Orang-orang Belanda, data |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah VOC gulung tikar
pada tahun 1799, semua kegiatannya diambil alih oleh pemerinntahan Hindia
Belanda, dan sejak itu, usahanya
ditekankan pada eksploitasi ekonomi yang dibarengi penetrasi politik. Sampai
tahun 1830 pemerintah masih mencoba jenis-jenis eksploitasi mana yang sesuai dan
dan banyak menghasilkan keuntungan.
Sifat-sifat pokok dari
politik kolonial dapat di ukur dengan jalan memperbandingkan dengan
imperialisme negara-negara Eropa lainnya. Belanda membutuhkan hasil-hasil dari
daerah tropis yang di dapat dengan cara pemungutan upeti, karena di bagian
pertama di abad 19 mereka tidak mempunyai barang untuk diperjual belikan.
Selain itu pada abad 19,
ideologi Liberal juga sangat berpengaruh pada Imperialisme dan politik
kolonial. Ideologi Liberal mulai berkembang di Belanda sesudah Napoleon. Dan
dan berhasil mengubah struktur politik pada waktu itu.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Politik
Kolonial 1800-1850
2.
Perlawanan
Pribumi Terhadap Penjajah
BAB
II
PEMBAHASAN
Setelah VOC
bangkrut karena menempuh cara-cara perdagangan tradisional yang tidak banyak
mendatangkan keuntungan , di sisi lain pegawainya banyak melakukan korupsi,
maka pemerintahan Hindia Belanda mencari
bentuk baru untuk mengeksploitasi koloni.[1]
Penganjur
sistem Liberal mengkritik sistem tradisionnal, tokohnya yaitu Raffles, ia
mejalankan suatu sistem administrasi yang sesuai dengan doktrin liberal, yaitu
persamaan hukum dan kebebasan ekonomi terutama pada hal pajak tanah. Raffles
lebih mengutamakan tentang kesejahteraan rakyat sebagai tujuan pokok
pemerintahannya. Meskipun Raffles menganut ide liberal, tetapi ia tetap
mempertahankan tanam wajib, karena hasilnya memang sangat diperlukan untuk
mengisi kas Belanda. Akan tetapi politik ini tidak mendapat jalan setelah
pemerintah Sisipan Inggris (1811-1816) diganti Hindia Belanda, sistem Liberal
ini dihapuskan lagi.
Pada titik yang kritis di dalam
perkembangan politik Belanda yang terjadi di Indonesia dan di negeri Belanda,
misalnya pada akhir perang Diponegoro dan perang Belgia, Belanda terdorong
untuk kembali kepada politik kompeni, Dan mempertahankannya sampai satu
generasi, tanpa menghadapi tantangan. Sejak tahun 1830 politik kolonial Belanda
memperoleh suatu sistem yang pasti dan konsekuen yang kemudian di kenal dengan
nama Cultuursteltel.
Penetrasi
kekuasaan belanda yang semakin mendalam dan merambah hampir diseluruh bidang
kehidupan , baik dibidang politik dan sosial ekonomi maupun dibidang sosial
budaya dan keagamaan, menimbulkan reaksi dan konfrontasi dari rakyat indonesia.
Tampillah pemuka-pemuka pribumi untuk menggerakkan rakyat guna melakukan
perlawanan terhadap penjajahan dan kekuasaan asing. Loyalitas dan semangat
pengabdian serta cinta terhadap bumi kelahiran memperkuat dan mempertajam
perlawanannya terhadap kekuasaan belanda.
Disamping
dari faktor politik dan sosial ekonomi, motifasi atau daya dorong
perlawanan-perlawanan tersebut dapat pula berasal dari berbagai bentuk paham
(isme). Paham nativisme (kebumian) atau tradisionalisme (adat-istiadat)
mendorong untuk menolak segala bentuk penyimpangan dari sistem dan struktur
lama yang tidak baik, kalau perlu dengan kekerasan. Perubahan –perubahan baru akan mengancam
keseimbangan hidup serta menimbulkan ketidakpastian, karenanya harus dijauhi
dan dimusuhi.
