Asal Usul dan Perkembangan Tradisi

Tradisi Suku Massai di afrika, http://asset-a.grid.id


Pendahuluan - Situasi Kesarjanaan Barat - Sifat Otoritas Nabi - Tradisi verbal dan Tradisi Praktis - Hadits dan Sunnah, atau Oposisi Klasik terhadap Hadits - Perkembangan ‘Ilmu Hadits’.

PENDAHULUAN
Selama Nabi masih hidup, beliaulah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum Muslimin, baik melalui wahyu al-Qur’an maupun: dengan ucapan-ucapan beliau sendiri di luar al-Qur’an, serta tingkah laku beliau. Dengan kematian beliau al-Qur’an tetap utuh, namun bimbingan keagamaannya yang otoritatif dan pribadi menjadi terputus. Keempat khalifah yang pertama menangani situasi-situasi baru yang terus timbul dengan jalan menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka di bawah cahaya al-Qur’an dan pelajaran yang mereka terima dari Nabi.
Abad berikutnya (dari kira-kira 50-150 H/670-767 M), yang merupakan abad munculnya mazhab-mazhab theologi yang awal, akan diuraikan nanti dalam Bab   dan abad perkembangan fiqh tahap pertama, yang akan kita bahas dalam bab yang akan datang, adalah abad yang patut dicatat, karena adanya pertumbuhan suatu fenomena yang tepatnya dijelaskan sebagai fenomena metodologi keagamaan dalam ketiadaan bimbingan yang hidup dari Nabi dan dari generasi sahabat yang paling awal. Manifestasi pertama dari fenomena ini dikenal sebagai Hadits atau Tradisi Nabi, yang kemudian dikumpulkan dalam satu seri kumpulan-kumpulan, enam di antaranya, yang ditulis pada abad ke-3 H/9 M, kemudian dianggap sebagai sumber otoritatif kedua tentang Islam sesudah Qur’an. 51 Sementara mayoritas luas kaum Muslimin masih tetap berpegang pada pandangan, bahwa Hadits benar-benar mencerminkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Nabi, maka: para ahli tentang Islam dari Barat pada umumnya bersikap skeptis: beberapa orang di antara mereka bahkan menyarankan penolakan sama sekali Hadits sebagai indeks bukan hanya mengenai contoh teladan Nabi, tapi juga mengenai sikap-sikap dan praktek-praktek keagamaan para sahabat. Selanjutnya kita juga akan mencatat adanya sekelompok kecil Muslim-muslim zaman sekarang yang juga berusaha menolak Hadits, tapi tidak dengan dasar studi ilmiah apa pun mengenai perkembangan disiplin ilmu ini.

SITUASI KESARJANAAN BARAT
Sebelum kita membuat gambaran yang positif tentang metodologi disiplin ilmu keagamaan dalam masa yang paling awal sejarah Islam, yang ternyata merupakan perkembangan susulan Islam yang menentukan, perlu kiranya memberikan ulasan singkat yang kritis mengenai perlakuan atas Hadits oleh tokoh-tokoh kesarjanaan Barat modern dalam lapangan ini.
Dalam Muhammedanische Studien-nya, yang sampai sekarang masih tetap merupakan karya yang paling fundamental dalam masalah ini, I. Goldziher menyatakan bahwa hampir-hampir tak mungkinlah setipis keyakinan apa pun untuk menyaring sedemikian banyak materi Hadits, sehingga diperoleh suatu bagian yang dapat dinyatakan sebagai asli berasal dari Nabi atau generasi Sahabat yang awal, dan bahwa Hadits seharusnya dianggap sebagai catatan pandangan-pandangan dan sikap-sikap generasi Muslim yang awal tinimbang sebagai catatan tentang kehidupan dan ajaran Nabi atau bahkan sahabat-sahabat beliau. [1] Akan terapi, Goldziher mempertahankan pendapat bahwa fenomena Hadits berasal dari zaman Islam yang paling awal dan bahkan mendukung. kemungkinan adanya catatan Hadits ‘informal’ pada masa Nabi, walaupun ia menyatakan keragu-raguannya mengenai beberapa catatan (ṣaḥīfah) yang dikatakan ada pada masa itu. Tetapi, demikian argumennya selanjutnya, 52 karena batang tubuh Hadits itu terus membesar pada setiap masa 
generasi-generasi berikutnya, dan karena dalam setiap generasi. materi Hadits berjalan pararel dengan doktrin aliran-aliran fiqh dan theologi dan juga mencerminkan keanekaragaman dan seringkali juga pertentangan antara doktrin-doktrin tersebut, maka produk-produk catatan Hadits yang terakhir, yang berasal dari abad ke-3 H sampai 9 H hendaknya dipandang tidak bisa dipercayai secara keseluruhannya sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi sendiri.

Suatu konsep pemahaman yang fundamental pentingnya bagi pemahaman kita mengenai perkembangan, Hadits, dan yang setidak-tidaknya selama Islam zaman pertengahan, telah diidentikkan dengan norma-norma praktis atau model tingkah laku yang terkandung dalam Hadits, adalah konsep tentang Sunnah. Secara harfiyah, Sunnah berarti jalan yang telah ditempuh dan dipergunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam untuk memaksudkan model tingkah laku yang telah ditentukan oleh nenek moyang suatu suku. Dalam konteks ini, konsep tersebut mempunyai dua bagian arti, (a) suatu fakta historis (yang didakwakan) mengenai tingkah laku, dan (b) kenormatifannya bagi generasi-generasi sesudahnya. Dalam al-Qur’an kata-kata ‘sunnah’ ditetapkan dalam arti yang sama, di mana penentang-penentang Islam dikatakan sebagai pendukung teladan perilaku nenek moyang mereka yang bertentangan dengan ajaran yang baru yang dibawa Islam. [2] Al-Qur’an juga berbicara rentang Sunnah Allah, yakni ketentuan Allah dalam hubungan kepada pola atau nasib masyarakat-masyarakat manusia — suatu ketentuan yang tak dapat diubah. [3] Di sini juga ditemukan dua bagian arti, yakni ketentuan yang telah lampau (dalam hal ini ketentuan dari saw wujud saja) yang mesti (di sini ‘akan’) berlaku di masa yang akan datang.  
Dengan datangnya Islam. begitu pendapat Goldziher, kandungan konsep Sunnah bagi bum Muslimin berubah menjadi model perilaku Nabi, yakni norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang diwartakan. [4] Ini sejalan dengan teori Islam zaman pertengahan sendiri. Karena itu, bagi 53 Goldziher, sebagaimana juga teori Islam zaman pertengahan, Hadits dan sunnah (dalam pemakaian Islamisnya, berlawanan dengan pemakaiannya sebelum Islam) tidak hanya berada bersama-sama, tetapi juga memiliki substansi yang sama (yakni keduanya tidak merupakan dua hal yang terpisah, melainkan satu). Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa jika sebuah Hadits hanyalah semata-mata suatu laporan dan bersifat teoritis, maka Sunnah adalah laporan yang sama yang telah memperoleh kualitas normatif dan menjadi prinsip praktis bagi seorang Muslim. Tetapi pada waktu yang sama Goldziher juga mencatat bahwa dalam literatur Islam yang awal terdapat bukti tentang adanya perbedaan antara keduanya, sedemikian rupa hingga kadang-kadang dapat bertabrakan satu sama lain, dan memang diakui demikian. Di sini Goldziher juga mendefinisikan Sunnah sebagai praktek yang hidup[5] yang aktual (berlawanan dengan yang normatif) dari masyarakat Muslim awal.
Tetapi hal ini menimbulkan masalah, yang Goldziher sendiri tidak menunjukkan perhatian penuh. Bagaimana bisa Sunnah menjadi normatif dan aktual sekaligus, sedangkan yang normatif dan yang aktual itu, saling bertentangan?
Atau, bagaimana bisa’ Hadits dan Sunnah bertentangan bila mereka bersama-sama ada dan memiliki substansi yang sama, walaupun sebuah Hadits mungkin bertentangan dengan sebuah Hadits yang lain atau sebuah sunnah dengan sebuah sunnah yang lain? Belum ada satu pun usaha yang sistematis yang dilakukan setelah Goldziher, untuk menjelajahi berbagai metode yang mungkin untuk menyelesaikan suatu masalah yang begitu fundamental bag; pemahaman perkembangan Islam di masa yang awal ini. Sesungguhnya, masalah itu sendiri bahkan belum dirumuskan secara jelas oleh kesarjanaan spesial yang menyusul kemudian dan banyak usaha yang lihai telah diarahkan untuk mendiskreditkan keseluruhan batang tubuh Hadits selagi ia mengambil bentuknya dalam abad ke-3 H/9 M. Kita akan segera memberikan ulasan suatu kemungkinan gambaran masa yang suram ini, yang memiliki catatan yang sangat sedikit sekali dan dengan sumber-sumber yang hampir seluruhnya tidak langsung. 54
Sesudah Goldziher, serangkaian sarjana lain telah mengembangkan salah satu dari dua garis pikiran yang diletakkan berdekatan olehnya, tetapi karena masalahnya tidak disimpan dengan jelas dalam pikiran, maka kedua belahan kontradiksi yang dicatat di atas memperoleh perlakuan yang merusak. D. S. Margoliouth, dalam bukunya Early De elopment of Islam[6] mempertahankan pendapat bahwa (1) Nabi tidak meninggalkan pedoman-pedoman ataupun keputusan-keputusan keagamaan — yakni beliau tidak meninggalkan Sunnah ataupun Hadits, selain al-Qur’an saja, (2) bahwa Sunnah sebagaimana yang dipraktekkan oleh masyarakat Muslim awal sepeninggal Muhammad sama sekali bukanlah Sunnah Nabi, melainkan kebiasaan bangsa Arab sebelum Islam yang telah mengalami modifikasi dalam al-Qur’an; dan (3) bahwa generasi-generasi yang terkemudian, pada abad ke-2 H/8 M, dalam usaha memberi otoritas dan normatifitas bagi kebiasaan tersebut, lalu mengembangkan konsep Sunnah Nabi dan menciptakan sendiri mek’anisme Hadits untuk merealisir konsep tersebut, H. Lammens, dalam bukunya Islam; Beliefs and Institutions,[7] memperlihatkan pandangan yang sama dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek tersebut (Sunnah) pasti sudah mendahului perumusannya dalam Hadits.
Tak seorang pun dari kedua penulis tersebut yang menanyakan, atau memutuskan persoalan apakah Sunnah awal masyarakat Muslim ini dipandang sebagai Sunnah, karena kedudukannya sebagai kebiasaan Arab pra-Islam atau karena al-Qur’an, setelah memperkenalkan modifikasi-modifikasi ke dalamnya, menyetujui bagian yang selebihnya dengan bijaksana. Karena, apabila hal yang kedua inilah yang 
sebenarnya terjadi, maka ia, dalam teori keagamaan (dan yang akan menjadi persoalan di sini adalah teori), memutus hubungan antara kebiasaan pra-Islam dengan Sunnah yang Islamis. Lebih lanjut, ada dua keberatan terhadap penjelasan tentang Sunnah ini, yang satu adalah keberatan logika, yang lain bersifat historis. Keberatan logikanya adalah bahwa, seperti telah kita lihat, pemikiran akan kenormatifan adalah bagian integral dari konsep Sunnah dan, sesungguhnyalah, pengarang-pengarang tersebut mendefinisikan 55

