Mendidik, di samping sebagai ilmu juga sebagai suatu seni. Seni
mendidik/mengajar di sini yang dimaksudkan adalah keahlian dalam penyampaian pendidikan/pengajaran
(metode mengajar).[1] Istilah
mendidik dan mengajar ini juga memiliki perbedaan. Dalam mendidik, yang lebih
dipentingkan adalah segi pembentukan pribadi anak. Sedangkan dalam mengajar,
yang dipentingkan adalah segi ilmiahnya.[2]
Karena itulah penggunaan nama program studi dalam fakultas pendidikan atau
tarbiyah lebih memilih kata pendidikan daripada pengajaran.
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak bisa
terlepas dari kehidupan manusia. Agar pendidikan berjalan secara efektif, maka
diperlukan metode dan teknik khusus dalam pelaksanaannya. Ada berbagai metode
pendidikan yang ditawarkan, salah satunya adalah metode diskusi ini yang sangat
populer khususnya bagi kalangan mahasiswa perguruan tinggi.
Dan hadis, sebagai suatu cabang ilmu, juga memerlukan metode
pendidikan dan pengajaran yang tepat agar dapat dipahami dengan baik oleh murid
serta dapat berkesan baginya agar mudah untuk mengamalkannya. Karena tujuan
dari pendidikan adalah pembentukan karakter, maka pendidikan hadis, yang
berkaitan dengan agama, akan sangat bermanfaat bagi murid untuk mengamalkan
nilai-nilai mulia dalam hadis yang telah dicontohkan oleh Rasulullah semasa
hidupnya. Dan pendidikan hadis yang
dibahas di sini adalah pendidikan hadis dengan metode diskusi.
Dari uraian ringkas di atas, makalah ini memunculkan dua rumusan
masalah, yaitu:
1.
Apa yang
dimaksud dengan metode diskusi?
2.
Bagaimana
penerapan metode diskusi dalam pendidikan hadis?
Permasalahan yang sering dijumpai dari pembelajaran adalah tidak
tersampaikannya materi dan nilai yang dibawakan guru dalam proses belajar
mengajar. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan kurang efektif dan
efisiennya metode yang digunakan guru dalam penyampaiannya. Maka diperlukan
strategi yang sesuai agar menarik minat murid serta memudahkan pemahaman serta
pengamalannya. Dan metode pendidikan merupakan salah satu strategi dan usaha
untuk mengatasinya problem tersebut.
Pengertian dari metode pembelajaran, yaitu suatu cara penyampaian
bahan pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka fungsi metode
mengajar tidak dapat diabaikan. Karena metode mengajar tersebut turut
menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar-mengajar dan merupakan bagian
yang integral dalam suatu sistem pengajaran.[3]
Metode pembelajaran membuat guru dapat mencapai tujuan dengan cepat dan tepat.
Hasilnya dapat diyakini, dan kalau perlu dapat diperiksa kembali jalan
pengajaran itu.[4]
Mengenai metode pembelajaran ini banyak sekali jumlahnya sebagai
hasil dari penelitian para ahli
pendidikan dan psikologi, dan juga hasil penumpukan dari dahulu sampai
sekarang. Dengan semakin luasnya pengetahuan tentang psikologi, semakin luas
dan banyak pula metode mengajar yang ditemukan terutama sekali ilmu jiwa
belajar, sebab ia memberikan sumbangan bagaimana cara-cara orang berpikir,
berbuat, berkemauan dan sebagainya yang semuanya itu bermuara pada bagaimana
cara orang belajar dan akhirnya didapat pula cara mengajar yang baru.[5]
Penggunaan metode harus sesuai dan selaras dengan konteks. Bila
ditinjau secara lebih teliti, sebenarnya
keunggulan suatu metode terletak pada beberapa fakyor yang berpengaruh, antara
lain: tujuan, karakteristik murid, situasi dan kondisi, kemampuan dan pribadi
guru, serta sarana dan prasarana yang digunakan.[6]
Secara garis besar metode mengajar dapat diklasifikasikan menjadi
dua bagian, yakni:
1.
Metode mengajar
konvensional
2.
Metode mengajar
inkonvensional
Metode mengajar konvensional adalah metode mengajar yang lazim
dipakai oleh guru, atau yang lebih sering disebut dengan metode tradisional.
