AL-QURAN

Al-Quran, i3.wp.com

Apakah al-Qur’an itu? - Ajaran al-Qur’an - Legislasi al-Qur’an - Tafsir al-Qur’an

APAKAH AL-QUR’AN ITU?
Al-Qur’an terbagi dalam bab-bab atau surah-surah, yang semuanya berjumlah 114 dengan panjang yang sangat ragam. Surah-surah Makkiyyah adalah yang awal, dan termasuk surah-surah yang paling pendek. Dan makin lama surah-surah tersebut makin panjang. Ayat-ayat dalam surah-surah yang terdahulu diturunkan mengandung ‘momen psikologis’ yang dalam dan kuat luar biasa, serta memiliki sifat-sifat seperti ledakan-ledakan vulkanis yang singkat tapi kuat. Sebuah suara yang meratap dari dasar kedalaman hidup dan membentur dengan kuat pada dinding-dinding pikiran Nabi untuk membuat dirinya hadir secara nyata pada tingkat kesadaran manusia. Nada seperti ini lama kelamaan menghilang, terutama dalam periode Madaniyyah, berganti dengan gaya yang lebih tenang dan lancar berbarengan dengan kandungan hukum dalam al-Qur’an bertambah banyak, yang ditujukan untuk mengatur organisasi yang terperinci dan memberikan pengarahan kepada masyarakat-negara ummat Islam yang barn lahir. Ini tidak berarti bahwa suara kesadaran manusia tadi telah dibungkam atau bahwa kualitas intensifnya telah berubah. Sebuah ayat Madaniyyah mengatakan bahwa ‘Seandainya Kami turunkan al-Qur ‘an ini kepada sebuah gunung, niscaya kau lihat ia merunduk terbelah karena takut kepada Allah’ (59: 21). Tetapi tugas-tugas ayat-ayat tersebut memang telah berganti. Dari sentakan dan dorongan moral dan seruan-seruan religius semata-mata, 31 menjadi pengarahan bagi penyusunan suatu tata kemasyarakatan yang aktual.
Bagi al-Quran sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum Muslimin, al-Qur’an adalah firman Tuhan (kalam Allah). Nabi Muhammad juga betul-betul yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, Zat yang sama sekali lain (kita akan segera mencoba mengungkapkan dengan lebih tepat ani dari sifat yang ‘sama sekali lain’ itu), sedemikian rupa hingga ia menolak, dengan kekuatan kesadaran ini, sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari tradisi Judeo-Kristiani tentang Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain. ‘Zat yang lain’ ini, melalui suatu saluran ‘mendiktekan’ al-Our’-an dengan otoritas yang mutlak. Suara yang datang dari dasar kedalaman hidup itu berbicara dengan jel.as sekali, tak bisa dikelirukan, dan mendesak. Tidak hanya kata qur’an, yang berarti ‘bacaan’, denganjelas menunjukkan hal ini, tetapi teks al-Qur’an itu sendiri pada beberapa tempat menyatakan bahwa al-Qur’an di~~hyubn· secara verbal, dan bukan hanya dalam ‘makna’ dan ide-idenya saja. Istilah al-Qur’an untuk ‘pembukaan (rahasia)’ adalah wahy yang berdekatan artinya dengan ‘inspirasi’, dengan syarat bahwa yang kedua’ ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. (Dengan ‘firman’, tentu saja yang kami maksud ‘bukanlah suara). Al-Qur’an mengatakan, ‘Allah tidak berbicara pada seorang manusia pun (yakni dengan kata-kata bersuara) kecuali melalui wahy (yakni dengan inspirasi ide-kata) atau dari balik tabir, atau la mengutus seorang utusan (Malaikat) yang berbicara melalui wahy ... Dan demikianlah Kami berikan inspirasi kepadamu dengan satu ruh dari Perintah Kami .... (42: 51-52). 
Akan tetapi, ketika selama abad kedua dan ketiga Hijrah, di kalangan bum Muslimin timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam dan kontroversi-kontroversi mengenai sifat wahy, yang sebagian dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Kristen, maka ‘ortodoksi’ Islam yang mulai muncul, yang pada waktu itu berada pada tahap genting dari saat perumusan isinya yang setepatnya, menekankan eksternalitas Wahyu Nabi dengan tujuan untuk mengamankan ‘kelainan’, obyektivitas dan sifat verbalnya. Al-Qur’an sendiri 32 memang mempertahankan sifat ‘kelainan’, obyektivitas dan sifat verbal wahyu, tetapi pada waktu yang sama juga menolak eksternalitasnya vis-a-vis Nabi. Al-Qur’an menyatakan ‘Ruh yang terpercaya telah membawanya turun ke hatimu agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan’ (26: 194), dan juga, ‘ ... Katakanlah. Barangsiapa yang memusuhi Jibril maka jibril itu telah menurunkan al-Qur’an ke dalam hatimu dengan seizin Allah ....’ (2:97). Tetapi ortodoksi (dan sesungguhnya juga semua pemikiran zaman pertengahan) tak memiliki peralatan intelektual yang diperlukan untuk menggabungkan dalam perumusannya antara dogma ‘kelainari’ dan sifat verbal dari wahyu di satu piliak dan hubungan intimnya dengan perbuatan dan kepribadian religius Nabi di lain pihak, yakni ia (pemikiran ortodoks) tidak memiliki kemampuan intelektual untuk mengatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan, dan dalam arti kata yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Al-Qur’an jelas mendukung kedua sifat ini, karena kalau ia menekankan bahwa ia (al-Qur’an) telah turun ke dalam hati Muhammad, bagaimana ia bisa bersifat eksternal baginya (Muhammad)? Tentu saja, ini tidak perlu berarti bahwa Nabi tidak melihat figur yang diproyeksikan (malaikat, pent), sebagaimana dinyatakan oleh Hadits (tradisi), tetapi adalah patut dicatat bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan figur apapun dalam hubungan ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi melihat satu figur atau sesosok malaikat, atau suatu obyek yang lain ‘di kejauhan yang paling jauh’ atau ‘di ufuk’ hanya dalam hubungan-dengan pengalaman-pengalaman khusus tertentu (yang umumnya dihubungkan dengan Mi’raj Nabi), walaupun juga di sini, seperti telah kami tunjukkan pada bagian satu dari bab yang lalu, pengalaman tersebut digambarkan sebagai suatu pengalaman spiritual. Tetapi ortodoksi, melalui Hadits atau ‘tradisi’ dari Nabi, yang sebagian ditafsirkan secara cocok, dan sebagian dikarang saja, dan sebagian melalui ilmu teologi yang sebagian besar berdasarkan Hadits, membuat wahyu Nabi sama se kali datang melalui telinga dan bersifat eksternal terhadapnya dan memandang malaikat atau ruh ‘yang datang ke dalam hati’ itu sebagai suatu agen yang sama sekali eksternal. 33 Gambaran Barat modem tentang Wahyu kenabian sebagian besar bersandar pada perumusan ortodoksi ini bukannya pada al-Qur’an—seperti juga halnya kepercayaan kaum Muslimin awam.