Sunnah sebagai ‘praktek normatif’ dari masyarakat Muslim awal. Di sini kita lihat bahwa kedua penjelasan tentang Sunnah yang diberikan oleh Goldziher dan diletakkan berdampingan namun tidak konsisten tersebut, yakni ‘perilaku normatif’ di satu pihak dan praktek yang hidup serta aktual di pihak lain, telah dibaurkan dalam satu keseluruhan sehingga menumbuhkan pertentangan dalam dirinya sendiri (self-contradictory). Sekarang, apabila praktek aktual masyarakat Muslim terse but adalah Sunnah, sedang Sunnah adalah praktek yang normatif, maka apa artinya perkataan bahwa kualitas normatif waktu itu diusahakan untuk disimpulkan dari praktek yang aktual dengan menjadikannya sebagai Sunnah Nabi? Keberatan historisnya, yang akan segera diuraikan nanti, adalah terhadap tesis yang dengan eksplisit dan agak panjang lebar dikemukakan oleh Margoliouth dan diasumsikan oleh Profesor J. Schacht, bahwa Nabi hampir-hampir tak meninggalkan warisan apa pun selain al-Qur’an. Pandangan-pandangan kedua ahli ini akan kita bahas pula selanjutnya.
Professor J. Schach telah terarahkan pikirannya untuk menerapkan sifat umum Hadits secara lebih sistematis melalui studi-studi kesarjanaannya dalam hukum Islam dan perkembangan teori hukum dalam Islam. Tetapi pandangan-pandangannya atas sifat tradisi secara umum pada dasarnya adalah sama dengan pandangan-pandangannya terhadap tradisi-tradisi hukum.[8] Dalam bab ini kita tidak berurusan dengan perkembangan hukum dalam Islam, tapi hanya dengan penemuan-penemuan Schacht atas sifat Hadits, yang mengisi bagian utama dari bukunya Origins of Muhammadan jurisprudence Schacht mendakwakan bahwa penyelidikannya secara fundamental meneguhkan apa yang disimpulkan oleh pendahulu-pendahulunya, Goldziher dan Margoliouth, mengenai konsep Hadits dan Sunnah pada abad 
pertama dan separuh dari era Islam, dan bahwa ia melangkah keluar batas konsep tersebut hanya dalam menemukan bahwa ketika untuk pertama kalinya hadits mulai beredar, hadits tersebut tidak dirujukkan kepada Nabi tetapi, pertama-tama, kepada para ‘tabi’in’ (yakni generasi sesudah sahabat), kemudian, pada taraf selanjutnya, kepada para sahabat, dan akhirnya, setelah beberapa waktu lamanya, baru 56 kepada Nabi sendiri.[9] Pandangan-pandangan diringkas dengan jelas dalam kutipan berikut: ‘Salah, satu kesimpulan utama yang dapat ditarik dari bagian I dari buku ini adalah bahwa, secara umum, ‘tradisi yang hidup’ dari aliran-aliran hukum yang lama, yang sebagian besar berdasarkan penalaran perseorangan, ada terlebih dahulu, dan bahwa pada taraf yang kedua ‘tradisi yang hidup tersebut ditempatkan di bawah lindungan para sahabat (yakni kira-kira setelah dilindungi oleh para tabi‘in), bahwa tradisi-tradisi dari Nabi sendiri, yang diedarkan ke tengah-tengah masyarakat oleh para tradisionis menjelang pertengahan abad kedua Hijrah, mengganggu dan mempengaruhi tradisi yang hidup. ini, dan bahwa hanya Syafi’i (150 - 204 H) sajalah yang mengusahakan tradisi-tradisi dari otoritas tertinggi Nabi.[10]

Dalam kenyataannya, Schacht mengikuti dan mencoba melengkapi ‘pandangan-pandangan Margoliouth dan Larnmens dan tampaknya tidak menyadari bahwa, sebagaimana telah kita coba jelaskan di atas, ada perbedaan fundamental antara Goldziher di satu pihak dengan kedua pengarang terse but di pihak lain: yang, pertama berpendapat bahwa secara esensial tradisi dan Sunnah (dalam zaman Islam) mempunyai asal-usul dan substansi yang sama, sementara menurut pihak yang kedua, Sunnah dan praktek (dari masyarakat Muslim, berdasarkan kebiasaan pra-Islam) secara temporal adalah hampir satu abad lebih dahulu adanya daripada Tradisi, Schacht telah mengambi! alih dari kedua pengarang tersebut ungkapan ‘praktek normatif dari masyarakat’ untuk memberi sifat Sunnah atau kebiasaan yang hidup, dan ‘kita telah melihat,’ dalam hubungan dengan kritik kita terhadap Margoliouth dan Lammens, kontradiksi logis yang terkandung dalam konsep ini.
Argumen Schacht mengenai sifat Hadits terdiri dari dua bagian. Pertama, berdasarkan bukti yang ditemukannya dalam tulisan-tulisan Muhammad ibn al-Syafi’i (150-204 H/767 - 819 M), ia menyimpulkan bahwa tradisi dari Nabi tidaklah ada sama sekali sampai pertengahan abad 2 H/8 M; bahwa kebiasaan atau Sunnah sebelum waktu itu tidaklah dipandang Sunnah Nabi, tetapi sebagai 57 Sunnah masyarakat (walaupun Sunnah di Madinah misalnya berbeda dengan Sunnah di Iraq), karena Sunnah: tersebut terutama sekali adalah hasil penalaran bebas orang perorang ulama fiqh dan akhirnya, bahwa pertahanan alami para ulama fiqh mengenai tradisi dari Nabi dipatahkan oleh usaha-usaha al-Syafi’i, yang, untuk pertama kalinya, secara sistematis memperkenalkan konsep Sunnah Nabi ke dalam teori hukum Islam, Kedua, dengan perbandingan antara beberapa versi tradisi yang awal dengan versi yang, terkemudian, ia menemukan bahwa dalam periode selanjutnya terdapat tradisi-tradisi yang tidak ada pada periode sebelumnya, dan dengan demikian berarti tradisi dari periode selanjutnya ini adalah palsu, atau bahwa versi-versi yang selanjutnya adalah lebih lengkap 
daripada versi sebelumnya dan karenanya berarti bahwa versi-versi yang selanjutnya itu telah diperluas lewat pemalsuan-pemalsuan. Mengenai bagian pertama argumen Schacht ini, yang merupakan pengukuhan hipotesa Margoliouth (yang untuk pertama kalinya mempergunakan al-Syafi’i), dalam menyusun tesis kita sendiri, kita akan berusaha menunjukkan bahwa argumen tersebut memberikan penjelasan yang terlalu sederhana atas situasi yang ada, dan alih-alih daripada membuat jelas perkembangan awal Islam, ia malah menjadikannya lebih samar-samar lewat tindakan gegabahnya yang menciptakan masalah-masalah bagi sejarah keagamaan Islam yang tak bisa diselesaikan.  

Pada bagian yang kedua buku ini, Professor Schacht telah melakukan perbandingan yang luas dan sistematis tentang hadits-hadits hukum sesuai dengan urutan historisnya, dengan mengajukan argumen-argumen yang keilmiahannya tak tergoyahkan dan metode yang mantap. Sepanjang yang saya ketahui Schacht-lah sarjana pertama yang melakukan demikian, sehingga apa yang dapat kita lakukan hanyalah mengatakan bahwa alangkah baiknya bila perbandingan tersebut dilakukan dalam semua bidang Hadits. Tetapi sama pentingnya adalah bahwa metode tersebut hendaknya dipergunakan dengan cermat dan bahwa haruslah jelas bagi kita apa yang tepatnya dapat dicapai, dibuktikan atau ditidak-terbuktikan oleh metode tersebut. 
Dengan demikian Professor Schacht menegaskan (Origins, hal 141) 58 bahwa hadits-hadits dogmatis belum terwujud pada masa ditulisnya karangan-karangan dogmatis Hasan al-Bashri yang akan dibahas kemudian nanti dalam bab ini. la mencoba membuktikan hal ini dengan kenyataan bahwa Hasan tidak menyebutkan Hadits apa pun. Sekarang, seperti akankita lihat nanti, Hasan secara eksplisit berbicara tentang sunnah Nabi dalam hubungan ini. Tetapi ia mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada transmisi aktual (riwayah) dari Nabi atau sahabat-sahabatnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan, yakni masalah kemerdekaan kehendak dan tindakan manusia  is-a- is determinisme theistik, dan bahwa ia sendirilah (dan mungkin sekali juga orang-orang lain yang sepandangan dengan dia) yang memulai pembicaraan ten tang tesis kemerdekaan manusia. Di sini Sunnah hanya semata-mata berarti bahwa baik Nabi maupun para Sahabat tidak berperilaku dengan cara yang sesuai dengan doktrin determinisme Ilahi yang seperti juga diceriterakan oleh Hasan, merupakan penemuan baru oleh orang banyak. Karena itu, dalam hubungan ini, persoalan Hadits verbal yang eksplisit tidaklah timbul, walaupun istilah Sunnah memiliki arti hukum yang sah sebagaimana telah dipergunakan oleh Hasan. Apa yang dibuktikan oleh hal ini adalah bahwa pada masalah ini apa yang dinisbatkan kepada Nabi oleh Hadits yang muncul belakangan tidaklah secara lafdziyah (verbal) datang dari Nabi, dan ·’hams dipandang sebagai suatu perumusan belakangan saja, walaupun akan masih tetap sah secara sempurna untuk mengatakan bahwa Hadits-hadits anti-deterministik mewakili Sunnah Nabi dan para Sahabat awal. Tetapi mengatakan bah wa tidak ada Hadits dogmatis jenis apa pun adalah proposisi yang benar-benar lain. Bagaimana kita bisa berasumsi bahwa tidak ada Hadits, misalnya, tentang pentingnya keesaan Tuhan dan tentang kira-kira seratus masalah lainnya?

