Peran Habib Syech Assegaf Dalam Meningkatkan Semangat Cinta Tanah Air Para Pencinta Sholawat Disertai Analisisnya Dalam Perspektif Hadis


Habib Syech Assegaf, s.kompasiana.com

Akhir-akhir ini jika kita melihat dari suatu sisi dalam kehidupan beragama khususnya agama Islam yang mayoritas di Indonesia, seakan-akan ada dinding pemisah antara agama dan negara. Fenomena ini mungkin juga disebabkan pandangan masyarakat pada banyak pemimpin negara yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan agama yang pada akhirnya mengakibatkan pemahaman bahwa negara -atau lebih spesifiknya lagi para pemimpinnya- merupakan hal yang berbeda dengan agama. Negara dipadang sebagai hal yang duniawi dan tidak menguntungkan atau bukan merupakan bekal bagi kehidupan di akhirat kelak.
Oleh karena itu, penulis mencoba melihat peran ulama yang berusaha membangkitkan jiwa cinta tanah air atau Hubbul Wathan bagi para masyarakat yang mayoritas muslim ini. Karena latar belakang penulis yang hobi berkecimpung dalam jam’iyah shalawat dan yang berhubungan dengannya, maka penulis mencoba mengamati seorang tokoh dari para habaib yang populer dan berpengaruh dalam dunia persholawatan ini, yaitu Habib Syekh ibn Abdul Qadir As-Segaff, seorang habib dari Solo yang berkeliling di Indonesia khusunya di Pulau Jawa yang mengajak masyarakat beramai-ramai bersholawat bersama dengan nuansa baru dan dukungan massa yang besar.
Rumusan Masalah
1.      Apa pengaruh Habib Syekh dalam meningkatkan semangat cinta tanah air masyarakat ?
2.      Bagaimana upaya yang dilakukan Habib Syekh untuk meningkatkan semangat cinta tanah air masyarakat ?


Hasil yang Ingin Dicapai
Dengan mengetahui hal tersebut diharapkan kepada kita semua untuk menyadari bahwa semangat Hubbul Wathan merupakan keharusan dan kewajiban kita semua dalam menegakkan keutuhan NKRI dan mengetahui bahwa para ulama sangat menekankan pada kita semua jiwa kewarganegaraan agar tidak saling menyalahkan dalam urusan kenegaraan dan menyadarkan bahwa negara ini milik kita. Dan kita sebagai warga negara juga harus merasa saling memiliki untuk menjaga negara kesatuan ini dan menguatkan relasi antara agama dan negara sebagaimana yang tercantum pada sila pertama pancasila sebagai dasar negara Indonesia tercinta ini.
Pembahasan
Banyak orang yang mulai ragu dengan pentingnya nasionalisme. Apalagi di era seperti ini, mobilitas sosial dan globalisasi informasi menjadikan sekat teritorial tidak begitu terasa lagi. Dunia menjadi global village, desa kecil, masing-masing individu di dalamnya dapat berinteraksi dan bertukar informasi dengan mudah. Namun masyarakat Palestina tidak merasakan itu. Palestina adalah bangsa yang tidak memiliki kedaulatan, tidak memiliki tanah air secara definitif, gambaran Palestina bisa menjawab seperti apa pentingnya tanah air, kedaulatan, negara dan nasionalisme.
Indonesia kini seolah dibawa kembali ke awal tahun-tahun 1900-an, ketika kaum nasionalis merasa bahwa kesatuan itu harus digalang. Namun mereka kekurangan alat dan jalan. Keyakinan akan adanya kesatuan timbul pada tahun 1928. Namun muncul persoalan apakah Indonesia itu harus satu? Apa yang memungkinkan kesatuan itu? Apakah Indonesia harus terpisah-pisah dan membuat Indonesia tidak ada lagi?
Semua pertanyaan yang kedengarannya mengada-ada itu tiba-tiba di penghujung abad dua puluh dan di awal abad dua puluh satu menjadi riil dan mengguncang-guncang bangsa ini dari semua kepastian dan keyakinan dari semua janji dan sumpah yang diberikan pada tahun 1928. Yang tadinya the holy trinity, tri tunggal suci –bahasa, bangsa dan tanah air- kini berubah menjadi the unholy triniy yang mendepak satu sama lain. “Satu bahasa” tidak lagi dengan sendirinya mengharuskan Indonesia jadi “satu bangsa”. Riau, tempat asal bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Pada tahun 1983, pernah bergolak memisahkan diri. Dan terutama “satu tanah air” tidak dengan sendirinya mengharuskannya jadi “satu bangsa”. Aceh dan Papua adalah contoh paling berdasar. Dan bukti paling faktual adalah Timor-Timur yang kini menjadi Timor Leste.
Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk meneguhkan keutuhan NKRI, kedaulatan, ke-bhineka-an menjadi niscaya. Di saat pesatnya “impor” Islam Transnasional dari Timur Tengah yang menentang demokrasi dan bentuk Negara Republik, paham-paham yang menyuburkan radikalisme dan sikap intoleran, Maulid Nabi hadir dengan dua peran pentingnya; meneguhkan spiritualitas dan mengokohkan nasionalitas.[1] Habib Syekh dengan perayaan maulid secara konsisten menyemai dan menyebarkan pentingnya nasionalisme dan cinta tanah air.  
Sebelum pembahasan yang lebih lanjut, sebaiknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang keadaan relasi agama dan negara di Indonesia. Sejak pasca kolonial, memang telah muncul persoalan mengenai bentuk negara ini, apakah Indonesia akan menjadi negara berdasarkan agama, ataukah Indonesia akan bercorak negara-bangsa (nation state) merupakan gambaran betapa masalah Islam dan negara merupakan persoalan yang sensitif untuk diperdebatkan. Untuk memecah kebuntuan dalam serangkaian perdebatan itu, akhirnya diselesaikan dengan menerima Indonesia sebagai negara-bangsa dan Pancasila sebagai dasarnya.[2]
Dari serangkaian ringkasan historis tersebut, maka negara Indonesia menetapkan cita-citanya berdasarkan Pancasila dan meninggalkan agama sebagai dasar hukumnya dan menuju ke sekularisasinya, meskipun dalam bidang-bidang tertentu masih menetapkan beberapa hukum agama Islam dalam beberapa penetapannya. Oleh karena itu, sekularnya Indonesia tidak seperti negara-negara sekuler lain. Di Indonesia agama sebagai spirit bernegara, pada model ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nilai-nilai agama menjadi spirit penyelenggara dan penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat berdasarkan keyakinan agamanya itu.[3]
Sebagaimana yang telah disebutkan di muka bahwa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai asas dan ideologinya. Ideologi ini unik, karena negara tidak mengharuskan untuk memeluk agama tertentu ataupun negara lepas tangan dari urusan agama. Di negara yang sekuler yang menganggap agama hanya sebagai privasi masing-masing individu dan tidak memerdulikan apakah warganya beragama atau tidak. Ideologi Pancasila mewajibkan warganya untuk memeluk agama, tetapi tidak mewajibkan agama tertentu selama tidak keluar dari sila pertama Pancasila. Negara memfasilitasi keberadaan agama dibuktikan dengan adanya Kementrian Agama yang secara khusus menangani permasalahan keagamaan. Tetapi negara hanya mengakui enam agama, jadi agama-agama lain di Indonesia belum bisa mendapat dukungan negara selama negara belum mengakui keberadaan dan eksistensinya.
Secara umum, kaidah hukum di Indonesia tidak terlepas dari prinsip maslahah al-ummah dalam ajaran Islam yang biasa dikenal dengan istilah maqasid syari’ah, yang berdasarkan pada lima aspek yaitu, Hifz al-Din, Hifz al-Nafs, Hifz al-Nasl, Hifz al-Mal, Hifz al-Aql, yang kesemuanya berimplikasi pada hukum di Indonesia.[4]
Secara realitas diketahui bahwa Islam adalah agama yang mayoritas di Indonesia, dan pasti memiliki pengaruh yang besar dalam penyerapan hukumnya. Maka dari itu perlu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik agar ruh al-da’wah yang diajarkan oleh Nabi masih bisa diterapkan saat ini.
Sebelum kita ke pembahasan yang lebih lanjut, ada baiknya jika mengetahui terlebih dahulu latar belakang dan siapa itu Habib Syekh. Seorang Habib yang memiliki jamaah yang cukup banyak yang setia untuk mendatangi acara-acara beliau.
