Tradisi Suku Massai di afrika, http://asset-a.grid.id |
Pendahuluan - Situasi Kesarjanaan
Barat - Sifat Otoritas Nabi - Tradisi verbal dan Tradisi Praktis -
Hadits dan Sunnah, atau Oposisi Klasik terhadap Hadits - Perkembangan ‘Ilmu
Hadits’.
PENDAHULUAN
Selama Nabi masih hidup,
beliaulah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum
Muslimin, baik melalui wahyu al-Qur’an maupun: dengan ucapan-ucapan beliau
sendiri di luar al-Qur’an, serta tingkah laku beliau. Dengan kematian beliau
al-Qur’an tetap utuh, namun bimbingan keagamaannya yang otoritatif dan pribadi
menjadi terputus. Keempat khalifah yang pertama menangani situasi-situasi baru
yang terus timbul dengan jalan menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka di
bawah cahaya al-Qur’an dan pelajaran yang mereka terima dari Nabi.
Abad berikutnya (dari
kira-kira 50-150 H/670-767 M), yang merupakan abad munculnya mazhab-mazhab
theologi yang awal, akan diuraikan nanti dalam Bab dan
abad perkembangan fiqh tahap pertama, yang akan kita bahas dalam bab yang akan
datang, adalah abad yang patut dicatat, karena adanya pertumbuhan suatu
fenomena yang tepatnya dijelaskan sebagai fenomena metodologi keagamaan dalam
ketiadaan bimbingan yang hidup dari Nabi dan dari generasi sahabat yang paling
awal. Manifestasi pertama dari fenomena ini dikenal sebagai Hadits atau Tradisi
Nabi, yang kemudian dikumpulkan dalam satu seri kumpulan-kumpulan, enam di
antaranya, yang ditulis pada abad ke-3 H/9 M, kemudian dianggap sebagai sumber
otoritatif kedua tentang Islam sesudah Qur’an. 51 Sementara
mayoritas luas kaum Muslimin masih tetap berpegang pada pandangan, bahwa
Hadits benar-benar mencerminkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
Nabi, maka: para ahli tentang Islam dari Barat pada umumnya bersikap skeptis:
beberapa orang di antara mereka bahkan menyarankan penolakan sama sekali Hadits
sebagai indeks bukan hanya mengenai contoh teladan Nabi, tapi juga mengenai
sikap-sikap dan praktek-praktek keagamaan para sahabat. Selanjutnya kita juga
akan mencatat adanya sekelompok kecil Muslim-muslim zaman sekarang yang juga
berusaha menolak Hadits, tapi tidak dengan dasar studi ilmiah apa pun mengenai
perkembangan disiplin ilmu ini.
SITUASI KESARJANAAN BARAT
Sebelum kita membuat gambaran yang positif tentang
metodologi disiplin ilmu keagamaan dalam masa yang paling awal sejarah Islam,
yang ternyata merupakan perkembangan susulan Islam yang menentukan, perlu
kiranya memberikan ulasan singkat yang kritis mengenai perlakuan atas Hadits oleh
tokoh-tokoh kesarjanaan Barat modern dalam lapangan ini.
Dalam Muhammedanische Studien-nya, yang sampai
sekarang masih tetap merupakan karya yang paling fundamental dalam masalah ini,
I. Goldziher menyatakan bahwa hampir-hampir tak mungkinlah setipis keyakinan
apa pun untuk menyaring sedemikian banyak materi Hadits, sehingga diperoleh
suatu bagian yang dapat dinyatakan sebagai asli berasal dari Nabi atau generasi
Sahabat yang awal, dan bahwa Hadits seharusnya dianggap sebagai catatan
pandangan-pandangan dan sikap-sikap generasi Muslim yang awal tinimbang sebagai
catatan tentang kehidupan dan ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat beliau. [1] Akan
terapi, Goldziher mempertahankan pendapat bahwa fenomena Hadits berasal dari
zaman Islam yang paling awal dan bahkan mendukung. kemungkinan adanya catatan
Hadits ‘informal’ pada masa Nabi, walaupun ia menyatakan keragu-raguannya mengenai
beberapa catatan (ṣaḥīfah) yang dikatakan ada pada masa itu. Tetapi,
demikian argumennya selanjutnya, 52 karena batang tubuh Hadits itu terus membesar pada setiap masa
generasi-generasi berikutnya, dan karena dalam setiap generasi. materi
Hadits berjalan pararel dengan doktrin aliran-aliran fiqh dan theologi dan juga
mencerminkan keanekaragaman dan seringkali juga pertentangan antara
doktrin-doktrin tersebut, maka produk-produk catatan Hadits yang terakhir, yang
berasal dari abad ke-3 H sampai 9 H hendaknya dipandang tidak bisa dipercayai secara
keseluruhannya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi sendiri.
Suatu konsep pemahaman yang fundamental pentingnya bagi
pemahaman kita mengenai perkembangan, Hadits, dan yang setidak-tidaknya selama
Islam zaman pertengahan, telah diidentikkan dengan norma-norma praktis atau
model tingkah laku yang terkandung dalam Hadits, adalah konsep tentang Sunnah. Secara
harfiyah, Sunnah berarti jalan yang telah ditempuh dan dipergunakan oleh
orang-orang Arab sebelum Islam untuk memaksudkan model tingkah laku yang telah
ditentukan oleh nenek moyang suatu suku. Dalam konteks ini, konsep tersebut
mempunyai dua bagian arti, (a) suatu fakta historis (yang didakwakan) mengenai tingkah
laku, dan (b) kenormatifannya bagi generasi-generasi sesudahnya. Dalam al-Qur’an
kata-kata ‘sunnah’ ditetapkan dalam arti yang sama, di mana penentang-penentang
Islam dikatakan sebagai pendukung teladan perilaku nenek moyang mereka yang bertentangan
dengan ajaran yang baru yang dibawa Islam. [2] Al-Qur’an
juga berbicara rentang Sunnah Allah, yakni ketentuan Allah dalam hubungan
kepada pola atau nasib masyarakat-masyarakat manusia — suatu ketentuan yang tak
dapat diubah. [3]
Di sini juga ditemukan dua bagian arti, yakni ketentuan yang telah lampau
(dalam hal ini ketentuan dari saw wujud saja) yang mesti (di sini ‘akan’)
berlaku di masa yang akan datang.
Dengan datangnya Islam. begitu pendapat Goldziher,
kandungan konsep Sunnah bagi bum Muslimin berubah menjadi model perilaku Nabi,
yakni norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan
Nabi yang diwartakan. [4] Ini sejalan
dengan teori Islam zaman pertengahan sendiri. Karena itu, bagi 53 Goldziher, sebagaimana
juga teori Islam zaman pertengahan, Hadits dan sunnah (dalam pemakaian
Islamisnya, berlawanan dengan pemakaiannya sebelum Islam) tidak hanya berada
bersama-sama, tetapi juga memiliki substansi yang sama (yakni keduanya tidak merupakan
dua hal yang terpisah, melainkan satu). Perbedaan di antara keduanya adalah
bahwa jika sebuah Hadits hanyalah semata-mata suatu laporan dan bersifat teoritis,
maka Sunnah adalah laporan yang sama yang telah memperoleh kualitas normatif
dan menjadi prinsip praktis bagi seorang Muslim. Tetapi pada waktu yang sama
Goldziher juga mencatat bahwa dalam literatur Islam yang awal terdapat bukti tentang
adanya perbedaan antara keduanya, sedemikian rupa hingga kadang-kadang dapat
bertabrakan satu sama lain, dan memang diakui demikian. Di sini Goldziher juga
mendefinisikan Sunnah sebagai praktek yang hidup[5] yang aktual
(berlawanan dengan yang normatif) dari masyarakat Muslim awal.
Tetapi
hal ini menimbulkan masalah, yang Goldziher sendiri tidak menunjukkan
perhatian penuh. Bagaimana bisa Sunnah menjadi normatif dan aktual sekaligus,
sedangkan yang normatif dan yang aktual itu, saling bertentangan?
Atau, bagaimana bisa’ Hadits dan Sunnah bertentangan bila
mereka bersama-sama ada dan memiliki substansi yang sama, walaupun sebuah
Hadits mungkin bertentangan dengan sebuah Hadits yang lain atau sebuah sunnah
dengan sebuah sunnah yang lain? Belum ada satu pun usaha yang sistematis yang
dilakukan setelah Goldziher, untuk menjelajahi berbagai metode yang mungkin
untuk menyelesaikan suatu masalah yang begitu fundamental bag; pemahaman perkembangan
Islam di masa yang awal ini. Sesungguhnya, masalah itu sendiri bahkan belum
dirumuskan secara jelas oleh kesarjanaan spesial yang menyusul kemudian dan
banyak usaha yang lihai telah diarahkan untuk mendiskreditkan keseluruhan
batang tubuh Hadits selagi ia mengambil bentuknya dalam abad ke-3 H/9 M. Kita
akan segera memberikan ulasan suatu kemungkinan gambaran masa yang suram ini,
yang memiliki catatan yang sangat sedikit sekali dan dengan sumber-sumber yang
hampir seluruhnya tidak langsung. 54
Sesudah Goldziher,
serangkaian sarjana lain telah mengembangkan salah satu dari dua garis pikiran
yang diletakkan berdekatan olehnya, tetapi karena masalahnya tidak disimpan
dengan jelas dalam pikiran, maka kedua belahan kontradiksi yang dicatat di atas
memperoleh perlakuan yang merusak. D. S. Margoliouth, dalam bukunya Early De
elopment of Islam[6]
mempertahankan pendapat bahwa (1) Nabi tidak meninggalkan pedoman-pedoman
ataupun keputusan-keputusan keagamaan — yakni beliau tidak meninggalkan Sunnah
ataupun Hadits, selain al-Qur’an saja, (2) bahwa Sunnah sebagaimana yang
dipraktekkan oleh masyarakat Muslim awal sepeninggal Muhammad sama sekali
bukanlah Sunnah Nabi, melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang telah
mengalami modifikasi dalam al-Qur’an; dan (3) bahwa generasi-generasi yang
terkemudian, pada abad ke-2 H/8 M, dalam usaha memberi otoritas dan
normatifitas bagi kebiasaan tersebut, lalu mengembangkan konsep Sunnah Nabi dan
menciptakan sendiri mek’anisme Hadits untuk merealisir konsep tersebut, H. Lammens,
dalam bukunya Islam; Beliefs and Institutions,[7]
memperlihatkan pandangan yang sama dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek
tersebut (Sunnah) pasti sudah mendahului perumusannya dalam Hadits.
Tak seorang pun dari kedua
penulis tersebut yang menanyakan, atau memutuskan persoalan apakah Sunnah awal
masyarakat Muslim ini dipandang sebagai Sunnah, karena kedudukannya sebagai
kebiasaan Arab pra-Islam atau karena al-Qur’an, setelah memperkenalkan
modifikasi-modifikasi ke dalamnya, menyetujui bagian yang selebihnya dengan
bijaksana. Karena, apabila hal yang kedua inilah yang
sebenarnya terjadi, maka ia, dalam teori keagamaan (dan yang akan menjadi
persoalan di sini adalah teori), memutus hubungan antara kebiasaan pra-Islam
dengan Sunnah yang Islamis. Lebih lanjut, ada dua keberatan terhadap penjelasan
tentang Sunnah ini, yang satu adalah keberatan logika, yang lain bersifat
historis. Keberatan logikanya adalah bahwa, seperti telah kita lihat, pemikiran
akan kenormatifan adalah bagian integral dari konsep Sunnah dan, sesungguhnyalah,
pengarang-pengarang tersebut mendefinisikan 55
Sunnah sebagai ‘praktek
normatif’ dari masyarakat Muslim awal. Di sini kita lihat bahwa kedua
penjelasan tentang Sunnah yang diberikan oleh Goldziher dan diletakkan
berdampingan namun tidak konsisten tersebut, yakni ‘perilaku normatif’ di satu
pihak dan praktek yang hidup serta aktual di pihak lain, telah dibaurkan dalam
satu keseluruhan sehingga menumbuhkan pertentangan dalam dirinya sendiri (self-contradictory).
Sekarang, apabila praktek aktual masyarakat Muslim terse but adalah Sunnah,
sedang Sunnah adalah praktek yang normatif, maka apa artinya perkataan bahwa
kualitas normatif waktu itu diusahakan untuk disimpulkan dari praktek yang aktual
dengan menjadikannya sebagai Sunnah Nabi? Keberatan historisnya, yang
akan segera diuraikan nanti, adalah terhadap tesis yang dengan eksplisit dan
agak panjang lebar dikemukakan oleh Margoliouth dan diasumsikan oleh Profesor J.
Schacht, bahwa Nabi hampir-hampir tak meninggalkan warisan apa pun selain al-Qur’an.
Pandangan-pandangan kedua ahli ini akan kita bahas pula selanjutnya.