Kasus-kasus lain dalam studi komparatif historis seperti itu bisa disebutkan. Tetapi kita hanya memberikan satu contoh saja untuk melukiskan masalah yang menjadi persoalan. Kesulitan yang secara fundamental tak terpisahkan lainnya, yang meliputi kritik historis dalam bidang ini adalah mengasumsikan kebenaran pernyataan-pernyataan tertentu, dan dengan kekuatan pernyataan-59 pernyataan itu mencoba menilai pernyataan-:pernyataan yang lain. Kesulitan ini menjadi semakin besar di luar proporsinya baik bagi sejarawan yang naif dan terlalu cepat percaya maupun bagi yang berpikiran skep tis berlebih-lebihan.
Seorang yang memiliki pengertian yang simpatik mungkin bisa menantang keragu-raguan yang keterlaluan dan gegabah ini dengan kesimpulan-kesimpulannya. Marilah kita gambarkan hal ini dengan sebuah contoh. Ada sebuah ceritera yang mengatakan bahwa Ibrahim Ibnu al-Walīd al-Umawi (yakni dari Bani Umayyah) suatu ketika mendatangi seorang ulama Hadits terkenal Ibnu Syihab al-Zuhri dengan membawa sebuah buku dan meminta kepadanya untuk meriwayatkan pernyataan-pernyataan dalam buku tersebut menjadi Hadits dengan otoritasnya. Atas permintaan ini, tanpa ragu-ragu al-Zuhri (124 H/742 M) mengatakan-kepada Ibrahim. ‘Tetapi siapa lagi (selain aku) yang mungkin menceriterakan kepadamu Hadits-hadits ini?’ Citra tentang al-Zuhri dalam tradisi Islam adalah seorang yang sangat saleh dan ahli Hadits yang dapat dipercaya. Tetapi, berbeda dengan kebanyakan orang-orang saleh pada waktu itu, ia mempunyai hubungan yang baik dengan penguasa-penguasa Umayyah. Apakah ceritera ini benar? Goldziher membenarkannya dan memandangnya sebagai salah satu bukti-bukti utama yang ditemukannya yang menunjukkan bahwa penguasa-penguasa Umayyah mempengaruhi tradisi Islam demi kepentingan mereka. Goldziher juga mengakui bahwa al-Zuhri adalah seorang yang saleh, tapi ia juga menerangkan bahwa al-Zuhri tidaklah bekerjasama dengan penguasa-penguasa Umayyah dalam pemalsuan Hadits dengan motif yang tidak saleh, tetapi karena alasan stabilitas negara, dan bahwa walaupun kadang-kadang ia memang mengalami pertentangan batin dalam hal itu, namun ia tidak bisa dengan tegas menolak tekanan pejabat-pejabat pemerintah (Muhammedanische Studien, II hal. 38).
Bahwa partai-partai politik yang beroposisi mencoba mempengaruhi opini publik rnelalui Hadits dan menggunakan nama otorita-otorita Hadits yang besar adalah suatu kenyataan yang tak bisa dibantah oleh mereka yang tahu akan sejarah awal Islam. Bahwa 60 al-Zuhri mungkin. telah memberikan dukungannya kepada pandangan-pandangan resmi pemerintah karena ‘pertimbangan demi negara’, sebagaimana mungkin sekali , telah dipertimbangkannya sebagai sesuai dengan semangat Islam, juga bisa diakui. Kesalehan al-Zuhri dan pengetahuannya yang bisa dipercaya tentang Hadits bukanlah suatu citra yang dibangun dengan panjangnya selang waktu saja, tetapi bahkan seorang dengan kedudukan seperti Malik Ibnu Anas pun (lahir antara 90-97 H/709-715 M, wafat 179 H/795 M) mengutip Hadits-hadits langsung dari dia. Dengan gambaran situasi yang begini, kita lebih cenderung untuk percaya bahwa ceritera tentang ketidakseganan al-Zuhri untuk mengedarkan Hadits-hadits produk penguasa-penguasa Umayyah tersebut hanyalah sebuah dongeng yang disebarkan oleh pemerintah Abbassiyah untuk memburukkan citra pemerintahan Umayyah. Atau yang lebih mungkin lagi adalah bahwa beberapa orang murid tertentu dari al-Zuhri (ceritera cli atas memang berasal dari salah seorang murid al-Zuhri) sengaja mengedarkan anekdot tersebut untuk meningkatkan prestise al-Zuhri sebagai seorang tokoh Hadits yang tanpa otoritasnya tak ada satu Hadits pun yang dapat dianggap shabib pada zamannya.
Dengan pertimbangan yang sama kita mesti dengan sedikit hati-hati dan dengan cara terbatas menggunakan prinsip yang secara fundamental baik, bahwa suatu laporan dari masa yang lebih dahulu mestilah laporan yang benar atau paling tidak lebih benar daripada versinya yang muncul agak lebih kemudian, dan dengan demikian menganggap tambahan yang menjadikannya relatif lengkap dalam versinya yang kemudian itu sebagai tambahan bikinan saja. Sikap terbatas kita mengenai validitas prinsip ini mesti diterapkan terutama terhadap masa yang sangat awal ketika pengumpulan Hadits-hadits sedang dilakukan. Adalah benar-benar mungkin dan logis 
bahwa pada masa yang awal ini, laporan-laporan mengenai suatu Hadits belum bisa menyebutkan semua fakta-fakta dan detail-detail yang rele an, dan fakta-fakta serta detail-detail tersebut mendapat tambahan dengan adanya kontak-kontak dengan para sahabat dan tabi’in. Secara keseluruhan, suatu sikap yang hati-hati dan sehat, 61 bukannya skeptisisme yang terang-terangan, mungkin sekali akan memberikan hasil yang dapat dipercaya dan konstruktif.