Baca Juga : Pemikiran Politik Khulafaur Rasyiddin
Paham
religius memberikan ketegasan sikap dan tindakan. Identitas ideologi keagamaan
diciptakan untuk memperjelas kedudukan Belanda sebagai musuh. Belanda dipandang
sebagai orang kafir yang mengancam dar-al islam. Maka kepadanya perlu dilawan
dengan perang sabil (perang suci).
B.
Pergolakan-pergolakan
rakyat indonesia
Banyak
terjadi perlawanan dari berbagai daerah melawan kolonialisme yang menimbulkan
peperangan diantaranya; perlawan rakyat maluku dibawah pimpinan pattimura,
perlawanan pangeran diponegoro di jawa, perlawanan di sumatra barat, perlawanan
dari rakyat sulawesi selatan, dsb.[2]
A. Perlawanan
rakyat Maluku dibawah pimpinan Kapitan Pattimura
Para
penjajah telah melaksanakan praktik monopoli yang menyebabkan penderitaan,
kemiskinan, kelaparan dan kesengsaraan. Perlawanan terhadap pemerintah koloni
belanda diawali dengan tindakan kapitan pattimura yang mengajukan daftar keluhan
kepada residen Van Den Berg yang
berisi tindakan semena-mena pemerintah kolonial yang menyengsarakan rakyat.
Keluhan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah Belanda, sehingga pada bulan
mei 1871 meletus perlawanan rakyat maluku dibawah pimpinan pattimura menyerbu
dan merebut Benteng Duurstede di saparua, dalam pertempuran tersebut residen Van
den Bergh terbunuh. Perlawanan kemudian meluas ke Ambon, Seram, dan tempat
lainnya. Belanda semakin terdesak, dan memanggil bala bantuan dari jawa, dan
akhirnya pada awal agustus 1871 Benteng
Duurstede dapat direbut kembalioleh
Belanda. Maluku pun diblokade oleh Belanda, sehingga rakyat akhirnya menyerah
karena kekurangan makanan. Perlawanan rakyat maluku berakhir dengan menyerahnya
kapitan pattimura kepada residen Liman
Pietersen. Setelah pattimura beserta teman-temannya diadili di ambon, pada
tanggal 16 Desember 1871 dihukum mati didepan benteng Nieuw victoria.[3]
B. Perang
Diponegoro
Perang
diponegoro oleh belanda disebut perang jawa(1825-1830) menandai untuk
pertamakalinya terjadi satu perang melawan kolonialisme Belanda dalam
pengertian sepenuhnya. Baru sesudah 1830 zaman kolonialisme belanda yang
sebenarnya terjadi di Jawa. Sebelum 1830 keikutsertaan Belanda dalam
perang-perang di Jawa lebih bersifat sebagai intervensi dalam perang suksesi dikerajaan
mataram. Perang diponegoro(1825-1830) bagi belanda sebagai perang yang
melegitimasi atau mensahkan kedudukan kolonial belanda di jawa. Sebaliknya bagi
bangsa indonesia perang tersebut sebagai perlawanan terbesar dan terakhir dari
seorang pangeran terhadap kekuasaan kolonial Belanda, baru kelak pada abad ke
xx dengan munculnya pergerakan-pergerakan nasional(nasionalisme), untuk
melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial belanda dengan sistem dan
skala nasional.[4]
Yang
melatarbelakangi terjadinya perlawanan :
• Keraton
merasa dihina dan diturunkan martabatnya akibat pemerintah kolonial Belanda
terlalu jauh mencamcuri urusan dalam keraton,
• Penderitaan
rakyat yang makin menghebat akibat pelakuan pemerintah kolonial Belanda yang
sewenang-wenang,
• Kekecewaan
kaum ulama terhadap sikap orang-orang Belanda yang merendahkan budaya Timur dan
menjujung tinggi budaya Barat.
• Pembuatan
jalan Yogyakarta-Magelang yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegero di
Tegalrejo tanpa izin.