Professor J. Schach telah terarahkan
pikirannya untuk menerapkan sifat umum Hadits secara lebih sistematis melalui
studi-studi kesarjanaannya dalam hukum Islam dan perkembangan teori hukum dalam
Islam. Tetapi pandangan-pandangannya atas sifat tradisi secara umum pada dasarnya
adalah sama dengan pandangan-pandangannya terhadap tradisi-tradisi hukum.[8]
Dalam bab ini kita tidak berurusan dengan perkembangan hukum dalam Islam, tapi hanya
dengan penemuan-penemuan Schacht atas sifat Hadits, yang mengisi bagian utama
dari bukunya Origins of Muhammadan jurisprudence Schacht mendakwakan
bahwa penyelidikannya secara fundamental meneguhkan apa yang disimpulkan oleh
pendahulu-pendahulunya, Goldziher dan Margoliouth, mengenai konsep Hadits dan
Sunnah pada abad
pertama dan separuh dari era Islam, dan bahwa ia melangkah keluar batas
konsep tersebut hanya dalam menemukan bahwa ketika untuk pertama kalinya hadits
mulai beredar, hadits tersebut tidak dirujukkan kepada Nabi tetapi, pertama-tama,
kepada para ‘tabi’in’ (yakni generasi sesudah sahabat), kemudian, pada taraf selanjutnya,
kepada para sahabat, dan akhirnya, setelah beberapa waktu lamanya, baru 56 kepada Nabi sendiri.[9]
Pandangan-pandangan diringkas dengan jelas dalam kutipan berikut: ‘Salah, satu
kesimpulan utama yang dapat ditarik dari bagian I dari buku ini adalah bahwa,
secara umum, ‘tradisi yang hidup’ dari aliran-aliran hukum yang lama, yang
sebagian besar berdasarkan penalaran perseorangan, ada terlebih dahulu, dan
bahwa pada taraf yang kedua ‘tradisi yang hidup tersebut ditempatkan di bawah
lindungan para sahabat (yakni kira-kira setelah dilindungi oleh para tabi‘in),
bahwa tradisi-tradisi dari Nabi sendiri, yang diedarkan ke tengah-tengah
masyarakat oleh para tradisionis menjelang pertengahan abad kedua Hijrah,
mengganggu dan mempengaruhi tradisi yang hidup. ini, dan bahwa hanya Syafi’i
(150 - 204 H) sajalah yang mengusahakan tradisi-tradisi dari otoritas tertinggi
Nabi.[10]
Dalam kenyataannya, Schacht mengikuti
dan mencoba melengkapi ‘pandangan-pandangan Margoliouth dan Larnmens dan
tampaknya tidak menyadari bahwa, sebagaimana telah kita coba jelaskan di atas,
ada perbedaan fundamental antara Goldziher di satu pihak dengan kedua pengarang
terse but di pihak lain: yang, pertama berpendapat bahwa secara esensial
tradisi dan Sunnah (dalam zaman Islam) mempunyai asal-usul dan substansi yang
sama, sementara menurut pihak yang kedua, Sunnah dan praktek (dari masyarakat
Muslim, berdasarkan kebiasaan pra-Islam) secara temporal adalah hampir satu
abad lebih dahulu adanya daripada Tradisi, Schacht telah mengambi! alih dari
kedua pengarang tersebut ungkapan ‘praktek normatif dari masyarakat’ untuk memberi
sifat Sunnah atau kebiasaan yang hidup, dan ‘kita telah melihat,’ dalam
hubungan dengan kritik kita terhadap Margoliouth dan Lammens, kontradiksi logis
yang terkandung dalam konsep ini.
Argumen Schacht mengenai
sifat Hadits terdiri dari dua bagian. Pertama, berdasarkan bukti yang ditemukannya
dalam tulisan-tulisan Muhammad ibn al-Syafi’i (150-204 H/767 - 819 M), ia menyimpulkan
bahwa tradisi dari Nabi tidaklah ada sama sekali sampai pertengahan abad 2 H/8 M;
bahwa kebiasaan atau Sunnah sebelum waktu itu tidaklah dipandang Sunnah Nabi,
tetapi sebagai 57 Sunnah
masyarakat (walaupun Sunnah di Madinah misalnya berbeda dengan Sunnah di Iraq),
karena Sunnah: tersebut terutama sekali adalah hasil penalaran bebas orang perorang
ulama fiqh dan akhirnya, bahwa pertahanan alami para ulama fiqh mengenai tradisi
dari Nabi dipatahkan oleh usaha-usaha al-Syafi’i, yang, untuk pertama kalinya,
secara sistematis memperkenalkan konsep Sunnah Nabi ke dalam teori hukum Islam,
Kedua, dengan perbandingan antara beberapa versi tradisi yang awal dengan versi
yang, terkemudian, ia menemukan bahwa dalam periode selanjutnya terdapat tradisi-tradisi
yang tidak ada pada periode sebelumnya, dan dengan demikian berarti tradisi
dari periode selanjutnya ini adalah palsu, atau bahwa versi-versi yang selanjutnya
adalah lebih lengkap
daripada versi sebelumnya dan karenanya berarti bahwa versi-versi yang
selanjutnya itu telah diperluas lewat pemalsuan-pemalsuan. Mengenai bagian
pertama argumen Schacht ini, yang merupakan pengukuhan hipotesa Margoliouth
(yang untuk pertama kalinya mempergunakan al-Syafi’i), dalam menyusun tesis
kita sendiri, kita akan berusaha menunjukkan bahwa argumen tersebut memberikan penjelasan
yang terlalu sederhana atas situasi yang ada, dan alih-alih daripada membuat jelas perkembangan awal Islam, ia malah
menjadikannya lebih samar-samar lewat tindakan gegabahnya yang menciptakan
masalah-masalah bagi sejarah keagamaan Islam yang tak bisa diselesaikan.
Pada bagian yang kedua buku
ini, Professor Schacht telah melakukan perbandingan yang luas dan sistematis
tentang hadits-hadits hukum sesuai dengan urutan historisnya, dengan mengajukan
argumen-argumen yang keilmiahannya tak tergoyahkan dan metode yang mantap. Sepanjang
yang saya ketahui Schacht-lah sarjana pertama yang melakukan demikian, sehingga
apa yang dapat kita lakukan hanyalah mengatakan bahwa alangkah baiknya bila
perbandingan tersebut dilakukan dalam semua bidang Hadits. Tetapi sama
pentingnya adalah bahwa metode tersebut hendaknya dipergunakan dengan cermat
dan bahwa haruslah jelas bagi kita apa yang tepatnya dapat dicapai, dibuktikan
atau ditidak-terbuktikan oleh metode tersebut.
Dengan demikian Professor Schacht menegaskan (Origins, hal 141) 58 bahwa hadits-hadits
dogmatis belum terwujud pada masa ditulisnya karangan-karangan dogmatis Hasan
al-Bashri yang akan dibahas kemudian nanti dalam bab ini. la mencoba
membuktikan hal ini dengan kenyataan bahwa Hasan tidak menyebutkan Hadits apa
pun. Sekarang, seperti akankita lihat nanti, Hasan secara eksplisit berbicara
tentang sunnah Nabi dalam hubungan ini. Tetapi ia mengatakan dengan tegas bahwa
tidak ada transmisi aktual (riwayah) dari Nabi atau
sahabat-sahabatnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan, yakni
masalah kemerdekaan kehendak dan tindakan manusia is-a- is determinisme theistik, dan bahwa
ia sendirilah (dan mungkin sekali juga orang-orang lain yang sepandangan dengan
dia) yang memulai pembicaraan ten tang tesis kemerdekaan manusia. Di sini
Sunnah hanya semata-mata berarti bahwa baik Nabi maupun para Sahabat tidak berperilaku
dengan cara yang sesuai dengan doktrin determinisme Ilahi yang seperti juga
diceriterakan oleh Hasan, merupakan penemuan baru oleh orang banyak. Karena
itu, dalam hubungan ini, persoalan Hadits verbal yang eksplisit tidaklah
timbul, walaupun istilah Sunnah memiliki arti hukum yang sah sebagaimana telah
dipergunakan oleh Hasan. Apa yang dibuktikan oleh hal ini adalah bahwa pada
masalah ini apa yang dinisbatkan kepada Nabi oleh Hadits yang muncul
belakangan tidaklah secara lafdziyah (verbal) datang dari Nabi, dan ·’hams
dipandang sebagai suatu perumusan belakangan saja, walaupun akan masih tetap
sah secara sempurna untuk mengatakan bahwa Hadits-hadits anti-deterministik
mewakili Sunnah Nabi dan para Sahabat awal. Tetapi mengatakan bah wa tidak ada
Hadits dogmatis jenis apa pun adalah proposisi yang benar-benar lain. Bagaimana
kita bisa berasumsi bahwa tidak ada Hadits, misalnya, tentang pentingnya
keesaan Tuhan dan tentang kira-kira seratus masalah lainnya?
Kasus-kasus lain dalam studi
komparatif historis seperti itu bisa disebutkan. Tetapi kita hanya memberikan
satu contoh saja untuk melukiskan masalah yang menjadi persoalan. Kesulitan yang
secara fundamental tak terpisahkan lainnya, yang meliputi kritik historis dalam
bidang ini adalah mengasumsikan kebenaran pernyataan-pernyataan tertentu, dan
dengan kekuatan pernyataan-59
pernyataan itu mencoba menilai pernyataan-:pernyataan yang lain. Kesulitan ini
menjadi semakin besar di luar proporsinya baik bagi sejarawan yang naif dan
terlalu cepat percaya maupun bagi yang berpikiran skep tis berlebih-lebihan.
Seorang yang memiliki
pengertian yang simpatik mungkin bisa menantang keragu-raguan yang keterlaluan
dan gegabah ini dengan kesimpulan-kesimpulannya. Marilah kita gambarkan hal ini
dengan sebuah contoh. Ada sebuah ceritera yang mengatakan bahwa Ibrahim Ibnu al-Walīd
al-Umawi (yakni dari Bani Umayyah) suatu ketika mendatangi seorang ulama Hadits
terkenal Ibnu Syihab al-Zuhri dengan membawa sebuah buku dan meminta kepadanya
untuk meriwayatkan pernyataan-pernyataan dalam buku tersebut menjadi Hadits
dengan otoritasnya. Atas permintaan ini, tanpa ragu-ragu al-Zuhri (124 H/742 M)
mengatakan-kepada Ibrahim. ‘Tetapi siapa lagi (selain aku) yang mungkin
menceriterakan kepadamu Hadits-hadits ini?’ Citra tentang al-Zuhri dalam
tradisi Islam adalah seorang yang sangat saleh dan ahli Hadits yang dapat
dipercaya. Tetapi, berbeda dengan kebanyakan orang-orang saleh pada waktu itu,
ia mempunyai hubungan yang baik dengan penguasa-penguasa Umayyah. Apakah
ceritera ini benar? Goldziher membenarkannya dan memandangnya sebagai salah satu
bukti-bukti utama yang ditemukannya yang menunjukkan bahwa penguasa-penguasa
Umayyah mempengaruhi tradisi Islam demi kepentingan mereka. Goldziher juga
mengakui bahwa al-Zuhri adalah seorang yang saleh, tapi ia juga menerangkan
bahwa al-Zuhri tidaklah bekerjasama dengan penguasa-penguasa Umayyah dalam
pemalsuan Hadits dengan motif yang tidak saleh, tetapi karena alasan stabilitas
negara, dan bahwa walaupun kadang-kadang ia memang mengalami pertentangan batin
dalam hal itu, namun ia tidak bisa dengan tegas menolak tekanan pejabat-pejabat
pemerintah (Muhammedanische Studien, II hal. 38).
Bahwa partai-partai politik
yang beroposisi mencoba mempengaruhi opini publik rnelalui Hadits dan
menggunakan nama otorita-otorita Hadits yang besar adalah suatu kenyataan yang
tak bisa dibantah oleh mereka yang tahu akan sejarah awal Islam. Bahwa 60 al-Zuhri mungkin. telah memberikan
dukungannya kepada pandangan-pandangan resmi pemerintah karena ‘pertimbangan demi
negara’, sebagaimana mungkin sekali , telah dipertimbangkannya sebagai sesuai
dengan semangat Islam, juga bisa diakui. Kesalehan al-Zuhri dan pengetahuannya
yang bisa dipercaya tentang Hadits bukanlah suatu citra yang dibangun dengan
panjangnya selang waktu saja, tetapi bahkan seorang dengan kedudukan seperti
Malik Ibnu Anas pun (lahir antara 90-97 H/709-715 M, wafat 179 H/795 M)
mengutip Hadits-hadits langsung dari dia. Dengan gambaran situasi yang begini,
kita lebih cenderung untuk percaya bahwa ceritera tentang ketidakseganan
al-Zuhri untuk mengedarkan Hadits-hadits produk penguasa-penguasa Umayyah
tersebut hanyalah sebuah dongeng yang disebarkan oleh pemerintah Abbassiyah
untuk memburukkan citra pemerintahan Umayyah. Atau yang lebih mungkin lagi
adalah bahwa beberapa orang murid tertentu dari al-Zuhri (ceritera cli atas
memang berasal dari salah seorang murid al-Zuhri) sengaja mengedarkan anekdot
tersebut untuk meningkatkan prestise al-Zuhri sebagai seorang tokoh Hadits yang
tanpa otoritasnya tak ada satu Hadits pun yang dapat dianggap shabib pada
zamannya.