Bukanlah tempatnya di sini untuk memperinci teori tentang wahyu Qur’ani secara mendetail. Tetapi kalau kita mau berurusan dengan fakta-fakta sejarah Islam, maka pernyataan faktual al-Qur’an tentang dirinya sendiri memerlukan pembahasan secukupnya. Dalam garis besar singkat berikut, dilakukan usaha untuk bertindak adil baik terhadap tuntutan sejarah maupun tuntutan Islam sendiri. Kami telah menyatakan secara jelas dalam bab yang terdahulu bahwa semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral: ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan islam dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau ‘pengabdian kepada Allah’. Karena penekanan al-Qur’an terhadap hukum morallah hingga Allah dalam al-Qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan keadilan. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.
Kekuatan persepsi kognitif setiap orang adalah tidak sama, dan tingkatan-tingkatan perbedaan ini tidak terbatas, sebanyak jumlah manusia itu sendiri. Begitu pula, persepsi moral dan religius juga sangat berbeda dari sebuah persepsi yang semata-mata persepsi intelektual, karena suatu kualitas intrinsik dari persepsi moral dan religius ini adalah bahwa bersama dengan persepsi, ia juga membawa suatu sense of gravity (rasa daya tarik) yang istimewa dan menjadikan subyeknya tertransformasikan secara signifikan. Karena itu persepsi, juga persepsi moral, memiliki tingkatan-tingkatan. Variasinya tidak hanya antara individu yang berbeda, tetapi kehidupan batin dari seorang individu juga bervariasi dari waktu ke waktu dari sudut pandangan ini. Di sini kira tidak berbicara tantang suatu evolusi dan perkembangan moral dan intelektual yang intrinsik, di mana variasi paling jelas kelihatan, tetapi bahkan dalam diri seorang yang baik 34 dan telah matang dan dewasa, yang kaliber dan karakter moral dan intelektual rata-ratanya, dalam sesuatu arti, telah tetap variasi-variasi ini juga terjadi.
Nah, seorang Nabi adalah seorang yang .keseluruhan karakter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya. la adalah seorang yang ab initio (dari awalnya) tidak sabar terhadap manusia dan bahkan terhadap sebagian besar ideal-ideal mereka, dan ingin sekali menciptakan kembali sejarah. Karena itu, ortodoksi Islam mengambil kesimpulan yang secara logis adalah tepat bahwa Nabi-nabi mestilah dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang serius (doktrin tentang ‘ishmah/maʻshūm). Muhammad adalah, manusia seperti itu, dan dalam kenyataannya satu-satunya manusia seperti itu yang dikenal sejarah. Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum Muslimin sebagai Sunnah atau ‘model yang sempurna’. Tetapi, dengan adanya semua itu, ada saat-saat di mana ia, sebagaimana telah terjadi, ‘melampaui dirinya sendiri’ dan persepsi kognitif moralnya menjadi demikian tajam hingga kesadarannya menjadi identik dengan hukum moral sendiri. ‘Demikianlah Kami ilhami engkau, dengan satu Ruh dari perintah Kami: engkau, tidak tahu (sebelumnya) apa itu al-Kitab, tetapi (sekarang) Kami telah menjadikannya cahaya’ (42: 52). Tetapi
hukum ‘moral dan nilai-nilai religius adalah perintah Tuhan, dan walaupun keduanya tidak seluruhnya identik dengan Tuhan, tapi adalah bagian daripada-Nya. Karena itu al-Qur’an adalah betul-betul murni Ilahi. Lebih lanjut, bah kan dengan memandang kesadaran yang biasa, adalah suatu pemikiran yang salah untuk mengatakan bahwa ide-ide dan perasaan-perasaan terapung-apung di dalamnya dan dapat secara mekanis ‘dibungkus’ dengan kata-kata. Sunguh, memang ada hubungan mekanis antara perasaan, ide, dan kata-kata. Dalam inspirasi, bahkan inspirasi puitis, hubungan ini adalah demikian lengkap hingga perasaan-ide-kata merupakan kompleks keseluruhan yang memiliki hidup sendiri. Ketika persepsi intuitif moral Muhammad mencapai puncaknya yang tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral sendiri (sesungguhnya di saat-saat begini perilakunya sendiri mendapat pujian al-Quran, 35 sebagaimana telah kami nyatakan dalam bahasan pada bagian kedua pada bab yang telah lalu, dan seperti kelihatan jelas pada halaman-halaman al-Qur’an), maka kalimat-kalimat dalam wahyu diberikan bersama-sama, dengan inspirasi sendiri. Dengan demikian al-Qur’an adalah murni Kata-kata Ilahi. Tetapi tentu saja secara sepadan berhubungan intim dengan pribadi terdalam dari Nabi Muhammad, yang hubungannya dengan Kata-kata suci tersebut tak dapat diamati secara mekanis seperti halnya sebuah catatan. Kata-kata Ilahi tersebut mengalir melalui hati Nabi.
Tetapi, apabila Muhammad, pada momen-momen Qur’aninya, menjadi satu dengan hukum moral sendiri, ia tetap secara mutlak tak dapat diidentikkan dengan Tuhan ataupun sebagian daripada-Nya. Al-Qur’an secara kategoris mengharamkan, hal ini, dan semua orang yang layak disebut Muslim menganggap mempersekutukan 