Habib syekh merupakan anak pertama dari delapan bersaudara, dari pasangan Abdul Qadir bin Abdurrahman dan Bustar binti Umar al-Qaziri. Beliau lahir pada tahun 1961. Sejak kecil Habib Syekh sudah dilatih untuk mengenal kedisiplinan, selain itu beliau juga menyenangi pelajaran-pelajaran agama yang didapat baik dari sekolah maupun di luar sekolah, tidak hanya itu saja tetapi juga kesetiaan terhadap saudara dan tenggang rasa kepada sesama.[5]
Pendidikan agama Islam beliau pertama kali diperoleh langsung dari ayahnya. Beliau juga dididik oleh pamannya Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaff yang berasal dari Hadramaut Yaman. Beliau juga mendapat pendidikan dan perhatian penuh dari Habib Muhammad Anis Alwy Al-Habsyi seorang Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi.[6]    
Latar belakang pendidikan beliau berawal dari SD di Ponegoro, lanjut ke SMP Al-Islam dan SMA Al-Islam tetapi tidak sampai selesai karena adanya faktor ekonomi. Pada usia 20 tahun beliau pergi ke Saudi Arabia untuk mencari rizki karena beliau adalah tulang punggung keluarga setelah ayah beliau. Pada tahun 1990 Habib Syekh mempersunting seorang gadis dari Madiun, yang bernama Sayyidah yang pada waktu itu masih berusia lima belas tahun, sedangkan Habib Syekh sendiri berumur tiga puluh tahun.
Kegiatan dakwah beliau  telah dimulai sejak tahun 1980, waktu itu beliau masih terbatas dengan mengikuti kegiatan yang diadakan masyarakat setempat. Selama terlibat dalam kegiatan tersebut, beliau memberikan pelayanan kepada masyarakat yang semakin lama mengundang minat masyarakat menjadi banyak. Rasa simpati dan kepercayaan itu beliau manfaatkan untuk berdakwah dan memberikan pengajian di rumahnya.[7]
Habib Syekh pernah menjadi saudagar sukses namun tidak lama kemudian menjadi gulung tikar. Saat itu Habib Syekh dalam kondisi yang terpuruk, beliau banyak menerima hinaan dan dianggap sebagai Habib jadi-jadian. Tapi beliau menghadapinya dengan kesabaran dan menunjukkan sikap sangat sederhana dan gemar menolong orang lain.[8]
Perjuangan dakwah Habib Syekh berawal dari kota Solo. Majelis sholawat yang kini telah mempunyai ribuan pengikut yang diberi nama Ahbabul Musthofa. Jamiyah ini merupakan salah satu wadah yang mengajak umat Islam memperkuat rasa cintanya kepada Nabi Muhammad SAW, majelis ini berdiri pada tahun 1998 di kota Solo yang didirikan oleh beliau.[9]
Sebelum itu, beliau juga mendirikan sebuah forum silaturrahmi yang disebut Forum Silaturrahmi Jumat Legi (Fosmil). Pendirian Fosmil ini terilhami dari kunjungan silaturrahni Ramadhan yang diadakan para pemuda Pasar Kliwon sejak tahun 1980-an. Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan ini berkembang dengan adanya kegiatan baru yaitu pembinaan ke pedesaan. Melihat manfaat dan hasil yang dicapai, para jamaah berinisiatif untuk menggabungkan kegiatan tersebut ke dalam sebuah organisasi. Insiatif ini lahir demi efisiensi dan, waktu dan tenaga.[10]
Acara Fosmil ini karena merupakan jadwal rutin, maka diperlukan biaya juga. Pada awalnya, beliau bersama jamiyah beliau lah yang membiayai acara tersebut, lalu lama kelamaan dikarenakan animo masyarakat terlihat meningkat, maka telah terdapat donatur-donatur tetap yang siap untuk membantu mensukseskan acara tersebut.
Kembali ke jamiyah Habib Syekh saat ini yaitu jamiyah Ahbabul Musthofa. Ahbabul Musthofa  adalah komunitas berkumpulnya para pecinta beliau. Yang dalam dakwah Beliau selalu mengajak kita untuk selalu mencintai Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW, dan mencintai sesama manusia.[11]
 Sampai saat ini terdapat banyak anggota dimana-mana yang setia untuk meramaikan acara maulid yang dipimpin oleh Habib Syekh. Mereka ini adalah jamiyah terlihat luar biasa, apalagi jika kita pertama kali melihatnya. Dan mereka ini menamakan diri mereka dengan nama Syekher Mania, yaitu orang-orang yang mencintai Habib Syekh dan setia mengikuti acara maulid di manapun dan kapanpun selama mereka mampu untuk mendatanginya. Mereka untuk mengikuti acara beliau bermacam-macam, ada yang naik motor, rombongan mobil dan bahkan jalan kaki hanya untuk mengikuti acara jamiyah ini.
