Al-Quran, i3.wp.com |
Apakah al-Qur’an itu? - Ajaran al-Qur’an - Legislasi al-Qur’an -
Tafsir al-Qur’an
APAKAH AL-QUR’AN ITU?
Al-Qur’an terbagi dalam bab-bab atau surah-surah, yang
semuanya berjumlah 114 dengan panjang yang sangat ragam. Surah-surah Makkiyyah
adalah yang awal, dan termasuk surah-surah yang paling pendek. Dan makin lama
surah-surah tersebut makin panjang. Ayat-ayat dalam surah-surah yang terdahulu
diturunkan mengandung ‘momen psikologis’ yang dalam dan kuat luar biasa, serta
memiliki sifat-sifat seperti ledakan-ledakan vulkanis yang singkat tapi kuat.
Sebuah suara yang meratap dari dasar kedalaman hidup dan membentur dengan kuat
pada dinding-dinding pikiran Nabi untuk membuat dirinya hadir secara nyata pada
tingkat kesadaran manusia. Nada seperti ini lama kelamaan menghilang, terutama
dalam periode Madaniyyah, berganti dengan gaya yang lebih tenang dan lancar
berbarengan dengan kandungan hukum dalam al-Qur’an bertambah banyak, yang ditujukan
untuk mengatur organisasi yang terperinci dan memberikan pengarahan kepada
masyarakat-negara ummat Islam yang barn lahir. Ini tidak berarti bahwa suara
kesadaran manusia tadi telah dibungkam atau bahwa kualitas intensifnya telah
berubah. Sebuah ayat Madaniyyah mengatakan bahwa ‘Seandainya Kami turunkan
al-Qur ‘an ini kepada sebuah gunung, niscaya kau lihat ia merunduk terbelah
karena takut kepada Allah’ (59: 21). Tetapi tugas-tugas ayat-ayat tersebut
memang telah berganti. Dari sentakan dan dorongan moral dan seruan-seruan
religius semata-mata, 31
menjadi pengarahan bagi penyusunan suatu tata kemasyarakatan yang aktual.
Bagi al-Quran sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum
Muslimin, al-Qur’an adalah firman Tuhan (kalam Allah). Nabi Muhammad juga
betul-betul yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, Zat yang sama
sekali lain (kita akan segera mencoba mengungkapkan dengan lebih tepat ani dari
sifat yang ‘sama sekali lain’ itu), sedemikian rupa hingga ia menolak, dengan
kekuatan kesadaran ini, sebagian dari klaim-klaim historis yang paling
fundamental dari tradisi Judeo-Kristiani tentang Ibrahim dan Nabi-nabi yang
lain. ‘Zat yang lain’ ini, melalui suatu saluran ‘mendiktekan’ al-Our’-an
dengan otoritas yang mutlak. Suara yang datang dari dasar kedalaman hidup itu berbicara
dengan jel.as sekali, tak bisa dikelirukan, dan mendesak. Tidak hanya kata qur’an,
yang berarti ‘bacaan’, denganjelas menunjukkan hal ini, tetapi teks al-Qur’an
itu sendiri pada beberapa tempat menyatakan bahwa al-Qur’an di~~hyubn· secara
verbal, dan bukan hanya dalam ‘makna’
dan ide-idenya saja. Istilah al-Qur’an untuk ‘pembukaan (rahasia)’ adalah wahy
yang berdekatan artinya dengan ‘inspirasi’, dengan syarat bahwa yang kedua’
ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. (Dengan ‘firman’, tentu
saja yang kami maksud ‘bukanlah suara). Al-Qur’an mengatakan, ‘Allah tidak berbicara
pada seorang manusia pun (yakni dengan kata-kata bersuara) kecuali melalui wahy
(yakni dengan inspirasi ide-kata) atau dari balik tabir, atau la mengutus
seorang utusan (Malaikat) yang berbicara melalui wahy ... Dan demikianlah
Kami berikan inspirasi kepadamu dengan satu ruh dari Perintah Kami .... (42:
51-52).
Akan tetapi, ketika selama
abad kedua dan ketiga Hijrah, di kalangan bum Muslimin timbul
perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam dan kontroversi-kontroversi mengenai
sifat wahy, yang sebagian dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Kristen, maka
‘ortodoksi’ Islam yang mulai muncul, yang pada waktu itu berada pada tahap genting
dari saat perumusan isinya yang setepatnya, menekankan eksternalitas Wahyu
Nabi dengan tujuan untuk mengamankan ‘kelainan’, obyektivitas dan sifat
verbalnya. Al-Qur’an sendiri 32
memang mempertahankan sifat ‘kelainan’, obyektivitas dan sifat verbal wahyu,
tetapi pada waktu yang sama juga menolak eksternalitasnya vis-a-vis Nabi.
Al-Qur’an menyatakan ‘Ruh yang terpercaya telah membawanya turun ke hatimu agar
engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan’
(26: 194), dan juga, ‘ ... Katakanlah. Barangsiapa yang memusuhi Jibril maka
jibril itu telah menurunkan al-Qur’an ke dalam hatimu dengan seizin Allah ....’