Dengan pertimbangan yang sama
kita mesti dengan sedikit hati-hati dan dengan cara terbatas menggunakan
prinsip yang secara fundamental baik, bahwa suatu laporan dari masa yang lebih
dahulu mestilah laporan yang benar atau paling tidak lebih benar daripada versinya
yang muncul agak lebih kemudian, dan dengan demikian menganggap tambahan yang
menjadikannya relatif lengkap dalam versinya yang kemudian itu sebagai tambahan
bikinan saja. Sikap terbatas kita mengenai validitas prinsip ini mesti
diterapkan terutama terhadap masa yang sangat awal ketika pengumpulan
Hadits-hadits sedang dilakukan. Adalah benar-benar mungkin dan logis
bahwa pada masa yang awal ini, laporan-laporan mengenai suatu Hadits belum bisa
menyebutkan semua fakta-fakta dan detail-detail yang rele an, dan fakta-fakta
serta detail-detail tersebut mendapat tambahan dengan adanya kontak-kontak
dengan para sahabat dan tabi’in. Secara keseluruhan, suatu sikap yang hati-hati
dan sehat, 61 bukannya
skeptisisme yang terang-terangan, mungkin sekali akan memberikan hasil yang
dapat dipercaya dan konstruktif.
SIFAT OTORITAS NABI
Al-Qur’an selalu mempersandingkan
Nabi Muhammad dengan Allah hila berbicara tentang otoritas, dan dalam sejumlah
besar ayat bum beriman diperintahkan untuk taat kepada Allah dan utusan-Nya.[11]
Kaum Muslimin, paling tidak sejak peralihan abad ke-1 H/7 M, dan mayoritas para
orientalis menganggap hal ini sebagai berarti bahwa otoritas Muhammad ini merujuk
pada perilaku verbal dan performatif dari Nabi di luar al-Qur’an. Dalam kenyataannya,
bagi kaum Muslimin, otoritas al-Qur’an adalah lebih tinggi daripada otoritas
Nabi sendiri, karena sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah-perintah dan
hukum-hukum al-Qur’an, Nabi tak lebih hanyalah penyampai al-Qur’an kepada
manusia. Juga hanya ada sedikit keraguan saja bahwa Nabi. sendiri dengan
hati-hati membedakan antara pernyataan-pernyataan al-Qur’an dengan
ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya sehari-hari, walaupun al-Qur’an sendiri
muncul dalam konteks sejarah dan sebagian besar daripadanya berhubungan dengan
kejadian-kejadian khusus. Akan tetapi, Margoliouth telah menyatakan bahwa
setiap kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk
kepada konteks al-Qur’an itu sendiri bahwa otoritas Allah dan otoritas Nabi Muhammad,
yang merupakan manusia yang menjadi alat perantara wahyu Ilahi, adalah tak
dapat dipisahkan. Kedua-duanya adalah satu dan sama, dan persamaan ini hanya mempunyai
rujukan intra-Qur’ani. Dengan sendirinya dapatlah dikatakan bahwa Nabi Muhammad
tidak mempunyai Sunnah ekstra-Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam
beberapa Hadits. Pandangan ini nampaknya tak bisa dijadikan pegangan
berdasarkan al-Qur’an sendiri. Sementara dalam banyak kasus, di mana al-Qur’an
berbicara tentang otoritas Allah dan Nabi, hal ini dapat ditafsirkan dalam
batasan umum sebagai merujuk kepada perintah-perintah al-Qur’an sendiri. Tetapi
terdapat pula kasus-kasus di mana halnya jelas tidak demikian. Misalnya, ada ka:sus
di mana al-Qur’an merujuk kepada suatu perselisihan (yang menurut para penafsir
al-Qur’an, timbul 62
mengenai keputusan Nabi yang menyangkut pembagian rampasan perang dalam suatu
ekspedisi) dan mengatakan, ‘Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah, dan
apa yang dilarangnya, hentikanlah.’[12]
Dalam ayat yang lain ial-Qur’an mengatakan, ‘Tidak; demi Tuhanmu, mereka tidak
akan bisa dikatakan beriman sehingga mereka berhakim kepadamu dalam
perselisihan-perselisihan mereka dan tidak merasakan keberatan dalam hati mereka
mengenai keputusan yang engkau berikan, tetapi tunduk (kepadanya) dengan
sepenuh hati.[13] Peringatan
ini juga merujuk kepada suatu kasus spesifik mengenai suatu perselisihan
internal dalam masyarakat Muslim, dan masih ada contoh-contoh serupa lainnya di
dalam al-Qur’an, Persoalannya di sini adalah, kasus-kasus ini dan kasus-kasus
spesifik yang lain ditangani oleh al-Qur’an hanyalah karena timbulnya
kericuhan-kericuhan tajam dalam masyarakat Muslim, yang mengancam otoritas Nabi
sebagai hakim. Apabila, otoritas Nabi diterima dengan rela oleh semua orang
tanpa ada pertengkaran lagi, seperti dalam kasus-kasus yang biasa, tentulah
al-Qur’an tidak akan campur tangan. Dengan demikian adalah menjadi suatu
kemustian bahwa Nabi telah benar-benar dan secara normal melaksanakan otoritas
yang tak terbantah di luar al-Qur’an dalam membuat keputusan-keputusan
pengadilan serta tuntunan-tuntunan hukum dan moral. Sesungguhnya, al-Quran juga
berbicara tentang perilaku teladan dari Rasul Tuhan. Karena itu, terdapat. perilaku
yang menjadi teladan, yakni sunnah Nabi, di samping wahyu al-Qur’an jelaslah,
dasar pemikiran Margoliouth bahwa satu-satunya tuntunan hukum dan moral serta preseden-preseden
yang ditinggalkan oleh Nabi adalah yang terdapat dalam al-Qur’an, adalah
percakapan yang dicatat oleh al-Syafi’i dalam tulisan-tulisannya, yang terjadi
di antara dia sendiri (Syafi’i) dengan salah seorang kaum Mu’tazilah (netralis)
yang menentang Hadits dan menyatakan hanya menerima al-Qur’an sebagai pedoman
yang otoritatif. Tetapi dalam bagian mendatang, kami akan menunjukkan sifat
sebenarnya kontroversi ini dan menyuguhkan fakta bahwa ahlul kalam (kaum
rasionalis) atau kaum Mu’tazilah sebenarnya tidak hanya menerima Qur’an saja. 63
Tetapi apabila penalaran kita memang betul, maka
kesimpulan lain dapat ditarik dari argumen ini untuk membuat
situasinya bisa dipahami. Kesimpulan ini adalah bahwa Sunnah Nabi, di luar
masalah-masalah fundamental yang menyangkut kehidupan keagamaan dan moral kaum Muslimin,
tak mungkin meliputi ruang lingkup yang sangat luas, apalagi demikian luas dan
mencakup seluruh detail kehidupan sehari-hari sebagaimana fiqh abad pertengahan
dan literatur Hadits. Bukti yang ada secara keseluruhannya memberikan kesan
yang kuat bahwa situasi-situasi di mana Nabi diminta untuk membuat keputusan
atau pernyataan yang otoritatif, atau di mana ia merasa terpaksa berbuat demikian,
adalah situasi-situasi yang bersifat khusus saja. Biasanya, kaum Muslimin. melaksanakan
transaksi-transaksi sosial dan bisnis sehari-hari mereka dengan menyelesaikan
sendiri perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka. Pandangan ini juga sesuai
dengan watak umum ‘Muhammad sebagai Nabi-negarawan: ia terutama bukanlah
seorang pengacara tetapi seorang pembaharu keagamaan dan politik. Sesungguhnya,
siapa saja yang membaca al-Qur’an dengan cermat, tidak dapat tidak, pasti akan melihat
sifat gradual (bertahap) reformasi Islam. Meminum minuman keras, misalnya, selama
bertahun-tahun setelah Nabi menerima tugas kerasulannya, masih tetap
diperbolehkan. Kemudian diambillah tindakan-tindakan untuk membatasi minuman
keras, dan akhirnya keluarlah larangan untuk meminum alkohol. Lebih lanjut,
dalam sebagian besar, barangkali juga semua, tindakan-tindakan politik, hukum
dan pembaharuan yang penting, Nabi selalu berkonsultasi secara tidak resmi
dengan para sahabat-sahabat seniornya dan kadang-kadang meminta pertimbangan
masyarakat luas kaum Muslimin. Al-Quran dengan jelas memberi kesaksian atas hal
ini.[14]
Kadang-kadang pertimbangan-pertimbangan yang diberikan saling bertentangan, dan
memang, dalam masalah-masalah tertentu, bertentangan sedemikian rupa sehingga
(karena pertimbangan-pertimbangan tersebut memiliki watak fungsi - kelompok)
pada akhirnya menentang pendapat Nabi sendiri.[15]
Dalam sunnah Nabi, demokrasi dan otoritas keagamaan memang berimbang, dengan
keseimbangan yang tak bisa dilukiskan keindahannya. 64
Tetapi mengenai sifat
keagamaan dan sifat mengikatnya secara keagamaan hasil pengambilan keputusan
oleh Nabi, maka al-Qur’an mengenyahkan setiap keraguan bagi orang-orang yang
mungkin akan membangkang. Tambahan lagi, kehidupan dan watak. Nabi sendiri
penuh dijiwai oleh semangat keagamaan. Bahkan seandainya kita secara teoritis
bisa mencurigai setiap pernyataan individual dalam catatan kaum Muslimin abad
pertengahan mengenai beliau, namun sifat keadaan yang ada tak memungkinkan kita
mengambil kesimpulan lain daripada bahwa bagi sahabat-sahabatnya, kehidupan
Nabi adalah demikian normatif dan merupakan model hidup keagamaan. Pendapat apa
pun yang menyatakan bahwa ‘tidaklah demikian halnya sampai masa kira-kira
sembilan atau bahkan lima belas dasa warsa kemudian, ketika Hadits formal
dikembangkan sebagai medium yang rapi dan disempumakan untuk menyampaikan
informasi tentang Nabi, hendaklah ditolak dan dianggap sebagai mitos ‘ilmiah’
yang dangkal dim imasional, produk historiografi kontemporer. Tetapi mitos itu
sendiri timbul dari situasi kemelut yang rumit yang terpaksa dipilih. Apabila
ucapan-ucapan dan tingkah laku Nabi dipandang bersifat normatif secara
keagamaan bagi kaum Muslimin, maka adalah luar biasa bila pada waktu itu tidak
ada catatan-catatan tentang sunnahnya tersebut yang disimpan, sebagaimana
halnya al-Qur’an telah dicatat dan disimpan, kecuali dokumen-dokumen tertentu
yang berhubungan dengan fakta-fakta dan sebagainya. Di samping itu, walaupun
ada kesesuaian dalam masalah-masalah hukum yang umum dan fundamental, kita menemukan
bahwa dalam aliran-aliran fiqh yang awal, dalam kebanyakan masalah
praktek-prakteknya secara terperinci hukum tersebut saling berbeda, dan
masing-masing aliran regional, misalnya aliran Madinah dan Iraq, mempertahankan
praktek yang dilaksanakannya dengan menyebutnya ‘sunnah’. Apabila rujukan akhir
Sunnah adalah teladan dari Nabi maka, demikian argumen tersebut, Sunnah-sunnah
yang berbeda tak bisa disebut ‘sunnah’ dalam arti yang sebenarnya (the sunna/al-sunnah),
dan karenanya harus dipandang sebagai praktek masyarakat-masyarakat Muslim setempat.
Akan halnya Nabi, dengan sendirinya dapatlah disimpulkan bahwa 65 beliau hampir-hampir tak
meninggalkan preseden. Apa pun yang menyangkut masalah-masalah seperti itu
dalam perilakunya, atau kalaupun memang ia meninggalkan preseden-preseden, maka
preseden-preseden tersebut tidak dipandang sebagai sunnah atau mengikat.