SIFAT OTORITAS NABI
Al-Qur’an selalu mempersandingkan Nabi Muhammad dengan Allah hila berbicara tentang otoritas, dan dalam sejumlah besar ayat bum beriman diperintahkan untuk taat kepada Allah dan utusan-Nya.[11] Kaum Muslimin, paling tidak sejak peralihan abad ke-1 H/7 M, dan mayoritas para orientalis menganggap hal ini sebagai berarti bahwa otoritas Muhammad ini merujuk pada perilaku verbal dan performatif dari Nabi di luar al-Qur’an. Dalam kenyataannya, bagi kaum Muslimin, otoritas al-Qur’an adalah lebih tinggi daripada otoritas Nabi sendiri, karena sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah-perintah dan hukum-hukum al-Qur’an, Nabi tak lebih hanyalah penyampai al-Qur’an kepada manusia. Juga hanya ada sedikit keraguan saja bahwa Nabi. sendiri dengan hati-hati membedakan antara pernyataan-pernyataan al-Qur’an dengan ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya sehari-hari, walaupun al-Qur’an sendiri muncul dalam konteks sejarah dan sebagian besar daripadanya berhubungan dengan kejadian-kejadian khusus. Akan tetapi, Margoliouth telah menyatakan bahwa setiap kali Nabi disandingkan dengan Allah dalam al-Qur’an, ini hanya merujuk kepada konteks al-Qur’an itu sendiri bahwa otoritas Allah dan otoritas Nabi Muhammad, yang merupakan manusia yang menjadi alat perantara wahyu Ilahi, adalah tak dapat dipisahkan. Kedua-duanya adalah satu dan sama, dan persamaan ini hanya mempunyai rujukan intra-Qur’ani. Dengan sendirinya dapatlah dikatakan bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai Sunnah ekstra-Qur’ani yang mungkin telah dicatat dalam beberapa Hadits. Pandangan ini nampaknya tak bisa dijadikan pegangan berdasarkan al-Qur’an sendiri. Sementara dalam banyak kasus, di mana al-Qur’an berbicara tentang otoritas Allah dan Nabi, hal ini dapat ditafsirkan dalam batasan umum sebagai merujuk kepada perintah-perintah al-Qur’an sendiri. Tetapi terdapat pula kasus-kasus di mana halnya jelas tidak demikian. Misalnya, ada ka:sus di mana al-Qur’an merujuk kepada suatu perselisihan (yang menurut para penafsir al-Qur’an, timbul 62 mengenai keputusan Nabi yang menyangkut pembagian rampasan perang dalam suatu ekspedisi) dan mengatakan, ‘Apa yang diberikan Rasul kepadamu, ambillah, dan apa yang dilarangnya, hentikanlah.’[12] Dalam ayat yang lain ial-Qur’an mengatakan, ‘Tidak; demi Tuhanmu, mereka tidak akan bisa dikatakan beriman sehingga mereka berhakim kepadamu dalam perselisihan-perselisihan mereka dan tidak merasakan keberatan dalam hati mereka mengenai keputusan yang engkau berikan, tetapi tunduk (kepadanya) dengan sepenuh hati.[13] Peringatan ini juga merujuk kepada suatu kasus spesifik mengenai suatu perselisihan internal dalam masyarakat Muslim, dan masih ada contoh-contoh serupa lainnya di dalam al-Qur’an, Persoalannya di sini adalah, kasus-kasus ini dan kasus-kasus spesifik yang lain ditangani oleh al-Qur’an hanyalah karena timbulnya kericuhan-kericuhan tajam dalam masyarakat Muslim, yang mengancam otoritas Nabi sebagai hakim. Apabila, otoritas Nabi diterima dengan rela oleh semua orang tanpa ada pertengkaran lagi, seperti dalam kasus-kasus yang biasa, tentulah al-Qur’an tidak akan campur tangan. Dengan demikian adalah menjadi suatu kemustian bahwa Nabi telah benar-benar dan secara normal melaksanakan otoritas yang tak terbantah di luar al-Qur’an dalam membuat keputusan-keputusan pengadilan serta tuntunan-tuntunan hukum dan moral. Sesungguhnya, al-Quran juga berbicara tentang perilaku teladan dari Rasul Tuhan. Karena itu, terdapat. perilaku yang menjadi teladan, yakni sunnah Nabi, di samping wahyu al-Qur’an jelaslah, dasar pemikiran Margoliouth bahwa satu-satunya tuntunan hukum dan moral serta preseden-preseden yang ditinggalkan oleh Nabi adalah yang terdapat dalam al-Qur’an, adalah percakapan yang dicatat oleh al-Syafi’i dalam tulisan-tulisannya, yang terjadi di antara dia sendiri (Syafi’i) dengan salah seorang kaum Mu’tazilah (netralis) yang menentang Hadits dan menyatakan hanya menerima al-Qur’an sebagai pedoman yang otoritatif. Tetapi dalam bagian mendatang, kami akan menunjukkan sifat sebenarnya kontroversi ini dan menyuguhkan fakta bahwa ahlul kalam (kaum rasionalis) atau kaum Mu’tazilah sebenarnya tidak hanya menerima Qur’an saja. 63
Tetapi apabila penalaran kita memang betul, maka kesimpulan lain dapat ditarik dari argumen ini untuk membuat situasinya bisa dipahami. Kesimpulan ini adalah bahwa Sunnah Nabi, di luar masalah-masalah fundamental yang menyangkut kehidupan keagamaan dan moral kaum Muslimin, tak mungkin meliputi ruang lingkup yang sangat luas, apalagi demikian luas dan mencakup seluruh detail kehidupan sehari-hari sebagaimana fiqh abad pertengahan dan literatur Hadits. Bukti yang ada secara keseluruhannya memberikan kesan yang kuat bahwa situasi-situasi di mana Nabi diminta untuk membuat keputusan atau pernyataan yang otoritatif, atau di mana ia merasa terpaksa berbuat demikian, adalah situasi-situasi yang bersifat khusus saja. Biasanya, kaum Muslimin. melaksanakan transaksi-transaksi sosial dan bisnis sehari-hari mereka dengan menyelesaikan sendiri perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka. Pandangan ini juga sesuai dengan watak umum ‘Muhammad sebagai Nabi-negarawan: ia terutama bukanlah seorang pengacara tetapi seorang pembaharu keagamaan dan politik. Sesungguhnya, siapa saja yang membaca al-Qur’an dengan cermat, tidak dapat tidak, pasti akan melihat sifat gradual (bertahap) reformasi Islam. Meminum minuman keras, misalnya, selama bertahun-tahun setelah Nabi menerima tugas kerasulannya, masih tetap diperbolehkan. Kemudian diambillah tindakan-tindakan untuk membatasi minuman keras, dan akhirnya keluarlah larangan untuk meminum alkohol. Lebih lanjut, dalam sebagian besar, barangkali juga semua, tindakan-tindakan politik, hukum dan pembaharuan yang penting, Nabi selalu berkonsultasi secara tidak resmi dengan para sahabat-sahabat seniornya dan kadang-kadang meminta pertimbangan masyarakat luas kaum Muslimin. Al-Quran dengan jelas memberi kesaksian atas hal ini.[14] Kadang-kadang pertimbangan-pertimbangan yang diberikan saling bertentangan, dan memang, dalam masalah-masalah tertentu, bertentangan sedemikian rupa sehingga (karena pertimbangan-pertimbangan tersebut memiliki watak fungsi - kelompok) pada akhirnya menentang pendapat Nabi sendiri.[15] Dalam sunnah Nabi, demokrasi dan otoritas keagamaan memang berimbang, dengan keseimbangan yang tak bisa dilukiskan keindahannya. 64
Tetapi mengenai sifat keagamaan dan sifat mengikatnya secara keagamaan hasil pengambilan keputusan oleh Nabi, maka al-Qur’an mengenyahkan setiap keraguan bagi orang-orang yang mungkin akan membangkang. Tambahan lagi, kehidupan dan watak. Nabi sendiri penuh dijiwai oleh semangat keagamaan. Bahkan seandainya kita secara teoritis bisa mencurigai setiap pernyataan individual dalam catatan kaum Muslimin abad pertengahan mengenai beliau, namun sifat keadaan yang ada tak memungkinkan kita mengambil kesimpulan lain daripada bahwa bagi sahabat-sahabatnya, kehidupan Nabi adalah demikian normatif dan merupakan model hidup keagamaan. Pendapat apa pun yang menyatakan bahwa ‘tidaklah demikian halnya sampai masa kira-kira sembilan atau bahkan lima belas dasa warsa kemudian, ketika Hadits formal dikembangkan sebagai medium yang rapi dan disempumakan untuk menyampaikan informasi tentang Nabi, hendaklah ditolak dan dianggap sebagai mitos ‘ilmiah’ yang dangkal dim imasional, produk historiografi kontemporer. Tetapi mitos itu sendiri timbul dari situasi kemelut yang rumit yang terpaksa dipilih. Apabila ucapan-ucapan dan tingkah laku Nabi dipandang bersifat normatif secara keagamaan bagi kaum Muslimin, maka adalah luar biasa bila pada waktu itu tidak ada catatan-catatan tentang sunnahnya tersebut yang disimpan, sebagaimana halnya al-Qur’an telah dicatat dan disimpan, kecuali dokumen-dokumen tertentu yang berhubungan dengan fakta-fakta dan sebagainya. Di samping itu, walaupun ada kesesuaian dalam masalah-masalah hukum yang umum dan fundamental, kita menemukan bahwa dalam aliran-aliran fiqh yang awal, dalam kebanyakan masalah praktek-prakteknya secara terperinci hukum tersebut saling berbeda, dan masing-masing aliran regional, misalnya aliran Madinah dan Iraq, mempertahankan praktek yang dilaksanakannya dengan menyebutnya ‘sunnah’. Apabila rujukan akhir Sunnah adalah teladan dari Nabi maka, demikian argumen tersebut, Sunnah-sunnah yang berbeda tak bisa disebut ‘sunnah’ dalam arti yang sebenarnya (the sunna/al-sunnah), dan karenanya harus dipandang sebagai praktek masyarakat-masyarakat Muslim setempat. Akan halnya Nabi, dengan sendirinya dapatlah disimpulkan bahwa 65 beliau hampir-hampir tak meninggalkan preseden. Apa pun yang menyangkut masalah-masalah seperti itu dalam perilakunya, atau kalaupun memang ia meninggalkan preseden-preseden, maka preseden-preseden tersebut tidak dipandang sebagai sunnah atau mengikat.
Mengenai ‘praktek’ kaum Muslimin pada periode sesudah Nabi dan konsep-konsep yang mereka pergunakan-untuk melaksanakan praktek-praktek tersebut, akan kita analisa lebih cermat pada bagian selanjutnya dari bab ini. Mengenai dua alternatif yang ditawarkan secara teoritis di atas mengenai Nabi yang sebagian telah ditangani dengan hati-hati, yang sebagian. secara terang-terangan diterima-: oleh penulis-penulis modern yang menulis tentang Hadits dan Sunnah, maka sejauh penyelidikan yang kami lakukan kami lebih cenderung ‘berkesimpulan untuk menolak keduanya. Penolakan ini harus dilakukan untuk membawanya dapat berdiri di atas landasan alasan-alasan yang diperlukan sesuai dengan situasi yang ada. Akan tetapi, untuk mengungkap kerumitan yang belum jelas di atas tadi, dua pokok bahasan mesti dibuat. Pertama: ketika Nabi masih hidup; tentu ada. kekhawatiran bahwa bila ucapan-ucapan Nabi di luar al-Qur’an dicatat secara formal, maka akan mudah terjadi percampuran dengan teks al-Qur’an yang juga disampaikan oleh Nabi. Percampuran mungkin akan terjadi pada kedua arah. Bisa-bisa sebagian atau sejumlah ayat al-Qur’an lama kelamaan, mungkin akan dikatakan sebagai ucapan-ucapan Nabi sendiri dan bukannya firman Tuhan, atau sebaliknya, ucapan-ucapan Nabi sendiri yang mungkin 
akan dikatakan sebagai firman Tuhan. Bukti-bukti sejarah memberikan kesan bahwa pencampuradukan dan kesalahanggapan memang terjadi di kalangan kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, ada laporan bahwa sahabat Nabi yang termasyhur, Abdullah Ibnu Mas’ud (wafat kira-kira 32 H/653 M) tidak memandang surah yang pertama dan kedua terakhir dari al-Qur’an sebagai bagian dari al-Qur’an. Ibnu Qutaybah (wafat kira-kira 276 H/869 M) menjelaskan bahwa karena Nabi se ring membacakan kedua surah yang terakhir itu kepada cucu-cucu beliau sebagai doa-doa, dan bahwa karena Ibnu Mas’ud sering menyaksikan Nabi melakukanhalitu, maka Ibnu Mas’ud berkesimpulan 66 bahwa kedua surah tersebut bukanlah bagian dari teks al-Qur’an[16] Kita sudah menyebutkan di muka, bahwa Nabi sendiri membedakan antara ucapan-ucapan beliau sendiri dengan ayat-ayat al-Qur’an, dan bahwa hanya dalam masalah-masalah kritis yang khusus sajalah keputusan-keputusan yang dibuatnya harus didukung oleh al-Qur’an sendiri.