(2:97). Tetapi ortodoksi (dan sesungguhnya juga semua pemikiran zaman
pertengahan) tak memiliki peralatan intelektual yang diperlukan untuk
menggabungkan dalam perumusannya antara dogma ‘kelainari’ dan sifat verbal dari
wahyu di satu piliak dan hubungan intimnya dengan perbuatan dan kepribadian
religius Nabi di lain pihak, yakni ia (pemikiran ortodoks) tidak memiliki
kemampuan intelektual untuk mengatakan bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan, dan
dalam arti kata yang biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Al-Qur’an
jelas mendukung kedua sifat ini, karena kalau ia menekankan bahwa ia (al-Qur’an)
telah turun ke dalam hati Muhammad, bagaimana ia bisa bersifat eksternal
baginya (Muhammad)? Tentu saja, ini tidak perlu berarti bahwa Nabi tidak
melihat figur yang diproyeksikan (malaikat, pent), sebagaimana
dinyatakan oleh Hadits (tradisi), tetapi adalah patut dicatat bahwa al-Qur’an
tidak menyebutkan figur apapun dalam hubungan ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa
Nabi melihat satu figur atau sesosok malaikat, atau suatu obyek yang lain ‘di kejauhan
yang paling jauh’ atau ‘di ufuk’ hanya dalam hubungan-dengan pengalaman-pengalaman
khusus tertentu (yang umumnya dihubungkan dengan Mi’raj Nabi), walaupun juga di
sini, seperti telah kami tunjukkan pada bagian satu dari bab yang lalu,
pengalaman tersebut digambarkan sebagai suatu pengalaman spiritual. Tetapi
ortodoksi, melalui Hadits atau ‘tradisi’ dari Nabi, yang sebagian ditafsirkan secara
cocok, dan sebagian dikarang saja, dan sebagian melalui ilmu teologi yang
sebagian besar berdasarkan Hadits, membuat wahyu Nabi sama se kali datang melalui
telinga dan bersifat eksternal terhadapnya dan memandang malaikat atau ruh ‘yang
datang ke dalam hati’ itu sebagai suatu agen yang sama sekali eksternal. 33 Gambaran Barat modem
tentang Wahyu kenabian sebagian besar bersandar pada perumusan ortodoksi ini
bukannya pada al-Qur’an—seperti juga halnya kepercayaan kaum Muslimin awam.
Bukanlah tempatnya di sini
untuk memperinci teori tentang wahyu Qur’ani secara mendetail. Tetapi kalau
kita mau berurusan dengan fakta-fakta sejarah Islam, maka pernyataan faktual
al-Qur’an tentang dirinya sendiri memerlukan pembahasan secukupnya. Dalam garis
besar singkat berikut, dilakukan usaha untuk bertindak adil baik terhadap
tuntutan sejarah maupun tuntutan Islam sendiri. Kami telah menyatakan secara
jelas dalam bab yang terdahulu bahwa semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat
moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral
adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan
hukum moral: ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan islam
dan implementasinya dalam kehidupan disebut ibadah atau ‘pengabdian
kepada Allah’. Karena penekanan al-Qur’an terhadap hukum morallah hingga Allah
dalam al-Qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan keadilan.
Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah
diketahui.
Kekuatan persepsi kognitif
setiap orang adalah tidak sama, dan tingkatan-tingkatan perbedaan ini tidak
terbatas, sebanyak jumlah manusia itu sendiri. Begitu pula, persepsi moral dan
religius juga sangat berbeda dari sebuah persepsi yang semata-mata persepsi
intelektual, karena suatu kualitas intrinsik dari persepsi moral dan religius
ini adalah bahwa bersama dengan persepsi, ia juga membawa suatu sense of gravity
(rasa daya tarik) yang istimewa dan menjadikan subyeknya tertransformasikan
secara signifikan. Karena itu persepsi, juga persepsi moral, memiliki
tingkatan-tingkatan. Variasinya tidak hanya antara individu yang berbeda,
tetapi kehidupan batin dari seorang individu juga bervariasi dari waktu ke
waktu dari sudut pandangan ini. Di sini kira tidak berbicara tantang suatu
evolusi dan perkembangan moral dan intelektual yang intrinsik, di mana variasi
paling jelas kelihatan, tetapi bahkan dalam diri seorang yang baik 34 dan telah matang dan
dewasa, yang kaliber dan karakter moral dan intelektual rata-ratanya, dalam
sesuatu arti, telah tetap variasi-variasi ini juga terjadi.
Nah, seorang Nabi adalah
seorang yang .keseluruhan karakter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih
tinggi dari manusia pada umumnya. la adalah seorang yang ab initio (dari
awalnya) tidak sabar terhadap manusia dan bahkan terhadap sebagian besar
ideal-ideal mereka, dan ingin sekali menciptakan kembali sejarah. Karena itu,
ortodoksi Islam mengambil kesimpulan yang secara logis adalah tepat bahwa
Nabi-nabi mestilah dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang serius
(doktrin tentang ‘ishmah/maʻshūm). Muhammad adalah, manusia seperti itu,
dan dalam kenyataannya satu-satunya manusia seperti itu yang dikenal sejarah. Itulah
sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum Muslimin sebagai Sunnah atau ‘model
yang sempurna’. Tetapi, dengan adanya semua itu, ada saat-saat di mana
ia, sebagaimana telah terjadi, ‘melampaui dirinya sendiri’ dan persepsi
kognitif moralnya menjadi demikian tajam hingga kesadarannya menjadi identik
dengan hukum moral sendiri. ‘Demikianlah Kami ilhami engkau, dengan satu Ruh
dari perintah Kami: engkau, tidak tahu (sebelumnya) apa itu al-Kitab, tetapi
(sekarang) Kami telah menjadikannya cahaya’ (42: 52). Tetapi
hukum ‘moral dan nilai-nilai
religius adalah perintah Tuhan, dan walaupun keduanya tidak seluruhnya identik
dengan Tuhan, tapi adalah bagian daripada-Nya. Karena itu al-Qur’an adalah betul-betul
murni Ilahi. Lebih lanjut, bah kan dengan memandang kesadaran yang biasa,
adalah suatu pemikiran yang salah untuk mengatakan bahwa ide-ide dan
perasaan-perasaan terapung-apung di dalamnya dan dapat secara mekanis ‘dibungkus’
dengan kata-kata. Sunguh, memang ada hubungan mekanis antara perasaan, ide, dan
kata-kata. Dalam inspirasi, bahkan inspirasi puitis, hubungan ini adalah
demikian lengkap hingga perasaan-ide-kata merupakan kompleks keseluruhan yang memiliki
hidup sendiri. Ketika persepsi intuitif moral Muhammad mencapai puncaknya yang
tertinggi dan menjadi identik dengan hukum moral sendiri (sesungguhnya di
saat-saat begini perilakunya sendiri mendapat pujian al-Quran, 35 sebagaimana telah kami
nyatakan dalam bahasan pada bagian kedua pada bab yang telah lalu, dan seperti
kelihatan jelas pada halaman-halaman al-Qur’an), maka kalimat-kalimat dalam
wahyu diberikan bersama-sama, dengan inspirasi sendiri. Dengan demikian al-Qur’an
adalah murni Kata-kata Ilahi. Tetapi tentu saja secara sepadan berhubungan intim
dengan pribadi terdalam dari Nabi Muhammad, yang hubungannya dengan Kata-kata suci
tersebut tak dapat diamati secara mekanis seperti halnya sebuah catatan. Kata-kata
Ilahi tersebut mengalir melalui hati Nabi.