makhluk dengan Tuhan (syirk) sebagi dosa yang paling besar. Alasannya adalah bahwa tak seorang pun yang boleh mengatakan, ‘Akulah hukum moral itu’. Kewajiban manusia adalah merumuskan Hukum ini dengan cermat dan menyerahkan diri kepadanya dengan segenap fakultas fisik, mental dan spiritualnya. Selain dari itu, Islam tidak mengenal satu hal pun yang bersifat Ilahi, tak ada cara lain untuk merumuskan sesuatu itu bersifat Ilahi.


AJARAN AL-QUR’AN
Dalam uraian terdahulu kami telah berulang-ulang menekankan bahwa semangat dasar al-Qur’an adalah semangat moral, dan kami juga telah menunjukkan ide-ide keadilan sosial dan ekonomi yang tumbuh dari semangat tersebut dalam al-Qur’an. Hal ini benar-benar mutlak sepanjang menyangkut manusia dan nasibnya. Sementara 

al-Qur’an sedikit demi sedikit menggariskan pandangan dunianya dengan lebih lengkap, maka tertib moral pada manusia sampai pada titik sentral dari kepentingan Ilahi dalam sebuah gambaran yang penuh dari suatu tata-kosmis yang tidak hanya mengandung sensitivitas religius yang tinggi, tetapi juga memperlihatkan tingkat konsistensi dan koherensi yang mengagumkan, Suatu konsep tentang Tuhan, pencipta mutlak alam semesta, dikembangkan, di mana sifat-sifat kreativitas, ketertiban, dan kasih tidak hanya terletak 36 berdampingan atau ditambahkan satu pada yang lain saja, tetapi saling berjalin berkelindan. Bagi-Nya-lah kreativitas dan ‘hukum’ atau ‘perintah’ (7:54). ‘Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu’ (7:156). Sungguh, ‘Yang pengasih’ (Rahman) adalah, satu-satunya nama-sifat Tuhan yang sangat sering dipakai dalam, al-Qur’an sebagai nama substantif Tuhan, di samping Allah. Memang benar bahwa sebagaimana telah diupgkapkan oleh sebuah penyelidikan modern, kata ‘Rahman’ telah dipakai untuk nama dewa di Arabia Selatan sebelum Islam. Tetapi transportasi historis ini jelas tidak relevan dari sudut pandangan kami. Bila, untuk sementara, kita-tinggalkan-manusia, yakni konstitusi moral-spiritualnya yang spesifik, darn mempertimbangkan seluruh alam ciptaan yang lainnya, maka penafsiran ketiga atribut-atribut yang luhur ini yalah bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu, dan bahwa dalam tindak penciptaan ini, maka tata-tertib atau ‘perintah’ Tuhan diletakkan dalam ciptaan-ciptaan tersebut, yang dengannya mereka saling berhubungan secara logis dan membentuk suatu pola,’ dan bukannya ‘berjalan menyeleweng’ dari jalan yang telah ditentukan, ciptaan-ciptaan tersebut berevolusi menjadi sebuah kosmos, bahwa, akhirnya, semua itu hanyalah merupakan rahmat Tuhan semata-mata, karena bagaimanapun juga, eksistensi bukanlah hak dari apa dan siapapun juga, dan sebagai ganti eksistensi, bisa saja hanya ketiadaan yang hampa semata-mata. Sesungguhnyalah, kesan yang paling intens yang ditinggalkan al-Qur’an bagi pembacanya bukanlah berupa Tuhan yang selalu mengawasi, merengut dan menghukum, sebagaimana dibuat oleh orang-orang Kristen, bukan pula gambaran seorang hakim utama sebagaimana ulama-ulama fiqh Islam cenderung memikirkannya, tetapi adalah suatu kehendak yang bertujuan dan terpadu yang menciptakan: tata-tertib di alam semesta sifat-sifat kekuasaan atau keagungan, kewaspadaan atau keadilan serta kebijaksanaan yang diatributkan sebagai sifat Tuhan di dalam al-Qur’an dengan penekanan yang jelas, pada kenyataannya adalah kesimpulan-kesimpulan yang paling tepat, dapat diambil dari keteraturan kosmos yang kreatif. Dari semua istilah Qur’ani, barangkali yang paling mendasar, 
komprehensif dan sekaligus mengungkapkan sifat kesucian alam 37 adalah kata amr yang telah kami artikan tadi sebagai tata-tertib, keteraturan atau perintah’. Pada setiap sesuatu yang diciptakan, secara ipso-facto, atau oleh bukti penciptaan itu sendiri telah diletakkan di dalamnya amr-nya, yang merupakan hukum wujudnya sendiri dan juga hukum yang membuatnya terintegrasi dalam sebuah sistem. Amr ini, yakni tata-tertib atau perintah Tuhan, adalah terus berkelanjutan dan tak pernah berhenti. Kata yang dipakai untuk menunjukkan komunikasi amr kepada semua ciptaan, termasuk manusia, adalah wahy, yang telah kami artikan dalam bagian yang lalu sebagai inspirasi. Dengan rujukan kepada benda-benda anorganik, ia harus diartikan sebagai ‘pengandungan’ (ingraining). Ini disebabkan karena rujukan dengan manusia, yang merupakan kasus istimewa, bukan amr saja yang diturunkan dari langit, tapi adalah ‘ruh dari amr’ (rūḥ min al-amr), sebagaimana berkali-kali dikatakan oleh .al-Qur’an.