Kedua, kita telah merujuk kepada sifat khusus keputusan-keputusan dan petunjuk-petunjuk Nabi. Mengenai petunjuk-petunjuk yang diberikannya, maka petunjuk-petunjuk tersebut biasanya atas dorongan situasi khusus dan disampaikan secara informal di hadapan para sahabat yang kebetulan hadir. Pernyataan-pernyataan yang paling formal dibuat dalam sebuah khotbah, tetapi pernyataan-pernyataan tersebut biasanya juga bersumber dari dan berhubungan dengan fenomena-fenomena dari situasi-situasi pada saat itu, baik situasi keagamaan maupun politik. Hal yang sama juga berlaku dalam keputusan-keputusan hukum maupun keputusan-keputusan lainnya.
Setiap kasus diputuskan pada saat ia timbul, dengan mempertimbangkan faktor-faktor umum dan faktor-faktor khususnya. Nah, sifat informal dan khusus dari prosedur-prosedur ini tentu. saja dapat menjadi bahan argumentasi karena tidak dicatat secara formal. Ia juga berarti bahwa kasus-kasus yang sama, tetapi agak berbeda juga diputuskan dengan cara yang sama, tapi sedikit berbeda, dan tak syak lagi bahwa Nabi menggunakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya sendiri, walaupun dalam masalah-masalah yang besar beliau berkonsultasi dengan sahabat-sahabat seniornya. Marilah kita lukiskan variasi ini dengan kasus ritus shalat, suatu kewajiban yang paling fundamental dari kewajiban-kewajiban agama dalam Islam. Di antara detail-detail kecil yang lain, di antara aliran-aliran fiqh Islam yang awal, timbul kontroversi mengenai sikap-sikap fisik tertentu, misalnya mengenai posisi tangan apalah ketika berdiri kedua tangan harus tetap dibiarkan lepas tergantung ataukah harus dilipat? Apabila harus dilipat, apakah di dada atau di bawahnya? Demikian pula, kontroversi-kontroversi juga timbul mengenai waktu-waktu shalat yang tepat. Mereka yang menolak tradisi sunnah dari Nabi akan mengatakan bah wa variasi-variasi waktu shalat tercermin dalam satu 67 generasi sesudah Nabi. Tapi ini adalah pendapat yang benar-benar tolol, karena selama bertahun-tahun Nabi telah melakukan shalat di depan umum dan satu-satunya penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan sikap tubuh adalah bahwa Nabi melakukan sikap yang berbeda-beda dalam waktu yang berlainan pula, dan orang-orang yang kebetulan menyaksikan sikap yang tertentu lalu memandangnya sebagai satu-satunya sikap yang normatif. Sebagaimana dalam masalah ritual, maka demikian pula  variasi dalam keputusan-keputusan hukum yang dibuat Nabi sebagian adalah merupakan penjelasan akan adanya perbedaan-perbedaan dalam aliran-aliran hukum Islam, walaupun dalam masalah ini, mengingat kompleksitas situasi hukum dalam sebuah negara yang bertambah besar dengan cepat, penafsiran-penafsiran individual dari para ahli hukum memainkan peranan yang fundamental, sebagaimana akan kita lihat nanti.

HADITS DAN SUNNAH ATAU TRADISI VERBAL DAN TRADISI PRAKTIS
Hadits (yang secara harfiyah berarti ceritera penuturan, atau laporan) sebagaimana yang kita kenal, sebagai unit disiplin ilmu yang mempunyai nama’ yang sama, adalah sebuah narasi, biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh beliau, juga informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama sahabat-sahabat senior, dan lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama. Setiap Hadits mengandung dua bagian, teks (matn) Hadits itu sendiri dan mata rantai transmisi atau isnad-nya, yang menyebutkan nama-nama penuturnya (rawi), yang menjadi dukungan bagi teks Hadits tersebut. Baik ahli-ahli sejarah dahulu maupun modern sekarang ini sependapat bahwa mula-mula Hadits muncul tanpa dukungan isnad kurang lebih pada pertukaran abad ke-1 H/7 M. Sekitar masa ini pulalah Hadits muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Akan tetapi, terdapat bukti yang kuat yang langsung maupun yang tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi sebuah disiplin yang formal dalam abad ke-2 H/8 M, fenomena Hadits telah muncul paling tidak sajak kira-kira tahun 60-80 H/680-700 M. 68
Pokok masalah pertama yang timbul dalam hubungan ini adalah bahwa suatu sistem dengan perkembangan tinggi- yang memiliki dua komponen, teks dan isnad, tak mungkin mendadak muncul begitu saja di tengah-tengah arena tanpa masa perkembangan sebelumnya di mana ia tidak mengalami perkembangan teknis saja, tetapi juga perluasan materi. Sungguh, suatu Hadits yang tak resmi secara wajar dapat diduga telah ada pada masa hidup Nabi sendiri, di mana Nabi merupakan sumber pedoman masyarakat ‘Muslim’ pada waktu itu. Tetapi setelah Nabi wafat, Hadits beralih dari kondisi informal semata-mata menjadi semi-formal. Dengan ini saya maksudkan bahwa sementara pada masa hidup. Nabi orang-orang berbicara tentang apa yang dikatakan atau dilakukan oleh beliau sebagaimana mereka berbicara tentang hall-hal sehari-hari mereka, maka setelah beliau wafat pembicaraan tersebut lalu berubah menjadi suatu fenomena yang disengaja dan penuh kesadaran, karena suatu generasi baru sedang tumbuh yang dengan sewajarnya menanyakan tentang perilaku Nabi. Tetapi haruslah diingat bahwa orientasi keagamaan yang semestinya dari sebuah Hadits — suatu transmisi verbal — adalah ke arah norma keagamaan yang praktis. 
Orientasi praktis ini, yang lebih dari sekedar keingintahuan intelektual, terutama dalam masyarakat yang sedang berkembang luas dan tumbuh semakin kompleks dengan kecepatan yang mencengangkan dan tanpa preseden, dengan mengasimilasikan unsur-unsur yang baru, memberikan dasar argumentasi untuk menyatakan bahwa ‘transmisi’ Hadits tersebut lebih bersifat peneladanan langsung tindakan-tindakan (in actu) tanpa melibatkan rumusan-rumusan verbal. Transmisi non-verbal, atau tradisi ‘yang diam’ atau ‘hidup’ ini, disebut Sunnah.

Karena itu kita harus membedakan kedua arti kata Sunnah yang saling berhubungan erat. Di atas telah kita katakan bahwa bagi generasi-generasi yang terkemudian kata ‘sunnah’ berarti perilaku Nabi, (sebagaimana pada asalnya memang berarti demikian), karena kata tersebut memperoleh sifat normatifnya. Tapi sepanjang tradisi tersebut umumnya berlanjut secara ‘diam-diam’ dan non-verbal, maka kata ‘sunnah ‘ ini juga diterapkan pad-a kandungan 69 aktual perilaku. setiap generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi. Jelas bahwa penggunaan kata ‘sunnah’ dengan arti yang kedua ini adalah berasal dari arti yang pertama, dan kedua arti tersebut berhubungan secara sesuai dengan perilaku Nabi di masa lalu, (secundum priusfet posterius). Secara harfiyah, ‘sunnah’ berarti ‘jalan yang dilalui’, dan sebagaimana halnya sebuah jalan, maka setiap bagian daripadanya adalah sunnah, apakah bagian tersebut berada pada awal jalan tersebut atau pun di ujungnya. Mengenai isinya, seperti akan kita lihat nanti adalah lebih bersifat seperti dasar sebuah sungai yang terus-menerus mengasimilasikan unsur-unsur baru, tetapi tujuan dari istilah ‘sunnah’ tersebut selalu diarahkan kepada model perilaku Nabi. Percampuran arti inilah yang menyebabkan beberapa penulis modern menyatakan bahwa sampai pada abad ke-2 H/8 M, kata Sunnah tidak berarti praktek dari Nabi, tapi praktek masyarakat-masyarakat lokal kaum Muslimin Madinah dan Iraq.
Tetapi tradisi tersebut tidaklah seluruhnya ‘diam’, dan non-verbal. Hal ini pertama-tama secara a priori dapat disimpulkan dari kenyataan, tradisi yang hidup itu sendiri. Orang tidak hanya semata-mata berbuat dan menuruti (dan berinovasi) saja, tapi juga berbicara dan melaporkan. Karena itu paling tidak mestilah ada suatu tradisi 
verbal yang informal. Tetapi, selanjutnya, tradisi informal ini nampaknya lalu menjadi suatu kegiatan yang sadar di tangan generasi muda di antara para sahabat. Sebuah surat yang ditulis oleh Khalifah Abdul Malik dari Bani Umayyah (65-68 H/684-688 M) kepada Hasan al-Bashri (21-100 H/642-728 M) dan jawaban yang diberikan oleh Hasan,[17] bila dianalisa dengan cermat, akan memberikan penjelasan yang penting. Surat dari Khalifah ini, yang tidak menyetujui pandangan Hasan yang mendukung kemerdekaan dan tanggung jawab manusia, menyatakan:

‘Amirul Mu’minin telah mendapat laporan tentang pandangan anda mengenai kemerdekaan manusia (qadar) yang belum pernah didengar oleh beliau dari generasi yang lalu. Amirul Mu’minin tidak mengenal scorang pun dari mereka yang telah dijumpainya di antara 70 para sahabat yang mempunyai pandangan seperti yang diceriterakan orang tentang anda mengenai masalah ini. . . Karena itu haraplah anda menulis surat kepadanya mengenai pandangan anda itu — apakah itu suatu transmisi verbal (riwayah) dari salah seorang sahabat Rasul Allah, atau pendapat anda sendiri (ray), atau sesuatu apa pun yang dapat dikuatkan oleh. al-Qur’an. . . .[18]
Hal yang esensial. dari surat ini adalah bahwa Khalifah meminta, dari antara alternatif-alternatif bentuk-bentuk bukti yang dipakai oleh Hasan al-Bashri untuk mendukung pendapatnya, suatu transmisi verbal (riwayah) dari salah seorang sahabat Nabi. Khalifah hanya mungkin meminta hal itu apabila ia berpikir bahwa apa yang disebut riwayah itu memang ada dan bersifat otoritatif. Dalam jawabannya Hasan merujuk kepada ‘Sunnah Rasul Allah’, tapi ia tidak bisa mengutip satu pun riwayah Nabi atau sahabat-sahabatnya mengenai bal kbusus tersebut (walaupun ia banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an). Tetapi itu bukanlah karena tidak ada riwayah atau Hadits mengenai masalah apa pun — sebagaimana pendapat Professor Schacht[19] — tetapi karena Hasan menyatakan bahwa perdebatan mengenai kebebasan manusia untuk memilih  versus determinisme theistik adalah suatu hal yang baru:
‘Tak ada seorang pun dari pendahulu-pendahulu kita (kaum Muslimin) yang menolak hal ini (yakni bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih); juga tak seorang pun berselisih pendapat tentang hal ini karena mereka semuanya secara diam-diam bersetuju pendapat tentang masalah ini. Kami telah memperkenalkan pembahasan theologi ini (kalam) karena (sekelompok) manusia telah melakukan inovasi untuk menolaknya. . . .[20]
Dalam sebuah nota yang dilampirkan, pejabat yang menyampaikan surat Hasan kepada Khalifah mengatakan: ‘Tak seorang pun yang tertinggal dari mereka yang belajar (akhadza) dari generasi sahabat-sahabat Nabi, yang lebih luas pengetahuannya tentang Tuhan. . . daripada Hasan.[21] Kata-kata yang dipergunakan untuk 71 ‘belajar’. dalam kutipan ini selanjutnya tetap menjadi istilah teknis untuk studi formal dengan seorang guru.
Sebegitu jauh, kesimpulan-kesimpulan yang telah kita capai adalah bahwa, pertama-tama Sunnah dan Hadits ada bersama-sama dan memiliki substansi yang sama pada masa yang paling awal sesudah Nabi dan bahwa keduanya diarahkan kepada dan memperoleh normatifitasnya dari beliau. Kedua, kita juga telah mencatat bahwa konsep sunnah, karena ia berarti ‘tradisi yang hidup yang diam’, maka ia lalu memiliki arti tradisi yang hidup dalam setiap generasi berikutnya. Karena itu, walaupun Sunnah sebagai suatu konsep merujuk kepada perilaku Nabi, namun isinya dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari praktek aktual masyarakat Muslimin. Tetapi praktek aktual dari suatu masyarakat yang hidup mestilah terus-menerus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan. Dalam suatu masyarakat yang bertambah luas dengan cepat seperti masyarakat kaum Muslimin yang mula-mula itu, maka persoalan-persoalan dan situasi-situasi moral dan hukum, termasuk sistem administrasi yang hampir seluruhnya baru, terus-menerus tumbuh. Sementara situasi-situasi hukum dan kesadaran akan moral dan masalah-masalah keagamaan menjadi semakin lama semakin kompleks, maka timbullah kontroversi-kontroversi dalam sebagian besar masalah, termasuk dalam bidang theologi dan moral, terutama di mana pengaruh-pengaruh asing telah masuk. 
Tetapi konsep tentang sunnah yang ideal tetaplah ada, apa pun juga bahan baru yang terpikirkan atau diasimilasikan, ia selalu ditafsirkan berdasarkan prinsip-prinsip al-Qur’an dan Sunnah. Penafsiran tersebut, seperti akan kita lihat dalam bab yang akan datang, mula-mula didasarkan pada pendapat perseorangan yang bebas yang pada abad kedua digantikan oleh konsep analogi sistematis (qiyas).

Istilah sunnah itu sendiri mungkin sekali mula-mula tidak dirumuskan sebagai suatu ‘konsep yang sadar’ atau diprogram dari awal sampai timbulnya perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah-masalah agama. Tradisi yang hidup yang ‘diam’ mengandung 72
arti bahwa ia tidaklah dinyatakan secara ab initio (dari awalnya) dengan suatu istilah apa pun, dan bahwa deskripsi dan formulasi atasnya hanya dilakukan setelah timbulnya penafsiran-penafsiran yang berbeda, bahkan bertentangan. Selanjutnya orang-orang menjadi terbiasa untuk mempertentangkan Sunnah dengan bid‘ab (inoasi). Masalah-masalah agama yang dipertentangkan mungkin sekali 
sebagian besar mempunyai irnplikasi-implikasi politik. Hal ini dikesankan oleh kontroversi-kontroversi antara kaum Syi’ah (pengikut ‘Ali), kaum Khawarij, dan kelompok Bani Umayyah. Ceritera tentang Hasan al-Bashri tersebut di atas melukiskan hal ini: ia dengan jelas menunjukkan bahwa Sunnah nyata-nyata sedang dirumuskan tidak hanya menyangkut isinya, tapi juga menyangkut Sunnah itu sendiri, setelah pandangan-pandangan predestinasi yang ekstrim dikemukakan orang. Dan kontroversi ethis tentang kemerdekaan manusia dan determinisme juga mempunyai. implikasi-implikasi politik yang jelas, karena kelompok yang anti determinisme mendukung reformasi atau penggulingan kekuasaan pemerintahan Bani Umayyah yang berwatak sekular.

Dari kenyataan penafsiran-penafsiran perseorangan atas apa yang telah disampaikan oleh Nabi, baik melalui tradisi yang hidup maupun melalui sejumlah kecil transmisi verbal (Hadits atau riwayah), maka timbullah arti ketiga dari sunnah — yakni yang berhubungan dengan isinya, karena tujuan dari konsep tersebut masih tetap diarahkan kepada Nabi, di samping kedua arti yang telah tersebut di atas. Kelihatan juga bahwa arti yang ketiga ini berhubungan erat dengan kedua arti sebelumnya. Arti yang ketiga ini adalah bahwa dari sebuah Hadits atau laporan-sunnah, beberapa pokok norma praktis disimpulkan melalui penafsiran dan norma-norma tersebut lalu disebut Sunnah karena secara implisit terlihat dalam Sunnah tersebut. Proses penafsiran ini tak syak lagi dimulai secara halus dan sekaligus juga eksplisit di kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri. Bagi generasi sesudah Sahabat, semua perkataan dan perbuatan para sahabat juga mulai dipandang sebagai Sunnah karena, demikian alasannya, para sahabat, teru tama bila mereka bersetuju pendapat, bah kan juga bila berbeda, adalah berada dalam posisi yang 73 istimewa mengetahui, dan menafsirkan. perilaku Nabi. Setelah masa para sahabat (dan dalam beberapa hal juga sesudah masa para tabi’in), Sunnah tak dapat lagi disimpulkan dari praktek yang aktual tapi hanya dari hadits. yang diriwayatkan secara ekspressif. Tetapi adalah (paling signifikan dan patut dicatat bahwa kesimpulan-kesimpulan yang diambil dengan jalan penafsiran atas sebuah hadits dalam masa yang manapun juga, juga dinamakan Sunnah. Demikianlah Abu Daud (wafat 275 H/888 M), setelah menuturkan sebuah hadits, lalu berkata: ‘Dalam hadits ini ada lima sunnah’, yakni lima point yang mempunyai sifat norma praktis dapat disimpulkan dari Hadits ini.
Ketiga kategori isi Sunnah yang disebutkan di atas — Sunnah Nabi, tradisi yang hidup dari generasi yang paling awal, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari keduanya — menciptakan sejumlah besar  materi, terutama melalui penafsiran perseorangan terhadap hukum-hukum dan dogma-dogma, yang walaupun pada  umumnya seragam dalam esensinya, kecuali dalam doktrin-doktrin ekstrim tertentu dari kaum Khawarij dan sekte-sekte lain dalam detail-detailnya saling bertentangan dalam kebanyakan hal. Materi ini, pada langkah selanjutnya, dibawa ke dalam naungan konsep ‘praktek yang disepakati’ (al-‘amal) dari ‘konsensus’ (ijma‘). Istilah-istilah ini dipakai secara ekuivalen, dan konsep ‘konsensus’ ditakdirkan, seperti akan kita pelajari lebih dalam lagi pada bab yang akan datang, untuk memainkan peranan yang paling mendasar yang menjadi milik kaum Muslim (paraphernalia) sepanjang sejarah keagamaan Islam. Ada afiliasi tertentu antara konsep Sunnah dan ijma’ pada masa yang awal ini: Sebagaimana halnya Sunnah dirumuskan untuk menghentikan inovasi-inovasi, demikian pula ijma’ dirumuskan untuk menghentikan dilontarkannya pendapat-pendapat yang disusun semau-maunya baik oleh perseorangan maupun golongan. Tetapi ada juga perbedaan konseptual: Sunnah adalah Sunnah Nabi dalam maksud dan tujuan primordialnya, dan dengan demikian inovasi (bid’ah) adalah apa yang, bertentangan dengan model dari Nabi, sedangkan ijma’ adalah konsensus baik oleh masyarakat kaum Muslimin atau oleh ahli-ahli agama dan dengan demikian 74 ‘pendapat yang semau-maunya’ adalah apa yang bertentangan dengan pendapat masyarakat luas (communis opinio) tersebut, Tetapi karena materi Sunnah, dalam keberbedaannya dengan tujuan konseptualnya, juga meliputi, sebagaimana kita lihat, penafsiran atas model dari Nabi, maka dalam kenyataannya Sunnah dan Ijma’ saling berdekatan, begitu pula lawan-lawan dari keduanya.