Tetapi, apabila Muhammad, pada
momen-momen Qur’aninya, menjadi satu dengan hukum moral sendiri, ia tetap
secara mutlak tak dapat diidentikkan dengan Tuhan ataupun sebagian daripada-Nya.
Al-Qur’an secara kategoris mengharamkan, hal ini, dan semua orang yang
layak disebut Muslim menganggap mempersekutukan
makhluk dengan Tuhan (syirk) sebagi dosa yang paling besar. Alasannya adalah
bahwa tak seorang pun yang boleh mengatakan, ‘Akulah hukum moral itu’. Kewajiban
manusia adalah merumuskan Hukum ini dengan cermat dan menyerahkan diri
kepadanya dengan segenap fakultas fisik, mental dan spiritualnya. Selain dari itu,
Islam tidak mengenal satu hal pun yang bersifat Ilahi, tak ada cara lain untuk
merumuskan sesuatu itu bersifat Ilahi.
AJARAN AL-QUR’AN
Dalam uraian terdahulu kami telah
berulang-ulang menekankan bahwa semangat dasar al-Qur’an adalah semangat moral,
dan kami juga telah menunjukkan ide-ide keadilan sosial dan ekonomi yang tumbuh
dari semangat tersebut dalam al-Qur’an. Hal ini benar-benar mutlak sepanjang menyangkut
manusia dan nasibnya. Sementara
al-Qur’an sedikit demi sedikit menggariskan pandangan dunianya dengan lebih
lengkap, maka tertib moral pada manusia sampai pada titik sentral dari kepentingan
Ilahi dalam sebuah gambaran yang penuh dari suatu tata-kosmis yang tidak hanya
mengandung sensitivitas religius yang tinggi, tetapi juga memperlihatkan
tingkat konsistensi dan koherensi yang mengagumkan, Suatu konsep tentang Tuhan,
pencipta mutlak alam semesta, dikembangkan, di mana sifat-sifat kreativitas,
ketertiban, dan kasih tidak hanya terletak 36 berdampingan atau ditambahkan satu pada yang lain
saja, tetapi saling berjalin berkelindan. Bagi-Nya-lah kreativitas dan ‘hukum’
atau ‘perintah’ (7:54). ‘Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu’ (7:156). Sungguh, ‘Yang
pengasih’ (Rahman) adalah, satu-satunya nama-sifat Tuhan yang sangat sering
dipakai dalam, al-Qur’an sebagai nama substantif Tuhan, di samping Allah.
Memang benar bahwa sebagaimana telah diupgkapkan oleh sebuah penyelidikan
modern, kata ‘Rahman’ telah dipakai untuk nama dewa di Arabia Selatan sebelum
Islam. Tetapi transportasi historis ini jelas tidak relevan dari sudut pandangan
kami. Bila, untuk sementara, kita-tinggalkan-manusia, yakni konstitusi
moral-spiritualnya yang spesifik, darn mempertimbangkan seluruh alam ciptaan
yang lainnya, maka penafsiran ketiga atribut-atribut yang luhur ini yalah bahwa
Tuhan menciptakan segala sesuatu, dan bahwa dalam tindak penciptaan ini, maka
tata-tertib atau ‘perintah’ Tuhan diletakkan dalam ciptaan-ciptaan tersebut,
yang dengannya mereka saling berhubungan secara logis dan membentuk suatu pola,’
dan bukannya ‘berjalan menyeleweng’ dari jalan yang telah ditentukan, ciptaan-ciptaan
tersebut berevolusi menjadi sebuah kosmos, bahwa, akhirnya, semua itu hanyalah
merupakan rahmat Tuhan semata-mata, karena bagaimanapun juga, eksistensi bukanlah
hak dari apa dan siapapun juga, dan sebagai ganti eksistensi, bisa saja hanya
ketiadaan yang hampa semata-mata. Sesungguhnyalah, kesan yang paling intens yang
ditinggalkan al-Qur’an bagi pembacanya bukanlah berupa Tuhan yang selalu
mengawasi, merengut dan menghukum, sebagaimana dibuat oleh orang-orang Kristen,
bukan pula gambaran seorang hakim utama sebagaimana ulama-ulama fiqh Islam
cenderung memikirkannya, tetapi adalah suatu kehendak
yang bertujuan dan terpadu yang menciptakan: tata-tertib di alam semesta sifat-sifat
kekuasaan atau keagungan, kewaspadaan atau keadilan serta kebijaksanaan yang
diatributkan sebagai sifat Tuhan di dalam al-Qur’an dengan penekanan yang
jelas, pada kenyataannya adalah kesimpulan-kesimpulan yang paling tepat, dapat
diambil dari keteraturan kosmos yang kreatif. Dari semua istilah Qur’ani,
barangkali yang paling mendasar,
komprehensif dan sekaligus mengungkapkan sifat kesucian alam 37 adalah kata amr yang
telah kami artikan tadi sebagai tata-tertib, keteraturan atau perintah’. Pada
setiap sesuatu yang diciptakan, secara ipso-facto, atau oleh bukti
penciptaan itu sendiri telah diletakkan di dalamnya amr-nya, yang
merupakan hukum wujudnya sendiri dan juga hukum yang membuatnya terintegrasi
dalam sebuah sistem. Amr ini, yakni tata-tertib atau perintah Tuhan, adalah
terus berkelanjutan dan tak pernah berhenti. Kata yang dipakai untuk menunjukkan
komunikasi amr kepada semua ciptaan, termasuk manusia, adalah wahy,
yang telah kami artikan dalam bagian yang lalu sebagai inspirasi. Dengan
rujukan kepada benda-benda anorganik, ia harus diartikan sebagai ‘pengandungan’
(ingraining). Ini disebabkan karena rujukan dengan manusia, yang merupakan
kasus istimewa, bukan amr saja yang diturunkan dari langit, tapi adalah ‘ruh
dari amr’ (rūḥ min al-amr), sebagaimana berkali-kali dikatakan oleh
.al-Qur’an.