Cuaca tidak mengganggu semangat mereka, karena terdapat suatu rasa kecintaan dalam diri mereka. Mereka mengikuti acara dari awal hingga akhir. Ikut bersholawat dan bahkan menari-nari dengan gayanya masing-masing. Mereka menikmati setiap runtutan acara demi acara dan biasanya di tengah-tengah acara ada suatu sambutan atau pengajian yang disampaikan oleh Habib Syekh, mereka mendengarkannya dengan baik dan memberi respon apabila Habib Syekh memberikan pertanyaan kepada mereka.
Mereka semua mengidolakan Habib Syekh dan sangat mempercayai beliau. Bahkan dalam setiap acara maulid Habib Syekh, beliau selalu dikawal oleh para polisi dan banser yang menjaga dari rebutan massa yang sebenarnya hanya ingin mencium tangan beliau, mencari barokah beliau sebagai Habib yang notabene merupakan keturunan Rasulullah dan juga merupakan ulama dan guru mereka yang sangat mereka taati.
Dan beliau sendiri juga telah mampu memanfaatkan momen-momen dan kepercayaan mereka sebagai sarana dakwah. Dalam hal ini beliau cukup sukses dengan dibuktikan banyaknya masyarakat yang telah percaya kepada beliau.
Dalam menerapkan metode dakwah. Beliau menggunakan dua metode yaitu, Pertama dakwah bi al-lisan, yaitu dakwah dengan menggunakan nasehat-nasehat yang beliau ungkapkan kepada jamiyahnya pada acara maulid, fosmil, tanya-jawab atau menghadap langsung pada beliau. Kedua dakwah bi al-hal, yaitu dakwah dengan perbuatan, diantaranya yaitu sifat-sifat beliau yang ramah, murah senyum, silaturrahmi, pendidikan dan pengajaran agama,[12] kesediaan beliau berkeliling Indonesia untuk menyebarkan sholawat  dan perilaku sehari-hari beliau yang dapat membuat jamiyahnya semakin mencintai beliau.
Nasehat-nasehat beliau dalam setiap acara maulid tidak pernah luput dalam mengajak masyarakat untuk mencintai negara Indonesia ini. Dan meningkatkannya agar merasuk dalam diri jamiyahnya suatu rasa memilik negara ini. Beliau selalu mengisi nasehat tentang cinta tanah air ini karena sebagian besar jamiyah sholawat beliau merupakan pemuda-pemuda calon penerus bangsa dan negara ini. Jika bukan mereka, maka siapa lagi yang akan menjaga negara Indonesia ini.
Beliau mengajarkan bahwa kita sebagai masyarakat yang beragama juga memerlukan adanya negara yang dapat menjamin dan menjaga umat beragama ini. Negara ini bukan hanya milik petinggi dan pejabat negara, tapi negara ini milik kita semua. Oleh karena itu, kita sebagai pemilik bersama negara ini harus ikut berkontribusi dengan cara menggandeng aparat keamanan dan semua yang terlibat dalam negara ini.
Kita semua bekerja sama untuk menjaga negara ini tanpa memandang perbedaan di antara kita semua. Hidup ini indah jika ada perbedaan di antara kita, semisal tidak ada perbedaan itu maka kehidupan akan membosankan dan tidak menarik. Perbedaan itulah salah satu cara untuk meningkatkan rasa toleransi sesama. Berbeda itu tidak masalah selama pihak yang berbeda tidak menyalahkan yang lain.
Beliau mengajarkan bahwa negara Indonesia ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun negara ini bukanlah negara muslim, yang penting adalah eksistensi umat muslim dalam menjalankan aktivitas keagamaan tidak dicekal dan diberi kebebasan dan undang-undang yang diatur tidak bertentangan dan bahkan Pancasila sendiri sangat sesuai dengan ajaran dasar agama yang termuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Habib Syekh ini adalah salah seorang ulama yang sukses menjadi da’i kepada masyarakat. Beliau mengajarkan toleransi terhadap perbedaan, karena bagi beliau perbedaan adalah rahmat. Terhadap golongan lain yang berbeda pendapat, beliau juga toleran dan juga mengajarkannya kepada para jamiyahnya. Beliau mengajarkan bahwa dakwah Islam itu harus dengan kedamaian sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama, habaib dan wali songo terdahulu.
