Pemahaman Hadis Hermeneutik dan Ensiklopedis

Bukalapak



Syarah hadis merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dari hadis dan kajian ini akan
terus berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan persoalan keagamaan.
Karena itu, cara dan model pensyarahan hadis yang ada menjadi point perhatian utama untuk
mendapatkan hasil yang tepat dari mengkaji sebuah pesan Nabi. Dan bagaimanapun juga
memahami metodologi syarah hadis di era klasik dan kontemporer yang memiliki perbedaan
dan kesamaan menjadi pembacaan dan peneropongan yang cukup menarik untuk segera
dicermati, alih-alih memahami cara dan sistem bagaimana ulama ahli hadis yang berbeda
zaman pada saat itu memberikan tawaran yang cukup berbeda. Tentu dengan kekuatan
analisa dan eksperimen pensyarahan yang ditampilkan saat itu yang hampir sudah dibilang
mencukupi taraf keilmuan menjadi persoalan lain untuk dibicarakan.1
Metode pensyarahan hadis yang bermacam-macam akan menambah khazanah dan
menjadi alternatif ketika suatu metode mengalami ketidakcocokan dalam suatu kasus hadis.
ada perbedaan yang cukup signifikan antara metode pensyarahan klasik-pertengahan dengan
kontemporer. Metode pensyarahan kontemporer nampak lebih segar digunakan pada saat ini
dibanding metode klasik-pertengahan karena inovasi pendekatan yang digunakan lebih luas
dan tidak hanya sebatas tekstual dan terpacu pada hadis tersebut. Diantara metode tersebut
adalah metode hermeneutik dan ensiklopedis yang termasuk baru dalam diskursus hadis dan
sangat menarik untuk dibahas.
Dalam tulisan ini akan memunculkan dua rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana pemahaman hadis hermeneutik?
2. Bagaimana pemahaman hadis ensiklopedis?
1
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012). Hlm. v.

B. Pemahaman Hadis Hermeneutik
Kata hermeneutik dapat diasalkan dari kata bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
menerjemahkan atau bertindak sebagai penafsir. Di dalam kegiatan menerjemahkan sebuah
teks berbahasa asing ke dalam bahasa kita sendiri, kita harus memahami terlebih dahulu dan
kemudian mencoba mengartikulasikan pemahaman kita itu kepada orang lain lewat pilihan
kata dan rangkaian terjemahan kita. Menerjemahkan bukanlah sekedar menukar kata-kata
asing dengan kata-kata dalam bahasa kita, melainkan juga memberi penafsiran, maka kata
hermeneuein itu memiliki arti yang cukup mendasar untuk menjelaskan kegiatan yang
disebut hermeneutik.2
Konsep memahami dihubungkan dengan dengan hermeneutik karena kegiatan inti
hermeneutik adalah memahami. Hermeneutik bukanlah istilah modern, melainkan sebuah
istilah kuno yang dapat ditelusuri sampai zaman Yunani kuno. Etimologi ini terkait dengan
Hermes, tokoh dalam mitologi Yunani yang betindak sebagai utusan dewa-dewa untuk
menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada manusia. Yang dilakukan Hermes lalu menjelaskan
sebagian pengertian hermeneutik. Sebelum menyampaikan pesan-pesan dewata itu kepada
manusia, Hermes harus lebih dahulu memahami dan menafsirkan pesan-pesan itu bagi
dirinya, dia baru menerjemahkan, menyatakan dan menyuratkan maksud pesan-pesan itu
kepada manusia.3
Untuk memberi gambaran umum, upaya Richard E. Palmer untuk memberikan enam
definisi hermeneutik dapat membantu kita. Pertama, hermeneutik sebagai teori eksegesis
Alkitab. Pengertian ini adalah yang paling tua, muncul pasca Reformasi Protestan, dan masih
bertahan sampai saat ini. Kedua, hermeneutik sebagai metodologi filologis. Definisi ini
muncul lewat perkembangan rasionalisme di Eropa yang mencoba menafsirkan berbagai teks,
termasuk Alkitab, dalam terang nalar. Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman
linguistik. Definisi ini dapat kita telusuri dalam pemikiran Schleiermacher yang menciba
menggariskan “seni memahami” sebagai sebuah metode seperti yang terdapat dalam ilmuilmu modern. Keempat, hermeneutik sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sosial-humaniora.
Definisi ini dirintis oleh Dilthey yang mencoba mendasarkan ilmu-ilmu sosial-humaniora
dengan metode interpretatif. Kelima, hermeneutik sebagai fenomenologi Dasein dan
pemaaman eksistensial. Definisi ini berasal dari Heidegger, sebuah pendalaman konsep
2
F. Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: Kanisius, 2015). Hlm. 11-12.
3
Hardiman. Hlm. 10-11.
hermeneutik yang tidak hanya mencangkup pemahaman teks, melainkan menjangkau dasardasar eksistensial manusia. Keenam, hermeneutik sebagai sistem interpretasi. Definisi yang
berasal dari Ricoeur ini mengacu pada teori tentang aturan-aturan eksegesis dan mencakup
dua macam sistem, yakni pemulihan makna sebagaimana dipraktikkan dalam demitologisasi
Bultmann serta iklonoklasme atau demistifikasi sebagaimana dipraktikkan oleh Marx,
Nietzsche dan Freud.