Dengan rujukan kepada manusia (dan mungkin juga
kepada jinn, suatu ordo ciptaan yang ghaib, paralel dengan manusia tapi
dikatakan sebagai diciptakan dari substansi api, semacam duplikat manusia yang umumnya lebih cenderung kepada kejahatan, dan juga
dikatakan sebagai kelompok asal dari iblis), sifat dan kandungan amr ditransformasikan,
karena dalam hal ini sesungguhnya amr telah menjadi perintah moral untuk
menciptakan tata-tertib dalam dunia yang kacau. Kekacauan moral yang aktual adalah
akibat dari kenyataan moral yang berakar dalam, yang pengobatannya memerlukan
kerjasama Tuhan dengan manusia. Kenyataan ini adalah kehadiran iblis (syaithan)
yang seumur dengan manusia dan selalu menggoda manusia setiap saat.
Al-Qur’an, menggambarkan dualisme
moral dalam watak manusia yang menimbulkan perjuangan moral dan potensi-potensi
yang hanya dimiliki manusia saja, dengan dua buah ceritera yang efektif. Ceritera
yang pertama mengisahkan bahwa ketika Tuhan bermaksud menciptakan manusia
sebagai wakil-Nya di atas bumi, para malaikat mengajukan protes dengan
mengatakan bahwa manusia yang akan diciptakan itu akan cenderung kepada
kejahatan, membuat 38
kerusakan di atas bumi dan menumpahkan darah, sedangkan, mereka sendiri selalu
patuh pada kehendak-Nya. Tuhan menjawab, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui’ (2; 30). Ceritera yang kedua mengatakan bahwa ketika Tuhan
menawarkan ‘amanah’ kepada langit dan bumi, maka seluruh makhluk menolak untuk
menerimanya, dan manusia tampil ke depan untuk menerimanya, dengan mendapat cemoohan
yang simpatik dari Tuhan, ‘manusia begitu ceroboh dan jahil!’ (32:72). Hampir-hampir
tak ada karakterisasi yang lebih kena dan efektif mengenai situasi manusia dan
wataknya yang lemah dan mudah terombang-ambingkan daripada kedua ceritera
tersebut, tapi pembawaannya yang berani dan kemampuannya untuk melampaui yang
aktual menuju yang ideal merupakan keunikan dan kebesarannya. Kenyataan akan
hadirnya iblis menciptakan suatu dimensi yang sama sekali baru dalam kasus manusia.
‘Tuhan telah menanamkan padanya (yakni jiwa manusia) kemampuan untuk membedakan
kebaikan dari kejahatan’ (91 :8). Tetapi pengaruh iblis adalah demikian halus
dan kuatnya hingga manusia umumnya gagal untuk memahami persembahan abadi yang
disuratkan Allah dalam jiwanya itu, bahkan mereka yang mampu memahaminya jaga
gagal untuk bertindak atas dorongannya. Pada saat-saat kritis seperti itu Allah
memilih sekelompok manusia dan diutusnya malaikat, ‘ruh dari perintah’ yang ‘ada
beserta-Nya’. Perintah dari pada-Nya itu adalah demikian pasti, demikian definit
dalam pengukuhan-pengukuhan dan penolakan-penolakannya hingga benar-benar ia
merupakan ‘Kitab yang ghaib’ yang tertulis pada ‘Lauh yang terpelihara (lauḥ
al-maḥfūẓ), induk dari (segala) Kitab’ (56:78; 85:21-22; 13:39).
Manusia-manusia yang diserahi pesan-pesan yang menentukan nasib manusia ini
adalah Nabi-nabi. Al-Qur’an yang dikirimkan kepada Nabi Muhammad adalah Kitab yang
berisi perintah tersebut. Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan al-Qur’an
adalah Kitab yang terakhir yang diwahyukan dengan cara demikian.
Dengan demikian, dengan latar
belakang ini, al-Qur’an muncul sebagai suatu dokumen yang dari awal hingga
akhirnya selalu memberikan semua tekanan-tekanan moral, yang perlu bagi
tindakan 39 manusia yang kreatif.
Sungguh, pada dasarnya, kepentingan sentral al-Qur’an adalah pada manusia, dan
perbaikannya. Untuk ini adalah esensial bahwa manusia mesti berbuat dalam penekanan-penekanan
tertentu yang sesungguhnya telah
diciptakan Tuhan dalam dirinya, terlebih dahulu terutama sekali manusia tidak
boleh melompat pada kesimpulan bunuh diri bahwa ia dapat menciptakan atau melenyapkan
hukum moral sesuai dengan keinginannya sendiri, karena hukum moral itu dalam kenyataannya
yang jelas telah ada tersedia baginya. Dari sinilah al-Qur’an menekankan
supremasi dan keagungan Tuhan. Di pihak lain, dari antara seluruh makhluk,
manusia telah diberi potensi yang paling besar dan dipercayai memikul ‘amanat’
yang seluruh makhluk lainnya takut menerimanya. Sekali lagi, ide keadilan langsung
muncul dari ide supremasi hukum moral, suatu ide yang juga sering ditekankan
oleh al-Qur’an. Tetapi dengan dorongan yang sama al-Qur’an mengutuk keputusasaan
dan ketiadapercayaan pada rahmat Tuhan, yang dinyatakan sebagai kekafiran. Kebenaran yang
sama juga berlaku pada keseluruhan ruang lingkup tekanan-tekanan moral, termasuk
kekuatan dan kelemahan manusia, pengetahuan dan kebodohannya. Kesabaran dan pembalasannya,
dan sebagainya. Sementara potensi-potensi manusia adalah besar, maka sama besarnya
adalah hukuman yang harus diterimanya akibat kegagalannya dalam melaksanakan
hukum moral tersebut.