Beliau juga mengingatkan bahwa Islam itu tidak radikal dan tidak mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Karena jika ajaran Islam menghabisi setiap orang kafir, maka hanya Rasulullah saja yang Islam. Padahal Rasulullah mengajarkan toleransi dan tidak serta merta langsung menyelahkan dan membuang adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan mewarnai budaya tersebut dengan nuansa Islam dan secara bertahap menghentikan budaya yang tidak sesuai dengan agama Islam.
Tapi ada beberapa kelemahan dari dakwah yang diajarkan oleh Habib Syekh, yaitu Pertama, beliau dalam berdakwah terlalu menggunakan identitas suatu kelompok yaitu NU. Padahal sasaran dakwah tidak semua orang adalah orang NU. Dan ini mengakibatkan beberapa orang yang selain NU yang fanatik tidak memerdulikan ajaran dan dakwah yang beliau sampaikan.
Kedua, beliau itu termasuk Habib yang keras, ini terlihat pada larangan beliau pada jamiyahnya untuk mengikuti sebagaimana yang dilakukan beberapa mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang mengikuti acara Natal di gereja. Mungkin ini disebabkan karena kehati-hatian beliau kepada para jamiyahnya yang keyakinannya belum cukup kuat akan dapat terpengaruh. Dan sebagaimana yang terdapat pada kelemahan yang pertama, yaitu dalam berdakwah juga terlalu menggunakan identitas Islam. Padahal dalam peningkatan kecintaan terhadap tanah air tidak hanya kepada umat Islam saja, melainkan dengan umat-umat beragama yang lain.
Ketiga, sasaran dakwah beliau hanya terbatas pada para Syekher Mania dan para jamiyahnya semuanya. Baik yang secara langsung mengikuti acara maulid, melalui kaset-kaset, melalui TV, ataupun yang mengikuti acara rutinan beliau yang lain yaitu Fosmil.
Tapi ketiga kelemahan di atas bisa tidak dianggap bila kita melihat sasaran dakwah Habib Syekh memang hanya tetuju pada umat muslim NU yang mengikuti acara maulid beliau. Karena kemungkinan itu juga bisa dilihat bahwa tiga unsur itulah yang merupakan pecinta sholawat yang rela memberikan waktu, tempat dan tenaga bahkan biaya untuk menyemarakkan acara sholawat bersama-sama dalam rangka karena kecintaan pada Rasulullah dan mengharap pada syafaatnya.
Ajakan mencintai tanah air dalam acara maulid tersebut tampak pada salah satu rangkaian acaranya. Sebagaimana yang terakhir kali penulis ikuti, sebelum acara maulid tersebut dibacakan terlebih dahulu janji-jani para syekher mania. Yaitu janji-janji yang isinya mengajak para Syekher Mania untuk terus melestarikan sholawat dan siap untuk menjaga negara ini.
Sebelum acara juga diawali dengan menyanyikan salah satu lagu kebangsaaan yaitu padamu negeri yang dipimpin oleh seseorang. Mereka semua berdiri untuk menyanyikan lagu tersebut. Dan pelantunan lagu ini juga diharapkan untuk meningkatkan kecintaan para Syekher Mania yang dengan khidmat melantunkan lagu tersebut disertai mengibarkan bendera negara Indonesia yang juga mereka bawa.
Rasa nasionalisme dan cinta tanah air juga terlihat pada penutupan acara maulid ini. Yaitu setelah membaca sholawat Ya Nabi Salam Alaika dengan berdiri atau yang biasa dikenal dengan nama Mahallul Qiyam dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan negara Indonesia yaitu lagu Indonesia Raya dengan tetap berdiri.
Mereka semua bersemangat dalam melantunkan lagu kebangsaan tersebut, karena kecintaan mereka kepada acara maulid ini yang ditutup dengan pelantunan lagu Indonesia Raya merupakan momen yang pas dan mengena di hati para Syekher Mania, selain karena Habib Syekh yang mereka cintai memimpin dan mengajak mereka untuk bersama menyanyikan lagu tersebut yang diharapkan meningkatkan rasa cinta kepada tanah air sebagaimana rasa cinta mereka kepada Rasullulah.
