Hukum Islam, http://tipsalma.com |
BAB
I PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Syari’at
dalam perspektif Islam, merupakan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam
al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum-hukum
yang ditetapkan dalam al-Qur’an pada umumnya berupa aturan dasar (umum) dan
masih dalam garis besar. Untuk itu, yang menjadi tugas Nabi adalah menjelaskan
dan memerincinya, ketika perintah shalat disampaikan Allah melalui al-Qur’an,
maka dijawab Nabi dengan cara mengajarkan tata cara shalat, menjelaskan
perbuatan apa yang dkatakan shalat menerapkan waktu dan bilangan rakaat shalat.
Ketika datang perintah zakat dalam al-Qur’an maka dijawab Nabi dengan
menjelaskan jenis harta yang dibebani kewajiban zakat dan batas-batasannya.
Sunnah
sebagai penjelas isi al-Qur’an dijadikan sebagai sumber utama bagi perundang-undangan
(tasyri’) Islam setelah al-Qur’an. Keputusan seperti ini telah ditetapkan dalam
ushul fiqh dari berbagai madzhab dan aliran, dan merpaan suatu aksioma yang
tidak dipertentangkan lagi dikalangan umat Islam.
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah hukum
Islam?
Apa pengertian hukum
dalam Islam?
Bagaimana proses Hukum Islam
dalam kehidupan?
BAB
II PEMBAHASA
Sejarah
Hukum Islam
Ushul
Fiqh, secara harfiah berarti akar-akat atau prinsip-primsip fiqh. Karenanya ia
membucarakan sifat-sifat sumber hukum Islam. Proses sejarah munculnya Hukum
Islam dapat dibagi dalam lima periode.[1]
Periode Pertama (610-622
M)
Nabi Muhammad SAW dilahirkan
di Mekah dan pada usia 40 tahun menerima wahyu yang pertama:
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantara Kalam,
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq:1-5)
Ayat
ini menjelaskan tentang pentingnya ilmu yang merupakan amal baik, karena ia
mengajar seseorang untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Sesungguhnya kebaikan objektifpun tak akan bisa diketahui tanpa ilmu. Karena
itulah mencari ilmu menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, sebagaimana
ditetapkan oleh Nabi.
Periode Kedua (1-11 H/
622-632 M)
Hijrahnya
Nabi ke Madinah. Periode inilah aturan-aturan Hukum ditetapkan dengan ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Al-Qur’an adalah Kitab yang berisi
wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi dalam kedudukannya sebagai utusan
Allah. Banyak ayat yang menetapkan aturan-aturan Hukum dengan rujukan
kasus-kasus yang benar-benar timbul.
Sumber-sumber
hukum lainnya adalah Sunnah atau tradisi-tradisi Nabi yang disebut juga
Ahadits. Sunnah tidak hanya menjelaskan teks-teks al-Qur’an, tetapi juga
melengkapinya. Sebab Nabi tidak pernah bebicara menurut kemauannya sendiri,
melainkan menurut wahyu yang diberikan kepadanya.
Periode Ketiga (11-40 H/
632-661 M)
Wafatnya
Nabi menandai dalam sejarah Hukum Islam ketika tugas Kepemimpinan spiritual dan
duniawi berpindah kepada Khulafa’ al-Rasyidin. Maka tinggal al-Qur’an dan
Sunnah sajalah yang menjadi sumber pokok pedoman masyarakat.
Persoalah
pertama dan terpenting diselesaikan dengan kesepakatan para sahabat adalah soal
pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah. Ini pada dasarnya adalah suatu analogi
atau qiyas, yang disetujui oleh para sahabat, yakni kesatuan pendapat yang
disebut ijma’, yang ketidakmungkinan salahnya (infallibitas) yang dijamin oleh
sabda Nabi: “Ummatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”.
Periode Keempat (41-132H/
661-750 M)
Wafatnya
Ali khalifah keempat. Pemerintahan dinasti Umayyah, pada umumnya ditandai oleh
pengangkatan Qadli, yakni hakim-hakim yang bertugas menyelesaikan perkara. Mereka memiliki kekuasaaan ang tak terbatas.
“Tak ada pengaruh pemersatu yang dipancarkan pemerintah pusat dan tak ada
hirarki peradilan yang lebih tinggi yang preseden-presedennya yang mengikat
mungkin akan mencitakan keseragaman dalam system hukum. Tak juga dapat
dikatakan bahwa hukum-hukum al-Qur’an memberikan memberikan unsure pemersatu
yang kuat.