Mengenai ‘praktek’ kaum Muslimin
pada periode sesudah Nabi dan konsep-konsep yang mereka pergunakan-untuk
melaksanakan praktek-praktek tersebut, akan kita analisa lebih cermat pada
bagian selanjutnya dari bab ini. Mengenai dua alternatif yang ditawarkan secara
teoritis di atas mengenai Nabi yang sebagian telah ditangani dengan hati-hati, yang
sebagian. secara terang-terangan diterima-: oleh penulis-penulis modern yang
menulis tentang Hadits dan Sunnah, maka sejauh penyelidikan yang kami lakukan
kami lebih cenderung ‘berkesimpulan untuk menolak keduanya. Penolakan ini harus
dilakukan untuk membawanya dapat berdiri di atas landasan alasan-alasan yang
diperlukan sesuai dengan situasi yang ada. Akan tetapi, untuk mengungkap
kerumitan yang belum jelas di atas tadi, dua pokok bahasan mesti dibuat. Pertama:
ketika Nabi masih hidup; tentu ada. kekhawatiran bahwa bila ucapan-ucapan Nabi
di luar al-Qur’an dicatat secara formal, maka akan mudah terjadi percampuran dengan
teks al-Qur’an yang juga disampaikan oleh Nabi. Percampuran mungkin akan
terjadi pada kedua arah. Bisa-bisa sebagian atau sejumlah ayat al-Qur’an lama kelamaan,
mungkin akan dikatakan sebagai ucapan-ucapan Nabi sendiri dan bukannya firman
Tuhan, atau sebaliknya, ucapan-ucapan Nabi sendiri yang mungkin
akan dikatakan sebagai firman Tuhan. Bukti-bukti sejarah memberikan kesan bahwa
pencampuradukan dan kesalahanggapan memang terjadi di kalangan
kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, ada laporan bahwa sahabat Nabi yang
termasyhur, Abdullah Ibnu Mas’ud (wafat kira-kira 32 H/653 M) tidak memandang
surah yang pertama dan kedua terakhir dari al-Qur’an sebagai bagian dari al-Qur’an.
Ibnu Qutaybah (wafat kira-kira 276 H/869 M) menjelaskan bahwa karena Nabi se
ring membacakan kedua surah yang terakhir itu kepada cucu-cucu beliau sebagai
doa-doa, dan bahwa karena Ibnu Mas’ud sering menyaksikan Nabi melakukanhalitu,
maka Ibnu Mas’ud berkesimpulan 66
bahwa kedua surah tersebut bukanlah bagian dari teks al-Qur’an[16]
Kita sudah menyebutkan di muka, bahwa Nabi sendiri membedakan antara ucapan-ucapan
beliau sendiri dengan ayat-ayat al-Qur’an, dan bahwa hanya dalam masalah-masalah
kritis yang khusus sajalah keputusan-keputusan yang dibuatnya harus didukung
oleh al-Qur’an sendiri.
Kedua, kita telah merujuk
kepada sifat khusus keputusan-keputusan dan petunjuk-petunjuk Nabi. Mengenai
petunjuk-petunjuk yang diberikannya, maka petunjuk-petunjuk tersebut biasanya
atas dorongan situasi khusus dan disampaikan secara informal di hadapan para
sahabat yang kebetulan hadir. Pernyataan-pernyataan yang paling formal dibuat dalam
sebuah khotbah, tetapi pernyataan-pernyataan tersebut biasanya juga bersumber
dari dan berhubungan dengan fenomena-fenomena dari situasi-situasi pada saat
itu, baik situasi keagamaan maupun politik. Hal yang sama juga berlaku dalam keputusan-keputusan
hukum maupun keputusan-keputusan lainnya.
Setiap kasus diputuskan pada saat
ia timbul, dengan mempertimbangkan faktor-faktor umum dan faktor-faktor
khususnya. Nah, sifat informal dan khusus dari prosedur-prosedur ini tentu. saja
dapat menjadi bahan argumentasi karena tidak dicatat secara formal. Ia juga
berarti bahwa kasus-kasus yang sama, tetapi agak berbeda juga diputuskan dengan
cara yang sama, tapi sedikit berbeda, dan tak syak lagi bahwa Nabi menggunakan
kebijaksanaan-kebijaksanaannya sendiri, walaupun dalam masalah-masalah yang
besar beliau berkonsultasi dengan sahabat-sahabat seniornya. Marilah kita
lukiskan variasi ini dengan kasus ritus shalat, suatu kewajiban yang paling
fundamental dari kewajiban-kewajiban agama dalam Islam. Di antara detail-detail
kecil yang lain, di antara aliran-aliran fiqh Islam yang awal, timbul kontroversi
mengenai sikap-sikap fisik tertentu, misalnya mengenai posisi tangan apalah
ketika berdiri kedua tangan harus tetap dibiarkan lepas tergantung ataukah
harus dilipat? Apabila harus dilipat, apakah di dada atau di bawahnya? Demikian
pula, kontroversi-kontroversi juga timbul mengenai waktu-waktu shalat yang tepat.
Mereka yang menolak tradisi sunnah dari Nabi akan mengatakan bah wa variasi-variasi
waktu shalat tercermin dalam satu 67 generasi sesudah Nabi. Tapi ini adalah pendapat yang
benar-benar tolol, karena selama bertahun-tahun Nabi telah melakukan shalat di
depan umum dan satu-satunya penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan sikap tubuh
adalah bahwa Nabi melakukan sikap yang berbeda-beda dalam waktu yang berlainan
pula, dan orang-orang yang kebetulan menyaksikan sikap yang tertentu lalu memandangnya
sebagai satu-satunya sikap yang normatif. Sebagaimana dalam masalah ritual,
maka demikian pula variasi dalam keputusan-keputusan
hukum yang dibuat Nabi sebagian adalah merupakan penjelasan akan adanya
perbedaan-perbedaan dalam aliran-aliran hukum Islam, walaupun dalam masalah
ini, mengingat kompleksitas situasi hukum dalam sebuah negara yang bertambah
besar dengan cepat, penafsiran-penafsiran individual dari para ahli hukum
memainkan peranan yang fundamental, sebagaimana akan kita lihat nanti.
HADITS DAN SUNNAH ATAU TRADISI
VERBAL DAN TRADISI PRAKTIS
Hadits (yang secara harfiyah
berarti ceritera penuturan, atau laporan) sebagaimana yang kita kenal, sebagai
unit disiplin ilmu yang mempunyai nama’ yang sama, adalah sebuah narasi,
biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang
dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh beliau, juga
informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama sahabat-sahabat senior, dan
lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama. Setiap Hadits
mengandung dua bagian, teks (matn) Hadits itu sendiri dan mata rantai
transmisi atau isnad-nya, yang menyebutkan nama-nama penuturnya (rawi),
yang menjadi dukungan bagi teks Hadits tersebut. Baik ahli-ahli sejarah dahulu
maupun modern sekarang ini sependapat bahwa mula-mula Hadits muncul tanpa dukungan
isnad kurang lebih pada pertukaran abad ke-1 H/7 M. Sekitar masa ini
pulalah Hadits muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang
formal mulai dirintis. Akan tetapi, terdapat bukti yang kuat yang langsung
maupun yang tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi sebuah
disiplin yang formal dalam abad ke-2 H/8 M, fenomena Hadits telah muncul
paling tidak sajak kira-kira tahun 60-80 H/680-700 M. 68
Pokok masalah pertama yang timbul
dalam hubungan ini adalah bahwa suatu sistem dengan perkembangan tinggi- yang
memiliki dua komponen, teks dan isnad, tak mungkin mendadak muncul
begitu saja di tengah-tengah arena tanpa masa perkembangan sebelumnya di mana
ia tidak mengalami perkembangan teknis saja, tetapi juga perluasan materi. Sungguh,
suatu Hadits yang tak resmi secara wajar dapat diduga telah ada pada masa hidup
Nabi sendiri, di mana Nabi merupakan sumber pedoman masyarakat ‘Muslim’ pada
waktu itu. Tetapi setelah Nabi wafat, Hadits beralih dari kondisi informal
semata-mata menjadi semi-formal. Dengan ini saya maksudkan bahwa sementara pada
masa hidup. Nabi orang-orang berbicara tentang apa yang dikatakan atau dilakukan
oleh beliau sebagaimana mereka berbicara tentang hall-hal sehari-hari mereka,
maka setelah beliau wafat pembicaraan tersebut lalu berubah menjadi suatu fenomena
yang disengaja dan penuh kesadaran, karena suatu generasi baru sedang tumbuh yang dengan
sewajarnya menanyakan tentang perilaku Nabi. Tetapi haruslah diingat bahwa orientasi keagamaan yang semestinya dari sebuah Hadits — suatu
transmisi verbal — adalah ke arah norma keagamaan yang praktis.
Orientasi praktis ini, yang lebih dari sekedar keingintahuan
intelektual, terutama dalam masyarakat yang sedang berkembang luas dan tumbuh
semakin kompleks dengan kecepatan yang mencengangkan dan tanpa preseden, dengan
mengasimilasikan unsur-unsur yang baru, memberikan dasar argumentasi untuk
menyatakan bahwa ‘transmisi’ Hadits tersebut lebih bersifat peneladanan
langsung tindakan-tindakan (in actu) tanpa melibatkan rumusan-rumusan
verbal. Transmisi non-verbal, atau tradisi ‘yang diam’ atau ‘hidup’ ini,
disebut Sunnah.
Karena itu kita harus
membedakan kedua arti kata Sunnah yang saling berhubungan erat. Di atas telah
kita katakan bahwa bagi generasi-generasi yang terkemudian kata ‘sunnah’
berarti perilaku Nabi, (sebagaimana pada asalnya memang berarti demikian),
karena kata tersebut memperoleh sifat normatifnya. Tapi sepanjang tradisi
tersebut umumnya berlanjut secara ‘diam-diam’ dan non-verbal, maka kata ‘sunnah
‘ ini juga diterapkan pad-a kandungan 69 aktual perilaku. setiap generasi sesudah Nabi, sepanjang
perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi. Jelas bahwa
penggunaan kata ‘sunnah’ dengan arti yang kedua ini adalah berasal dari arti
yang pertama, dan kedua arti tersebut berhubungan secara sesuai dengan perilaku
Nabi di masa lalu, (secundum priusfet posterius). Secara harfiyah, ‘sunnah’
berarti ‘jalan yang dilalui’, dan sebagaimana halnya sebuah jalan, maka setiap
bagian daripadanya adalah sunnah, apakah bagian tersebut berada pada awal jalan
tersebut atau pun di ujungnya. Mengenai isinya, seperti akan kita lihat nanti adalah
lebih bersifat seperti dasar sebuah sungai yang terus-menerus mengasimilasikan
unsur-unsur baru, tetapi tujuan dari istilah ‘sunnah’ tersebut selalu
diarahkan kepada model perilaku Nabi. Percampuran arti inilah yang menyebabkan
beberapa penulis modern menyatakan bahwa sampai pada abad ke-2 H/8 M, kata
Sunnah tidak berarti praktek dari Nabi, tapi praktek masyarakat-masyarakat
lokal kaum Muslimin Madinah dan Iraq.
Tetapi tradisi tersebut tidaklah seluruhnya ‘diam’,
dan non-verbal. Hal ini pertama-tama secara a priori dapat
disimpulkan dari kenyataan, tradisi yang hidup itu sendiri. Orang tidak
hanya semata-mata berbuat dan menuruti (dan berinovasi) saja, tapi juga
berbicara dan melaporkan. Karena itu paling tidak mestilah ada suatu tradisi
verbal yang informal. Tetapi, selanjutnya, tradisi informal ini nampaknya lalu
menjadi suatu kegiatan yang sadar di tangan generasi muda di antara para
sahabat. Sebuah surat yang ditulis oleh Khalifah Abdul Malik dari Bani Umayyah
(65-68 H/684-688 M) kepada Hasan al-Bashri (21-100 H/642-728 M) dan
jawaban yang diberikan oleh Hasan,[17]
bila dianalisa dengan cermat, akan memberikan penjelasan yang penting. Surat
dari Khalifah ini, yang tidak menyetujui pandangan Hasan yang mendukung
kemerdekaan dan tanggung jawab manusia, menyatakan:
‘Amirul Mu’minin telah
mendapat laporan tentang pandangan anda mengenai kemerdekaan manusia (qadar)
yang belum pernah didengar oleh beliau dari generasi yang lalu. Amirul Mu’minin
tidak mengenal scorang pun dari mereka yang telah dijumpainya di antara 70 para sahabat yang mempunyai
pandangan seperti yang diceriterakan orang tentang anda mengenai masalah ini. .