Berakhirnya Perang
Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak
memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan
Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
C. Perlawanan
di sumatra barat
Perlawanan
terhadap kekuasaan Belanda di Sumatera mula-mula berkobar di Minangkabau
(Sumatera Barat). Perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda tersebut
dimulai dengan konflik antara kaum adat dan kaum padri. Pada tahun 1821,
Belanda masuk dalam perselisihan kedua golongan ini. Belanda memihak kaum adat
sehingga berkobarlah perlawanan antara kaum padri melawan Belanda. Pemimpin
kaum padri mula-mula dipegang oleh Tuanku nan Renceh, selanjutnya oleh Datuk
Bendaharo, Tuanku Pasaman, dan Malim Basa. Malim Basa kemudian dikenal sebagai
Tuanku Imam Bonjol.
Karena
berkobar Perang Dipenogoro, Belanda mengadakan perdamaian dengan kaum padri.
Kedua belah pihak sepakat untuk tidak saling menyerang. Keduanya akan saling
menghormati batas wilayah masing-masing. Setelah perang Diponegoro berakhir,
Belanda melakukan serangan bahkan berhasil merebut markas kaum padri di Bonjol.
Setahun setelah itu, kaum adat bersatu dengan kaum Padri. Pada tahun 1833, mereka
berhasil merebut kembali kota Bonjol.
Belanda
kemudian melakukan politik adu domba. Belanda mengirim Sentot Alibasyah
Prawirodirdjo dan tentaranya yang telah menyerah di Jawa ke Sumatera Barat.
Maksudnya untuk berperang melawan pasukan Tuanku Imam Bonjol. Namun, Sentot
melakukan kontak rahasia dengan kaum padri. Ia lalu ditangkap lagi dan
diasingkan ke Bengkulu. Pada tahun 1837, Bonjol direbut Belanda dan Tuanku Imam
Bonjol berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Ambon, kemudian ke Minahasa.
Perlawanan terhadap Belanda diteruskan oleh Tuanku Tambusi. Namun, tidak lama
kemudian perang dapat diakhiri.
Perang Padri dapat
dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu:
• Tahun 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerahMinangkabau.
• Tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum padri yang mulai melemah. Ketika itu, Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada Perang Diponegoro di Jawa.
• Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan kaum padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin kaum padri.[5]
• Tahun 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerahMinangkabau.
• Tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan kaum padri yang mulai melemah. Ketika itu, Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada Perang Diponegoro di Jawa.
• Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan kaum padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin kaum padri.[5]
Pada
hakikatnya gerakan-gerakan rakyat tersebut telah siap untuk ditransformasikan
menjadi pergerakan nasional yang pemimpin-pemimpinnya lahir dari gejolak rahim
bumi pertiwi sendiri yang senantiasa tertindas dan tereksploitasi. [6]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
VOC ruhtuh, pemerintahan di ambil alih oleh Hindia Belanda dengan mengedepankan
ekonomi sebagai andalan mereka. Belanda sempat menggunakan sistem politik
kolonial Liberal yang di pelopori oleh Raffles akan tetapi tidak bertahan lama.
Banyak juga terjadi perlawanan dari berbagai daerah
melawan kolonialisme yang menimbulkan peperangan diantaranya; perlawan rakyat
maluku dibawah pimpinan pattimura, perlawanan pangeran diponegoro di jawa,
perlawanan di sumatra barat, perlawanan dari rakyat
[1] Suhartono, Sejarah Pergerakan
Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-1945, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994), hlm. 11
[2]Daliman, A. , sejarah indonesia abad XIX- awal
abad XX : Sistem politik kolonial dan administrasi pemerintah Hindia Belanda.
(yogyakarta: ombak, 2012) hal: 103-104.
[3]https://ath84ditio.wordpress.com/2008/09/08/perlawanan-sesudah-tahun-1800/
[5]http://haryan-resurection.blogspot.co.id/2011/04/sejarah-perlawanan-bangsa-indonesia.html
0 komentar:
Post a Comment