OPOSISI KLASIK TERHADAP HADITS
Di atas telah kita lihat bahwa transmisi verbal (riwayah) tentang model perilaku Nabi bermula pada masa awal sejarah Islam. Pernyataan sezaman mengenai Hasan al-Bashri yang diberikan di atas, bahwa ia adalah seorang yang paling luas pengetahuannya, yang masih hidup — dari antara mereka yang belajar dari generasi Sahabat Nabi yang telah lampau, mengandung pengertian bahwa proses transmissi ini telah bermula lebih awal dari karir Hasan sebagai pelajar (ia lahir pada tahun 21 H/642 M). Tetapi, seperti telah kita lihat juga, karya penafsiran atas Sunnah Nabi juga telah bermula di kalangan para sahabat sendiri, suatu kenyataan, yang karena sifat kasusnya, sangat jelas dan tak dapat dibantah lagi. Hal ini dikarenakan para sahabat tersebut bukanlah ‘murid-murid’ Nabi — walaupun kesan seperti ini kadang-kadang ditimbulkan oleh literatur hadits yang terkemudian ~ tetapi mereka adalah pengikut-pengikut dan ‘sahabat-sahabat (ashab)nya. Seorang ‘sahabat’ tidak hanya ‘belajar dan menulis dari panutan-nya, tapi juga mencoba untuk hidup sesuai dengan ajaran-ajaran panutan-nya itu, dan dengan demikian mencerminkan ajaran-ajaran tersebut dalam tindak-tanduk mereka. Karena itu, dengan sendirinya dalam pikiran para sahabat tersebut, diktum dan fakta tentang Nabi yang aktual seringkali ‘saling berjalin secara halus dan tak bisa dibedakan dalam tingkah laku mereka sendiri, dan demikian juga halnya dalam pikiran-pikiran generasi berikutnya. Kenyataan ini tidak boleh dilupakan, karena ia menerangkan mengapa bagi tradisionis formal pada pergantian abad para Sahabat tersebut dan pada masa generasi-generasi sesudahnya, sulit untuk memisahkan unsur kenabian yang murni dari diktum dan fakta ten tang para sahabat. Hal ini juga sebagian merupakan penjelasan 75 mengapa hadits, dirujukkan, ketika mula-mula dikodifikasikan oleh para ahli hadits, kepada para Sahabat, bukannya kepada Nabi. Tetipi itu hanyalah sebagian saja. karena beban utama dari penjelasan ini harus dipikul oleh kenyataan bahwa pada tahap yang awal ini belum berkembang teknik mata rantai transmisi (isnād); dan dengan demikian sebuah Hadits dirujukkan kepada penuturnya yang paling dekat dengan kedudukannya sebagai penutur atau kepada sumber transmisinya yang aktual, walaupun Hadits itu sendiri dinyatakan bersumber dari Nabi sendiri. Sementara dalam perkembangan awalnya, seperti telah kita lihat, Hadits dan Sunnah berada bersama-sama dan memiliki substansi yang sama maka perluasan yang tak dihindarkan dari isi sunnah yang telah kami jelaskan sebelum ini, dalam kategori tradisi yang hidup dan penafsiran perseorangan menjadikan situasi rumit, dan terjadilah pelepasan Hadits dari Sunnah. Konsep ijmāʻ atau konsensus waktu itu masih kabur dan dalam prakteknya gagal untuk menstandardisir atau menormatifkan praktek yang hidup yang aktual. Karena itu, untuk memberikan normatifitas  kepada pandangan-pandangan atau praktek-praktek yang aktual, para ahli hadits melancarkan kampanye besar-besaran dan massal untuk menstandardisir Sunnah yang hidup dan mencoba mengkodifikasikan praktek-praktek yang sesuai dengan model Nabi, dan menolak penafsiran-penafsiran yang ekstrim, baik tentang 
dogma-dogma maupun hukum-hukum. Itulah sebabnya mengapa kodifikasi massal hadits sebagai suatu disiplin, bermula menjelang abad ke-1 H/awal abad ke-8 M. Hal ini menjurus kepada pengenalan dan penyempurnaan mata rantai transmisinya. Mata rantai yang khas dari para transmiter adalah sebagai berikut. A (penutur yang terakhir) mengatakan bahwa ia mendengarnya dari B dengan otoritas dari C yang mengatakannya dengan otoritas dari D bahwa Rasul Tuhan telah mengatakan....., dan seterusnya.

Pengenalan massal hadits dari tahap formalnya yang baru mencerminkan suatu kebutuhan dasar yang nyata akan suatu macam kanonisasi pengalaman-pengalaman interpretatif-asimilatif dari masyarakat kaum Muslimin yang tak syak lagi memperoleh banyak ajaran-ajarannya dari Nabi. Proses tradisi yang hidup tak bisa terus 76 berlanjut tanpa batas, karena dalam jangka panjang struktur ideologis-religius masyarakat kaum Muslimin akan terancam bahaya kekacaubalauan karena tidak adanya pangkal rujukan yang cukup otoritatif. Sesungguhnya, untuk menghadapi ekstrimisme dan penafsiran sewenang-wenang yang sudah gawatIah. Hadits terjun ke dalam arena dengan skala besar-besaran seperti itu. Akan tetapi dalam proses kanonisasi ini juga terkandung bahaya, yang diperingatkan, kadang-kadang juga secara ekstrim oleh beberapa aliran hukum dan kalangan-kalangan theologis. Peringatan-peringatan yang sebagian dapat dibenarkan oleh kenyataan perkembangan dan pertumbuhan Hadits selanjutnya. Kekhawatiran ini pada esensinya menyerukan untuk memperhatikan dua kemungkinan perkembangan yang tak diinginkan yang mungkin akan terjadi pertama, dengan merujukkan setiap doktrin theologis, dogmatis dan hukum kepada otoritas Nabi sebagaimana dituntut oleh logika fenomena Hadits, maka proses interpretasi yang bebas dan kreatif akan terhenti. Atau kedua, apabila proses kreatif tersebut terus dilanjutkan, maka produksi hadits dan atau pemalsuan hadits secara terus-menerus akan terjadi. Dalam kenyataannya, kedua macam kekhawatiran ini saling berkaitan. Tetapi para ahli Hadits mencoba mengamankan kedua keekstriman tersebut dengan membuat dua prinsip, yang kedua-duanya mungkin sekali adalah pemikiran atau rekaan yang diturunkan dari hadits sendiri. Menurut prinsip yang pertama, Nabi diriwayatkan sebagai telah mengatakan bahwa apa pun ucapan baik yang. ada, ia dapat diasumsikan sebagai telah dikatakan oleh beliau dan dapat diterima[22] atas otoritas beliau. Menurut prinsip yang kedua, Nabi dinyatakan sebagai telah mengatakan. Barangsiapa sengaja berdusta mengenai aku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempatnya di neraka.[23] Sampai kira-kira pertengahan abad ke-3 H/9 M theologi dan hukum terus berkembang di bawah perlindungan Hadits, demikian pula kegiatan seleksi Hadits yang ‘asli’ dari yang ‘lemah’ dan yang palsu. Masa ini, seperti akan kita pelajari lebih lanjut dalam bab-bab yang akan datang, adalah juga masa pembentukan dan konsolidasi ortodoksi. Ketika klimaks proses formulasi ini dicapai, hadits pada akhirnya dikodifikasikan dan diterima secara sah, dan 77 pada waktu yang sama kegiatan. interpretasi kreatif dalam arti pokok yang manapun hampir-hampir terhenti.
Catatan yang paling awal yang masih ada mengenai peringatan-peringatan dan oposisi terhadap Hadits terdapat dalam karya-karya ahli hukum al-Syafī’ī (wafat 204 H/819 M). Karya-karya tersebut sangat  berguna karena informasi yang diberikannya mengenai situasi pada abad kedua (2 H/8 M). Oposisi tersebut bervariasi dari yang menentang sesuatu Hadits tertentu hingga yang menentang hampir semua Hadits. Al-Syafi’i adalah pembela utama penerimaan Hadits Nabi mengenai hukum dalam skala massal dan sebagai suatu dasar hukum, sedangkan lawan-lawannya dalam aliran-aliran hukum menyatakan bahwa dasar hukum yang dipakai haruslah Sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam tradisi praktis. Mereka tidak menyangkal Hadits Nabi itu an sich, tetapi menyatakan bahwa ajaran-ajaran Nabi harus dicari dalam praktek masyarakat kaum Muslimin. Pada waktu itu konsep ijmāʻ atau konsensus telah muncul, dan mereka berpendapat bahwa praktek yang telah disetujui oleh masyarakat lebih mencerminkan warisan ajaran Nabi daripada hadits samar-samar yang dinyatakan bersumber dari otoritas Nabi, tapi tak mempunyai dasar dalam praktek masyarakat. Hadits-hadits- seperti itu, menurut anggapan mereka apabila diterima tentu akan membuka pintu pemalsuan hadits secara besar-besaran atas nama Nabi. Argumentasi mereka adalah sebagai berikut: ‘Para sahabat Nabi pada umumnya dan secara keseluruhan adalah paling mengetahui dan merupakan pengemban satu-satunya dan yang terpercaya dari tradisi Nabi. Generasi ‘tabi’in’ memandang para sahabat dalam tingkah laku mereka dan juga belajar dari mereka, walaupun tidak bisa mengetahui langsung dari Nabi. Karena itu, para ‘tabi’in’ adalah juga sumber ajaran-ajaran Nabi yang paling dekat. Meskipun seandainya ada beberapa sahabat yang tak mengetahui secara langsung hal-hal tertentu dari sunnah Nabi, mereka masih dapat mengetahuinya dari praktek umum para sahabat, dan dengan demikian pada masa generasi selanjutnya Sunnab Nabi dapat dipandang telah mapan dengan kuat.[24] Inilah ijmāʻ dan konsensus, dan bertentangan dengan ini, kami tidak bisa menerima kesaksian satu atau dua garis penutur 78 sebuah hadits yang mungkin dinyatakan bersumber dari Nabi’. Argumen ini dinyatakan dengan jelas dalam suatu percakapan antara al-Syafi’i dengan salah seorang lawannya sebagai berikut:
Al-Syafi’i:                                                            
‘Apabila sebuah riwayat sampai kepada kita dari salah seorang Khalifah Nabi (yakni empat khalifah yang pertama) dan sebuah riwayat lain sampai kepada kita dad Nabi sendiri yang bertentangan dengan riwayat yang pertama, maka tentunya kita akan menerima riwayat yang berasal dari Nabi, bukan? Karena segala sesuatu tentu memiliki tujuan terakhir, dan tujuan tersebut dalam ilmu adalah Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi. Apakah anda setuju bahwa Sunnah (dari Nabi), selama ada pada kita, tak akan bisa diganti dengan apa pun yang lain’?
Lawan:
‘Ya, dan saya telah mendengar anda mengatakan — yang bukan saya tidak tahu — bahwa kadang-kadang suatu pendapat diriwayatkan lebih dari satu orang sahabat Nabi, yang bertentangan, dengan Sunnah Nabi. Tetapi apabila sahabat-sahabat tersebut mengetahui Sunnah Nabi, tentu mereka akan menerimanya (dan menolak pendapat mereka sendiri), atau bila para tabi’in mengetahui Sunnah yang sama, tentu mereka akan kembali kepadanya (dengan demikian sekarang Sunnah Nabi dapat dianggap telah diterima) …..      Di Madinah terdapat kira-kira tigapuluh ribu, kalau tidak lebih, sahabat Nabi, tapi barangkali anda hanya meriwayatkan satu riwayat, bahkan tidak dari enam orang saja dari mereka, tapi hanya dari satu orang saja dari mereka — atau mungkin juga dari dua atau tiga atau empat orang, di mana mereka bersetuju pendapat atau berselisih dan 

dalam kebanyakan hal mereka memang berselisih. Kalau demikian, apa jadinya dengan ijma’?[25]