Pengertian yang sangat luas dari hermeneutik itu merupakan isi kesibukan filsafat,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh hermenutika. Sebelum sampai pada
pengertian filosofis itu, hermeneutik merupakan sebuah kegiatan yang sangat khusus, yaitu
menafsirkan teks-teks sakral. Hal ini menjelaskan mengapa istilah hermeneutik lebih dikenal
di dalam disiplin-disiplin religius, seperti Taurat, para ekseget Alkitab dan para ahli tafsir alQur’an melakukan hermeneutik. Teks-teks sakral itu diimani sebagai wahyu ilahi yang berciri
otoritatif bagi kehidupan umat yang percaya. Oleh sebab itu hermeneutik memiliki peran
yang sangat penting untuk membantu umat yang percaya memahami wahyu ilahi itu. Lewat
hermeneutik, ajaran-ajaran, asas-asas, nilai-nilai dan norma religius yang mengikat
ditafsirkan dengan cara-cara tertentu. Dan karena cara-cara tafsir itu bisa berbeda-beda,
hermeneutik juga menjadi locus kelahiran aliran-aliran pemahaman teks-teks sakral itu.
Lewat wahyu yang panjang, terbangunlah tradisi hermeneutik dalam kalangan-kalangan
religius ini.4
Memahami tidak persis sama dengan menafsirkan atau menginterpretasi. Dengan
menafsirkan atau menginterpretasi, kita mengacu pada kegiatan memahami dengan
menyiratkannya secara verbal dan diskursif, sementara kegiatan memahami tidak harus
verbal dan diskursif. Untuk menafsirkan kita perlu memahami, tetapi memahami tidak harus
dengan menafsirkan, meski cukup kerap melibatkan penafsiran. Dalam arti ini, interpretasi
telah berkembang menjadi sebuah kompetensi atau keahlian yang dipagari dengan metode
dan disiplin tertentu. Jika demikian, kita dapat mengatakan bahwa seorang penafsir
menunjukkan kompetensi seperti yang dimiliki oleh seorang penafsir tidak perlu dimiliki oleh
seorang yang ingin memahami. Konsep memahami lebih luas daripada konsep menafsirkan.
Meskipun interpretasi membutuhkan kompetensi, tujuan akhirnya tidak lain daripada
4
Hardiman. Hlm. 14.
memahami. dalam kompleksitas seperti yang dialami di dalam masyarakat modern yang
majemuk, memahami tidak cukup diperoleh secara naif, maka membutuhkan interpretasi.5
Meski demikian, hermeneutik modern memiliki keterbatasan. Sebagai pendekatan
rasional ia mengandalkan sikap rasional penggunanya. Kesulitan akan dijumpai ketika
hermeneutik harus berhadapan dengan modus-modus interpretasi dalam agama yang menolak
pendekatan rasional dan cenderung fideistis. Hermeneutik memperlakukan kitab-kitab suci,
seperti al-Qur’an dan Alkitab, sebagai sebuah teks seperti teks-teks lain. Teks-teks sakral itu
lalu juga dipahami dalam konteks-konteks sosio-historis mereka. Di sini, hermeneutik
menghadapi masalah yang tidak mudah. Umat beragama mempercayai teks-teks sakral
mereka sebagai wahyu ilahi. Ada kecenderungan kuat di antara umat beragama untuk
memegang analisis sosio-historis atas isi kitab suci mereka, karena mereka meyakini isi kitab
suci mereka itu bersifat ilahi, abadi dan melampaui batas kemampuan manusiawi untuk
menentukan apa yang telah diwahyukan oleh Allah. Akan tetapi fakta bahwa kitab-kitab suci
telah, sedang dan akan mendapat penafsiran yang berbeda-beda menunjukkan bahwa
kekayaan makna wahyu ilahi itu tidak habis ditimba. Artinya, entah melarang atau
memperbolehkan pemakaian hermeneutik, hermeneutik tetap berlangsung, sehingga
literalisme skriptual juga dapat dipandang sebagai suatu modus hermeneutis.6
Selain itu, perlu diketahui bahwa kadang kala hanya karena definisi yang berbeda atau
cakupan ruang lingkup yang memiliki batasan tipis, sebuah kajian tertentu menjadi tidak atau
jarang diminati. Padahal jika dicermati lebih jauh, kajian tersebut memiliki atau bahkan
saling mempunyai koneksitas keilmuan. Misalkan syarah, hasyiyah dan hermeneutik.
Meskipun penyebutannya berbeda, namun di antara ketiganya hampir mempunyai tujuan
yang sama yaitu berupaya memahami sesuatu. Syarah, yang merupakan kata yang berasal
dari bahasa Arab merupakan kata yang bermakna upaya menafsirkan, menerangkan atau
membeberkan. Sedangkan hasyiyah juga merupakan kata bahasa Arab yang bisa bermakna
sebagai komentar pinggir, catatan pinggir, tambahan, atau catatan kaki.
Sedangkan kata hermeneutik banyak yang mengartikan sebagai upaya dasar
penafsiran atau interpretasi. Makna hermeneutik tersebut pada perkembangannya mengalami
perkembangan makna meskipun pada dasarnya adalah tetap bermakna penafsiran atau
interpretasi. Dengan demikian, syarah sebenarnya bisa dianalogikan dengan tafsir. Kalau
5
Hardiman. Hlm. 21-22.