Sebagaimana dakwah pada umumnya, dakwah dengan acara maulid ini juga memilik faktor pendukung dan penghambat, faktor pendukungnya yaitu:[13]
1.      Kebesaran jiwa Habib Syekh
2.      Adanya tekad yang kuat
3.      Timbulnya kesadaran pada diri masyarakat
4.      Adanya sarana ibadah
5.      Kader-kader
6.      Dakwah bi al-mal, selain bi al-lisan dan bi al-hal
7.      Umat yang datang
8.      Adanya kerja sama antara Habib dengan jamaah
9.      Lingkungan yang kondusif
10.  Akhlaq al-karimah
Dan faktor penghambatnya ada dua yaitu:[14]
1.      Habib memberi ceramah karena ingin mencari duit
2.      Kurang adanya partisipasi masyarakat
Dua faktor di atas tidak lain karena disebabkan oleh ketidak tahuan dan ketidak kenalan mereka kepada Habib Syekh. Faktor pertama yaitu beliau dianggap mencari uang, padahal beliau sendiri jarang menerima uang tersebut apalagi memintanya. Beliau lebih sering mengembalikannya atau jika diterima maka digunakan untuk hal yang sebaik-baiknya untuk kemaslahatan masyarakat bersama, karena Habib Syekh sendiri sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa beliau sudah memiliki donatur tetap yang siap membiayai setiap keperluan acara maulid nabi.
Dan faktor kedua adalah karena ketidak tahuan mereka terhadap Habib Syekh dan para jamiyah maulid beliau. Cara mengatasinya adalah dengan cara mendekati mereka, terutama para petinggi dan sesepuh mereka dan dengan cara memberi pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya sholawat dan rohaniyah dalam menjalani kehidupan yang serba terbatas ini.
Dikarenakan penulis adalah mahasiswa dari program studi Ilmu Hadis, maka akan lebih baik jika mengaitkan pembahasan cinta tanah air ini dalam perspektif Hadis.
Pertama yang diambil adalah sebuah Hadis yang sangat populer yaitu,
حب الوطن من الإيمان
Mencintai tanah air adalah sebagian dari iman
Hadis ini dinilai oleh sementara orang sebagai suatu yang dapat menumbuhkan semangat cinta tanah air dan menyuburkan rasa kebangsaan. Karenanya, ia sering disebut-sebut dalam upacara-upacara untuk menggugah semangat cinta tanah air dan kebangsaan.
Hadis ini termasuk populer di kalangan masyarakat. Dan sebagai datanya, ia tercantum dalam kitab-kitab tentang Hadis populer. Namun para ulama hadi sepakat bahwa Hadis tersebut adalah palsu.
Imam al-Suyuti misalnya, ketika mengomentari Hadis itu beliau berkata, lam aqif ‘alaihi (saya tidak menemukannya). Begitu pula Imam al-Sakhawi juga mengatakan seperti itu, meskipun menurutnya substansi Hadis ini sahih. Ungkapan al-Suyuti dan al-Sakhawi itu adalah istilah untuk Hadis maudhu’ (palsu).
Kendati Hadis ini sudah dinyatakan sebagai Hadis palsu, namun para ulama masih memperdebatkan substansinya. Al-Sakhawi misalnya mengatakan bahwa hadis ini palsu tetapi substansinya sahih. Pendapat al-Sakhawi ini langsung disanggah oleh Ali al-Qari. Kata Ali al-Qari, pendapat yang mengatakan bahwa makna atau substansi Hadis itu sahih adalah aneh sekali, sebab tidak ada kaitan antara cinta tanah air dengan iman. Lagi pula ada ayat yang mengatakan,
öqs9 Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. (Qs. Al-Nisa: 66).
Menurut al-Qari, ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik itu mencintai tanah air mereka, dan ternyata mereka tidak beriman. Karenanya, tidak ada keterkaitan (talazum) antara cinta tanah air dengan iman.