Periode Kelima (132-656H/
750-1258 M)
Periode
Abbasiyah adalah masa yang cerah bagi kajian-kajian Hukum Islam. Periode inilah
muncul berbagai madzhab hukum Islam.
Abu Hanifah (wafat tahun
150 H/ 767M
Abu
Hanifah memiliki kemampuan penalaran yang hebat dan merumuskan suatu teori yang
disebut Istihsan, yakni preferensi hukum yang menandai penyimpangan dari
analogi yang ketat degan alasan kepentingan umum.
Dapat
dicatat bahwa penalaran individual pada umumnya disebut ra’y. tetapi jika
dilakukan oleh seorang mujtahid, yakni ahli hukum yang memenuhi syarat, maka
disebut ijtihad,atau usaha untuk menyimpulkan aturan-aturan hukum. “Apabila ia
diarahkan untuk melakukan konsistensi yang sistematis dan dituntun oleh
kesejajaran dari suatu lembaga atau keputusan yang telah ada maka itu disebut
qiyas atau analogi, yakni kesamaan penalaran. Jika ia merupakan pantulan
pilihan pribadi dan pendapat kebijaksanaan ahli hukum yang bersangkutan, yang
dituntun oleh kebijakan ahli hukum, maka ia disebut istihsan atau Istihbab”
yang berarti “penilaian baik”.
Malik bin Anas (wafat
tahun 179 H/ 795 M)
Dalam
banyak hal kita sulit membedakan antara madzhab ini dengan madzhab Abu Hanifah.
“sumber pertamanya tentu saja al-Qur’an, kemudian praktek Nabi. Ini kemudian
digabungkan dengan praktek para khalifah pengganti Nabi serta kebiasaan
penduduk madinah yang tidak tertulis.”
Demikianlah beliau
mengembangkan satu sumber hukum yang disebut mashalih al-mursalah (kepentingan
yang tak terbatas), yang disebut Al-Ghazali Ishtishlah (mencari yang lebih
baik) untuk membedakannya dari istihsan yang berasal dari Abu Hanifah.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
(wafat tahun 204 H/ 819 M)
Kebesaran
Imam Syafi’i terletak pada usahanya menciptakan keseimbangan antara “pandangan
yang mendukung tradisi” dengan “pandangan yang berdasarkan pemikiran”. Beliau
mencoba mengikuti jalan tengah antara dua kecenderungan yang berlawanan
tersebut. Prinsip beliau adalah hanya menerima hadits yang benar-benar shahih
yang isnadnya sampai kepada Nabi.
Tema
pokok doktrin Imam Syafi’i ialah memperkecil penggunaan pendapat pribadi secara
bebas dan menekankan otoritas Nabi selaku pembuat Hukum. “Taatilah Allah dan
Rasulnya”. “...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah”.
“Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah”.
Setelah
al-Qur’an, Imam Syafi’i menitikberatkan Sunnah Nabi dan menyatakan bahwa satu
ketetapan alQur’an dapat dibatalkan oleh ketetapan al-Qur’an yang lainnya.
Tetapi al-Qur’an tidak dapat membatalkan Sunnah dan Sunnah juga tidak dapat
membatalkan al-Qur’an. Memang benar, katanya, bahwa Sunnah dapat digantikan
oleh suatu pernyataan al-Qur’an, tetapi ini tidak terjadi sebelum Sunnah itu
dibatalkan terlebih dahulu oleh Sunnah lain yang disampaikan oleh Nabi.
Perkembangan
yang telah diuraikan sejauh ini telah diuraikan sejauh ini menghasilkan
perumusan teori klasik yang didasarkan pada empat prinsip atau dasar: “al-Qur’an,
Sunnah yang tertuang dalam kumpulan Hadits-hadits shahih, konsensus (ijma’)
para ulama dalam masyarakat terdahulu, dan metode penalaran dengan analogi
(qiyas)”.
Ahmad Ibn Hanbal (wafat
tahun 241 H/ 855 M)
Ia
sangat lekat dengan Hadits dan penafsirannya bersifat harfiah. Berbeda dengan
para Imam lainnya, ia hanya memberi peluang sedikit sekali kepada ajaran ijma’
dan qiyas. Hanya wahyu Allah dalam al-Quran dan sunnah nabi sajayang menjadi
sumber hukum yang berwenang. Keshalehan beliau tercermin dari kenyataan bahwa
ia dikatakan tidak pernah makan buah semangka, sebab ia tidak mendapati contoh
dari Nabi.
Pengertian
Hukum dalam Islam
Kata
syari’at secara etimologis berarti jalan ke tempat pengairan atau tempat lalu
air sungai. Kata syari’at oleh orang-orang Arab dalam arti jalan yang lurus.