6
Hardiman. Hlm. 24-25.
syarah biasanya pada berada pada hadis, sedangkan tafsir berada pada level al-Qur’an. Akan
tetapi definisi atas penganalogian tersebut bisa mengalami perkembangan bahkan mungkin
mempunyai perbedaan yang sangat jauh dari yang di atas.7 Akan tetapi dalam metodenya,
hermeneutika tidak mempunyai perbedaan yang sangat mencolok baik bagi al-Qur’an, hadis
bahkan Alkitab.
Sebagai sebuah teori interpretasi, hermeneutik dihadirkan untuk menjembatani
keterasingan dalam distansi waktu, wilayah dan sosio-kultiral Nabi dengan teks hadis dan
audiens (umat Islam dari masa ke masa). Dengan melibatkan tiga unsur utama (tekspensyarah-audiens) dengan dialogis komunikatif, diharapkan dapat menarik analogi historis
kontekstual masa Nabi yang Arabic centris dengan masa umatnya yang berbeda-beda.
Metode ini dipakai untuk memahami teks-teks hadis yang sudah diyakini orisinil dari
Nabi, dengan mempertimbangkan teks hadis memiliki rentang yang cukup panjang antara
Nabi dan umat Islam sepanjang masa. Sebagaimana teks-teks lain yang tidak bisa
mempresentasikan seluruh realitas, teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis akan
mengalami penyempitan setelah mewujud dalam bentuk tulisan, sehingga berbagai
keterbatasan menjadi sesuatu yang tidak terelakkan.
Hermeneutika terhadap teks hadis menuntut diperlakukannya teks hadis sebagai
produk lama dapat berdialog secara komunikatif dan romantis (dialektik) dengan pensyarah
dan audiensnya yang baru, sepanjang sejarah umat Islam. Dengan demikian, pendekatan ini
tidak menafikan kedinamisan masyarakat serta keberadaan teks-teks hadis sebagai produk
masa lalu. Oleh karenanya, upaya mempertemukan horison masa lalu dan horison masa kini
dengan dialog triadik dapat melahirkan wacana pemahaman yang lebih bermakna dan
fungsional bagi manusia.8
Dalam hermeneutika hadis, terdapat tujuh prinsip yang sangat penting untuk
diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, prinsip konfirmatif, yakni seorang penafsir harus selalu mengkonfirmasikan
makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai sumber tertinggi.
7
Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis. Hlm. v-vi.
8
Nurun Najwah, Ilmu Ma’anil Hadis (Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori Dan Aplikasi) (Yogyakarta: Cahaya
Pustaka, 2008). Hlm. 17-18.
Kedua, prinsip tematis-komprehensif, yakni teks-teks hadis tidak bisa dipahami
sebagai teks yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kesatuan yang integral.
Ketiga, prinsip linguistik, yakni hadis Nabi adalah teks yang terlahir dalam sebuah
wacana kultural dan bahasa Arab.
Keempat, prinsip historik, yakni menghendaki dilakukannya pemahaman terhadap
latar situasional masa lampau di mana hadis terlahir, baik menyangkut latar sosiologis
masyarakat Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatarbelakangi
munculnya hadis. Termasuk juga kapasitas dan fungsi Nabi ketika menyampaikan hadis.
Kelima, prinsip realistik, yakni selain memahami situasi masa lalu, diharuskan juga
memahami situasi kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin, menyangkut kehidupan,
problem, krisis dan kesengsaraan mereka.
Keenam, prinsip distingsi etis dan legis, yakni hadis Nabi tidak bisa hanya dipahami
sebagai kumpulan hukum (compendium of law) belaka, tetapi lebih dari itu, ia mengandung
nilai-nilai etis yang lebih dalam.
Dan ketujuh, prinsip distingsi instrumental dan intensional, yakni hadis pada
hakikatnya memiliki dua dimensi, yakni dimensi instrumental (wasilah) yang bersifat
temporal dan partikular di satu sisi dan dimensi intensional (ghayah) yang bersifat permanen
dan universal di sisi lain.9
Model pendekatan hermeneutik menjadi salah satu alternatif dalam kajian hadis di era
kontemporer sebagai rekonstruksi atas model pemahaman hadis yang cenderung tekstualisliteralis yang selama ini dianggap kurang memadai lagi untuk menjawab tantangan zaman.
Konsekuensi dari model hermeneutik dalam memahami hadis tidak hanya mengandalkan
perangkat keilmuan dulu, seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fikih dan balaghah, tetapi
diperlukan ilmu-ilmu lain seperti teori sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah, dan
sebagainya. Dengan demikian, paradigma interkoneksi antara disiplin keilmuan dalam
penafsiran menjadi suatu hal yang niscaya.