Dengan rujukan kepada manusia (dan mungkin juga kepada jinn, suatu ordo ciptaan yang ghaib, paralel dengan manusia tapi dikatakan sebagai diciptakan dari substansi api, semacam duplikat manusia yang umumnya lebih cenderung kepada kejahatan, dan juga dikatakan sebagai kelompok asal dari iblis), sifat dan kandungan amr ditransformasikan, karena dalam hal ini sesungguhnya amr telah menjadi perintah moral untuk menciptakan tata-tertib dalam dunia yang kacau. Kekacauan moral yang aktual adalah akibat dari kenyataan moral yang berakar dalam, yang pengobatannya memerlukan kerjasama Tuhan dengan manusia. Kenyataan ini adalah kehadiran iblis (syaithan) yang seumur dengan manusia dan selalu menggoda manusia setiap saat.
Al-Qur’an, menggambarkan dualisme moral dalam watak manusia yang menimbulkan perjuangan moral dan potensi-potensi yang hanya dimiliki manusia saja, dengan dua buah ceritera yang efektif. Ceritera yang pertama mengisahkan bahwa ketika Tuhan bermaksud menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di atas bumi, para malaikat mengajukan protes dengan mengatakan bahwa manusia yang akan diciptakan itu akan cenderung kepada kejahatan, membuat 38 kerusakan di atas bumi dan menumpahkan darah, sedangkan, mereka sendiri selalu patuh pada kehendak-Nya. Tuhan menjawab, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’ (2; 30). Ceritera yang kedua mengatakan bahwa ketika Tuhan menawarkan ‘amanah’ kepada langit dan bumi, maka seluruh makhluk menolak untuk menerimanya, dan manusia tampil ke depan untuk menerimanya, dengan mendapat cemoohan yang simpatik dari Tuhan, ‘manusia begitu ceroboh dan jahil!’ (32:72). Hampir-hampir tak ada karakterisasi yang lebih kena dan efektif mengenai situasi manusia dan wataknya yang lemah dan mudah terombang-ambingkan daripada kedua ceritera tersebut, tapi pembawaannya yang berani dan kemampuannya untuk melampaui yang aktual menuju yang ideal merupakan keunikan dan kebesarannya. Kenyataan akan hadirnya iblis menciptakan suatu dimensi yang sama sekali baru dalam kasus manusia. ‘Tuhan telah menanamkan padanya (yakni jiwa manusia) kemampuan untuk membedakan kebaikan dari kejahatan’ (91 :8). Tetapi pengaruh iblis adalah demikian halus dan kuatnya hingga manusia umumnya gagal untuk memahami persembahan abadi yang disuratkan Allah dalam jiwanya itu, bahkan mereka yang mampu memahaminya jaga gagal untuk bertindak atas dorongannya. Pada saat-saat kritis seperti itu Allah memilih sekelompok manusia dan diutusnya malaikat, ‘ruh dari perintah’ yang ‘ada beserta-Nya’. Perintah dari pada-Nya itu adalah demikian pasti, demikian definit dalam pengukuhan-pengukuhan dan penolakan-penolakannya hingga benar-benar ia merupakan ‘Kitab yang ghaib’ yang tertulis pada ‘Lauh yang terpelihara (lauḥ al-maḥfūẓ), induk dari (segala) Kitab’ (56:78; 85:21-22; 13:39). Manusia-manusia yang diserahi pesan-pesan yang menentukan nasib manusia ini adalah Nabi-nabi. Al-Qur’an yang dikirimkan kepada Nabi Muhammad adalah Kitab yang berisi perintah tersebut. Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan al-Qur’an adalah Kitab yang terakhir yang diwahyukan dengan cara demikian.
Dengan demikian, dengan latar belakang ini, al-Qur’an muncul sebagai suatu dokumen yang dari awal hingga akhirnya selalu memberikan semua tekanan-tekanan moral, yang perlu bagi tindakan 39 manusia yang kreatif. Sungguh, pada dasarnya, kepentingan sentral al-Qur’an adalah pada manusia, dan perbaikannya. Untuk ini adalah esensial bahwa manusia mesti berbuat dalam penekanan-penekanan
tertentu yang sesungguhnya telah diciptakan Tuhan dalam dirinya, terlebih dahulu terutama sekali manusia tidak boleh melompat pada kesimpulan bunuh diri bahwa ia dapat menciptakan atau melenyapkan hukum moral sesuai dengan keinginannya sendiri, karena hukum moral itu dalam kenyataannya yang jelas telah ada tersedia baginya. Dari sinilah al-Qur’an menekankan supremasi dan keagungan Tuhan. Di pihak lain, dari antara seluruh makhluk, manusia telah diberi potensi yang paling besar dan dipercayai memikul ‘amanat’ yang seluruh makhluk lainnya takut menerimanya. Sekali lagi, ide keadilan langsung muncul dari ide supremasi hukum moral, suatu ide yang juga sering ditekankan oleh al-Qur’an. Tetapi dengan dorongan yang sama al-Qur’an mengutuk keputusasaan dan ketiadapercayaan pada rahmat Tuhan, yang dinyatakan sebagai kekafiran. Kebenaran yang sama juga berlaku pada keseluruhan ruang lingkup tekanan-tekanan moral, termasuk kekuatan dan kelemahan manusia, pengetahuan dan kebodohannya. Kesabaran dan pembalasannya, dan sebagainya. Sementara potensi-potensi manusia adalah besar, maka sama besarnya adalah hukuman yang harus diterimanya akibat kegagalannya dalam melaksanakan hukum moral tersebut.
Dalam menuju gambaran itu, kepercayaan pada satu Tuhan merupakan puncak sistem kepercayaan Islam yang diambil dari al-Qur’an. Dari kepercayaan itu menyusul kepercayaan pada malaikat (ruh dari perintah) sebagai transmitter pesan Ilahi kepada manusia, kepercayaan kepada Nabi-habi, yang merupakan penerimapenerima dan pemelihara wahyu-wahyu Ilahi (yang terakhirnya adalah Muhammad), kepada risalah asli para Nabi, atau Kitab-kitab, dan kepada Hari Perhitungan.
Al-Qur’an menekankan shalat karena ia ‘mencegah kejahatan’ dan membantu manusia untuk mengatasi kesulitan-kesulitan, terutama hila digabungkan dengan ‘kesabaran’. Shalat yang lima 40 memang sama sekali tidak tersebut dalam al-Qur’an, tapi harus dianggap sebagai praktek yang terkemudian dari Nabi sendiri, karena tidaklah akan mungkin secara. historis, untuk mendukung-anggapan bahwa kaum Muslimin sendiri yang menambahkan dua shalat lagi kepada tiga yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an sendiri, kedua shalat—pagi dan petang—disebutkan, dan menyusul kemudian di Madinah ditambahkan shalat, ‘yang tengah’ di siang hari. Tetapi tampaknya selama masa yang terkemudian dari hidup Nabi, shalat ‘dari tergelincirnya matahari ‘hingga kegelapan malam’ (17 : 78) dipecah menjadi dua, demikian juga shalat siang, hingga terkumpullah jumlah yang lima.*