. Karena itu haraplah anda menulis surat kepadanya mengenai pandangan anda itu —
apakah itu suatu transmisi verbal (riwayah) dari salah seorang sahabat
Rasul Allah, atau pendapat anda sendiri (ray), atau sesuatu apa pun yang
dapat dikuatkan oleh. al-Qur’an. . . .[18]
Hal yang esensial. dari surat
ini adalah bahwa Khalifah meminta, dari antara alternatif-alternatif
bentuk-bentuk bukti yang dipakai oleh Hasan al-Bashri untuk mendukung
pendapatnya, suatu transmisi verbal (riwayah) dari salah seorang sahabat
Nabi. Khalifah hanya mungkin meminta hal itu apabila ia berpikir bahwa apa yang
disebut riwayah itu memang ada dan bersifat otoritatif. Dalam jawabannya Hasan
merujuk kepada ‘Sunnah Rasul Allah’, tapi ia tidak bisa mengutip satu pun
riwayah Nabi atau sahabat-sahabatnya mengenai bal kbusus tersebut (walaupun
ia banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an). Tetapi itu bukanlah karena tidak ada
riwayah atau Hadits mengenai masalah apa pun — sebagaimana pendapat Professor
Schacht[19]
— tetapi karena Hasan menyatakan bahwa perdebatan mengenai kebebasan manusia
untuk memilih versus determinisme
theistik adalah suatu hal yang baru:
‘Tak ada
seorang pun dari pendahulu-pendahulu kita (kaum Muslimin) yang menolak hal ini
(yakni bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih); juga tak seorang pun
berselisih pendapat tentang hal ini karena mereka semuanya secara diam-diam
bersetuju pendapat tentang masalah ini. Kami telah memperkenalkan pembahasan
theologi ini (kalam) karena (sekelompok) manusia telah melakukan inovasi untuk
menolaknya. . . .[20]
Dalam sebuah nota yang
dilampirkan, pejabat yang menyampaikan surat Hasan kepada Khalifah mengatakan: ‘Tak
seorang pun yang tertinggal dari mereka yang belajar (akhadza) dari
generasi sahabat-sahabat Nabi, yang lebih luas pengetahuannya tentang Tuhan. .
. daripada Hasan.[21]
Kata-kata yang dipergunakan untuk 71 ‘belajar’. dalam kutipan ini selanjutnya tetap menjadi istilah
teknis untuk studi formal dengan seorang guru.
Sebegitu jauh,
kesimpulan-kesimpulan yang telah kita capai adalah bahwa, pertama-tama Sunnah dan
Hadits ada bersama-sama dan memiliki substansi yang
sama pada masa yang paling awal sesudah Nabi dan bahwa keduanya diarahkan
kepada dan memperoleh normatifitasnya dari beliau. Kedua, kita juga
telah mencatat bahwa konsep sunnah, karena ia berarti ‘tradisi yang hidup yang
diam’, maka ia lalu memiliki arti tradisi yang hidup dalam setiap generasi
berikutnya. Karena itu, walaupun Sunnah sebagai suatu konsep merujuk kepada
perilaku Nabi, namun isinya dengan sendirinya pasti mengalami perubahan
dan sebagian besar berasal dari praktek aktual masyarakat Muslimin. Tetapi
praktek aktual dari suatu masyarakat yang hidup mestilah terus-menerus menjadi
subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan. Dalam suatu masyarakat yang
bertambah luas dengan cepat seperti masyarakat kaum Muslimin yang mula-mula itu,
maka persoalan-persoalan dan situasi-situasi moral dan hukum, termasuk sistem
administrasi yang hampir seluruhnya baru, terus-menerus tumbuh. Sementara situasi-situasi
hukum dan kesadaran akan moral dan masalah-masalah keagamaan menjadi semakin
lama semakin kompleks, maka timbullah kontroversi-kontroversi dalam sebagian
besar masalah, termasuk dalam bidang theologi dan moral, terutama di mana
pengaruh-pengaruh asing telah masuk.
Tetapi konsep tentang sunnah yang ideal tetaplah ada, apa pun juga bahan baru
yang terpikirkan atau diasimilasikan, ia selalu ditafsirkan berdasarkan
prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah. Penafsiran tersebut, seperti akan kita
lihat dalam bab yang akan datang, mula-mula didasarkan pada pendapat
perseorangan yang bebas yang pada abad kedua digantikan oleh konsep analogi
sistematis (qiyas).
Istilah sunnah itu sendiri
mungkin sekali mula-mula tidak dirumuskan sebagai suatu ‘konsep yang sadar’
atau diprogram dari awal sampai timbulnya perbedaan-perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah agama. Tradisi yang hidup yang ‘diam’ mengandung 72
arti bahwa ia tidaklah
dinyatakan secara ab initio (dari awalnya) dengan suatu istilah apa pun,
dan bahwa deskripsi dan formulasi atasnya hanya dilakukan setelah timbulnya
penafsiran-penafsiran yang berbeda, bahkan bertentangan. Selanjutnya
orang-orang menjadi terbiasa untuk mempertentangkan Sunnah dengan bid‘ab (inoasi).
Masalah-masalah agama yang dipertentangkan mungkin sekali
sebagian besar mempunyai irnplikasi-implikasi politik. Hal ini
dikesankan oleh kontroversi-kontroversi antara kaum Syi’ah (pengikut ‘Ali),
kaum Khawarij, dan kelompok Bani Umayyah. Ceritera tentang Hasan al-Bashri
tersebut di atas melukiskan hal ini: ia dengan jelas menunjukkan bahwa Sunnah
nyata-nyata sedang dirumuskan tidak hanya menyangkut isinya, tapi juga
menyangkut Sunnah itu sendiri, setelah pandangan-pandangan predestinasi yang
ekstrim dikemukakan orang. Dan kontroversi ethis tentang kemerdekaan manusia
dan determinisme juga mempunyai. implikasi-implikasi politik yang jelas, karena
kelompok yang anti determinisme mendukung reformasi atau penggulingan kekuasaan
pemerintahan Bani Umayyah yang berwatak sekular.
Dari kenyataan
penafsiran-penafsiran perseorangan atas apa yang telah disampaikan oleh Nabi,
baik melalui tradisi yang hidup maupun melalui sejumlah kecil transmisi verbal
(Hadits atau riwayah), maka timbullah arti ketiga dari sunnah — yakni yang
berhubungan dengan isinya, karena tujuan dari konsep tersebut masih tetap
diarahkan kepada Nabi, di samping kedua arti yang telah tersebut di atas. Kelihatan
juga bahwa arti yang ketiga ini berhubungan erat dengan kedua arti sebelumnya. Arti
yang ketiga ini adalah bahwa dari sebuah Hadits atau laporan-sunnah, beberapa
pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran dan norma-norma tersebut
lalu disebut Sunnah karena secara implisit terlihat dalam Sunnah tersebut. Proses
penafsiran ini tak syak lagi dimulai secara halus dan sekaligus juga eksplisit
di kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri. Bagi generasi sesudah Sahabat, semua
perkataan dan perbuatan para sahabat juga mulai dipandang sebagai Sunnah karena,
demikian alasannya, para sahabat, teru tama bila mereka bersetuju pendapat, bah
kan juga bila berbeda, adalah berada dalam posisi yang 73 istimewa mengetahui, dan menafsirkan. perilaku
Nabi. Setelah masa para sahabat (dan dalam beberapa hal juga sesudah masa para tabi’in),
Sunnah tak dapat lagi disimpulkan dari praktek yang aktual tapi hanya dari hadits.
yang diriwayatkan secara ekspressif. Tetapi adalah (paling signifikan dan patut
dicatat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang diambil dengan jalan penafsiran atas sebuah
hadits dalam masa yang manapun juga, juga dinamakan Sunnah. Demikianlah
Abu Daud (wafat 275 H/888 M), setelah menuturkan sebuah hadits, lalu berkata: ‘Dalam
hadits ini ada lima sunnah’, yakni lima point yang mempunyai sifat norma
praktis dapat disimpulkan dari Hadits ini.
Ketiga kategori isi Sunnah
yang disebutkan di atas — Sunnah Nabi, tradisi yang hidup dari generasi yang
paling awal, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari keduanya — menciptakan
sejumlah besar materi, terutama melalui
penafsiran perseorangan terhadap hukum-hukum dan dogma-dogma, yang walaupun
pada umumnya seragam dalam esensinya,
kecuali dalam doktrin-doktrin ekstrim tertentu dari kaum Khawarij dan
sekte-sekte lain dalam detail-detailnya saling bertentangan dalam kebanyakan hal.
Materi ini, pada langkah selanjutnya, dibawa ke dalam naungan konsep ‘praktek yang
disepakati’ (al-‘amal) dari ‘konsensus’ (ijma‘). Istilah-istilah
ini dipakai secara ekuivalen, dan konsep ‘konsensus’ ditakdirkan, seperti akan
kita pelajari lebih dalam lagi pada bab yang akan datang, untuk memainkan
peranan yang paling mendasar yang menjadi milik kaum Muslim (paraphernalia)
sepanjang sejarah keagamaan Islam. Ada afiliasi tertentu antara konsep Sunnah
dan ijma’ pada masa yang awal ini: Sebagaimana halnya Sunnah dirumuskan
untuk menghentikan inovasi-inovasi, demikian pula ijma’ dirumuskan untuk
menghentikan dilontarkannya pendapat-pendapat yang disusun semau-maunya baik
oleh perseorangan maupun golongan. Tetapi ada juga perbedaan konseptual: Sunnah
adalah Sunnah Nabi dalam maksud dan tujuan primordialnya, dan dengan demikian
inovasi (bid’ah) adalah apa yang, bertentangan dengan model dari Nabi,
sedangkan ijma’ adalah konsensus baik oleh masyarakat kaum Muslimin atau
oleh ahli-ahli agama dan dengan demikian 74 ‘pendapat yang semau-maunya’ adalah apa yang
bertentangan dengan pendapat masyarakat luas (communis opinio) tersebut,
Tetapi karena materi Sunnah, dalam keberbedaannya dengan tujuan konseptualnya, juga
meliputi, sebagaimana kita lihat, penafsiran atas model dari Nabi, maka dalam
kenyataannya Sunnah dan Ijma’ saling berdekatan, begitu pula
lawan-lawan dari keduanya.
OPOSISI KLASIK TERHADAP HADITS
Di atas telah kita lihat
bahwa transmisi verbal (riwayah) tentang model perilaku Nabi
bermula pada masa awal sejarah Islam. Pernyataan sezaman mengenai Hasan
al-Bashri yang diberikan di atas, bahwa ia adalah seorang yang paling luas
pengetahuannya, yang masih hidup — dari antara mereka yang belajar dari
generasi Sahabat Nabi yang telah lampau, mengandung pengertian bahwa proses
transmissi ini telah bermula lebih awal dari karir Hasan sebagai pelajar (ia
lahir pada tahun 21 H/642 M). Tetapi, seperti telah kita lihat juga, karya
penafsiran atas Sunnah Nabi juga telah bermula di kalangan para sahabat
sendiri, suatu kenyataan, yang karena sifat kasusnya, sangat jelas dan tak
dapat dibantah lagi. Hal ini dikarenakan para sahabat tersebut bukanlah ‘murid-murid’
Nabi — walaupun kesan seperti ini kadang-kadang ditimbulkan oleh literatur
hadits yang terkemudian ~ tetapi mereka adalah pengikut-pengikut dan ‘sahabat-sahabat
(ashab)nya. Seorang ‘sahabat’ tidak hanya ‘belajar dan menulis dari panutan-nya,
tapi juga mencoba untuk hidup sesuai dengan ajaran-ajaran panutan-nya
itu, dan dengan demikian mencerminkan ajaran-ajaran tersebut dalam
tindak-tanduk mereka. Karena itu, dengan sendirinya dalam pikiran para sahabat
tersebut, diktum dan fakta tentang Nabi yang aktual seringkali ‘saling berjalin
secara halus dan tak bisa dibedakan dalam tingkah laku mereka sendiri, dan demikian
juga halnya dalam pikiran-pikiran generasi berikutnya. Kenyataan ini tidak
boleh dilupakan, karena ia menerangkan mengapa bagi tradisionis formal pada
pergantian abad para Sahabat tersebut dan pada masa generasi-generasi sesudahnya,
sulit untuk memisahkan unsur kenabian yang murni dari diktum dan fakta ten tang
para sahabat. Hal ini juga sebagian merupakan penjelasan 75 mengapa hadits,
dirujukkan, ketika mula-mula dikodifikasikan oleh para ahli hadits, kepada para
Sahabat, bukannya kepada Nabi. Tetipi itu hanyalah sebagian saja. karena beban
utama dari penjelasan ini harus dipikul oleh kenyataan bahwa pada tahap yang
awal ini belum berkembang teknik mata rantai transmisi (isnād); dan dengan
demikian sebuah Hadits dirujukkan kepada penuturnya yang paling dekat dengan
kedudukannya sebagai penutur atau kepada sumber transmisinya yang aktual,
walaupun Hadits itu sendiri dinyatakan bersumber dari Nabi sendiri. Sementara
dalam perkembangan awalnya, seperti telah kita lihat, Hadits dan Sunnah berada
bersama-sama dan memiliki substansi yang sama maka perluasan yang tak dihindarkan
dari isi sunnah yang telah kami jelaskan sebelum ini, dalam kategori tradisi
yang hidup dan penafsiran perseorangan menjadikan situasi rumit, dan terjadilah
pelepasan Hadits dari Sunnah. Konsep ijmāʻ atau konsensus waktu itu
masih kabur dan dalam prakteknya gagal untuk menstandardisir atau menormatifkan
praktek yang hidup yang aktual. Karena itu, untuk memberikan normatifitas kepada pandangan-pandangan atau praktek-praktek
yang aktual, para ahli hadits melancarkan kampanye besar-besaran dan massal
untuk menstandardisir Sunnah yang hidup dan mencoba mengkodifikasikan
praktek-praktek yang sesuai dengan model Nabi, dan menolak penafsiran-penafsiran
yang ekstrim, baik tentang
dogma-dogma maupun hukum-hukum. Itulah sebabnya mengapa kodifikasi massal
hadits sebagai suatu disiplin, bermula menjelang abad ke-1 H/awal abad ke-8 M. Hal
ini menjurus kepada pengenalan dan penyempurnaan mata rantai transmisinya. Mata
rantai yang khas dari para transmiter adalah sebagai berikut. A (penutur yang
terakhir) mengatakan bahwa ia mendengarnya dari B dengan otoritas dari C yang
mengatakannya dengan otoritas dari D bahwa Rasul Tuhan telah mengatakan.....,
dan seterusnya.