Dalam menuju gambaran itu,
kepercayaan pada satu Tuhan merupakan puncak sistem kepercayaan Islam yang
diambil dari al-Qur’an. Dari kepercayaan itu menyusul kepercayaan pada malaikat
(ruh dari perintah) sebagai transmitter pesan Ilahi kepada manusia, kepercayaan
kepada Nabi-habi, yang merupakan penerimapenerima dan pemelihara wahyu-wahyu
Ilahi (yang terakhirnya adalah Muhammad), kepada risalah asli para Nabi, atau
Kitab-kitab, dan kepada Hari Perhitungan.
Al-Qur’an menekankan shalat
karena ia ‘mencegah kejahatan’ dan membantu manusia untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan, terutama hila digabungkan dengan ‘kesabaran’. Shalat yang lima
40 memang sama
sekali tidak tersebut dalam al-Qur’an, tapi harus dianggap sebagai praktek yang
terkemudian dari Nabi sendiri, karena tidaklah akan mungkin secara. historis,
untuk mendukung-anggapan bahwa kaum Muslimin sendiri yang menambahkan dua
shalat lagi kepada tiga yang disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an
sendiri, kedua shalat—pagi dan petang—disebutkan, dan menyusul kemudian di
Madinah ditambahkan shalat, ‘yang tengah’ di siang hari. Tetapi tampaknya
selama masa yang terkemudian dari hidup Nabi, shalat ‘dari tergelincirnya
matahari ‘hingga kegelapan malam’ (17 : 78) dipecah menjadi dua, demikian juga
shalat siang, hingga terkumpullah jumlah yang lima.*
Akan tetapi, kenyataan bahwa shalat pada dasarnya,
adalah tiga dibuktikan oleh kenyataan bahwa Nabi diriwayatkan sebagai telah menggabungkan
empat shalat menjadi dua, bahkan tanpa sesuatu alasan pun. Pada masa sesudah
Nabi-lah jumlah shalat ditetapkan dengan tegas sebagai lima, tanpa ada alternatif
lain, dan fakta tentang tiga shalat yang fundamental tenggelam di bawah gelombang
membanjirnya Hadits yang diedarkan ke tengah masyarakat untuk mendukung ide bahwa
shalat ada lima.
Puasa selama sebulan, suatu praktek
yang sangat keras berupa meninggalkan sama sekali makan dan minum sejak dari
fajar hingga terbenamnya matahari, digariskan oleh al-Qur’an (2: 183 dan
seterusnya). Mereka yang sakit (atau mengalami kesulitan-kesulitan), dalam
perjalanan boleh menangguhkan puasa sampai waktu yang memungkinkan. Al-Qur’an
dipercayai sebagai telah diturunkan pada bulan puasa, yakni Ramadhan.
Selama komunitas Islam yang
kecil masih tinggal di Mekkah, sedekah, walaupun berulang kali ditekankan,
masih merupakan pemberian yang suka rela kepada anggota-anggota yang miskin
dari komunitas tersebut. Tetapi di Madinah, zakat atau pajak kesejahteraan, dinyatakan
wajib bagi kesejahteraan komunitas tersebut dan pengumpul-pengumpul zakat
ditunjuk. Demikian kuatnya penekanan 41 Al-Qur’an dalam hal ini hingga shalat pun jarang disebutkan
tanpa diiringi oleh zakat. Pelarangan riba, yang pengutukan moralnya sudah dimulai
sejak di Mekkah, diberikan dalam serangkaian pernyataan ancaman perang dari Allah
dan Rasul-Nya terhadap mereka yang mempraktekkan riba—dengan dasar bahwa riba
menjadikan hutang berlipat ganda dari asalnya dan bertentangan dengan prinsip perdagangan
yang adil (bayʻ).
Haji ke Mekkah (lihat Bab 1) dinyatakan
wajib bagi setiap Muslim sekali seumur hidup bagi mereka yang mampu melakukannya,
yakni mereka yang tidak hanya mampu membiayai perjalanan pulang pergi ke Mekkah,
tapi juga mampu menjamin kehidupan keluarga mereka selama ditinggal pergi. Pelembagaan
haji telah menjadi sarana yang sangat ampuh untuk memajukan persaudaraan Islam
dan menyebarkan semangat pan-Islam di kalangan kaum Muslimin dari berbagai ras
dan latar belakang budaya.
Al-Qur’an menyerukan
kepada orang-orang yang beriman agar melakukan jihad yang berarti ‘menyerahkan
diri dan harta bendamu ke jalan Allah’, yang pada gilirannya bertujuan untuk
menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan
yang berarti menegakkan tata sosio-moral Islam. Selama kaum Muslimin masih
merupakan minoritas yang tertindas di Mekkah, jihad sebagai tindakan
gerakan Islam yang positif dan terorganisir belumlah terpikirkan. Tetapi di
Madinah, situasinya telah berubah dan karenanya
hampir tak ada sesuatu pun, dengan kekecualian shalat dan zakat, yang
mendapat tekanan yang lebih besar daripada jihad. Akan tetapi, di
kalangan aliran-aliran hukum Islam yang terkemudian, hanya kaum Khariji yang
fanatiklah yang menyatakan jihad sebagai salah satu Rukun Iman.
Aliran-aliran yang lain telah mengurangi kepentingan jihad ini dengan alasan
yang nyata bahwa ekspansi Islam telah terjadi jauh terlalu cepat dalam
proporsinya, di banding dengan konsolidasi internal dari komunitas orang-orang
mukmin itu sendiri. Setiap ideologi yang hidup dan ekspansif, pada suatu tahap
perkembangannya mesti menanyakan pada dirinya sendiri apa batasan-batasan
ko-eksistensinya, kalau 42
memang ada, dengan sistem-sistem yang lain, dan sejauh mana ia boleh menggunakan
cara-cara ekspansi langsung. Di abad kita sekarang ini, komunisme, dalam versi
Rusia maupun Cina, dihadapkan pada problema-problema dan pilihan-pilihan yang
sama. Akan tetapi, dasar historis, yang paling tidak bisa diterima adalah
pendirian apologis-apologis Muslim modern yang telah mencoba menerangkan jihud
yang dilakukan oleh komunitas Muslim yang awal dulu semata-mata dalam
batasan-batasan defensif.
LEGISLASI AL-QUR’AN.