  Akan tetapi, kenyataan bahwa shalat pada dasarnya, adalah tiga dibuktikan oleh kenyataan bahwa Nabi diriwayatkan sebagai telah menggabungkan empat shalat menjadi dua, bahkan tanpa sesuatu alasan pun. Pada masa sesudah Nabi-lah jumlah shalat ditetapkan dengan tegas sebagai lima, tanpa ada alternatif lain, dan fakta tentang tiga shalat yang fundamental tenggelam di bawah gelombang membanjirnya Hadits yang diedarkan ke tengah masyarakat untuk mendukung ide bahwa shalat ada lima.
Puasa selama sebulan, suatu praktek yang sangat keras berupa meninggalkan sama sekali makan dan minum sejak dari fajar hingga terbenamnya matahari, digariskan oleh al-Qur’an (2: 183 dan seterusnya). Mereka yang sakit (atau mengalami kesulitan-kesulitan), dalam perjalanan boleh menangguhkan puasa sampai waktu yang memungkinkan. Al-Qur’an dipercayai sebagai telah diturunkan pada bulan puasa, yakni Ramadhan.              
Selama komunitas Islam yang kecil masih tinggal di Mekkah, sedekah, walaupun berulang kali ditekankan, masih merupakan pemberian yang suka rela kepada anggota-anggota yang miskin dari komunitas tersebut. Tetapi di Madinah, zakat atau pajak kesejahteraan, dinyatakan wajib bagi kesejahteraan komunitas tersebut dan pengumpul-pengumpul zakat ditunjuk. Demikian kuatnya penekanan 41 Al-Qur’an dalam hal ini hingga shalat pun jarang disebutkan tanpa diiringi oleh zakat. Pelarangan riba, yang pengutukan moralnya sudah dimulai sejak di Mekkah, diberikan dalam serangkaian pernyataan ancaman perang dari Allah dan Rasul-Nya terhadap mereka yang mempraktekkan riba—dengan dasar bahwa riba menjadikan hutang berlipat ganda dari asalnya dan bertentangan dengan prinsip perdagangan yang adil (bayʻ).
Haji ke Mekkah (lihat Bab 1) dinyatakan wajib bagi setiap Muslim sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu melakukannya, yakni mereka yang tidak hanya mampu membiayai perjalanan pulang pergi ke Mekkah, tapi juga mampu menjamin kehidupan keluarga mereka selama ditinggal pergi. Pelembagaan haji telah menjadi sarana yang sangat ampuh untuk memajukan persaudaraan Islam dan menyebarkan semangat pan-Islam di kalangan kaum Muslimin dari berbagai ras dan latar belakang budaya.
Al-Qur’an menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar melakukan jihad yang berarti ‘menyerahkan diri dan harta bendamu ke jalan Allah’, yang pada gilirannya bertujuan untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan yang berarti menegakkan tata sosio-moral Islam. Selama kaum Muslimin masih merupakan minoritas yang tertindas di Mekkah, jihad sebagai tindakan gerakan Islam yang positif dan terorganisir belumlah terpikirkan. Tetapi di Madinah, situasinya telah berubah dan karenanya hampir tak ada sesuatu pun, dengan kekecualian shalat dan zakat, yang mendapat tekanan yang lebih besar daripada jihad. Akan tetapi, di kalangan aliran-aliran hukum Islam yang terkemudian, hanya kaum Khariji yang fanatiklah yang menyatakan jihad sebagai salah satu Rukun Iman. Aliran-aliran yang lain telah mengurangi kepentingan jihad ini dengan alasan yang nyata bahwa ekspansi Islam telah terjadi jauh terlalu cepat dalam proporsinya, di banding dengan konsolidasi internal dari komunitas orang-orang mukmin itu sendiri. Setiap ideologi yang hidup dan ekspansif, pada suatu tahap perkembangannya mesti menanyakan pada dirinya sendiri apa batasan-batasan ko-eksistensinya, kalau 42 memang ada, dengan sistem-sistem yang lain, dan sejauh mana ia boleh menggunakan cara-cara ekspansi langsung. Di abad kita sekarang ini, komunisme, dalam versi Rusia maupun Cina, dihadapkan pada problema-problema dan pilihan-pilihan yang sama. Akan tetapi, dasar historis, yang paling tidak bisa diterima adalah pendirian apologis-apologis Muslim modern yang telah mencoba menerangkan jihud yang dilakukan oleh komunitas Muslim yang awal dulu semata-mata dalam batasan-batasan defensif.
LEGISLASI AL-QUR’AN.
Al-Qur’an terutama adalah sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bukannya sebuah dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan-pernyataan hukum yang penting; yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat-negara di Madinah. Beberapa ketetapan ekonomi telah kita catat pada bagian yang terdahulu. Pelarangan konsumsi alkohol merupakan contoh yang menarik dari metoda legislasi al-Qur’an dan menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap sifat dan fungsi legislasi itu sendiri. Pemakaian alkohol nampaknya sama sekali tidak dilarang pada tahun-tahun pertama Islam. Kemudian dikeluarkan larangan shalat ketika berada dalam pengaruh alkohol. Selanjutnya dikatakan, ‘Mereka bertanya kepadamu tentang alkohol dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu ada bahaya besar dan juga beberapa keuntungan bagi manusia, tetapi pada keduanya bahayanya jauh lebih besar daripada keuntungannya’ (2:219). Akhirnya dinyatakan pelarangan total (5: 90-91) dengan dasar bahwa baik alkohol maupun judi ‘adalah pekerjaan syaithan’ ... syaithan ingin menebarkan permusuhan dan kebencian di antaramu’. Ini menunjukkan penanganan hukum secara perlahan-lahan dan eksperimental terhadap problem-problem di saat problem-problem tersebut muncul.
Tetapi ketetapan hukum dan reformasi umum yang paling penting dari al-Qur’an adalah mengenai wanita dan perbudakan. Al-Quran sangat meningkatkan kedudukan wanita dalam beberapa segi, tetapi yang paling mendasar adalah kenyataan bahwa ia memberikan kedudukan pribadi yang penuh kepada wanita. Suami-istri 43 dinyatakan sebagai ‘pakaian’ bagi satu sama lain: kepada wanita diberikan hak-hak yang sama atas kaum laki-laki sebagaimana hak-hak laki-laki atas wanita, dengan kekecualian bahwa laki-laki, sebagai pihak yang mencari nafkah, mempunyai kedudukan yang setingkat lebih tinggi. Poligami tak terbatas diatur dengan ketat dan jumlah istri dibatasi sampai-empat orang saja, dengan-catatan bahwa bila suami takut tidak bisa berlaku adil terhadap beberapa orang istri, maka ia harus kawin dengan seorang wanita saja. Terhadap masalah ini ditambahkan pula suatu prinsip umum bahwa ‘engkau 