Pengenalan massal hadits dari
tahap formalnya yang baru mencerminkan suatu kebutuhan dasar yang nyata akan
suatu macam kanonisasi pengalaman-pengalaman interpretatif-asimilatif dari
masyarakat kaum Muslimin yang tak syak lagi memperoleh banyak ajaran-ajarannya
dari Nabi. Proses tradisi yang hidup tak bisa terus 76 berlanjut tanpa batas, karena dalam jangka
panjang struktur ideologis-religius masyarakat kaum Muslimin akan terancam
bahaya kekacaubalauan karena tidak adanya pangkal rujukan yang cukup otoritatif.
Sesungguhnya, untuk menghadapi ekstrimisme dan penafsiran sewenang-wenang yang
sudah gawatIah. Hadits terjun ke dalam arena dengan skala besar-besaran seperti
itu. Akan tetapi dalam proses kanonisasi ini juga terkandung bahaya, yang diperingatkan,
kadang-kadang juga secara ekstrim oleh beberapa aliran hukum dan
kalangan-kalangan theologis. Peringatan-peringatan yang sebagian dapat
dibenarkan oleh kenyataan perkembangan dan pertumbuhan Hadits selanjutnya. Kekhawatiran
ini pada esensinya menyerukan untuk memperhatikan dua kemungkinan perkembangan
yang tak diinginkan yang mungkin akan terjadi pertama, dengan merujukkan setiap
doktrin theologis, dogmatis dan hukum kepada otoritas Nabi sebagaimana dituntut
oleh logika fenomena Hadits, maka proses interpretasi yang bebas dan kreatif
akan terhenti. Atau kedua, apabila proses kreatif tersebut terus dilanjutkan,
maka produksi hadits dan atau pemalsuan hadits secara terus-menerus akan
terjadi. Dalam kenyataannya, kedua macam kekhawatiran ini saling berkaitan. Tetapi
para ahli Hadits mencoba mengamankan kedua keekstriman tersebut dengan membuat
dua prinsip, yang kedua-duanya mungkin sekali adalah pemikiran atau rekaan yang
diturunkan dari hadits sendiri. Menurut prinsip yang pertama, Nabi diriwayatkan
sebagai telah mengatakan bahwa apa pun ucapan baik yang. ada, ia dapat
diasumsikan sebagai telah dikatakan oleh beliau dan dapat diterima[22]
atas otoritas beliau. Menurut prinsip yang kedua, Nabi dinyatakan sebagai telah
mengatakan. Barangsiapa sengaja berdusta mengenai aku, hendaklah ia
bersiap-siap menduduki tempatnya di neraka.[23]
Sampai kira-kira pertengahan abad ke-3 H/9 M theologi dan hukum terus
berkembang di bawah perlindungan Hadits, demikian pula kegiatan seleksi Hadits
yang ‘asli’ dari yang ‘lemah’ dan yang palsu. Masa ini, seperti akan kita
pelajari lebih lanjut dalam bab-bab yang akan datang, adalah juga masa
pembentukan dan konsolidasi ortodoksi. Ketika klimaks proses formulasi ini
dicapai, hadits pada akhirnya dikodifikasikan dan diterima secara sah, dan 77 pada waktu yang sama
kegiatan. interpretasi kreatif dalam arti pokok yang manapun hampir-hampir
terhenti.
Catatan yang paling awal yang
masih ada mengenai peringatan-peringatan dan oposisi terhadap Hadits terdapat dalam
karya-karya ahli hukum al-Syafī’ī (wafat 204 H/819 M). Karya-karya tersebut
sangat berguna karena informasi yang
diberikannya mengenai situasi pada abad kedua (2 H/8 M). Oposisi tersebut bervariasi
dari yang menentang sesuatu Hadits tertentu hingga yang menentang hampir semua
Hadits. Al-Syafi’i adalah pembela utama penerimaan Hadits Nabi mengenai hukum
dalam skala massal dan sebagai suatu dasar hukum, sedangkan lawan-lawannya
dalam aliran-aliran hukum menyatakan bahwa dasar hukum yang dipakai haruslah Sunnah
Nabi yang hidup secara aktual dalam tradisi praktis. Mereka tidak menyangkal
Hadits Nabi itu an sich, tetapi menyatakan bahwa ajaran-ajaran Nabi harus
dicari dalam praktek masyarakat kaum Muslimin. Pada waktu itu konsep ijmāʻ atau
konsensus telah muncul, dan mereka berpendapat bahwa praktek yang telah disetujui
oleh masyarakat lebih mencerminkan warisan ajaran Nabi daripada hadits
samar-samar yang dinyatakan bersumber dari otoritas Nabi, tapi tak mempunyai
dasar dalam praktek masyarakat. Hadits-hadits- seperti itu, menurut anggapan mereka
apabila diterima tentu akan membuka pintu pemalsuan hadits secara besar-besaran
atas nama Nabi. Argumentasi mereka adalah sebagai berikut: ‘Para sahabat Nabi
pada umumnya dan secara keseluruhan adalah paling mengetahui dan
merupakan pengemban satu-satunya dan yang terpercaya dari tradisi Nabi. Generasi
‘tabi’in’ memandang para sahabat dalam tingkah laku mereka dan juga belajar
dari mereka, walaupun tidak bisa mengetahui langsung dari Nabi. Karena itu, para
‘tabi’in’ adalah juga sumber ajaran-ajaran Nabi yang paling dekat. Meskipun
seandainya ada beberapa sahabat yang tak mengetahui secara langsung hal-hal
tertentu dari sunnah Nabi, mereka masih dapat mengetahuinya dari praktek umum
para sahabat, dan dengan demikian pada masa generasi selanjutnya Sunnab Nabi
dapat dipandang telah mapan dengan kuat.[24]
Inilah ijmāʻ dan konsensus, dan bertentangan dengan ini, kami tidak bisa
menerima kesaksian satu atau dua garis penutur 78 sebuah
hadits yang mungkin dinyatakan bersumber dari Nabi’. Argumen ini dinyatakan
dengan jelas dalam suatu percakapan antara al-Syafi’i dengan salah seorang lawannya
sebagai berikut:
Al-Syafi’i:
‘Apabila sebuah riwayat
sampai kepada kita dari salah seorang Khalifah Nabi (yakni empat khalifah yang
pertama) dan sebuah riwayat lain sampai kepada kita dad Nabi sendiri yang
bertentangan dengan riwayat yang pertama, maka tentunya kita akan menerima riwayat
yang berasal dari Nabi, bukan? Karena segala sesuatu tentu memiliki tujuan
terakhir, dan tujuan tersebut dalam ilmu adalah Kitab Allah (al-Qur’an) dan
Sunnah Nabi. Apakah anda setuju bahwa Sunnah (dari Nabi), selama ada pada kita,
tak akan bisa diganti dengan apa pun yang lain’?
Lawan:
‘Ya, dan saya telah mendengar
anda mengatakan — yang bukan saya tidak tahu — bahwa kadang-kadang suatu
pendapat diriwayatkan lebih dari satu orang sahabat Nabi, yang bertentangan,
dengan Sunnah Nabi. Tetapi apabila sahabat-sahabat tersebut mengetahui Sunnah
Nabi, tentu mereka akan menerimanya (dan menolak pendapat mereka sendiri), atau
bila para tabi’in mengetahui Sunnah yang sama, tentu mereka akan kembali
kepadanya (dengan demikian sekarang Sunnah Nabi dapat dianggap telah diterima) ….. Di Madinah terdapat kira-kira tigapuluh
ribu, kalau tidak lebih, sahabat Nabi, tapi barangkali anda hanya meriwayatkan
satu riwayat, bahkan tidak dari enam orang saja dari mereka, tapi hanya dari
satu orang saja dari mereka — atau mungkin juga dari dua atau tiga atau empat
orang, di mana mereka bersetuju pendapat atau berselisih dan
dalam kebanyakan hal mereka memang berselisih. Kalau demikian, apa jadinya
dengan ijma’?[25]
Terutama waspada terhadap
hadits-hadits yang berdiri sendiri (āḥād atau solitary) seperti
itu adalah sikap ahli-ahli hukum di Madinah yang mengklaim kedudukan yang unik
sebagai pengemban Sunnah yang hidup. Mereka tidak menolak hadits an sich, tapi
79 hanya hadits-hadits āḥād,
mengenai hal-hal tertentu. Dalam hal-hal tersebut mereka mempercayakan diri pada
‘praktek yang telah disetujui’ walaupun al-Syafi’i terus-menerus menunjukkan
bahwa praktek-praktek mereka dalam kenyataannya tidaklah bersesuaian dalam
semua hal. Tetapi di Madinah juga terdapat banyak ahli-ahli hadits yang produktif
dan terkemuka dan al-Syafi’i menuduh rekan-rekan sesama ahli hukumnya sebagai jauh
ketinggalan di belakang ahli-ahli hadits tersebut dalam meriwayatkan hadits.[26]
Akan tetapi, sifat kontroversi itu sendiri telah memastikan keberhasilan
al-Syafi’i. Dengan adanya kebutuhan akan suatu pegangan yang akan memberikan
normatifitas pada praktek-praktek hukum dan pandangan-
pandangan theologis, maka sekali nama Nabi telah dihubungkan dengan praktek-praktek
dan pandangan-pandangan tersebut oleh sebuah hadits, maka hampir-hampir
tidak akan timbul dua penafsiran tentang masalah yang menjadi pertentangan. Secara
pelan-pelan tapi pasti, seluruh tradisi yang hidup jadi tercermin dalam hadits,
dan sekali lagi, Hadits dari Sunnah menjadi sama sekali saling menguatkan dalam
isinya. Begitu Sunnah Madinah yang diformalisir telah tercakup dalam hadits, yang
kebanyakannya muncul di luar Madinah, maka kedudukan kota tersebut sebagai
pemangku Sunnah Nabi benar-benar dapat dikukuhkan, walaupun Iraq, dengan
praktek-prakteknya yang berinteraksi dengan praktek-praktek di Madinah tapi
tetap mempertahankan sesuatu dari entitasnya sendiri, tetap merupakan daerah
utama Sunnah yang kedua, dan bersifat independen dengan penafsiran Hanafi-nya:
Munculnya hadits sebagai suatu
disiplin yang meliputi segala bidang telah menyebabkan sebagian dari kaum
Mutazilah, yakni theolog-theolog rasionalis yang akan dibicarakan dalam Bab V,
mengambil sikap skeptis terhadap hadits secara keseluruhan. Kita harus
berhati-hati terhadap kesalahan yang memandang kaum Mu’tazilah sebagai kelompok
kedua penentang-penentang hadits yang berbeda macamnya setelah ahli-ahli
hukum yang dibicarakan pada paragraf yang baru lalu. Kesan yang demikian ini memang
bisa timbul dari kenyataan bahwa kaum Mu’tazilah, atau lebih tepat, sebagian
dari mereka, meragukan hadits yang formal secara keseluruhannya, 80 dan kesan tersebut
diperkuat dengan kenyataan bahwa al-Syafi’i melaporkan tentang mereka sebagai
termasuk dalam kategori yang terpisah dari ahli-ahli hukum biasa. Dalam kenyataannya,
kaum Mu’tazilah itu bukan hanya ahli-ahli theologi saja, Yang walaupun terutama
adalah demikian, tetapi juga adalah hakim-hakim dan ahli-ahli hukum sebagaimana
terbukti dari tulisan-tulisan al-Syafi’i sendiri?[27]
Keraguan umum mereka mengenai Hadits adalah lebih bersifat eliptikal dan tak langsung,
dan pada dasarnya diilhami oleh kenyataan bahwa antropornorfisme Hadits telah
menciptakan rintangan-rintangan yang besar pada cara pemahaman keagamaan mereka
yang rasional. Dalam kenyataan yang aktual, kaum Mu‘tazilah hanyalah merupakan
ujung sayap yang ekstrim dari seluruh barisan orang-orang yang memberikan
peringatan terhadap pemunculan hadits secara besar-besaran itu. Pokok masalah
kedua yang harus dicatat dalam hubungan ini adalah bahwa dalam argumentasi mereka
menentang Hadits, tak seorang pun dari kaum Mu’tazilah itu yang
mengatakan bahwa Hadits adalah suatu fenomena baru yang muncul pada pertengahan
pertama pada abad ke-2 H/8 M. Argumentasi dasar mereka pada intinya adalah sama
dengan argumentasi aliran-aliran hukum lain yang disebutkan di atas, bahwa
Hadits, karena esensinya adalah transmisi oleh individu ke individu, maka ia tak
dapat dianggap sebagai jalan masuk yang mantap untuk memperoleh pengetahuan
yang meyakinkan tentang ajaran-ajaran Nabi, berbeda dengan al-Qur’an yang dalam
hal transmisinya terdapat kesepakatan universal di kalangan kaum Muslimin. Di
bawah ini adalah ucapan mereka kepada al-Syafi’i.