Al-Qur’an
terutama adalah sebuah buku prinsip-prinsip dan seruan-seruan moral, bukannya
sebuah dokumen hukum. Tetapi ia memang mengandung beberapa pernyataan-pernyataan
hukum yang penting; yang dikeluarkan selama proses pembinaan masyarakat-negara
di Madinah. Beberapa ketetapan ekonomi telah kita catat pada bagian yang
terdahulu. Pelarangan konsumsi alkohol merupakan contoh yang menarik dari metoda
legislasi al-Qur’an dan menjelaskan sikap al-Qur’an terhadap sifat dan fungsi legislasi
itu sendiri. Pemakaian alkohol nampaknya sama sekali tidak dilarang pada tahun-tahun
pertama Islam. Kemudian dikeluarkan larangan shalat ketika berada dalam
pengaruh alkohol. Selanjutnya dikatakan, ‘Mereka bertanya kepadamu tentang
alkohol dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu ada bahaya besar dan juga
beberapa keuntungan bagi manusia, tetapi pada keduanya bahayanya jauh lebih
besar daripada keuntungannya’ (2:219). Akhirnya dinyatakan pelarangan total (5:
90-91) dengan dasar bahwa baik alkohol maupun judi ‘adalah pekerjaan syaithan’
... syaithan ingin menebarkan permusuhan dan kebencian di antaramu’. Ini menunjukkan
penanganan hukum secara perlahan-lahan dan eksperimental terhadap
problem-problem di saat problem-problem tersebut muncul.
Tetapi
ketetapan hukum dan reformasi umum yang paling penting dari al-Qur’an adalah
mengenai wanita dan perbudakan. Al-Quran sangat meningkatkan kedudukan wanita dalam
beberapa segi, tetapi yang paling mendasar adalah kenyataan bahwa ia memberikan
kedudukan pribadi yang penuh kepada wanita. Suami-istri 43 dinyatakan sebagai ‘pakaian’ bagi
satu sama lain: kepada wanita diberikan hak-hak yang sama atas kaum laki-laki
sebagaimana hak-hak laki-laki atas wanita, dengan kekecualian bahwa laki-laki,
sebagai pihak yang mencari nafkah, mempunyai kedudukan yang setingkat lebih tinggi.
Poligami tak terbatas diatur dengan ketat dan jumlah istri dibatasi
sampai-empat orang saja, dengan-catatan bahwa bila suami takut tidak bisa berlaku
adil terhadap beberapa orang istri, maka ia harus kawin dengan seorang wanita
saja. Terhadap masalah ini ditambahkan pula suatu prinsip umum bahwa ‘engkau
tidak akan mampu bertindak adil di antara para istrimu betapapun engkau
menginginkannya’ (4: 3, 128). Konsekuensi keseluruhan yang logis dari
pernyataan-pernyataan ini adalah pelarangan atas poligami dalam situasi yang
normal. Namun demikian, sebagai suatu lembaga yang terlanjur ada, poligami diakui
secara hukum, dengan garis-garis petunjuk yang menyatakan bahwa hila sedikit
demi sedikit lingkungan sosial telah memungkinkan, maka monogami mungkin sekali
dapat diketengahkan. Hal ini disebabkan karena tak seorang pembaharu pun, bila
mau berhasil, dapat mengabaikan situasi yang ril, dan hanya semata-mata
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang-berisi pandangan-pandangan saja. Tetapi
kaum Muslimin yang terkemudian tidak memperhatikan garis-garis petunjuk al-Qur’an
tersebut dan, dalam kenyataannya, malah menghalangi niat yang terkandung di
dalamnya.
Kasus perlakuan al-Qur’an
terhadap lembaga perbudakan berjalan paralel dengan perlakuannya terhadap lembaga
keluarga. Sebagai solusi yang segera, al-Qur’an secara hukum menerima lembaga
perbudakan. Tak ada alternatif lain waktu itu, karena perbudakan telah
terkandung dalam struktur masyarakat, dan pelarangannya secara mendadak begitu
saja tentu akan menimbulkan masalah-masalah yang tak akan mungkin bisa
diselesaikan, dan hanya seorang pelamun saja yang akan mengeluarkan pernyataan khayalan
seperti itu. Tetapi pada waktu yang sama setiap usaha moral dan hukum dilakukan
untuk membebaskan budak-budak dan menciptakan suatu millieu di mana
perbudakan akan hilang. ‘Melepaskan belenggu di leher’ (fakku raqaba)
tidak hanya dipuji sebagai suatu 44 kebajikan, tetapi juga dinyatakan, bersama dengan memberi makan
orang miskin dan anak-anak yatim, sebagai ‘jalan naik’ yang mutlak harus ditempuh
bagi manusia (90: 10-16). Sungguh, al-Qur’an secara kategoris telah mengatakan
kepada kaum Muslimin bahwa bila
seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah cicilan
uang yang bisa ditetapkan menurut kondisi si budak, maka pemilik budak tersebut
harus menyetujui kontrak penebusan tersebut dan tak boleh menolaknya. ‘Dan dari
antara budak-budakmu, barangsiapa ingin membuat kontrak penebusan kebebasan,
maka terimalah permintaan mereka dan berilah mereka sebagian dari kekayaan yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu. Dan janganlah kau paksa gadis-gadis budak
belianmu untuk menjalani kehidupan kotor dengan maksud mencari keuntungan
duniawi yang kecil, sedangkan mereka ingin tetap suci. Tetapi bila mereka berbuat demikian atas paksaan, maka Tuhan adalah Pengampun, Penyayang’
(24:3,3). Sekali lagi, di sini kita dihadapkan pada situasi di mana logika yang
jelas dari sikap al-Qur’an tidak diterapkan oleh kaum Muslimin dalam sejarah.
Kalimat al-Qur’an ‘bila kau pikir pada mereka ada kebaikan’, bila dipahami
dengan sepatutnya, akan berarti tidak lain daripada bahwa bila seorang budak menunjukkan
bahwa ia ‘belum mampu memperoleh penghasilan sendiri, maka ia tak dapat
diharapkan’ untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri seandainya ia
dibebaskan, dan karenanya mungkin akin lebih baik bila ia tetap berada dalam
lindungan tuannya.