Sedangkan metode mengajar inkonvensional adalah suatu teknik mengajar yang baru
berkembang dan belum lazim digunakan secara umum, seperti metode mengajar
dengan modul, pengajaran berprogram, pengajaran unit, machine program,
masih merupakan metode yang baru dikembangkan dan diterapkan di beberapa
sekolah tertentu yang mempunyai peralatan dan media yang lengkap serta guru-guru
yang ahli menanganinya.[7]
Ada berbagai metode pembelajaran yang dapat digunakan seorang guru
dalam proses belajar agar berjalan secara efektif. Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya, suatu metode pembelajaran disesuaikan sesuai kondisinya
masing-masing. Tetapi dalam makalah ini hanya dijelaskan metode pembelajaran
diskusi yang nantinya akan dihubungkan dengan hadis.
C.
Metode
Pembelajaran Diskusi
Metode diskusi adalah suatu metode dalam mempelajari bahan atau
manyampaikan naham dengan jalan mendiskusikannya, sehingga berakibat
menimbulkan pengertian serta perubahan tingkah laku murid.[8]
Definisi lain, metode diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran
dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu argumentasi secara
rasional dan objektif.[9]
Metode ini biasanya erat kaitannya dengan metode lainnya, misalnya
metode ceramah, karyawisata dan lain-lain karena metode diskusi ini adalah
bagian yang terpenting dalam memecahkan suatu masalah. Dalam dunia pendidikan,
metode diskusi ini mendapat perhatian karena dengan diskusi akan merangsang
murid-murid berpikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri.[10]
Metode diskusi juga dimaksudkan untuk dapat merangsang murid dalam belajar dan
berpikir secara kritis dan mengeluarkan pendapatnya secara rasional dan
objektif dalam pemecahan suatu masalah.[11]
Dalam pendidikan agama, metode diskusi ini sebaiknya tidak
diterapkan pada tingkat SD, SLTP tetapi pada SLTA dan Perguruan Tinggi. Hal ini
disebabkan macam-macam hal seperti:
1.
Memerlukan teks
tertulis yang dibutuhkan kepandaian mengarang.
2.
Pengetahuan
yang sudah cukup luas baik agama maupun lainnya.
3.
Menghendaki
kecepatan dalam menanggapi tulisan atau pikiran orang lain.
4.
Memerlukan
ketangkasan dalam berbicara, mengeluarkan pendapat, memberikan argumentasi dan
lain-lain.[12]
Prinsip-prinsip yang perlu dipegangi dalam melakukan diskusi antara
lain:
1.
Melibatkan murid
secara aktif dalam diskusi yang diadakan.
2.
Diperlukan
ketertiban dan keteraturan dalam mengemukakan pendapat secara bergilir dipimpin
oleh seorang ketua atau moderator.
3.
Masalah yang
didiskusikan sesuai dengan perkembangan dan kemampuan anak.
4.
Guru berusaha
mendorong muridnya yang kurang aktif untuk melakukan atau mengeluarkan
pendapatnya,
5.
Murid
dibiasakan menghargai pendapat orang lain dalam menyetujui atau menentang
pendapat.
6.
Aturan dan
jalannya diskusi hendaknya dijelaskan kepada murid yang masih belum mengenal
tata cara berdiskusi agar mereka dapat secara lancar mengikutinya.[13]
Metode diskusi ini sangat sesuai digunakan jika:
1.
Materi yang
disajikan bersifat low concensus problem artinya bahan yang akan
disajikan tersebut banyak mengandung permasalahan yang tingkat kesepakatannya
masih rendah.
2.
Untuk
pengembangan sikap atau tujuan-tujuan pengajaran yang bersifat afektif.
3.
Untuk
tujuan-tujuan yang bersifat analisis sintesis dan tingkat pemahaman yang
tinggi.[14]
Adapun masalah yang baik untuk didiskusikan ialah:
1.
Menarik minat
anak-anak yang sesuai dengan taraf usianya dan merupakan masalah yang up to
date.
2.
Mempunyai
kemungkinan pemecahan lebih dari satu jawaban yang masing-masing dapat dipertahankan
kemudian berusaha menemukan jawaban yang setepat-tepatnya dengan jalan diskusi.[15]
Dalam metode diskusi ini, peranan guru sangat penting dalam rangka
menghidupkan kegairahan murid berdiskusi, diantaranya adalah:
1.