Dan bagaimanapun juga, sekiranya substansti ungkapan itu sahih, maka hal itu juga tidak akan mengubah status ungkapan tersebut menjadi sebuah Hadis sahih. Ia tetap saja sebagai Hadis palsu apabila dinisbahkan kepada Rasulullah. Karenanya, ungkapan-ungkapan yang bersubstanti sahih atau tidak, sebaiknya disebut saja sebagai kata-kata hikmah atau kata-kata mutiara, agar kita selamat dari ancaman masuk neraka.[15]
Dikarenakan Hadis tersebut telah terbukti palsu menurut para ulama Hadis, maka penulis mencoba mengambil Hadis lain yang dikutip dalam kitab sahih Bukhari yang telah diakui kesahihannya oleh para ulama Hadis. Hadis tersebut yaitu,
اللهم حبب إلينا المدينة كحبنا مكة أو أشد
Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai, sebagaimana kami mencinta Makkah atau bahkan lebih dari itu. (HSR. Bukhari no 1756).
Hadis di atas termasuk Hadis yang sahih, selain karena diriwayatkan oleh Imam Bukhori, penulis juga membandingkan semua sanad yang ada dalam kutub al-tis’ah dengan aplikasi CD Maushuah Hadis Syarif. Dan dari 14 sanad, ditemukan 10 sanad sahih, 2 sanad hasan dan 2 sanad dhaif. Maka bisa disimpulkan bahwa Hadis ini merupakan Hadis sahih yang bisa digunakan sebagai hujjah.
Hadis yang disebutkan di atas merupakan suatu potongan dari matan Hadis tersebut yang cukup panjang, karenanya langsung diambil pokok pembahasannya yang berhubungan dengan topik ini tanpa mengurangi makna yang dikandungnya.
Hadis ini merupakan doa Rasulullah ketika beliau hendak hijrah ke Yasrib –Madinah saat ini- agar diberi kecintaan pada beliau dan kaum muhajirin pada kota Yasrib sebagaimana rasa cinta mereka pada kota Makkah. Ini menunjukkan bahwa sikap cinta tanah air itu penting dan Rasulullah sendiri juga melakukannya. Karena Islam tidak bisa eksis dan bebas melaksanakan syariat Islam tanpa adanya tanah air. Dan tanah air atau negara apabila tidak terdapat pokok-pokok syariat di dalamnya, dikhawatirkan akan menimbulkan masyarakat bebas tanpa terkontrol yang dapat merusak keutuhan negara tersebut.




[1] Ahmad Tsauri, Sejarah Maulid Nabi; Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan Sejak Khaizuran (173 H.) Hingga Habib Luthfi Bin Yahya (1947 M.-Sekarang), Pekalongan: Menara Publisher, 2015, hlm. 31-33.
[2] Hasyim Asy’ari, Relasi Agama dan Negara di Indonesia, dalam artikelnya, hlm. 4.
[3] Hasyim Asy’ari, Relasi Agama dan Negara di Indonesia, dalam artikelnya, hlm. 2.
[4] Hasyim Asy’ari, Relasi Agama dan Negara di Indonesia, dalam artikelnya, hlm. 5.
[5] Supidah, Metode Dakwah Habib Syekh (Dalam Upaya Membentuk Perilaku Keagamaan Masyarakat) Di Kota Solo. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 33.
[6] Maiana Nurohma, Motif Sosial Jamaah Pengajian, Sholawat dan Dzikir Bersama Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaff, Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2014, hlm. 32-33.
[7] Supidah, Metode Dakwah Habib Syekh..., hlm. 33.
[8] Maiana Nurohma, Motif Sosial Jamaah..., hlm. 34.
[9] Maiana Nurohma, Motif Sosial Jamaah..., hlm. 33.
[10] Supidah, Metode Dakwah Habib Syekh..., hlm. 38.
[11] Lukman Muhammad Arifianto, “Tradisi Shalawatan Dalam Perspektif Habib Syekh dan Ahbabul Musthofa” dalam http://blog.ugm.ac.id/2010/11/04/tradisi-shalawatan-dalam-perspektif-habib-syekh-dan-ahbabul-mushthofa/, diakses tanggal 29 Mei 2016.

[12] Supidah, Metode Dakwah Habib Syekh..., hlm. 58.
[13] Supidah, Metode Dakwah Habib Syekh..., hlm. 68-71.
[14] Supidah, Metode Dakwah Habib Syekh..., hlm. 71-72.
[15] Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014, hlm. 74-76.

0 komentar:

Post a Comment