tidak akan mampu bertindak adil di antara para istrimu betapapun engkau menginginkannya’ (4: 3, 128). Konsekuensi keseluruhan yang logis dari pernyataan-pernyataan ini adalah pelarangan atas poligami dalam situasi yang normal. Namun demikian, sebagai suatu lembaga yang terlanjur ada, poligami diakui secara hukum, dengan garis-garis petunjuk yang menyatakan bahwa hila sedikit demi sedikit lingkungan sosial telah memungkinkan, maka monogami mungkin sekali dapat diketengahkan. Hal ini disebabkan karena tak seorang pembaharu pun, bila mau berhasil, dapat mengabaikan situasi yang ril, dan hanya semata-mata mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang-berisi pandangan-pandangan saja. Tetapi kaum Muslimin yang terkemudian tidak memperhatikan garis-garis petunjuk al-Qur’an tersebut dan, dalam kenyataannya, malah menghalangi niat yang terkandung di dalamnya.

Kasus perlakuan al-Qur’an terhadap lembaga perbudakan berjalan paralel dengan perlakuannya terhadap lembaga keluarga. Sebagai solusi yang segera, al-Qur’an secara hukum menerima lembaga perbudakan. Tak ada alternatif lain waktu itu, karena perbudakan telah terkandung dalam struktur masyarakat, dan pelarangannya secara mendadak begitu saja tentu akan menimbulkan masalah-masalah yang tak akan mungkin bisa diselesaikan, dan hanya seorang pelamun saja yang akan mengeluarkan pernyataan khayalan seperti itu. Tetapi pada waktu yang sama setiap usaha moral dan hukum dilakukan untuk membebaskan budak-budak dan menciptakan suatu millieu di mana perbudakan akan hilang. ‘Melepaskan belenggu di leher’ (fakku raqaba) tidak hanya dipuji sebagai suatu 44 kebajikan, tetapi juga dinyatakan, bersama dengan memberi makan orang miskin dan anak-anak yatim, sebagai ‘jalan naik’ yang mutlak harus ditempuh bagi manusia (90: 10-16). Sungguh, al-Qur’an secara kategoris telah mengatakan kepada kaum Muslimin bahwa bila 

seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah cicilan uang yang bisa ditetapkan menurut kondisi si budak, maka pemilik budak tersebut harus menyetujui kontrak penebusan tersebut dan tak boleh menolaknya. ‘Dan dari antara budak-budakmu, barangsiapa ingin membuat kontrak penebusan kebebasan, 
maka terimalah permintaan mereka dan berilah mereka sebagian dari kekayaan yang telah dianugerahkan Allah kepadamu. Dan janganlah kau paksa gadis-gadis budak belianmu untuk menjalani kehidupan kotor dengan maksud mencari keuntungan duniawi yang kecil, sedangkan mereka ingin tetap suci. Tetapi bila mereka berbuat demikian atas paksaan, maka Tuhan adalah Pengampun, Penyayang’ (24:3,3). Sekali lagi, di sini kita dihadapkan pada situasi di mana logika yang jelas dari sikap al-Qur’an tidak diterapkan oleh kaum Muslimin dalam sejarah. Kalimat al-Qur’an ‘bila kau pikir pada mereka ada kebaikan’, bila dipahami dengan sepatutnya, akan berarti tidak lain daripada bahwa bila seorang budak menunjukkan bahwa ia ‘belum mampu memperoleh penghasilan sendiri, maka ia tak dapat diharapkan’ untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri seandainya ia dibebaskan, dan karenanya mungkin akin lebih baik bila ia tetap berada dalam lindungan tuannya.  