Perubahan makna dari artinya yang asli yakni “sumber air ” menjadi arti yang
bisa digunakan oleh orang-orang Arab yakni “jalan yang lurus”. Semua makhluk di
Bumi memerlukan air untuk kesejahteraan dan keselamatan hidupnya. Demikian juga
dengan “jalan yang lurus”, didalamnya mengandung maksud dan makna sebagai
petunjuk bagi manusia untuk menuju kepada kebaikan dan keselamatan baik jiwa
maupun raga. Jalan lurus itulah yang harus ditempuh manusia untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupnya. [2]
Pembahasan
tentang kemaslahatan sebagai tujuan hukum ini menjadi perdebatan dikalangan ulama
Mutakalimin karena menyangkut dengan persoalan teologis. Al-Ghazali misalnya,
seorang ahli ushul ternama dikalangan Asy’ariyah mengedepankan konsep’illat
(motivasi hukum) ketika membahas qiyas. Pembahasan ini merupakan upaya yang
jelas untuk sampai kepada pembahasan tentang maslahah sebagai tujuan penetapan
hukum.
Konsep
tentang maqasid al-syari’ah adalah upaya untuk menegakkan maslahah sebagai
unsur pokok bagi tujuan hukum, yang mengklarifikasi persoalan teologis dan
dilema relativitas maslahah dengan melihat maqasid dari dua sudut pandang, yaitu maqasid al-Syar’i (tujuan
Tuhan) dan maqasid al-Mukallaf (tujuan mukallaf). Maqasid al-Syar’I mengandung
empat aspek penting, yaitu: 1). Tujuan awal pelembagaan syari’at yakni
mewujudkan kemashatan bagi manusia dunia dan akhirat. 2). Syari’at sebagai
sesuatu yang harus dipahami, 3). Syari’at adalah suatu hukum taklifi yang harus
dilakasanakan , dan 4). Tujuan syari’at adalah membawa manusia dibawah naungan
hukum. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsure pokok dapat diwujudkan
danterpelihara. Lima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan
harta.
Proses
Hukum Islam dalam Kehidupan
Untuk
menghindarkan kesuliatan yang riil dalam hukum waris, para penguasa mesir
memakai landasan wasiyat. Akan tetapi jika mereka tidak medapatkan landasan
hukun tradisionil untuk melakukan reform mereka, maka hanya dapat mengatakan
bahwa langkah mereka didasarkan atas interpretasi baru daripada sumber hukum
islam. Hal ini Nampak dalam soal-soal hak suami untuk berpoligami dan hak talaq
dari pihak lelaki. Madzhab Hambali mengatakan bahwa syarat-syarat wanita
terhadap perkawinan kedua dari pada suami dapat diterima. Sedang madzhab Maliki
berpendirian bahwa prinsip dasar dapat dipakai oleh isteri guna mencegah
perkawinan kedua daripada suami. Disamping itu semua madzhab membolehkan talaq
ta’lik talaq, yang digantungkan dan tawfid attalaq, talaq yang dikuasakan.
Walaupun
telah banyak usaha untuk menyokong kedudukan wanita (isteri) terhadap suaminya,
tetapi masih tetap terasa bahwa kedudukan lelaki tetap lebih kuat dan
proregativenya terhadap wanita tidak dapat dikurangi tanpa izinnya suami
sendiri. Nota keterangan Hukum Perkawinan mengatakan bahwa al-Qur’an telah
mengingatkan bahwa seorang suami tak boleh mengambil isteri tambahan kecuali
jika keadaan keuangannya dapat memberi nafkah kepada isteri tambahan tersebut.
Tafsiran semacam itu sebenarnya sudah diterima oleh ahli-ahli Hukum Islam
dahulu, diantaranya oleh Imam Syafi’I. Akan tetapi para penyusun Hukum
Perkawinan Syria menambah:” …Bahwa pintu yang menyebabkan kepada kejahatan
harus ditutup” dan dengan begitu maka kemampuan keuangan tersebut harus ada
sebelum seorang mengambil isteri tambahan.
Mengenai
talaq yang sepenuhnya berada ditagan suami, sehingga merupakan sumber
penderitan bagi wanita, lebih besar dari pada poligami. Hukum Syria mengambil
sikap, wanita yang ditalak tidak dengan alasan, dapat diberi hak nafkah selama
satu tahun. Ini adalah tafsiran dari jiwa ayat yang menganjurkan suami untuk
memberi hadiyah untuk istri yang dicerai, dan mempertahankan istri dengan baik
atau menceraikan mereka dengan baik.
