MUI Sebagai Pilar Masyarakat Islam, http://cdn2.tstatic.net |
Belakangan ini, marak berita di
media sosial, di Koran-koran, dan di Media Massa mengenai kemunculan suatu
Aliran Kepercayaan yaitu Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah suatu aliran
kepercayaan yang belakangan ini ramai diberitakan, tetapi aliran kepercayaan di
Indonesia sebenarnya bukanlah hanya Sunda Wiwitan saja, banyak sekali
aliran-aliran kepercayaan yang berkembang di Indonesia, termasuk di pedalaman
maupun di area kota khususnya Pulau Jawa. Namun perlu diketahui dahulu
sebenarnya apa itu Aliran Kepercayaan, dan bagaimana eksistensi nya di
Indonesia.
Simpelnya saja, Aliran Kepercayaan
adalah suatu kepercayaan seperti agama yang juga memiliki ajaran dan Tuhan,
yang berkembang di masyarakat tetapi tidak diakui sebagai Agama di Indonesia.
Seperti yang kita tahu, agama di Indonesia hanya mengakui 6 ajaran, yaitu Islam,
Katolik, Protestan, Hindhu, Buddha, dan Konghucu. Dan ke 6 agama tersebut harus
mengakui akan adanya Tuhan yang Maha Esa. Namun Aliran Kepercayaan di Indonesia
sebenarnya sangatlah banyak, terdapat 12 juta Aliran Kepercayaan yang
berkembang di Indonesia, tetapi dari sekian banyak Aliran tersebut hanya 6 ajaran
saja yang diakui.
Negara Indonesia adalah Negara yang
mengakui adanya Aliran Kepercayaan ini, karena memang di dalam ideologi
negaranya sendiri yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi
tetap satu jua. Dan Eksistensi Aliran Kepercayaan ini sudah diatur oleh
Undang-Undang Dasar 1945 di pasal 29 ayat 1-2. Namun oleh Negara, Aliran
Kepercayaan boleh berkembang tetapi perkembanganya harus tidak boleh melanggar
nilai-nilai Pancasila dan UU. Oleh karena itu terdapat Aliran Kepercayaan yang
mengatakan dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian pengakuan akan
berkembangnya Aliran Kepercayaan ini diperkuat dengan kebijakan pemerintah
Indonesia yang memperbolehkan mengosongkan kolom agama di KTP, atau dengan
mengisi kolom agama tersebut dengan Penghayat Kepercayaan. Dan kebijakan
pemerintah ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bahkan
MUI juga banyak berfatwa mengenai kebijakan ini.
Kebanyakan Fatwa MUI menolak atau
melawan adanya perkembangan suatu Aliran Kepercayaan. Seperti dalam kasus Sunda
Wiwitan, dimana mereka mendukung atas kebijakan pemerintah untuk memasukkan
Penghayat Kepercayaan di kolom agama di KTP, dan juga mencari pengakuan atas
eksistensinya kepada pemerintah agar terpenuhi hak mereka sebagai warga Negara.
Namun oleh MUI hal ini ditolak, mereka mengatakan bahwa Aliran Kepercayaan
bukanlah agama, sebagai contoh Sunda Wiwitan tidak memenuhi persyaratan suatu aliran
agar disebut sebagai Agama. Oleh karena itu Penghayat Kepercayaan ini tidak
cocok apabila dimasukkan kepada kolom agama.