Guru atau
pemimpin diskusi harus berusaha semaksimal mungkin agar semua murid turut aktif
dan berperan dalam diskusi tersebut.
2.
Guru atau
pemimpin diskusi berfungsi sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan dan harus
bijaksana dalam mengarahkan sehingga diskusi tersebut berjalan lancar dan aman.
3.
Membimbing
diskusi agar sampai kepada suatu kesimpulan. Guru atau pemimpin diskusi perlu
ada keterampilan mengumpulkan hasil-hasil pembicaraan.[16]
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam pelaksanaan diskusi,
antara lain:
1.
Pemilihan topik
yang akan didiskusikan dapat dilakukan oleh guru dengan murid atau oleh murid
itu sendiri. Kriteria pemilihan topik disesuaikan dengan tujuan yang ingin
dicapai, kesesuaian dengan kemampuan murid, kekohesian para murid, atau latar
belakang pengetahuannya.
2.
Dibentuk kelompok-kelompok
diskusi yang terdiri dari 4-6 anggota setiap kelompok dan dipimpin oleh seorang
ketua dan seorang notulis. Pembentukan kelompok dapat dilakukan secara acak,
atau memperhatikan minat dan latar belakang murid.
3.
Dalam
pelaksanaan diskusi, para murid melakukan diskusi dalam kelompok masing-masing,
sedangkan guru memperhatikan petunjuk bila diperlukan.
4.
Laporan hasil
diskusi. Hasil diskusi dilaporkan secara tertulis oleh masing-masing kelompok
kemudian diadakan suatu forum panel diskusi untuk menanggapi setiap laporan
kelompok tersebut.[17]
Keunggulan metode diskusi ini antara lain:
1.
Suasana kelas
lebih hidup, sebab para murid mengarahkan perhatiannya pada masalah yang sedang
didiskusikan. Partisipasi murid pada metode ini lebih baik.
2.
Dapat menaikkan
prestasi kepribadian individu, seperti toleransi demokratis, berpikir kritis,
sistematis, sabar dan sebagainya.
3.
Kesimpulan
hasil diskusi mudah dipahami karena murid mengikuti proses berpikir sebelum
sampai pada suatu kesimpulan.
4.
Para murid
dilatih belajar mematuhi peraturan-peraturan dan tata tertib dalam suatu
musyawarah sebagai latihan pada musyawarah yang sebenarnya.[18]
Disamping itu, kelemahan-kelemahan metode diskusi adalah:
1.
Kemungkinan ada
murid yang tidak ikut aktif sehingga bagi murid-murid ini diskusi merupakan
kesempatan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.
2.
Sulit menduga
hasil yang dicapai, karena waktu yang digunakan untuk diskusi cukup panjang.[19]
Ada beberapa jenis diskusi yang dapat dilakukan oleh guru dalam
membimbing belajar murid, antara lain:
1.
Whole Group
2.
Diskusi
Kelompok
3.
Buzz Group
4.
Panel
5.
Syndicate Group
6.
Symposium
7.
Informal Debate
8.
Fish Bowl
9.
The Open
Discussion Group
Dalam pendidikan agama, metode diskusi ini banyak digunakan dalam
bidang syariah dan akhlak. Sedangkan masalah akidah kurang sesuai apabila
metode diskusi ini digunakan. Metode diskusi banyak digunakan di
sekolah-sekolah tingkat lanjutan dan Perguruan Tinggi.[21]
Tapi pendapat ini juga tergantung konteksnya, jika kita berada dalam ruang
lingkup kajian ilmu kalam, maka masalah akidah tetap harus boleh didiskusikan,
begitupun kajian ilmu-ilmu lain yang membahas suatu permasalahan secara
spesifik dan anggota yang terbatas.
D. Metode Diskusi
dalam Pembelajaran Hadis
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, metode pembelajaran
tergantung pada situasi dan kondisi dalam kelas. Dan hadis di sini berperan
sebagai materi dalam diskusi, karena itu hadis harus menyesuaikan kemampuan
murid dan mengandung perbedaan pendapat yang menarik untuk didiskusikan.