Dengan demikian,
contoh-contoh tersebut di atas menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa sementara
semangat legislasi al-Qur’an memperlihatkan arah yang jelas menuju realisasi
progressif dari nilai-nilai fundamental tentang kebebasan dan tanggung jawab
dalam legislasi yang baru, namun legislasi aktual dari al-Qur’an sebagian telah
menerima kondisi sosial yang ada sebagai batasan rujukan. Ini dengan jelas
berarti bahwa legislasi aktual dari al-Qur’an tak mungkin telah dimaksudkan
secara harfiyah abadi oleh al-Qur’an sendiri. Kenyataan ini tak mempunyai
sangkut paut dengan doktrin keabadian al-Qur’an atau doktrin wahyu verbal
al-Qur’an. Akan tetapi, ulama-ulama fiqh dan dogmatis-dogmatis Muslim mulai 45 menyalah-pahamkan masalah,
dan perintah-perintah hukum yang ketat dari al-Qur’an dengan menganggapnya
berlaku bagi setiap masyarakat, betapapun juga kondisinya, bagaimana struktur
dari dinamika di dalamnya, satu bukti nyata yang menyatakan bahwa ulama-ulama fiqh
makin lama makin berpikir secara harfiyah tercantum dalam fakta bahwa pada
suatu waktu dalam abad ke-2 H/8 M doktrin hukum Islam mulai membuat perbedaan
yang sangat tajam antar kata-kata yang tercantum (wording/nash), teks,
dan kesimpulan yang terambil daripadanya. Ada banyak bukti untuk mempercayai,
bahwa pada periode yang. sangat awal kaum Muslimin
menafsirkan al-Qur’an secara sangat bebas. Tetapi setelah masa perkembangan
fiqh selama akhir abad ke-l H/7 M sampai 2 H/ 8 M (yang berciri utama—seperti
akan kita lihat dalam Bab III dan IV—timbulnya tradisi perkembangan penalaran
analogis dan teknis/ilmu mantiq, para ulama fiqh dengan ketat
mengikat diri mereka sendiri serta masyarakat kaum Muslimin kepada ‘teks’
Kitab-suci, hingga kandungan hukum dan Theologi Islam tertimbun oleh beratnya harfiyali-isme.
Selama berabad-abad kaum Muslimin
tidak hanya telah menulis komentar-komentar atas al-Qur’an dalam jumlah yang
tak terhitung banyaknya dan dari sudut pandangan yang berbeda-beda serta
kecenderungan yang berbeda, bahkan bertentangan, tetapi juga telah menumbuhkan
suatu ilmu tafsir al-Qur’an (exegesis) dengan cabang-cabang
pengetahuan pendukungnya, termasuk grammatika bahasa Arab, ilmu perkamusan (lexicografi),
Hadits Nabi, asbab al-nuzul, dan sebagainya. Sesungguhnyalah, para
sarjana Muslim telah membuat klaim yang sangat adil bahwa semua sains dalam
al-Qur’an yang tidak mutlak sekuler berasal dari al-Quran. Al-Qur’an juga telah
sangat mempengaruhi pertumbuhan kesusasteraan dan gaya sastra Arab hingga saat
ini, doktrin tentang (inimitabilitas, iʻjāz) al-Qutan, tidak hanya dalam
isi, tapi juga dalam bentuk sastranya, terdapat pada hampir semua aliran-aliran
Islam dan telah memperoleh kedudukan utama pan diungkapkan dalam berbagai macam
risalah yang khusus ditulis mengenai masalah ini. Kaum Muslim Ortodoks dengan keras
menentang setiap usaha untuk 46
menulis dan menyebarkan terjemahan Kitab suci ini dalam bahasa apa pun tanpa
disertai teks Arabnya. Tindakan ini telah memberikan sumbangan yang tidak kecil
terhadap persatuan kaum Muslimin yang, di seluruh dunia, membaca al-Qur’an
dalam bahasa ‘Arab dalam setiap shalat yang mereka lakukan lima kali sehari.
Hanyalah baru-baru ini saja pemerintah Kemalis di Turki menterjemahkan al-Qur’an
dalam bahasa Turki tanpa menyertakan teks asli Arabnya, walaupun teks Arabnya masih
tetap dipakai dalam shalat. Tetapi bahkan di negeri Turki ini pun orang-orang
telah kembali kepada teks Arab dalam pembacaan-pembacaan al-Qur’an yang biasa.
Untuk tujuan memahami teks al-Qur’an, penyertaan terjemahan dalam bahasa
setempat memang diperbolehkan.
TAFSIR AL-QUR’AN
Selama masa hidup Nabi,
al-Qur’an telah dihapalkan oleh banyak orang dan dibaca dalam setiap shalat.
Pada masa itu al-Qur’an juga ditulis. pada daun-daunan, tulang, lembaran-lembaran
kulit dan bahan-bahan lain yang bisa diperoleh, Seluruh isi Kitab suci
dikumpulkan oleh Khalifah Pertama Abu Bakar. Masa Khalifah Ketiga ‘Utsman, atas
rekomendasi dari suatu panitia yang ditunjuk untuk tujuan tersebut yang
diketuai oleh Zayd Ibnu Tsabit, pelayan Nabi yang setia, juga menghasilkan
susunan al-Qur’an yang ada sekarang ini, yang, berlawanan dengan susunan
kronologisnya, lebih banyak berdasarkan pada panjangnya surah.
Sementara terdapat beberapa
bukti bahwa pada generasi yang paling awal sesudah generasi Nabi orang-orang
masih enggan, bahkan menentang, penafsiran atas al-Quran, akan tetapi sikap ini
dengan segera menghilang, disusul dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang
sedikit banyak diwarnai oleh kepercayaan-kepercayaan dan ide-ide lama yang
dibawa oleh orang-orang yang baru masuk Islam. Penafsiran-penafsiran seperti
itu, yang barangkali kadang-kadang jelas menyimpang dari arti yang jelas dari
teksnya dan memiliki sifat semau-maunya sendiri itu, dikecam keras sebagai
penafsiran dengan pendapat bebas (tafsir bil ra’y)’. Peranan
opini 47 perseorangan
dalam Islam permulaan akan kita bahas sedikit lebih luas dalam pembicaraan
tentang hukum dalam Bab IV.
