. menjawab: Sesungguhnya kau tidak seperti kalian, karena Tuhanku telah memberi makan dan minum kepadaku. (HR. Bukhari [1964], Muslim dan an-Nasai).
g. Puasa perempuan yang haid dan nifas.
h. Puasa sunnah (Shaum Tathawwu’) seorang wanita tanpa izin suaminya.
E. Syarat-syarat Puasa
1. Menurut madzhab Hanafi
Syarat wajib puasa:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
Syarat wajib melaksanakan puasa:
a. Sehat
b. Muqim
Syarat sah puasa:
a. Niat
b. Tidak ada yang menghalanginya (seperti haid dan nifas)
c. Tidak ada yang membatalkannya
2. Menurut madzhab Maliki
Syarat wajib puasa
a. Baligh
b. Mampu berpuasa
Syarat sah puasa
a. Niat
b. Suci dari haid dan nifas
c. Islam
d. Berakal
e. Pada waktunya
3. Menurut madzhab Syafi’i
Syarat wajib puasa:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Mampu
Syarat sah puasa:
a. Islam
b. Berakal
c. Suci dari haid nifas sepanjang hari
d. Dilaksanakan pada waktunya
4. Menurut madzhab Hanbali
Syarat wajib puasa:
a. Islam
b. Baligh
c. Mampu
Syarat sah puasa:
a. Niat
b. Suci dari haid dan nifas
F. Rukun Puasa
1. Niat
Meskipun ulama berbeda pendapat apakah niat termasuk rukun atau syarat, namun pada dasarnya ulama sepakat bahwa niat atau berniat wajib dilakukan dalam setiap ibadah.
Adanya perbedaan apakah niat termasuk rukun atau syarat juga mempengaruhi waktu pelaksanaan niat itu sendiri.
2. Menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak fajar hingga tenggelamnya matahari
G. Hal-hal yang Membatalkan Puasa
Hal-hal yang membatalkan puasa pada dasarnya terbagi menjadi 2 kategori, yakni:
1. Harus mengganti dengan puasa lagi (qadha)
Hal-hal yang membatalkan puasa yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Memasukkan suatu ain (benda) ke dalam salah satu rongga badan
b. Muntah dengan sengaja
c. Istamna’
d. Haid dan nifas
e. Gila
f. Murtad
2. Harus mengganti dengan puasa lagi (qadha) dan membayar kaffarah
Adapun hal yang membatalkan puasa yang termasuk dalam kategori ini adalah jimak pada siang hari bulan Ramadhan dengan kemauan sendiri atau suka sama suka dan dimaksudkan untuk taladzdzudz/bersenang-senang/kesenangan. Jika tidak dimaksudkan untuk taladzdzudz, yang terkena kaffarah adalah yang memaksa, sedangkan yang dipaksa tidak terkena kaffarah meskipun puasanya batal (atau harus membayar qadha).
H. Orang yang Tidak Wajib Berpuasa
1. Kafir
Jika dia kafir asli , tidaklah dihadapkan perintah puasa kepadanya, di waktu dia masih kafir. Dia, diharuskan memeluk Islam. Adapun setelah masuk Islam, ia tidak wajib mengqadha puasa. Hal ini berdasarkan firman Allah (QS. Al-Anfal [8]: 39)
Jika dia bukan kafir asli, dengan kata lain murtad, maka selagi dia murtad dari Islam, tidak dihadapkan puasa kepadanya, lantaran puasa tidak sah atas orang murtad. Jika ia kembali ke dalam Islam lagi, barulah kita menyuruhnya berpuasa lagi dan wajib atasnya qadha untuk puasa yang ia tinggalkan selama murtad. Demikian menurut madzhab asy-Syafi’i.
Namun sebagian ulama tidak mewajibkan puasa yang ditinggalkan selama ia murtad.
2. Gila
Orang gila apabila dia sembuh, tidaklah wajib mengqadha puasa yang ditinggal selama dia gila, baik sebentar maupun lama.
3. Anak kecil
Walaupun puasa tidak wajib atas anak kecil, namun seyogyanya bagi wali menyuruh anak berpuasa, supaya terbiasa berpuasa sejak dari kecil, jika si anak sanggup mengerjakannya.
4. Sakit
Sakit yang membolehkan berbuka adalah yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa akan memperparah kondisinya, memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian.
5. Musafir
Safar yang memperbolehkan berbuka adalah yang berjarak minimal kira-kira 86 km. Safar ini, menurut jumhur ulama, harus dilakukan sebelum terbit matahari. Jika dia telah berpuasa saat memulai perjalanan (karena dia memulai perjalanannya sehabis shubuh), dia tidak boleh membatalkan puasanya. Meskipun demikian, jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang amat melelahkan, dia boleh berbuka dan wajib mengqadha.
6. Lanjut usia
Berdasarkan ijma’, seseorang yang lanjut usia dan sudah tidak mampu lagi berpuasa, dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan untuk mengqadha. Namun, ia harus membayar fidyah yang diberikan pada orang-orang miskin. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184.
7. Haid dan nifas
Wanita yang sedang haid atau bernifas, tidak wajib puasa atasnya, karena tidak sah dikerjakan puasa dalam masa berhaid atau bernifas. Akan tetapi apabila telah suci, wajiblah mengqadha puasa yang tinggal selama berhaid atau bernifas.
8. Hamil dan menyusui anak
Menurut fuqaha, apabila seorang ibu takut atas anak yang sedang disusuinya dan perempuan yang sedang hamil takut atas kandungannya, maka tidak diwajibkan baginya berpuasa, namun diwajibkan memberi fidyah.