Pendekatan hermeneutik yang dikembangkan para peminat studi hadis kontemporer
itu pun sangat beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya karena semakin terbukanya
9
Miftahul Asror and Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi SAW: Kaidah Dan Sarana Studi Hadits Serta
Pemahamannya (Yogyakarta: Jaya Star Nine, 2015). Hlm. 329-330.
umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, seperti isu tentang HAM,
gender, demokrasi, civil society, pluralisme, dan lain sebagainya, namun juga karena adanya
dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode dan pendekatan
yang ada selama ini.10
Selain pemikiran hermeneutik dari Barat, beberapa tokoh muslim juga memiliki
pemikiran hermeneutik sendiri dan langsung menuju pada interpretasi hadis Nabi,
diantaranya adalah Fazlur Rahman. Rahman menegaskan bahwa kebutuhan kaum muslim
dewasa ini adalah menuangkan kembali hadis-hadis yang ada ke dalam bentuk “sunnah yang
hidup” sebagaimana generasi awal melalui kerangka studi historis dan sosiologis
terhadapnya. Hal ini mutlak dilakukan dengan alasan bahwa aneka ragam unsur dalam hadis
dan reinterpretasi terhadapnya harus selalu dan selaras dengan perubahan-perubahan kondisi
sosial moral dewasa ini. Dengan menggunakan analisis historis untuk mengungkapkan dan
membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yag terkandung dari latar belakang
situasionalnya.11
Hermeneutika hadis Muhammad al-Ghazali mirip dengan hermeneutika Gadamer,
seperti teori “kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah” yang nampak pada pendapatnya yang
menguji dulu sebuah hadis dengan al-Qur’an. Jika hadis bertentangan dengan prinsip-prinsip
al-Qur’an, maka hadis tersebut dapat ditolak dan tidak boleh diamalkan.12 Teori “prapemahaman” nampak pada penolakan al-Ghazali terhadap makna harfiah dari sebuah hadis,
jika hadis tersebut bertentangan dengan prinsip al-Qur’an secara universal, kebenaran ilmiah,
dan realita yang melingkupinya.13 Teori “penggabungan horison” nampak pada metodenya
yang menekankan adanya pengetahuan tentang latar belakang historis (asbab al-wurud) hadis
dan pengetahuan tentang realitas, baik itu peanata sosial, ekonomi, budaya, dan politik masa
sekarang di mana pun umat Islam berada dan menguji kesahihan matan hadis dengan fakta
historis dan kebenaran ilmiah. Di sinilah terjadi pertemuan antara subjektifitas pembaca dan
objektivitas teks, di mana makna objektif teks akan lebih diutamakan.14 Dan akhir dari proses
pemahaman sebuah teks adalah yang disebut “penerapan” yang nampak pada pemahamannya
terhadap hadis kebinasaan kepemimpinan wanita hanya khusus ditujukan pada Ratu Kisra di
10
Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi (Yogyakarta: IDEA Press, 2008). Hlm. 20-21.
11
Wahyuni Eka Putri, ‘Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman’, in Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis, ed. by
Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010). Hlm. 339-340.
12
Umi Aflaha, ‘Hermeneutika Hadis Muhammad Al-Ghazali’, in Hermeneutika Al-Qur’an Dan Hadis, ed. by
Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010). Hlm. 356.
13
Aflaha. Hlm. 357.
14
Aflaha. Hlm. 358.
Persia, karena seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka seperti
Golda Mesir yang memimpin Israel, mungkin komentar Nabi akan berbeda.15
Dalam aplikasinya, dalam tulisan ini akan sedikit dipaparkan pendapat Nasr Abu Zaid
sebagai tokoh muslim juga yang terkemuka dalam hermeneutika, khususnya mengenai hadishadis yang menekankan tentang kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab. Abu
Zaid secara tegas mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak lain hanyalah simbol
pengekangan terhadap akal wanita dan eksistensi sosialnya, dan pengabaian eksistensi
sosialnya ini adalah praktek pembunuhan yang serupa dengan praktek ritual bom bunuh diri
yang sewaktu-waktu diarahkan kepadanya untuk pengekangan wanita Mesir. Adapun hadishadis tentang pembagian harta waris, Abu Zaid berpendapat bahwa sebelum kedatangan
Islam di jazirah Arab pada abad ke 7 M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun,
karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarki. Anak laki-laki tertua
mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini. Menurut Abu Zaid,
hadis-hadis yang menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita
mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan
(justice). Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, hadis-hadis itu justru
menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the right of men). Sebab
pada hadits-hadits tersebut didasarkan pada ayat (QS. Al-Nisa’: 11),
يُو ِصي ُك ُم ُ ا َللّ ُُ ِف ُ أَْوَلَ ِد ُك ْم ُ لِل َذ َك ِر ُ ِمثْ ُل ُ َح ِظ ُ اْلُْنْ ثَيَ ْ ِي ُ فَِإ ْن ُ ُك َن ُ نِ َساء ُ فَ ْو َق ُ اثْ نَ تَ ْ ِي ُ فَلَ ُه َن ُ ثُلُثَا َما تَ َرَك ُ َوإِ ْن ُ
َكانَ ْت ُ َوا ِح ُ َدة ُ فَلَ َها النِ ْص ُف ُ َوِلَْبَ َويْ ِه ُ لِ ُك ِل ُ َوا ِحد ُ ِمْن ُه َما ال ّس ُد ُس ُ ِمَِا تَ َرَك ُ إِ ْن ُ َكا َن ُ لَه ُُ َولَد ُ فَِإ ْن ُ َل ُْ يَ ُك ْن ُ لَه ُُ
َولَد ُ َوَوِرثَه ُُ أَبَ َواه ُُ فَِلُِِم ِه ُ الثّلُ ُث ُ فَِإ ْن ُ َكا َن ُ لَه ُُ إِ ْخ َوة ُ فَِلُِِم ِه ُ ال ّس ُد ُس ُ ِم ْن ُ بَ ْع ِد ُ َو ِصيَة ُ يُو ِصي ِبَِا أَْو ُ َديْن ُ آَ َبَ ُؤُك ْم ُ
َوأَبْ نَا ُؤُك ْم ُ َلَ ُ تَ ْد ُرو َن ُ أَيّ ُه ْم ُ أَقْ َر ُب ُ لَ ُك ْم ُ نَ ْفعا فَ ِري َضة ُ ِم َن ُ ا َللّ ِ ُ إِ َن ُ ا َللّ َُ َكا َن ُ َعلِيما َح ِكيما
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal mempunyai beberapa saudara, maka ibunys mendapat seperenam, (pembagianpembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
15
Aflaha. Hlm. 359.

mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Penyebutannya dalam ayat itu jelas mendahulukan kata li al-dzakari (bagi laki-laki),
dan tidak sebaliknya, li al-untsayayni mitslu hazhdzi al-dzakari (bagian dua orang anak
perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali
perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an ada pembatasan bagian harta waris untuk lakilaki. Sebab dalam tradisi jahiliyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa
batas. Maka Abu Zaid menyimpulkan, sebenarnya al-Qur’an dan al-hadis secara perlahan dan
pasti cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada
kesamaan bagian harta peninggalan. Kesimpulan Abu Zaid ini tentunya adalah sebuah
konsekuensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context),
dimana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam hadis
berkenaan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada abad 7 M, seperti hanya saat
dia menafsirkan hadis-hadis tentang hudud (jenis hukum kriminal). Tentang ayat hudud ini,
dia berpendapat bahwa semua jenis hukuman yang tertera dalam al-hadis menggambarkan
pesan realitas sosial (reflect a historical reality) dan tidak berarti menggambarkan bentuk
spesifik perintah Tuhan (Divine imperatives) yang harus dijalankan di sepanjang masa. Sebab
dalam hal ini, hadis tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (rajam, qisas, dan
lain-lain) yang disebutkan di dalamnya. Menurut Abu Zaid, penyebutan jenis hukuman yang
diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar hadis mempunyai kredibilitas
dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut
adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime).
Bila dirunut secara kritis, pendapat Abu Zaid ini tidak sesuai dengan teori proyek
penyelidikan yang dikembangkannya dalam pembacaan teks. Sebab dari hasil kesimpulan
pendapatnya, khususnya tentang jilbab, pembagian waris, dan penerapan jenis hukuman yang
tertera dalam hadis (hudud) di atas, tidak ditemui satu pun bukti tertulis dari al-hadits yang
menguatkan pendapatnya. Padahal dalam teori proyek penyelidikannya, dia menganjurkan
sebuah pendekatan yang memegang prinsip-prinsip objektif-ilmiah dan demitologisasi
(penghapusan mitos) agar tidak terjebak dalam sebuah ideologi. Karena Abu Zaid tidak
menemukam bukti tertulis dari al-Qur’an maupun hadis, maka sebagai gantinya dia
menyebutkan “yang tidak terkatakan” (al-maskut ‘anhu) dan memperkuatnya dengan kondisi
sosiokultural masyarakat Arab saat itu (historical context). Tentunya teori “al-maskut ‘anhu”
ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zaid lebih mengerti
“maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya.
Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pendapatnya ini sangat kontradiktif antara
satu dengan lainnya. Lebih aneh lagi, ketika Abu Zaid berdalih dengan historical context
untuk memperkuat teori “al-maskut ‘anhu”-nya ini. Sebab alasan ini hanyalah bertujuan
untuk menampilkan “ideologi”nya dan menggeser ideologi yang bertentangan dengannya.
Ideologi Abu Zaid yang ingin ditampilkannya adalah ideologi anti kemapanan dengan
mendasarkan pada latar belakang historical context. Sehingga dengan sendirinya dia menolak
segala formalisasi jenis hukuman yang termaktub dalam hadis. Dan sebagai konsekuensinya
adalah setiap bentuk hukuman (the particular form of punishment) dalam hadis tidak bersifat
final dan senantiasa berubah menurut kondisi sejarah, waktu, dan tempat. Karena itu semua
jenis hukum yang termaktub dalam al-hadits tidak lain hanya diperuntukkan untuk kondisi
waktu itu (specific punishment for particular time). Di sisi lain teori “al-maskut ‘anhu” tidak
lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadriji) versi alThahir al-Haddad, pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal
dalam usia muda. Dalam bukunya, al-Mar’ah fi Khithabi al-Azmah (wanita dalam wacana
krisis), Abu Zaid banyak menukil pemikiran al-Thahir dan menguatkannya.
Tentang jin dan sihir, Abu Zayd melakukan perombakan (dekonstruksi) makna
terhadap hal-hal yang terkandung dalam al-hadits yang dianggapnya sebagai mitos. Seperti
sosok jin, syetan, hasad, dan sihir. Baginya, keempat ungkapan ini adalah sebuah fenomena
yang melekat pada pemikiran dan hadir dalam kesadaran manusia pada masyarakat Arab
dalam periode tertentu, yaitu pada masa-masa pra-Islam dan di awal pertumbuhan agama ini.
Sehingga unsur-unsur kepercayaan (mitos) jahiliyah masih mewarnai ajaran agama Islam.