‘Anda adalah seorang Arab dan
al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa anda. Anda telah memeliharanya dalam ingatan
(yakni secara verbal), Tuhan telah mewajibkan di dalamnya kewajiban-kewajiban
tertentu sedemikian rupa sehingga, apabila seseorang merasa ragu-ragu mengenai
satu huruf saja di dalamnya, maka anda pasti akan menyuruhnya untuk menarik kembali
keraguannya. Apabila ia menarik kembali keraguannya, maka itulah yang baik
baginya. Tetapi bila tidak, tentu akan menghukumnya. . . Maka bagaimana anda
dapat membiarkan diri anda atau seseorang lain untuk mengatakan 81 (berdasarkan riwayat-riwayat
Hadits), sehubungan dengan kewajiban-kewajiban dalam al-Qur’an, bahwa
kewajiban-kewajiban tersebut kadang-kadang bersifat umum dan kadang-kadang bersifat
khusus, dan bahwa kadang-kadang kewajiban tertentu di dalamnya merupakan
kewajiban yang jelas, dan-bahwa kadang-kadang suatu kewajiban tertentu yang
lain hanyalah suatu indikasi yang tidak menyatakan kewajiban langsung yang
jelas, dan masih harus dikupas lagi dengan bantuan Hadits), Apabila seseorang,
dalam pengaruh kesenangannya sendiri, melakukan pembedahan atas al-Qur’an lebih
jauh lagi (apa yang akan anda katakan)?’
‘Anda mempunyai
sebuah hadits āḥād yang diriwayatkan oleh satu orang kepada satu orang
lain, dan dari orang tersebut kepada seseorang lainnya, atau barangkali anda mempunyai
dua atau tiga hadits, hingga anda sampai kepada Nabi. Tetapi kami lihat anda
dan orang-orang yang seperti anda (pembela-pembela Hadits) tidak membebaskan
seorang pun dari rawi-rawi yang anda jumpai dan yang anda pandang
sebagai orang yang paling bisa dipercaya dan paling dapat diandalkan ingatannya.
. . dari (kemungkinan) kesalahan, lupa dan kekeliruan dalam Hadits. . . Kami
juga melihat anda mengatakan bahwa apabila seseorang mengatakan mengenai sebuah
Hadits yang
anda pakai untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, ...’ Nabi tidak
mengatakan demikian; engkau pasti berdusta atau keliru, atau orang-orang yang meriwayatkan
Hadits ini kepadamu itu berdusta atau keliru’ — dalam hal seperti ini anda
tidak menyuruh orang tersebut untuk menarik kembali (keraguannya, seperti anda
lakukan terhadap orang yang meragukan al-Qur’an), dan anda hanya menuduhnya tak
lebih daripada sebagai seorang yang mengatakan sesuatu yang buruk. Apakah dapat
diizinkan bahwa perintah-perintah al-Qur’an — yang tampaknya seragam bagi siapa
saja yang mendengarkannya — dibedah-bedah dan dipotong-potong berdasarkan
laporan-laporan yang disampaikan oleh orang-orang yang kedudukannya telah kami
lukiskan menurut ukuran anda sendiri? (yakni yang tidak
secara mutlak bisa dipercaya).[28]
Sementara kebanyakan kaum Mu’tazilah
asalnya bersikap skeptis terhadap Hadits dengan alasan-alasan tersebut di atas,
namun 82 mereka tetap
menerima Sunnah dan Ijma‘, dan mereka juga menafsirkan al-Qur’an dalam sinaran kedua
prinsip tersebut, sebagaimana dipersaksikan oleh al-Syafi’i.[29]
Hal ini terjadi dalam masalah hukum. Mungkin sekali bahwa keengganan mereka
untuk menerima Hadits timbul terutama dari motif-motif theologis yang
menghalangi mereka menerima anthropomorfisme. Hal ini lebih lanjut didukung
oleh kenyataan bahwa ketika mereka sedikit demi sedikit menerima Hadits an sich
mereka masih menolak hadits-hadits khusus tertentu atau menafsirkannya dalam batas-batas rasio. Buku Ibnu Qutaybah yang berjudul Ta’wīl
Mukhtalif al-Hadits (Penafsiran Hadits-hadits yang Nampaknya Tak
Bersesuaian) khusus ditujukan untuk menjawab tuduhan-tuduhan khusus kaum
Mu‘tazilah terhadap ketidaksesuaian-ketidaksesuaian dan
anthropomorfisme dalam batang tubuh Hadits.
PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Pada pertengahan abad
ke-3 H/9 M Hadits telah mempunyai bentuk yang tertentu, hampir semua isinya secara
mendetail telah terkukuhkan, dan perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan.
Sejauh menyangkut isinya, secara bagus ia mencerminkan pertumbuhan dan pertentangan
berbagai pendapat dan pandangan keagamaan (termasuk yang bersifat politis) kaum
Muslimin pada dua abad pertama sejarah mereka. Untuk mengumpulkan, menyaring dan
mensistematisir produk Hadits yang sangat melimpah ini, sejumlah ulama terkemuka
telah melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia Islam pada masa iru. Gerakan
ini dikenal sebagai ‘Pencarian Hadits’. Pencari-pencari Hadits yang bersemangat
pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari orang yang satu ke
orang lainnya. Pada akhir abad ke-3 H/permulaan 10 M beberapa koleksi Hadits
telah dihasilkan, enam di antaranya sejak waktu itu kemudian dipandang
otoritatif secara khusus dan dikenal sebagai ‘enam yang asli’. Yang paling depan
dari jajaran kcenam kitab ini adalah shaḥīḥ (‘asli’) oleh Muhammad Ibnu
Isma’il al-Bukhari (l94-256 H/810-870 M) yang kemudian dinyatakan oleh kaum
Muslimin hanya berada setingkat di bawah al-Qur’an dalam otoritasnya. Shaḥīḥ
oleh 83 Muslim Ibnu
al-Ḥajjāj (wafat 261 H/875 M) menyusul di bawah Shahih Bukhari. Keempat kitab
yang lain adalah karya-karya Abu Daud (wafat 275 H/888 M), al-Tirmidzi (wafat
279 H/892 M), al-Nasa’i (wafat 303 H/916 M), dan Ibnu Majah (wafat 273 H/886 M).
Pada masa itu juga kritik Hadits, seperti yang telah
dikenal oleh kaum Muslimin, disempumakan dalam ‘Ilmu Hadits’. Kritik
ini khusus ditujukan
kepada isnad atau mata rantai penyampai Hadits. Suatu penyelidikan yang sistematis dan rumit dilakukan terhadap riwayat
hidup para penyampai (rawi) dan ke-bonafid-annya, dan dikenal sebagai
Ilmu Justifikasi dan Penolakan Rawi (Ilmu Rijāl al-Ḥadīts). Usaha-usaha dilakukan
untuk memastikan kebaikan budi pekerti dan rehabilitasi (kepercayaannya) ingatan
para rawi. Dengan demikian para rawi dibagi dalam
kategori-kategori yang berbeda seperti ‘betul-betul bisa dipercaya’, ‘bisa
dipercaya’, ‘lemah’, ‘tak bisa dipercaya’, ‘tak dikenal’, dan seterusnya,
walaupun masih ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai beberapa rawi.
Juga dibuat klasifikasi lain yang menyangkut bersinambung atau tidaknya penyampaian serta tahap penyampaian
di mana mata rantainya terputus. Karegori yang ketiga menyangkut jumlah rawi pada
waktu yang bersamaan pada setiap tahap penyampaian. Berdasarkan penyelidikan-penyelidikan
ini, hadits-hadits dikelompokkan dalam berbagai kategori seperti ‘asli’, ‘baik’,
‘lemah’, ‘tidak dikenal baik’, ‘kontinyu’, ‘terputus’, ‘terputus pada sumbernya’
(marfu’, yakni di mana hubungan dengan Nabi adalah tak langsung), dan sebagainya.
Garis-garis kritik tersebut saling silang, yakni sebuah Hadits mungkin dipandang
‘asli’, walaupun satu mata rantai transmisinya hilang. Sebuah Hadits yang pada
setiap
tahap transmisinya mempunyai banyak rawi disebut Hadits Mutawatir atau
disimpulkan sebagai demikian pastinya hingga keraguan terhadapnya hampir-hampir
tidak ada.
Sejumlah besar Hadits dinilai
palsu oleh ulama-ulama Muslim klasik sendiri dan dikeluarkan dari keenam Hadits
kanonik. Al-Bukharī dan Muslim hanya memasukkan ke dalam koleksi mereka
hadits-hadits yang mereka pandang ‘asli’. Kedua ulama ini hanya 84 melolossensorkan beberapa
ribu hadits saja dari ratusan ribu hadits yang beredar, dan beberapa orang pemalsu
hadits yang mengaku sendiri dilaporkan telah dihukum mati. Terutama al-Bukhari,
kritikus hadits yang paling ahli dan tajam pandangannya, menunjukkan kehati-hatian
yang luar biasa dalam menilai hadits-hadits. Tetapi hendaklah diingat bahwa
kritik historis ini bukanlah satu-satunya prinsip seleksi yang dipakai oleh
kolektor-kolektor Hadits kanonik. Masa itu sendiri, di mana disiplin Hadits
mencapai tingkat kesuburannya yang paling tinggi adalah juga masa selama mana,
dari interaksi masif pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin keagamaan yang
berbeda bahkan bertentangan, suatu ortodoksi sedang timbul dan naik ke permukaan.
Ahl al-Ḥadīts (kelompok pendukung Hadits) secara aktif terlibat dalam
drama yang besar ini. Sungguh, merekalah pengawal-pengawal ortodoksi tersebut,
orang-orang yang meng-kristalisasikan ortodoksi tersebut dalam
karya-karya mereka, walaupun perumusannya masih harus dicapai oleh orang-orang
seperti al-Asy‘ari (kira-kira 300 H/913 M). Sesungguhnyalah, sebagaimana telah
kami tunjukkan pada bagian yang baru lalu, pada waktu itu terjadi perang yang
sengit antar Ahl al-Kalam yang rasionalis dan kaum traditionis sejak dari
mula sekali, suatu peperangan di mana Ahl al-Kalām mengandalkan, di samping
rasionalisme mereka, tradisi Sunnah yang hidup pada pertengahan abad ke-3 H/9 M
kedudukan mereka sudah goyah karena tradisi Sunnah yang hidup telah
ditranslasikan ke dalam bentuk Hadits. Tetapi mereka masih terus menyerang
Hadits-hadits individual atas dasar inkonsistensi dan dasar akal. Ruang lingkup
intensitas perjuangan ini dapat dilihat dalam sebuah contoh. Menurut sebuah
Hadits, ‘Aisyah, istri Nabi, dilaporkan telah mengatakan bahwa pada saat-saat Nahi
akan wafat, sebuah ayat al-Qur’an diwahyukan kepada beliau yang isinya adalah perintah
merajam orang-orang yang berzina. Dalam suasana shock dan kebingungan karena wafatnya
Nabi, demikian laporan tersebut, potongan kertas yang berisi catatan ayat
tersebut termakan oleh seekor kambing yang nyasar. Ahl al-Kalam merasa
shock atas kesan bahwa sebagian dari al-Qur’an — Kalam Allah yang sempurna bisa
hilang dengan cara demikian. Ibnu Qutaybah[30]
menjawab serangan 85 ini
dengan mengatakan bahwa bukan suatu yang mengejutkan dalam kenyataan bahwa sebagian
dari al-Qur’an secara verbal musnah, asalkan ia masih sur i e dalam praktek
yang hidup.