Hukum
perkawinan Tunisia tahun 1957 lebih radikal lagi. Walaupun pengadilan tak dapat
menolak permintaaan suami untuk menceraikan isterinya, jika si suami tetap
menuntut, tetapi dalam hukum perkawinan tahun 1957 ada dua hal yang baru yang
menonjol:
Pertama:
Pengadilan mempunyai wewenang yang tak terbatas untuk menetapkan ganti kerugian
yang dituntut oleh si isteri karena ia
diceraikan.
Kedua: suami dan isteri
diperlakukan sama, dalam arti bahwa si isteri juga berhak menuntut perceraian
dan dalam hal yang seperti tersebut pengadilan berhak menentukan ganti rugi
bagi si suami.
Hukum
Perkawinan Irak tahun 1959 menentukan bahwa: Perkawinan kedua tak dapat
dibolehkan kecuali jika Qadi yakin bahwa, pertama: si suami sanggup memberi
nafkah, kedua ada faedah dalam perkawinan tersebut, ketiga: tidak dikhawatirkan
terjadinya perlakuan tak adil. Mengenai talaq, si suami harus mendapat
keputusan dari pengadilan sebelum perceraian dianggap sah.
Pakistan
telah mengumumkan Muslim Family Laws Ordinance pada tahun 1961. Menurut
undang-undang tersebut, wajib diadakan majelis Hukum terdiri dari seoranag
wakil suami dan seorang wakil isteri serta seorang ketua yang neutral. Soalnya
adalah untuk mengurus hal poligami dan talaq untuk kawin tambahan, harus ada
izin dari majlis, dan majlis tidak akan memberi izin kecuali jika ia yakin
bahwa kawin tambahan itu perlu dan adil. Dalam hal ini izin dari isteri adalah
hal penting, akan tetapi disebutkan bahwa factor seperti kemandulan, tidak
sehat, atau sakit ingatan dapat mejadi sebab. Barang siapa melangar ketentuan
tersebut, ia dikenakan hukuman denda 5000rp atau 2/ 1 tahun penjara. Ia
diwajibkan membayar penuh mahar kepada isterinya, walaupun tadinya ada syarat
untuk menunda pembayaran dan akhirnya isteri yang pertama berhak untuk meminta
talaq. Mengenai talaq, komisi tahun 1955 mengusulkan agar talaq berlaku sebelum
ada izin dari peradilan dan izin ini baru akan diberikan jika suami memberi
kepastian tentang nafkah isterinya yang dicerai.
Perubahan
yang radikal terjadi sesudah masa konflik dan ahli hukum yang menghadapi
realitas masyarakat. Ahli teori yang menentang memberi alasan bahwa ijtihad
semacam itu hanya bersifat subjektif, akan tetapi pada reformers berpendapat
bahwa sikap mereka lebih dekat kepada jiwa Syari’ah.[3]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Syari’at
dalam perspektif Islam merupakan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini syari’at adalah
ajaran islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia.
Turunnya syari’at Islam dalam arti proses pembentukan hukum-hukum
syari’at hanya terjadi pada periode kenabian, sebab syari’at itu datangnya dari
Allah yang ditandai dengan turunnya wahyu dan berakhir dengan wafatnya
Nabi.
Periode pembentukan hukum syari’at merupakan periode yang
sangat penting bagi perkembangan Islam, karena mampu menghasilkan
ketetapan-ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah, yang menjadi sumber pokok
dalam perundang-undangan Islam di masa tasyri’ maupun di masa-masa sesudahnya.
Aplikasi
syari’at pada masa tasyri’ yang bersumber pada wahyu, menjadi acuan utama dalam
istinbath hukum dimasa-masa sesudahnya bahkan hingga masa akhir nanti, karena
Allah sebagai syari’, ketika mesyari’atkan Islam dengan penuh kebijaksanaan luar
biasa dan memberikan kaidah-kaidah umum yang bisa dijadikan dasar bagi para
mujtahid dalam mengistinbathkan hukum dari al-Qur’an untuk menjawab
persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan demikian meskipun ketentuan syari’at
(ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi) telah terhenti dengan wafatnya Nabi,
namun ia tetap mampu mengarahkan dan mengayomi kebutuhan masyarakat dalam waktu
dan kondisi yang berbed
[1]
Mohammad Muslehuddin. Hukum Darurat Dalam Islam. (Bandung: 1975). Halm.
22
[2]
Husnul Khatimah. Penerapan Syari’ah Islam. (Yogyakarta: 2007). Halm. 42
[3]
Rasjidi. Hukum Islam dan Pelaksanaanya. (Jakarta:1976). Halm. 35
0 komentar:
Post a Comment