Mengenai hal ini Abu Zaid menyatakan : “sihir, hasad, jin, dan syetan-syetan adalah katakata yang terdapat dalam kerangka pemikiran yang terikat dengan periode tertentu (abad 7
M) dari perkembangan kesadaran manusia, kemudian teks (hadis) merombak (makna) syetan
sebagai kekuatan penghalang, lalu menjadikan sihir sebagai salah satu alat untuk
memperdaya manusia”.
Kemudian dia berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang sihir pada
hakekatnya muncul dalam bingkai cerita sejarah, yang artinya bahwa teks hadis
mendudukkan sihir sebagai bukti sejarah. Dengan kata lain, pengertian keempat konsep
diatas (jin, syetan, sihir, dan hasad), dalam pandangan Abu Zaid dipahami dari sudut pandang
histories dalam konteks kondisi masyarakat Arab pada saat hadis dimunculkan. Dalam hal ini
dia menyatakan sebagai berikut: “Dan setiap yang memiliki pengertian bahwa semua isyarat
hadis yang mengarah pada sihir, sesungguhnya muncul dalam konteks cerita sejarah, yang
berarti bahwa teks [hadis] yang berbicara tentang hal tersebut [sihir] dipandang sebagai bukti
sejarah”.
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa Abu Zaid menolak keberadaan sihir sebagai
sesuatu yang nyata dan dengan demikian dia juga mengingkari hadis yang menyatakan bahwa
Nabi SAW pernah disihir oleh salah seorang Yahudi. Padahal kisah tersebut adalah nyata
berdasarkan bunyi hadis berikut:
َع ْن ُ َزيْ ِد ُ بْ ِن ُ أَْرقَ َم ُ قَالَ َس َحَر ُ النَِ َب ُ َصلَى ا َللّ ُُ َعلَْي ِه ُ َو َسلَ َم ُ َر ُجل ُ ِم ْن ُ الْيَ ُهوِد ُ فَا ْشتَ َكى لِ َذلِ َك ُ أَ َيَّما فَأَ َتَه ُُ ِج ِْبْي ُل ُ
َعلَْي ِه ُ ال َس َلَم فَ َقا َل ُ إِ َن ُ َر ُجلَ ُ ِم ْن ُ الْيَ ُهوِد ُ َس َحَرَك ُ َع َق َد ُ لَ َك ُ عُ َقدا ِف ُ بِْئ ِر ُ َك َذا َوَك َذا فَأَْر َس َل ُ َر ُسو ُل ُ ا َِللّ ُ
َصلَى ا َللّ ُُ َعلَْي ِه ُ َو َسلَ َم ُ فَا ْستَ ْخَر ُجوَها فَ ِجيء َُ ِبَِا فَ َقا َم ُ َر ُسو ُل ُ ا َِللّ ُ َصلَى ا َللّ ُُ َعلَْي ِه ُ َو َسلَ َم ُ َكأََنََّا نُ ِش َط ُ ِم ْن ُ
ِع َقال ُ فَ َما ذَ َكَر ُ ذ َلِ َك ُ لِ َذلِ َك ُ الْيَ ُهوِد ِي ُ َوَلَ ُ َرآه ُُ ِف ُ َو ْج ِه ِه ُ قَ ّط ُ
“Dari Yazid bin Arqam, dia berkata bahwa Nabi SAW telah disihir oleh seorang laki-laki
Yahudi, maka beliaupun mengeluh sakit karena sihir itu dalam beberapa hari. Kemudian
datanglah Jibril AS kepada beliau, dan berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki Yahudi
telah menyihirmu dengan mengikatkan beberapa tali buhul untukmu di suatu sumur”. Lalu
mengirim (beberapa sahabat) dan merekapun mengeluarkan (buhul-buhul) tersebut, lalu
mereka datang membawa buhul tersebut, dan bangkitlah Rasulullah SAW, seakan-akan
sakitnya yang diakibatkan sihir tali buhul itu langsung sembuh. Beliau tidak pernah
menceritakan hal itu sebagai akibat ulah orang Yahudi itu dan tidak terlihat di wajah beliau
sedikitpun hingga wafatnya”. (Sunan al-Nasa’i, Kitab Tahrim al-Dam, 4.012; dan Musnad
Ahmad, Musnad al-Kufiyyun, 18.467).