Mengenai Sunda Wiwitan, adalah suatu
kepercayaan yang menarik untuk dibicarakan. Sunda Wiwitan adalah kepercayaan
yang berkembang di masyarakat Badui. Mereka berpendapat Sunda Wiwitan adalah
agama mereka, karena memiliki suatu ajaran sendiri dan memiliki Tuhan yang juga
Tuhan yang Maha Esa. Masyarakat Badui yang mempercayai Sunda Wiwitan tercatat
berjumlah sekitar 11.700 jiwa. Dan apabila Penghayat Kepercayaan ini tidak
dimasukkan kepada kolom agama di KTP, maka Masyarakat Badui sebanyak 11 ribu
tersebut akan merasa tidak memiliki agama, dan hal ini tentu saja melanggar
ideologi Negara Indonesia sendiri. Nilai dari Pancasila pertama adalah
Ketuhanan yang Maha Esa, oleh karena itu semua masyarakatnya harus memiliki
agama yang diakui Negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Buddha, dan
Konghucu. Dengan kata lain Atheisme tidak boleh berkembang dan keberadaan
atheisme ini juga sudah diatur oleh UU dan PERPPU ORMAS di Indonesia. Apabila Penghayat
Kepercayaan tidak masukkan kedalam kolom agama di KTP, mungkin saja bisa
dikatakan mereka sebagai aliran atheisme karena kepercayaan mereka tidak
dicantum di KTP, kemudian juga masyarakat Badui tidak mempercayai/memiliki
agama lain selain Sunda Wiwitan.
Penolakan MUI sendiri tidak hanya
terhadap Sunda Wiwitan saja, ditarik lebih jauh kebelakang perlawanan MUI
terhadap Aliran Kepercayaan sudah sejak dahulu. Termasuk aliran kepercayaan Kerajaan
Tuhan Eden yang kasusnya pernah ramai diperbincangkan karena Liah Eden yang
mengaku sebagai Nabi dari Kerajaan Tuhan Eden ditangkap dan dimasukkan ke
penjara. Dan penangkapan Liah Eden ini tidak terlepas dari turun tanganya MUI
yang melawan aliran kepercayaan tersebut, dan mengenai ajaran Liah Eden dengan
perlawanan MUI ini sudah dijelaskan lebih rinci di dalam buku berjudul “Agama-Agama
Nusantara” yang ditulis oleh Pak Makin, dosen Sosiologi Agama UIN Sunan
Kalijaga.
Dalam ajaran Islam, termasuk didalam
Al-Qur’an dan Hadist, dikatakan bahwa tidak ada lagi Nabi setelah Nabi
Muhammad. Dengan ajaran tersebut, MUI kemudian semakin memperjelas dengan mengeluarkan
fatwa No. 768/MUI/XII/1997, yang menerangkan bahwa setelah kenabian Muhammad,
Jibril tidak akan pernah datang lagi ke bumi untuk menunjuk nabi lain. Dengan
pengakuan Liah Eden sebagai nabi dan juga ceritanya tentang kedekatanya dengan
Malaikat Jibril secara jelas menyalahi ajaran Islam dan Fatwa MUI. Atas dasar
inilah MUI kemudian melawan ajaran-ajaran Kerajaan Tuhan Eden.
Bentuk perlawanan MUI kepada
Kerajaan Tuhan Eden dilakukan dengan cara menuntut Kerajaan Tuhan Eden atas
dasar Penistaan Agama. Tuntutan tersebut akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan
dan memutuskan agar memenjarakan Liah Eden selama 2 Tahun 6 Bulan pada tahun
2006. Seolah-olah tidak kapok, Liah Eden yang baru keluar penjara tetap
melanjutkan dakwah ajarannya dan kemudian dituntut kembali oleh MUI dengan
dasar Penistaan Agama lagi. Akhirnya tuntutan itu pun kembali dikabulkan oleh
pengadilan dan mengeluarkan hukuman 2.5 tahun pada 2 Juni 2009.
Fatwa dan Fakta
Dari beberapa penjalasan penulis
diatas, pastilah pembaca masih bertanya-tanya apa hubunganya penjelasan
tersebut dengan fatwa dan fakta. Baiklah, pertama-tama kita perlu tahu apa itu
fatwa, fatwa adalah pendapat, saran, atau tafsiran pada suatu masalah yang
berkaitan dengan hukum Islam. Dalam kasus Indonesia, yang bertugas dalam
mengeluarkan fatwa di dalam Islam adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia). Fatwa
MUI tidak mengikat semua orang, hanya orang-orang Islam yang memang memiliki
ikatan terhadap MUI itu sendiri dan fatwa MUI tidaklah bersikap memaksa seperti
Hukum atau dengan kata lain fatwa MUI tidak wajib dilakukan. Kemdian fakta
disini maksudnya adalah suatu masalah yang memang berkembang di masyarakat,
baik yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi.