Dengan demikian, contoh-contoh tersebut di atas menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa sementara semangat legislasi al-Qur’an memperlihatkan arah yang jelas menuju realisasi progressif dari nilai-nilai fundamental tentang kebebasan dan tanggung jawab dalam legislasi yang baru, namun legislasi aktual dari al-Qur’an sebagian telah menerima kondisi sosial yang ada sebagai batasan rujukan. Ini dengan jelas berarti bahwa legislasi aktual dari al-Qur’an tak mungkin telah dimaksudkan secara harfiyah abadi oleh al-Qur’an sendiri. Kenyataan ini tak mempunyai sangkut paut dengan doktrin keabadian al-Qur’an atau doktrin wahyu verbal al-Qur’an. Akan tetapi, ulama-ulama fiqh dan dogmatis-dogmatis Muslim mulai 45 menyalah-pahamkan masalah, dan perintah-perintah hukum yang ketat dari al-Qur’an dengan menganggapnya berlaku bagi setiap masyarakat, betapapun juga kondisinya, bagaimana struktur dari dinamika di dalamnya, satu bukti nyata yang menyatakan bahwa ulama-ulama fiqh makin lama makin berpikir secara harfiyah tercantum dalam fakta bahwa pada suatu waktu dalam abad ke-2 H/8 M doktrin hukum Islam mulai membuat perbedaan yang sangat tajam antar kata-kata yang tercantum (wording/nash), teks, dan kesimpulan yang terambil daripadanya. Ada banyak bukti untuk mempercayai, bahwa pada periode yang. sangat awal kaum Muslimin 

menafsirkan al-Qur’an secara sangat bebas. Tetapi setelah masa perkembangan fiqh selama akhir abad ke-l H/7 M sampai 2 H/ 8 M (yang berciri utama—seperti akan kita lihat dalam Bab III dan IV—timbulnya tradisi perkembangan penalaran analogis dan teknis/ilmu mantiq, para ulama fiqh dengan ketat mengikat diri mereka sendiri serta masyarakat kaum Muslimin kepada ‘teks’ Kitab-suci, hingga kandungan hukum dan Theologi Islam tertimbun oleh beratnya harfiyali-isme.

Selama berabad-abad kaum Muslimin tidak hanya telah menulis komentar-komentar atas al-Qur’an dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya dan dari sudut pandangan yang berbeda-beda serta kecenderungan yang berbeda, bahkan bertentangan, tetapi juga telah menumbuhkan suatu ilmu tafsir al-Qur’an (exegesis) dengan cabang-cabang pengetahuan pendukungnya, termasuk grammatika bahasa Arab, ilmu perkamusan (lexicografi), Hadits Nabi, asbab al-nuzul, dan sebagainya. Sesungguhnyalah, para sarjana Muslim telah membuat klaim yang sangat adil bahwa semua sains dalam al-Qur’an yang tidak mutlak sekuler berasal dari al-Quran. Al-Qur’an juga telah sangat mempengaruhi pertumbuhan kesusasteraan dan gaya sastra Arab hingga saat ini, doktrin tentang (inimitabilitas, iʻjāz) al-Qutan, tidak hanya dalam isi, tapi juga dalam bentuk sastranya, terdapat pada hampir semua aliran-aliran Islam dan telah memperoleh kedudukan utama pan diungkapkan dalam berbagai macam risalah yang khusus ditulis mengenai masalah ini. Kaum Muslim Ortodoks dengan keras menentang setiap usaha untuk 46 menulis dan menyebarkan terjemahan Kitab suci ini dalam bahasa apa pun tanpa disertai teks Arabnya. Tindakan ini telah memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap persatuan kaum Muslimin yang, di seluruh dunia, membaca al-Qur’an dalam bahasa ‘Arab dalam setiap shalat yang mereka lakukan lima kali sehari. Hanyalah baru-baru ini saja pemerintah Kemalis di Turki menterjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Turki tanpa menyertakan teks asli Arabnya, walaupun teks Arabnya masih tetap dipakai dalam shalat. Tetapi bahkan di negeri Turki ini pun orang-orang telah kembali kepada teks Arab dalam pembacaan-pembacaan al-Qur’an yang biasa. Untuk tujuan memahami teks al-Qur’an, penyertaan terjemahan dalam bahasa setempat memang diperbolehkan.

TAFSIR AL-QUR’AN
Selama masa hidup Nabi, al-Qur’an telah dihapalkan oleh banyak orang dan dibaca dalam setiap shalat. Pada masa itu al-Qur’an juga ditulis. pada daun-daunan, tulang, lembaran-lembaran kulit dan bahan-bahan lain yang bisa diperoleh, Seluruh isi Kitab suci dikumpulkan oleh Khalifah Pertama Abu Bakar. Masa Khalifah Ketiga ‘Utsman, atas rekomendasi dari suatu panitia yang ditunjuk untuk tujuan tersebut yang diketuai oleh Zayd Ibnu Tsabit, pelayan Nabi yang setia, juga menghasilkan susunan al-Qur’an yang ada sekarang ini, yang, berlawanan dengan susunan kronologisnya, lebih banyak berdasarkan pada panjangnya surah.
Sementara terdapat beberapa bukti bahwa pada generasi yang paling awal sesudah generasi Nabi orang-orang masih enggan, bahkan menentang, penafsiran atas al-Quran, akan tetapi sikap ini dengan segera menghilang, disusul dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang sedikit banyak diwarnai oleh kepercayaan-kepercayaan dan ide-ide lama yang dibawa oleh orang-orang yang baru masuk Islam. Penafsiran-penafsiran seperti itu, yang barangkali kadang-kadang jelas menyimpang dari arti yang jelas dari teksnya dan memiliki sifat semau-maunya sendiri itu, dikecam keras sebagai penafsiran dengan pendapat bebas (tafsir bil ra’y)’. Peranan opini 47 perseorangan dalam Islam permulaan akan kita bahas sedikit lebih luas dalam pembicaraan tentang hukum dalam Bab IV.
Dengan demikian dirasakan kebutuhan mengembangkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu komentar al-Qur’am (ilmu al-tafsir). Karena itu, pertama-tama diakui prinsip bahwa tidak hanya pengetahuan tentang bahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami al-Qur’an secara tepat, tetapi juga 