Dalam menanggapi hadis di atas, Abu Zaid memaknai jin dan syetan sebagai makna
metaforis (majaz), yang ditafsirkan dengan kekuatan penghalang dan mengingkari
eksistensinya sebagai salah satu makhluk Allah, adalah kebiasaan kalangan modernis yang
senantiasa mengartikan segala yang ghaib dengan penafsiran materialistis (materialistic
interpretation). Konsep ghaib yang menjelaskan diantara ciri-ciri orang beriman adalah
beriman pada yang ghaib, biasanya dimaknai secara materialistik dalam pengertian yang
eksperimental yang suatu saat akan dapat dijelaskan oleh penemuan-penemuan ilmiah yang
mutakhir. Sehingga kinsep ghaib menurut mereka bukan bersifat mutlak, tapi lebih bermakna
ghaib yang relatif (a relative unseen), seperti yang diyakini oleh Syahrur. Pengertian konsep
gahib dalam hadis menurut Abu Zaid secara aterialistik, sangat kontradiktif dan bertentangan
dengan beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)tidak dipergunakan untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagaimana binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS. Al-A’raf: 179).,
Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia, dan burung. Lalu mereka itu
diatur dengan tertib (dalam barisan) (QS: al-Dzariyat: 56)
Perkataan “Jin” pada ayat-ayat tersebut dan yang semisal dengannya, tidak mungkin
dapat diartikan dengan makna kekuatan penghalang atau kekuatan jahat. Sebab kata-kata
“Jin” senantiasa bergandengan dengan kata “Manusia” dan makhluk Allah lainnya. Maka
mengacu ayat-ayat di atas, baik secara teks maupun konteks makna jin adalah salah satu jenis
makhluk Allah. Ulasan kritis terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid merupakan klaim
adanya dikotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara al-Qur’an dan hadis; antara
agama dan pemikiran keagamaan. Seperti yang dikemukakan oleh orang-orang semisal Abu
Zaid akan membuka konsekuensi serius bahwa, pertama, kebenaran al-Qur’an dan hadis
hanya dimiliki Tuhan dan Nabi-nabi-Nya saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada
manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu maksud dalam al-Qur’an dan
hadis. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Qur’an
dan hadis para Nabi-Nya untuk manusia. Kedua, mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk
menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Ketiga, menyeret pada pengertian bahwa seolaholah semua ayat al-Qur’an dan hadis tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati.
Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya.
Keempat, menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Qur’an dan
hadis, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Qur’an dan hadis dengan kualitas yang sama
nisbinya. Kelima, membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan
larangan dalam al-Qur’an dan hadis bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka
akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan dakwah. Sebab dakwah tersebut akan
dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam
Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS, atau Islam apa?. Keenam, berlawanan dengan konsep
ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu
objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan dan berakhir pada keyakinan. Sementara
relativisme selalu bermuara pada kebingungan. Ketujuh, membubarkan konsep amar ma’ruf
nahi munkar, sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma’ruf dan yang
munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan
bahwa yang ma’ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal
Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat
(samar). Andaikan nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih.
Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an dan hadis, bukan berarti penafsiran itu
mutlak nisbi. Walaupun dalam tradisi khazanah keislaman klasik, terdapat banyak ragam
penafsiran ulama, namun keragaman penafsiran itu tetap dalam koridor universalitas alQur’an dan hadis serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah, hukum syariat, dan
sebagainya. Dalam menafsirkan hadis-hadis tentang syariat pun, para mufassirin sekaligus
muhadditsin tidak berbeda pendapat tentang arah kiblat, jumlah rakaat shalat fardu, wajibnya
puasa Ramadhan, zakat, serta tempat berhaji. Di antara keragaman kitab tafsir dan hadis, juga
tidak dijumpai satu penafsir pun yang mengatakan bahwa hukum kriminal (hudud) dan waris
telah usang (out of date), dan terpengaruh budaya arab. Perbedaan antara madzhab hanya
bersifat cabang (furu’iyyah), teknis fiqh dan bukan pada hal-hal yang bersifat fundamental.
Sedangkan asumsi historisitas al-Qur’an dan hadis, baik dengan menyebutnya sekedar
teks linguistik, produk budaya maupun teks manusia, tidaklah mempunyai dasar yang kuat.
Sebab ‘kesadaran ilmiah’ (al-wa’yu l-‘ilmi) yang diproyeksikan Abu Zaid sebagai pendekatan
ilmiah dalam kajian keagamaan, tidak lain adalah karbon kopi dari metode ‘kesadaran
historis’ (historical consciousness) Versi Wilhem Dilthey, dan tentunya bila diterapkan pada
wacana keagamaan akan meragukan nilai-nilai agama, mengaburkan batasan yang jelas
antara makna qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan), antara tsawabit (hal-hal yang bersifat tetap)
dan mutaghayyirat (hal-hal yang berubah), antara yang ijma’ (disepakati) dan ikhtilaf
(berbeda), antara yang mutawatir dan ahad, dan sebagainya, serta mengedepankan realitas
untuk berkuasa atas pemaknaan teks. Pendekatan hermeneutika yang dipropagandakan
kalangan modernis semisal Abu Zaid untuk menggeser peranan tafsir dan ta’wil dalam studi
al-Qur’an dan hadis, tidak hanya janggal dalam tradisi keilmuan Islam, malah terbilang
bertentangan. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu
sisi, dan tafsir-ta’wil di sisi lain. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya, otoritas
dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknainya.16
16
Al-Furqan, ‘Hermeneutika Hadis: Tinjauan Historis, Metode, Dan Aplikasi Terhadap Penafsiran Al-Qur’an Dan
Hadis’, Al-Adalah, 14 (2011). Hlm. 70-75.