Dengan demikian, terpisah dari
kritik historis atas mata rantai transmisi hadits dan jauh lebih mendasar
daripada jenis kritik ini, suatu prinsip seleksi intuitif yang lain secara diam-diam
sedang beroperasi pada waktu itu. Prinsip ini adalah prinsip kesesuaian dengan
Sunnah. Tetapi prinsip selektifitas intuitif ini tidaklah terutama bersifat
historis, tetapi doktrinal. Historisitasnya pertama-tama tentulah bersifat sangat
tidak langsung, dan disebabkan desakan bentuk disiplin itu sendiri. Justifikasi
historisitas ini diberikan oleh jenis penalaran yang sama dengan yang dipakai
sebelumnya dengan memandang kandungan Sunnah yang hidup sebagai Sunnah Nabi,
yakni sebagai disimpulkan daripadanya dalam jiwanya dan oleh karena itu diberi
nama Sunnah. Ini membuat kita menyadari makna sepenuhnya dari apa yang
disebut Hadits yang mengatakan bahwa Nabi telah mengatakan ‘Apapun ucapan yang
baik, dapat engkau anggap sebagai ucapanku’. Apalagi yang lebih tepat dari
diktum ini bagi batang tubuh ajaran, di mana pengalaman-pengalaman yang panjang
dan terus menerus dari generasi terawal dikukuhkan dengan menyatakannya sebagai
jiwa dari risalah Nabi. Kita tidak bisa menerangkan, dengan dasar hipotesa lain
kenyataan bahwa perkembangan-perkembangan yang nyata sesudah masa Nabi—kedudukan-kedudukan
theologis mengenai kemerdekaan manusia, sifat-sifat Tuhan, dan sebagainya, —secara
verbal dinisbatkan kepada Nabi sendiri, dan kenyataan bahwa kaum Syi’ah, suatu
mazhab utama dalam Islam, yang secara doktrinal berbeda dari ortodoksi Muslim,
juga ternyata memiliki kumpulan Hadits yang sama sekali tersendiri.
Tetapi lebih lanjut lagi, antara
kepribadian Nabi dan al-Qur’an di satu pihak dengan perkembangan Sunnah -
Hadits di pihak lain, terdapat hubungan kontinuitas kesejarahan umum yang
sifatnya unik di antara agama-agama besar dunia. Nabi tidak hanya semata-mata membangun
suatu agama, tapi juga suatu masyarakat skala besar yang berkembang, dan ini
terjadi dalam sinar terangnya sejarah. 86
Sungguh kontinuitas umum
antara Nabi dan masyarakatnya adalah jaminan yang sebenarnya dari Sunnah Nabi,
yang membedakannya dengan kasus yang paralel dalam sejarah awal agama Kristen. Adanya
bayangan-bayangan itu tidaklah mengingkari kenyataan dasar ini tapi bahkan
menguatkannya. Banyak dari kenyataan sinar ini mungkin sekali benar-benar ber-radiasi
dari media yang ada di jalan sejarah, tapi sepanjang media tersebut bersifat
homogen media-media tersebut tidaklah mendistorsi dan menyembunyikan sumbernya,
tapi malahan mengungkapkannya. Pasti inilah alasan yang paling dasar mengenai
mengapa para orientalis yang cerdas memandang
aliran utama Islam ini sebagai ortodoksi! Karena kenyataan ini tidak bisa
diterangkan semata-mata dengan dasar jumlah pengikut atau atas dasar klaim, sebagai
ortodoks. Hubungan rangkap inilah —hubungan semangat dan hubungan kontinuitas
kesejarahan — yang menjadikan Hadits mampu bertahan menahan serangan-serangan
terhadapnya di zaman
Islam klasik. Pada gilirannya ia memberikan kontinuitas dan stabilitas
kepada karir masyarakat Muslim selama berabad-abad, walaupun stabilitas ini,
pada abad pertengahan yang kemudian dipelihara dengan mengorbankan orisinalitas
dan kreativitas yang segar.
Islam modern sangat memerlukan
kreativitas, dan demi kepentingan kemajuan yang baru ini, beberapa kelompok tertentu
telah muncul,[31] yang,
bila pernyataan-pernyataan mereka hanya dilihat pada permukaannya saja,
tampaknya ingin menolak sebuah Hadits dan hanya berpegang pada al-Qur’an saja. Tetapi
dalam kelompok-kelompok ini hampir-hampir tak ada kesadaran sedikit pun akan
masalah-masalah yang sedang dipertaruhkan. Tidak jelas apakah mereka mau mengingkari
validitas doktrinal ataukah validitas historis Hadits. Kedudukan yang tak jelas
ini, (dan tidak adanya apresiasi mereka terhadap sifat perkembangan Hadits)
membuat mereka terlihat memiliki banyak sekali persamaan dengan kedudukan Ahl
al-Kalam dalam zaman klasik. Tetapi ada satu perbedaan utama. Di
masa dahulu, Ahl al-Kalam ingin menolak Hadits (tradisi verbal) demi
membela tradisi yang hidup. Tetapi sekarang ini, satu-satunya tradisi yang ada hanyalah
tradisi verbal tersebut, karena Sunnah 87 yang hidup, sejauh ia masih ada, sekarang hanya dapat
memperoleh validitasnya dari Hadits, melalui mana terletak jalan satu-satunya bagi
kita untuk berhubungan dengan Nabi, dan secara fundamental, juga dengan al-Qur’an,
karena al-Qur’an diturunkan kepada dan dipahami oleh masyarakat Muslim itu juga.
Karena apabila Hadits secara keseluruhan disingkirkan begitu saja, maka
dasar historisitas al-Qur’an akan turut hilang, dengan sekali sapu saja. Tetapi
keresahan yang timbul sekarang ini adalah juga keresahan yang murni, keresahan yang
mengungkapkan adanya suatu kebutuhan yang nyata. Kebutuhan akan vitalitas dan interpretasi
yang segar tidak akan dapat, dan memang tidak boleh, ditindas. Tetapi pengawal-pengawal
tradisi ortodoks selama ini telah menunjukkan sikap konservatif yang tak kenal
kompromi dan tidak adanya usaha untuk menilai situasi yang baru sekarang ini
maupun perkembangan Hadits yang aktual pada masa dahulu. Mereka tidak menyadari
bahwa sikap seperti ini jauh daripada menunjang stabilitas yang padahal
merupakan alasan yang sebenarnya dari sistem Hadits. Dengan sikap seperti ini
justru akan menghancurkannya dengan sekali goncangan saja. Tetapi kaum modernis
juga hams menyadari bahwa walaupun sebagian dari Hadits tidak mewakili ajaran Nabi
yang verbal dan murni namun ia tetap masih memiliki hubungan intim dengan Nabi
dan terutama
sekali mencerminkan perkembangan yang paling awal dari pemahaman masyarakat
Muslim akan ajaran tersebut. Orang boleh menafsirkan kembali al-Qur’an dan Sunnah
Nabi, sepanjang tidak menimbulkan kekacauan — dan ini bila dilakukan hanya dengan
mengikuti praktek generasi-generasi kaum Muslimin yang paling terdahulu tapi ia
tak dapat mengabaikan, walaupun dicobanya, ethos. Hadits dan
lembaga-lembaga yang dijalin olehnya. Tetapi harus diingat! tak ada penafsiran
yang dapat dilakukan dalam suatu kevakuman, karena al-Qur’an tidak diturunkan dalam
suatu kevakuman. Di sinilah timbul paradoks bahwa bahkan orang-orang yang
benar-benar skeptis terhadap Hadits pun terpaksa mencari dukungan bagi
pandangan-pandangannya dari Hadits juga, bila Hadits yang bersangkutan cocok
dengan pandangan mereka itu. 88
Pelepasan unsur-unsur
kesejarahan Nabi barangkali tak dapat sampai dh sepenuhnya karena tak adanya
sumber-sumber yang cukup awal. Tetapi suatu penyelidikan yang jujur dan
bertanggung jawab mengenai perkembangan Hadits oleh kaum Muslimin sendiri
adalah suatu kebutuhan yang paling mendesak. Apa pun yang dapat dihasilkan dari
penyelidikan ini akan benar-benar merupakan keuntungan yang berharga, karena ia
akan mengungkapkan hubungan yang intim antara masyarakat kaum Muslimin dengan
Nabi di satu pihak, dan antara revolusi doktrinal dan praktikal dari masyarakat
kaum Muslimin dengan pertumbuhan Hadits di pihak lain. Ia akan menerangi
hubungan antara ketiga hal tersebut dan membentangkan jalan bagi perkembangan
yang wajar di masa depan. 89
[1]I. Goldziher, Muhammedanische
Studien, 1961, II, hal. 5, baris kc-14 dan seterusnya.
[2]Misalnya pada al-Anfal, 8:38;
al-Hijr, 15: 13; Ya Sin, 36:69 dan seterusnya.
[3]Al-Ahzab, 33:62; Fathir,
35:43; Asy-Syura, 42:23; al-Isrā’, 17:77).
[4]I. Goldziher, op. cit. hal.
13.
[5]Ibid., hal. 12, baris 6 dan
seterusnya, di mana dibuat perbedaan yang menarik perhatian antara Hadits dan
Sunnah.
[6]Lihat Bab tentang tradisi.
[7]Lihat Bab IV, hal. 69, baris
ke-35 dan seterusnya.
[8]Bahwa J. Schacht sendiri tak
ingin membuat perbedaan apa pun, dari sudut pandangan ini, antara Hadits Hukum
dan non-Hukum terlihat dalam banyak pengamatannya. Lihat khususnya Pengantar
dalam bukunya Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford 1950.
[9]Lihat ibid, part I, Bab I
tapi juga part II, hal. 138-176.
[10]Ibid. hal. 138.
[11]Ali-Imran, 3:32, 132;
an·Nisā’, 4:58; al-Mā’idah, 5:95 dan lain-lain.
[12]Al-Hasyr, 59:7.
[13]An-Nisā’, 4:64.
[14]Ali Imran, 3: 195 (bandingkan
dengan al-Fat-h, 48 :28).
[15]Seterusnya an-Nisa', 4
:64 mempunyai rujukan kepada insiden semacam itu yang terjadi mengenai
pembagian rampasan perang.
[16]Ibnu Qutaybah, Ta’wīl
Mukhtalif al-Ḥadīts. Cairo 1326 H, hal. 31-32.
[17]Der Islam, XXI. hal. 67 dan
seterusnya (teks disunting oleh H. Ritter).
[18]Ibid., permulaan teks.
[19]J. Schacht, op. cit. hal.
141.
[20]Der Islam, op. cit., halaman pertama dari
jawaban Hasan. Akan tetapi ini tidaklah membuktikan bahwa Nabi sendiri tidak
pernah menyatakan pendapat apa pun yang dibahas oleh theologi dogmatis.
walaupun tentu saja adalah benar bahwa pandangan ortodoks tersebut an sich, dikcmbungkan
jauh lebih terkemudian, dan secara keseluruhan sedikit sekali mempunyai
hubungan dengan apa yang mungkin telah atau tidak dikatakan oleh Nabi. Dalam
masalah yang sedang dibicarakan. bahkan ortodoksi Sunni akhirnya mengambil
pandangan yang bertentangan langsung dengan pandangan Hasan al-Bashri.
[21]Der Islam, loc. cit. kalimat
terakhir dalam teks.
[22]Ibnu Majjah, hal. 4 (bagian
pendahuluan buku tersebut adalah tentang keperluan dan nilai Hadits dan
lain-lain).
[23]Hadits ini terdapat dalam hampir
semua kitab kumpulan Hadits; lihat Misykat al-Mashabiḥ, Kitab al-‘Ilm;
Hadits no. 1, dan lain-lain.
[24]Al-Syafi'i, Kitab al-Umm, Cairo
edisi ke-VII, hal. 255, baris keempat dan seterusnya; juga bagian bawah halaman
243.
[25]Ibid., hal. 244.
[26]Ibid., hal. 240, baris kedua
dan seterusnya.
[27]Hal. 250-254 dari Kitab al-
Umm, khususnya ditujukan kepada mereka.
[28]Ibid., hal. 250, baris ke-16
dan seterusnya.
[29]Ibid., hal. 252, kasus bukti
dalam kasus pembunuhan.
[30]Ibnu Qutaybah, op. cit., hal.
397 dan seterusnya.
[31]Ada satu kelompok semacam itu di
anak benua Indo Pakistan, yang menamakan dirinya “Pendukung-pendukung
al-Qur’an” (Ahl al-Qur’ān). Mereka telah menerbitkan sejumlah
buku, dan juga menerbitkan sebuah majalah berbahasa Urdu dengan judul Thulūʻ-i
Islam di Lahore (sebelumnya di Delhi). Akan tetapi jenis pemikiran
seperti ini tidaklah umum di Timur Tengah.
0 komentar:
Post a Comment