Dengan demikian dirasakan
kebutuhan mengembangkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu
komentar al-Qur’am (ilmu al-tafsir). Karena itu, pertama-tama diakui
prinsip bahwa
tidak hanya pengetahuan tentang bahasa Arab saja yang diperlukan untuk memahami
al-Qur’an secara tepat, tetapi juga
tentang idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Dari sini berkembanglah
gramatika bahasa Arab, ilmu perkamusan, dan kesusasteraan Arab dengan suburnya.
Selanjutnya, latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang disebut, ‘asbab
al-nuzul’ dimasukkan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang
tepat
dari firman Tuhan. Ketiga, tradisi historis yang berisi laporan-laporan tentang
bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an,
juga dianggap sangat penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi,
barulah penggunaan nalar manusia diberi tempat. Sebuah karya monumental tafsir
tradisional, yang berdasarkan laporan-laporan dari generasi yang telah lalu,
disusun oleh al-Thabari (310 H/922 M). Lama kelamaan sementara berbagai aliran
pemikiran dan kehidupan intelektual serta spiritual dari orang-orang yang baru
masuk Islam berkembang, maka bermunculanlah tafsir-tafsir. Sungguh, adalah benar
bila dikatakan bahwa pandangan apa pun yang ingin diproyeksikan dan dibela oleh
kaum Muslimin mengambil bentuk dalam tafsir al-Qur’an.
Bahasa dan gaya al-Qur’an juga telah memberikan
pengaruh yang paling kuat pada pertumbuhan din perkembangan
kesusasteraan Arab. Kaum Muslimin mula-mula sekali telah mengembangkan doktrin
tak tertandinginya al-Qur’an, tetapi bahkan bagi orang-orang Arab non-Muslim,
al-Qur’an tetap merupakan produk kesusasteraan yang ideal hingga masa kini.
Al-Qur’an dengan keras menolak anggap an yang dilontarkan oleh lawan-lawan Nabi
Muhammad kepadanya, bahwa beliau adalah seorang ‘penyair’ dan tak pernah
membiarkan Qur’an disebut puisi. Namun -dalam kedalaman
rasanya, dalam ekspresinya yang mengena dan iramanya yang 48 efektif, al-Qur’an
tidaklah kurang derajatnya dari puisi yang paling tinggi sekalipun. Sesungguhnya,
kaum Muslimin telah mengembangkan suatu seni khusus tentang pembacaan al-Qur’an
(yang disebut tajwid), dan bila al-Qur’an dibaca dengan cara demikian, maka pengaruhnya
bahkan akan bisa dirasakan oleh mereka yang tidak mengenal bahasa Arab
sekalipun. Tentu saja, tak mungkin kita bisa mempertahankan keindahan artistik
dan keagungan al-Qur’an dalam terjemahannya. Di bawah ini kita kutipkan tiga
pasasi dari masa yang berbeda, bukan karena ketiganya mampu menyampaikan kepada
pembaca keistimewaan artistik al-Qur’an, tapi untuk melukiskan perkembangan
isinya tahapan demi tahapan. Pasasi pertama, yang termasuk dalam surah-surah
Makkiyyah awal, adalah sebagai berikut.
“Akan halnya manusia, maka
bila ia diuji oleh Tuhannya dengan kemuliaan dan kenikmatan, ia berkata, ‘Aku
telah dimuliakan Tuhanku! Tetapi bila Tuhan mencobanya dengan keterbatasan
rizqi, ia berkata, ‘Tuhanku menghinakan aku’. Bukan demikian! Tapi itu karena
kalian tak memuliakan anak yatim, dan kamu tak saling mengajak memberi makan orang
miskin, dan kalian memakan harta warisan dengan serakah, menyintai kekayaan
dengan berlebihan. Janganlah demikian! Bila (nanti) bumi dihancurkan selumat-lumatnya,
dan Tuhanmu datang bersama malaikat dalam barisan-barisan ....’ (89: 15-22).
Ayat-ayat yang berikut ini
termasuk periode Makkiyyah akhir:
‘Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang beriman,—yang khusyu’ dalam shalatnya, yang menjauhi omong kosong
dan sia-sia,—yang, selalu patuh membayar zakat,—dan yang menjaga dorongan
seksualnya,—kecuali terhadap istri-istri mereka atau perempuan-perempuan
tawanan yang mereka miliki: yang demikian itu tidaklah tercela bagi mereka.
Tetapi barangsiapa menginginkan selain itu, mereka adalah pelanggar-pelanggar
batas;—dan mereka yang memenuhi janji dan amanatnya, yang setia dalam shalatnya.
Merekalah orang-orang yang akan mewarisi, mewarisi surga Firdaus. Mereka akan kekal
di dalamnya’ (23: 1-11). 49
Pasasi ini adalah dari surah-surah
Madaniyah:
(Inilah surah yang kami
turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), yang
mengandung ayat-ayat yang jelas, —agar kamu selalu mengingatnya. Orang-orang yang
berzina — laki-laki maupun perempuan—, hukumlah masing-masing seratus kali dera,
dan janganlah rasa kasihan menghalangi kalian menjalankan perintah Allah. Jika
kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan hendaklah sekelompok orang
beriman yang menyaksikan hukuman mereka itu. Laki-laki pezina tidak boleh kawin
kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik, dan perempuan pezina tak
boleh menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Dan yang
demikian itu terlarang bagi orang-orang beriman. Dan mereka yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) tanpa mendatangkan empat orang
saksi, maka pukullah mereka delapan puluh kali dan jangan terima lagi kesaksian
dari mereka selamanya. Sungguh mereka adalah orang-orang yang fasik, kecuali
mereka yang kemudian bertaubat dan memperbaiki tingkah lakunya’ (24: 1-5). 50
Baca Juga: Penghantar Ilmu Budaya
*Lihat Fazlur Rahman, (1983), Membuka Pintu
Ijtihad, Bandung, Pustaka, hal, 35 catatan kaki no. 15).
0 komentar:
Post a Comment