tentang idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Dari sini berkembanglah gramatika bahasa Arab, ilmu perkamusan, dan kesusasteraan Arab dengan suburnya. Selanjutnya, latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang disebut, ‘asbab al-nuzul’ dimasukkan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat 
dari firman Tuhan. Ketiga, tradisi historis yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an, juga dianggap sangat penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberi tempat. Sebuah karya monumental tafsir tradisional, yang berdasarkan laporan-laporan dari generasi yang telah lalu, disusun oleh al-Thabari (310 H/922 M). Lama kelamaan sementara berbagai aliran pemikiran dan kehidupan intelektual serta spiritual dari orang-orang yang baru masuk Islam berkembang, maka bermunculanlah tafsir-tafsir. Sungguh, adalah benar bila dikatakan bahwa pandangan apa pun yang ingin diproyeksikan dan dibela oleh kaum Muslimin mengambil bentuk dalam tafsir al-Qur’an.

Bahasa dan gaya al-Qur’an juga telah memberikan pengaruh yang paling kuat pada pertumbuhan din perkembangan kesusasteraan Arab. Kaum Muslimin mula-mula sekali telah mengembangkan doktrin tak tertandinginya al-Qur’an, tetapi bahkan bagi orang-orang Arab non-Muslim, al-Qur’an tetap merupakan produk kesusasteraan yang ideal hingga masa kini. Al-Qur’an dengan keras menolak anggap an yang dilontarkan oleh lawan-lawan Nabi Muhammad kepadanya, bahwa beliau adalah seorang ‘penyair’ dan tak pernah membiarkan Qur’an disebut puisi. Namun -dalam kedalaman 

rasanya, dalam ekspresinya yang mengena dan iramanya yang 48 efektif, al-Qur’an tidaklah kurang derajatnya dari puisi yang paling tinggi sekalipun. Sesungguhnya, kaum Muslimin telah mengembangkan suatu seni khusus tentang pembacaan al-Qur’an (yang disebut tajwid), dan bila al-Qur’an dibaca dengan cara demikian, maka pengaruhnya bahkan akan bisa dirasakan oleh mereka yang tidak mengenal bahasa Arab sekalipun. Tentu saja, tak mungkin kita bisa mempertahankan keindahan artistik dan keagungan al-Qur’an dalam terjemahannya. Di bawah ini kita kutipkan tiga pasasi dari masa yang berbeda, bukan karena ketiganya mampu menyampaikan kepada pembaca keistimewaan artistik al-Qur’an, tapi untuk melukiskan perkembangan isinya tahapan demi tahapan. Pasasi pertama, yang termasuk dalam surah-surah Makkiyyah awal, adalah sebagai berikut.

“Akan halnya manusia, maka bila ia diuji oleh Tuhannya dengan kemuliaan dan kenikmatan, ia berkata, ‘Aku telah dimuliakan Tuhanku! Tetapi bila Tuhan mencobanya dengan keterbatasan rizqi, ia berkata, ‘Tuhanku menghinakan aku’. Bukan demikian! Tapi itu karena kalian tak memuliakan anak yatim, dan kamu tak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kalian memakan harta warisan dengan serakah, menyintai kekayaan dengan berlebihan. Janganlah demikian! Bila (nanti) bumi dihancurkan selumat-lumatnya, dan Tuhanmu datang bersama malaikat dalam barisan-barisan ....’ (89: 15-22).
Ayat-ayat yang berikut ini termasuk periode Makkiyyah akhir:
‘Sesungguhnya beruntunglah orang-orang beriman,—yang khusyu’ dalam shalatnya, yang menjauhi omong kosong dan sia-sia,—yang, selalu patuh membayar zakat,—dan yang menjaga dorongan seksualnya,—kecuali terhadap istri-istri mereka atau perempuan-perempuan tawanan yang mereka miliki: yang demikian itu tidaklah tercela bagi mereka. Tetapi barangsiapa menginginkan selain itu, mereka adalah pelanggar-pelanggar batas;—dan mereka yang memenuhi janji dan amanatnya, yang setia dalam shalatnya. Merekalah orang-orang yang akan mewarisi, mewarisi surga Firdaus. Mereka akan kekal di dalamnya’ (23: 1-11). 49
Pasasi ini adalah dari surah-surah Madaniyah:
(Inilah surah yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), yang mengandung ayat-ayat yang jelas, —agar kamu selalu mengingatnya. Orang-orang yang berzina — laki-laki maupun perempuan—, hukumlah masing-masing seratus kali dera, dan janganlah rasa kasihan menghalangi kalian menjalankan perintah Allah. Jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan hendaklah sekelompok orang beriman yang menyaksikan hukuman mereka itu. Laki-laki pezina tidak boleh kawin kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik, dan perempuan pezina tak boleh menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu terlarang bagi orang-orang beriman. Dan mereka yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka pukullah mereka delapan puluh kali dan jangan terima lagi kesaksian dari mereka selamanya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang kemudian bertaubat dan memperbaiki tingkah lakunya’ (24: 1-5). 50




*Lihat Fazlur Rahman, (1983), Membuka Pintu Ijtihad, Bandung, Pustaka, hal, 35 catatan kaki no. 15).

0 komentar:

Post a Comment