I. Sunnah-sunnah Berpuasa
1. Sahur
Meskipun hanya seteguk air, karena di dalam sahur terdapat berkah.
2. Mengakhirkan sahur
Kira-kira jarak waktu antara makan dan shalat shubuh itu bisa digunakan untuk membaca 50 ayat al-Qur’an atau kurang lebih 15-20 menit sebelum shubuh.
Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, “Kami pernah makan sahur beserta Rasulullah, kemudian kami berdiri melakukan shalat.” Orang-orang bertanya, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Ia menjawab, “Sekadar membaca 50 ayat al-Qur’an.” (Shahih Bukhari)
3. Menyegerakan berbuka
Sebelum melaksanakan shalat maghrib, disunnahkan berbuka dengan kurma basah, ruthab (kurma matang sebelum menjadi kurma siap panen), kurma kering atau air, dan hendaknya mengutamakan bilangan ganjil dalam memakan buah tersebut. Hadits Nabi saw:
Dari Sahl bin Sa’di as-Sa’idi bahwa Nabi saw. bersabda, “Senantiasa manusia itu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (Shahih Bukhari dan Muslim)
4. Menyediakan hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa
Dari Zaid bin Khalid al-Juhany berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang puasa tanpa mengurangi pahala orang yang diberi hidangan berbuka itu sedikit pun.” (Bihaqi Jami’ hadits)
5. Berbuat baik terhadap keluarga dan kerabat serta memperbanyak sedekah bagi fakir miskin
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. ditanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Sedekah di bulan Ramadhan.” (Sunan Kubra al-Baihaqi)
6. Memperbanyak membaca al-Qur’an, berdzikir, dan bershalawat kepada Nabi serta mengerjakan shalat tarawih, tahajud, dan witir dengan sebaik-baiknya.
Dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beribadah di (bulan) Ramadhan karena iman dan ingin mendapat balasan dari Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)
7. I’tikaf
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah, ujarnya: “Adalah Rasulullah ber-i’tikaf di sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan, hingga beliau wafat.”
J. Hal-hal yang Makruh dalam Berpuasa
1. Madzhab Hanafi
a. Mencicipi dan mengunyah sesuatu karena bisa menyebabkan batalnya puasa
b. Mengunyah sejenis permen
c. Berciuman, bersentuhan, dan bercumbu yang bisa mengakibatkan ejakulasi
d. Sengaja mengumpulkan ludah dalam mulut lalu menelannya
e. Mengerjakan sesuatu yang sekiranya akan membuatnya lemas seperti berbekam
Yang tidak dimakruhkan menurut madzhab ini adalah:
a. Bercumbu yang tidak mengakibatkan ejakulasi
b. Meminyaki kumis
c. Berbekam, sekiranya tidak membuat lemas badan
d. Menggosok gigi pada sore hari walaupun dengan sikat yang basah dengan air
e. Berkumur dan menyerap air ke hidung di luar wudhu
f. Mandi pada siang hari
2. Madzhab Maliki
a. Memasukkan apa saja yang segar dan berasa ke mulut walaupun lantas memuntahkannya kembali
b. Mencicipi sesuatu yang berasa, seperti madu dan cuka
c. Mengunyah sejenis permen
d. Memikirkan sesuatu yang membangkitkan syahwat
e. Memakai dan menghirup wewangian pada siang hari
f. Berkumur dan menyerap air ke hidung dengan agak keras
g. Mengobati gigi yang berlubang
h. Memperbanyak tidur pada siang hari
i. Berbicara dan bekerja yang berlebihan
j. berbekam
3. Madzhab Syafi’i
a. Berbekam/hijamah
b. Berciuman
c. Mencicipi makanan
d. Mengunyah sejenis permen
e. Masuk ke kamar mandi
f. Menikmati sesuatu yang didengar, dilihat, diraba, dicium, dan semacamnya karena bertentangan dengan maksud berpuasa
g. Menggosok gigi sesudah dzuhur sampai maghrib
h. Berkumur dan menyerap air ke hidung dengan agak keras
4. Madzhab Hanbali
a. Mengumpulkan ludah di mulut lalu menelannya
b. Berkumur dan menyerap air ke hidung dengan agak keras
c. Mencicipi makanan tanpa ada keperluan
d. Mengunyah sejenis permen
e. Berciuman yang menimbulkan syahwat
f. Tidak membersihkan sisa-sisa makanan dimulut
g. Mencium bau-bauan hingga terserap unsur-unsurnya ke dalam tenggorokan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Arti ash-Shiyam, secara etimologi atau asal-usul kata adalah menahan diri dari sesuatu. Bila seseorang menahan diri untuk tidak bicara atau makan secara bahasa ia disebut sha-im.
Sementara itu, secara terminologi atau istilah syara’, puasa adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar (fajar shadiq) hingga terbenamnya matahari dengan syarat-syarat tertentu.
Puasa termasuk ke dalam rukun Islam, tentu saja untuk melaksanakannya harus sesuai dengan syari’at-syari’at Islam baik dari al-Qur’an, hadits, ataupun ijma’ ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Gus. Fiqih Puasa. 2013. Jakarta: Gramedia
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pedoman Puasa. 1986. Jakarta: Bulan Bintang
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir. 2013. Depok: Gema Insani
Lathif, Abdul. Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an dan Hadits. 2011. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Baca Juga: Shalat Jum'at Menurut Al-Jasas
0 komentar:
Post a Comment