C. Pemahaman Hadis Ensiklopedis
Metode pemahaman hadis ensiklopedis nampaknya adalah pemahaman suatu istilah
atau kata dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya dari suatu istilah atau kata
tersebut. Seperti contoh maksud kalimat khitan perempuan dalam hadis, terdapat kalimat
khitanani yang berarti dua khitan. Redaksi khitanani tidak serta merta merujuk kedua-duanya
itu dikhitan, baik laki-laki maupun perempuan. Ungkapan tersebut lazim digunakan dalam
bahasa Arab untuk menyebut sesuatu dari dua perkara dengan nama yang populer dari salah
satunya atas dasar yang biasa digunakan, seperti istilah al-qamarani yang berarti matahari
dan bulan, istilah al-abawani yang berarti ayah dan ibu dan istilah al-bahrani yang berarti
sungai dan laut.17
Hadis yang menyebutkan khitanani tersebut juga hanya menggambarkan pentingnya
mandi jinabat ketika seseorang telah melakukan hubungan intim dengan suaminya. Demikian
juga tidak diungkap tentang prilaku sahabat perempuan di sekitar Nabi Muhammad apakah
melakukan khitan atau tidak. Dengan demikian, khitan perempuan ini bukan merupakan
suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh setiap perempuan sebagaimana yang sering
dipahami oleh masyarakat awam yang tetap terpelihara sampai saat ini. Oleh karena itu, hadis
tersebut walaupun sahih sanad dan matannya, namun tidak bisa dijadikan hujjah.18
Menurut data medis, kebanyakan penyakit kelamin dapat terjadi jika seorang laki-laki
tidak melakukan khitan dan sebaliknya tidak ada data yang menyebutkan bahwa perempuan
yang tidak dikhitan dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Data tersebut juga
didukung dengan adanya fakta bahwa perempuan yang dikhitan itu kebanyakan melakukan
masturbasi dibanding dengan perempuan yang tidak dikhitan.19 Kebiasaan tersebut dapat
tetap dilakukan manakala menimbulkan maslahat bagi kaum perempuan yang sederhana atau
normal seperti hanya memotong sedikit saja atau hanya sebatas seremonial, maka hal tersebut
tidaklah bertentangan dengan Islam. Namun, suatu perkara yang tidak ada sandarannya dan
dimaknai dengan suatu ibadah tidak dibenarkan dalam Islam. Dan dalam pembahasan fiqih,
hal tersebut dinamai dengan bid’ah.20
Apabila dilihat dari praktek yang terjadi di masyarakat Sudan dan Mesir yang sangat
membudaya adanya khitan perempuan. Khitan tersebut dikenal dengan nama Paronic
17
M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks (Yogyakarta: Teras, 2009). Hlm. 48-49.
18
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks. Hlm. 50.
19
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks. Hlm. 50.
20
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks. Hlm. 51.
Circumcision yang dilakukan dengan cara yang amat sadis dengan hanya menyisihkan jalan
keluarnya air kencing dan darah haid. Khitan seperti itu pada asalnya merupakan kebiasaan
pada masa Ramses jauh sebelum Masehi dan kemudian menggejala ke Sudan pada
penaklukan negara tersebut dan baru menjadi kebiasaan di Mesir yakni di lembah sungai Nil.
Dalam kaca mata Islam keberadaan hal tersebut merupakan suatu tindak pidana dan harus
diberi sanksi yang tegas dan merupakan suatu dosa besar dan yang melakukannya dilaknat
oleh Allah.21 Keharaman tersebut merupakan suatu yang utama karena khitan seperti itu telah
merusak atau merubah ciptaan Allah.22
Dari pembahasan tersebut dapat dikatakan bahwa khitan dalam bentuk terakhir ini
adalah dilarang oleh Islam dan karenanya setiap muslim wajib untuk menyampaikannya
karena tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan.23
21
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks. Hlm. 51-52.
22
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks. Hlm. 53.
23
Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks. Hlm. 54.

D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa ada metode pemahaman hadis
kontemporer yang bisa dipakai untuk mensyarahi dan memahami hadis. Metode pertama
yang dibahas adalah metode hermeneutik yang mencoba mempertemukan tiga horison yang
terdapat pada proses pemahaman teks, yakni teks, pensyarah dan audiens yang membentuk
segitiga triadik dan tidak terpisahkan satu sama lain untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih inklusif dan kontekstual. Dan yang kedua adalah metode ensiklopedis yang berusaha
menggali sejauh mungkin informasi mengenai suatu istilah atau kata. Persamaan dari dua
metode ini adalah mencoba lebih terbuka dengan mengintegrasikan dengan data-data dan
keilmuan lain yang relevan serta mencoba menguak makna yang kontekstual sesuai era saat
ini.





E. Daftar Pustaka
Aflaha, Umi, ‘Hermeneutika Hadis Muhammad Al-Ghazali’, in Hermeneutika Al-Qur’an
Dan Hadis, ed. by Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)
Al-Furqan, ‘Hermeneutika Hadis: Tinjauan Historis, Metode, Dan Aplikasi Terhadap
Penafsiran Al-Qur’an Dan Hadis’, Al-Adalah, 14 (2011)
Asror, Miftahul, and Imam Musbikin, Membedah Hadis Nabi SAW: Kaidah Dan Sarana
Studi Hadits Serta Pemahamannya (Yogyakarta: Jaya Star Nine, 2015)
Hardiman, F. Budi, Seni Memahami (Yogyakarta: Kanisius, 2015)
Mustaqim, Abdul, Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi (Yogyakarta: IDEA Press,
2008)
Najwah, Nurun, Ilmu Ma’anil Hadis (Metode Pemahaman Hadis Nabi: Teori Dan Aplikasi)
(Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008)
Putri, Wahyuni Eka, ‘Hermeneutika Hadis Fazlur Rahman’, in Hermeneutika Al-Qur’an Dan
Hadis, ed. by Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)
Suryadilaga, M. Alfatih, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks (Yogyakarta: Teras,
2009)
———, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012)

0 komentar:

Post a Comment