Perbedaan pendapat dalam pemahaman hadis akan nampak jelas pada
materi hadis-hadis yang tampak bertentangan secara lahiriah. Meskipun materi
hadis yang disajikan bukan hadis yang bertentangan masih sangat memungkinkan
adanya perbedaan pendapat, tetapi untuk memancing diskusi yang menarik dan
memunculkan kemungkinan banyaknya perbedaan pendapat, maka hadis yang
bertentangan akan sangat cocok digunakan sebagai materi dalam metode
pembelajaran ini. Serta guru harus menguasai materi terlebih dahulu meskipun
bisa saja dalam diskusi akan memunculkan kesimpulan lain yang berbeda karena
masuknya pandangan dari para murid.
Dalam diskursus ilmu hadis, diskusi telah berlangsung di kalangan
ulama tentang petunjuk hadis Nabi yang tampak bertentangan. Perlu ditegaskan
bahwa hadis-hadis yang didiskusikan itu adalah hadis-hadis yang sanadnya
sama-sama sahih, minimal hasan, dan bukan yang dhaif ataupun maudhu’. Hadis
yang dhaif dan maudhu’ tidak dimasalahkan lebih lanjut tentang kandungan
petunjuknya, sebab hadis yang bersangkutan menurut pandangan ulama hadis
tertolak sebagai hujah. Dengan demikian, sebelum kandungan matan hadis yang
tampak bertentangan dibahas, maka terlebih dahulu sanad-sanad hadis yang
bersangkutan diteliti. Diskusi tentang petunjuk hadis yang tampak bertentangan
itu telah terjadi juga pada zaman sahabat. Diskusi memang tidak menyeluruh
untuk semua hadis, tetapi bersifat parsial.[22]
Meskipun menurut penulis, penelitian sanad itu sendiri masih
menimbulkan permasalahan yang rumit dan mengakibatkan perbedaan pendapat juga
terhadap kualitasnya. Dan diskusi yang dilakukan para sahabat dan ulama hadis
terdahulu mengenai hadis yang tampak bertentangan ini menunjukkan bahwa
hadis-hadis ini sangat cocok digunakan sebagai materi untuk berdiskusi. Diskusi
ini bisa menggunakan hadis-hadis yang umum diperdebatkan di Indonesia ini,
khususnya terhadap permasalahan yang khilafiyah, seperti hadis tentang rakaat
shalat tarawih, penggunaan celana yang isbal, penentuan awal bulan, dan
lain-lain.
Contoh hadis yang bisa dijadikan bahan diskusi:
-
عن
أبي سعيد الخضرى قال : قال رسول الله : لا تكتبوا عنى شيئا سوى القرآن , فمن كتب
عنى شيئا فليمحه
-
عن
ابن عمرو قال : قلت يا رسول الله , أقيد العلم ؟ قال : نعم قيل : وما تقييده ؟ قال
: كتابت[23]
Contoh-contoh hadis yang lain juga dapat digunakan sebagai bahan
diskusi selama hadis tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan
sebelumnya.
E. Daftar Pustaka
Ismail, M. Syuhudi. 2009. Hadis
Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan Bintang.
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama. 1985. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Qutaibah, Ibn.
2006. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis. Kairo: Dar al-Hadis
Usman, M. Basyiruddin. 2002. Metodologi
Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Zein, Muhammad. 1995. Methodologi
Pengajaran Agama. Yogyakarta: AK Group
Zuhairini, dkk.. 1981. Metodik
Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel.
Baca Juga: Pemahaman Hadis Hermeneutik dan Ensiklopedis
[1] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya:
Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1981, hlm. 79.
[2] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan, hlm. 79.
[3] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam,
Jakarta: Ciputat Pers, 2002, hlm. 31.
[4] Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, Yogyakarta: AK
Group, 1995, hlm. 168.
[5] Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, hlm. 169.
[6] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm. 32.
[7] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm. 33.
[8] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan, hlm. 89.
[9] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm. 36.
[10] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran
Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1985, hlm. 229.
[11] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm. 36.
[12] Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, hlm. 176.
[13] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm.
36-37.
[14] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm. 37.
[15] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan, hlm. 89.
[16] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Metodik Khusus Pengajaran,
hlm. 229.
[17] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm.
39-40.
[18] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan, hlm. 90.
[19] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan, hlm. 90.
[20] M. Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama, hlm.
40-43.
[21] Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan, hlm. 93-94.
[22] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual,
Jakarta: Bulan Bintang, 2009, hlm. 71-72.
[23] Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadis, Kairo: Dar al-Hadis,
2006, hlm.
0 komentar:
Post a Comment