Sekarang masuk ke dalam permasalahan
mengenai Aliran Kepercayaan. Aliran Kepercayaan seperti yang sudah penulis
jelaskan di atas, bahwa Eksistensi Aliran Kepercayaan sudah diberikan wewenang
oleh Negara (sudah diatur oleh Hukum) dan juga perkembangan Aliran Kepercayaan
ini sudah diberi izin dan dilindungi hak nya oleh Negara.
Yang menjadi persoalan disini ialah
bahwa Fatwa MUI yang mengatakan tidak ada Nabi setelah Muhammad, itu apakah harus
di lakukan oleh semua orang, semua agama atau aliran kepercayaan?. Padahal
fatwa MUI secara umum itu tidak bersifat mengikat, hanya mengikat terhadap
golongan yang memang sudah terikat saja seperti Masyarakat Islam. Kemudian
melihat fakta yang terjadi, bahwa Liah Eden dituntut oleh MUI karena menyalahi
fatwanya yang mengatakan tidak ada nabi setelah Muhammad kemudian tuntuntan
tersebut dilayangkan atas dasar penistaaan agama, padahal Liah Eden memiliki
suatu ajaran sendiri yang berbeda dengan Islam, apakah memang harus mengikuti
fatwa MUI juga?.
Oleh karenanya Fatwa yang seharusnya
sekedar anjuran atau saran saat ini berbanding terbalik dengan fakta yang
teradi di lapangan. Fatwa oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam
dipandang sebagai dasar hukum yang harus dilakukan. Tentu saja hal ini akan
menimbulkan pertanyaan dimanakah posisi Fatwa MUI yang sebenarnya?, apakah
diatas hukum atau dibawah hukum?.
Hal ini menimbulkan suatu kejadian
sosial yang menarik untuk dikaji, bagaimana suatu Fatwa yang sebenarnya dibawah
Hukum, menjadi sesuatu yang berkembang dimasyarakat berbeda dengan yang diatur
hukum. Malah hukum sendiri dipikiran masyarakat kalah tingkatannya dibandingkan
suatu fatwa agama.
Kesimpulan
Didalam pikiran masyarakat Indonesia yang mayoritas
agama Islam memungkinkan untuk timbulnya rasa memiliki yang kuat. Maksudnya masyarakat
mayoritas dapat mempunyai rasa memiliki Negara Indonesia. Padahal Negara
Indonesia terbentuk tidak hanya berasal dari kalangan Agama Islam saja, tetapi
dari kalangan/golongan lain.
Dengan Masyarakat Islam yang
mayoritas, MUI sebagai Lembaga agama Islam bisa saja merasa memiliki hak yang
lebih banyak dari pada agama lain. Semua orang dari berbagai golongan
diharapkan untuk memenuhi atau melaksanakan fatwanya. Dan karena faktor inilah
yang mungkin membuat masyarakat Indonesia lebih condong merasa bahwa Fatwa itu
lebih mewajibkan dari pada Hukum Negara. Hal ini dapat saja terjadi apabila
pemikiran masyarakat Indonesia lebih kuat kearah religusitas atau agama.
Maksudnya segala hal itu harus sesuai dengan agama, dan hal-hal yang berbau
duniawi itu tidak baik. Mungkin teori Karl Marx yang mengatakan bahwa Agama
membuat manusia terasingkan dapat berlaku disini.
Meskipun pembaca tidak merasa bahwa
Fatwa Agama tidaklah lebih tinggi dari pada Hukum Negara, tetapi banyak
diantara pembaca-pembaca yang lain yang mungkin dimasa kecilnya pernah merasa
seperti itu. Karena Penulis yang memang dibesarkan di daerah yang kental akan
ajaran agama nya juga pernah merasa bahwa Fatwa Agama dari MUI itu bersifat
wajib seperti Al-Qur’an ataupun hadist.
0 komentar:
Post a Comment