Terutama waspada terhadap hadits-hadits yang berdiri sendiri (āḥād atau solitary) seperti itu adalah sikap ahli-ahli hukum di Madinah yang mengklaim kedudukan yang unik sebagai pengemban Sunnah yang hidup. Mereka tidak menolak hadits an sich, tapi 79 hanya hadits-hadits āḥād, mengenai hal-hal tertentu. Dalam hal-hal tersebut mereka mempercayakan diri pada ‘praktek yang telah disetujui’ walaupun al-Syafi’i terus-menerus menunjukkan bahwa praktek-praktek mereka dalam kenyataannya tidaklah bersesuaian dalam semua hal. Tetapi di Madinah juga terdapat banyak ahli-ahli hadits yang produktif dan terkemuka dan al-Syafi’i menuduh rekan-rekan sesama ahli hukumnya sebagai jauh ketinggalan di belakang ahli-ahli hadits tersebut dalam meriwayatkan hadits.[26] Akan tetapi, sifat kontroversi itu sendiri telah memastikan keberhasilan al-Syafi’i. Dengan adanya kebutuhan akan suatu pegangan yang akan memberikan normatifitas pada praktek-praktek hukum dan pandangan- 
pandangan theologis, maka sekali nama Nabi telah dihubungkan dengan praktek-praktek dan pandangan-pandangan tersebut oleh sebuah hadits, maka hampir-hampir tidak akan timbul dua penafsiran tentang masalah yang menjadi pertentangan. Secara pelan-pelan tapi pasti, seluruh tradisi yang hidup jadi tercermin dalam hadits, dan sekali lagi, Hadits dari Sunnah menjadi sama sekali saling menguatkan dalam isinya. Begitu Sunnah Madinah yang diformalisir telah tercakup dalam hadits, yang kebanyakannya muncul di luar Madinah, maka kedudukan kota tersebut sebagai pemangku Sunnah Nabi benar-benar dapat dikukuhkan, walaupun Iraq, dengan praktek-prakteknya yang berinteraksi dengan praktek-praktek di Madinah tapi tetap mempertahankan sesuatu dari entitasnya sendiri, tetap merupakan daerah utama Sunnah yang kedua, dan bersifat independen dengan penafsiran Hanafi-nya:

Munculnya hadits sebagai suatu disiplin yang meliputi segala bidang telah menyebabkan sebagian dari kaum Mutazilah, yakni theolog-theolog rasionalis yang akan dibicarakan dalam Bab V, mengambil sikap skeptis terhadap hadits secara keseluruhan. Kita harus berhati-hati terhadap kesalahan yang memandang kaum Mu’tazilah sebagai kelompok kedua penentang-penentang hadits yang berbeda macamnya setelah ahli-ahli hukum yang dibicarakan pada paragraf yang baru lalu. Kesan yang demikian ini memang bisa timbul dari kenyataan bahwa kaum Mu’tazilah, atau lebih tepat, sebagian dari mereka, meragukan hadits yang formal secara keseluruhannya, 80 dan kesan tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa al-Syafi’i melaporkan tentang mereka sebagai termasuk dalam kategori yang terpisah dari ahli-ahli hukum biasa. Dalam kenyataannya, kaum Mu’tazilah itu bukan hanya ahli-ahli theologi saja, Yang walaupun terutama adalah demikian, tetapi juga adalah hakim-hakim dan ahli-ahli hukum sebagaimana terbukti dari tulisan-tulisan al-Syafi’i sendiri?[27] Keraguan umum mereka mengenai Hadits adalah lebih bersifat eliptikal dan tak langsung, dan pada dasarnya diilhami oleh kenyataan bahwa antropornorfisme Hadits telah menciptakan rintangan-rintangan yang besar pada cara pemahaman keagamaan mereka yang rasional. Dalam kenyataan yang aktual, kaum Mu‘tazilah hanyalah merupakan ujung sayap yang ekstrim dari seluruh barisan orang-orang yang memberikan peringatan terhadap pemunculan hadits secara besar-besaran itu. Pokok masalah kedua yang harus dicatat dalam hubungan ini adalah bahwa dalam argumentasi mereka menentang Hadits, tak seorang pun dari kaum Mu’tazilah itu yang mengatakan bahwa Hadits adalah suatu fenomena baru yang muncul pada pertengahan pertama pada abad ke-2 H/8 M. Argumentasi dasar mereka pada intinya adalah sama dengan argumentasi aliran-aliran hukum lain yang disebutkan di atas, bahwa Hadits, karena esensinya adalah transmisi oleh individu ke individu, maka ia tak dapat dianggap sebagai jalan masuk yang mantap untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang ajaran-ajaran Nabi, berbeda dengan al-Qur’an yang dalam hal transmisinya terdapat kesepakatan universal di kalangan kaum Muslimin. Di bawah ini adalah ucapan mereka kepada al-Syafi’i.
‘Anda adalah seorang Arab dan al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa anda. Anda telah memeliharanya dalam ingatan (yakni secara verbal), Tuhan telah mewajibkan di dalamnya kewajiban-kewajiban tertentu sedemikian rupa sehingga, apabila seseorang merasa ragu-ragu mengenai satu huruf saja di dalamnya, maka anda pasti akan menyuruhnya untuk menarik kembali keraguannya. Apabila ia menarik kembali keraguannya, maka itulah yang baik baginya. Tetapi bila tidak, tentu akan menghukumnya. . . Maka bagaimana anda dapat membiarkan diri anda atau seseorang lain untuk mengatakan 81 (berdasarkan riwayat-riwayat Hadits), sehubungan dengan kewajiban-kewajiban dalam al-Qur’an, bahwa kewajiban-kewajiban tersebut kadang-kadang bersifat umum dan kadang-kadang bersifat khusus, dan bahwa kadang-kadang kewajiban tertentu di dalamnya merupakan kewajiban yang jelas, dan-bahwa kadang-kadang suatu kewajiban tertentu yang lain hanyalah suatu indikasi yang tidak menyatakan kewajiban langsung yang jelas, dan masih harus dikupas lagi dengan bantuan Hadits), Apabila seseorang, dalam pengaruh kesenangannya sendiri, melakukan pembedahan atas al-Qur’an lebih jauh lagi (apa yang akan anda katakan)?’
‘Anda mempunyai sebuah hadits āḥād yang diriwayatkan oleh satu orang kepada satu orang lain, dan dari orang tersebut kepada seseorang lainnya, atau barangkali anda mempunyai dua atau tiga hadits, hingga anda sampai kepada Nabi. Tetapi kami lihat anda dan orang-orang yang seperti anda (pembela-pembela Hadits) tidak membebaskan seorang pun dari rawi-rawi yang anda jumpai dan yang anda pandang sebagai orang yang paling bisa dipercaya dan paling dapat diandalkan ingatannya. . . dari (kemungkinan) kesalahan, lupa dan kekeliruan dalam Hadits. . . Kami juga melihat anda mengatakan bahwa apabila seseorang mengatakan mengenai sebuah Hadits yang 

anda pakai untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, ...’ Nabi tidak mengatakan demikian; engkau pasti berdusta atau keliru, atau orang-orang yang meriwayatkan Hadits ini kepadamu itu berdusta atau keliru’ — dalam hal seperti ini anda tidak menyuruh orang tersebut untuk menarik kembali (keraguannya, seperti anda lakukan terhadap orang yang meragukan al-Qur’an), dan anda hanya menuduhnya tak lebih daripada sebagai seorang yang mengatakan sesuatu yang buruk. Apakah dapat diizinkan bahwa perintah-perintah al-Qur’an — yang tampaknya seragam bagi siapa saja yang mendengarkannya — dibedah-bedah dan dipotong-potong berdasarkan laporan-laporan yang disampaikan oleh orang-orang yang kedudukannya telah kami lukiskan menurut ukuran anda sendiri? (yakni yang tidak 

secara mutlak bisa dipercaya).[28]

Sementara kebanyakan kaum Mu’tazilah asalnya bersikap skeptis terhadap Hadits dengan alasan-alasan tersebut di atas, namun 82 mereka tetap menerima Sunnah dan Ijma‘, dan mereka juga menafsirkan al-Qur’an dalam sinaran kedua prinsip tersebut, sebagaimana dipersaksikan oleh al-Syafi’i.[29] Hal ini terjadi dalam masalah hukum. Mungkin sekali bahwa keengganan mereka untuk menerima Hadits timbul terutama dari motif-motif theologis yang menghalangi mereka menerima anthropomorfisme. Hal ini lebih lanjut didukung oleh kenyataan bahwa ketika mereka sedikit demi sedikit menerima Hadits an sich mereka masih menolak hadits-hadits khusus tertentu atau menafsirkannya dalam batas-batas rasio. Buku Ibnu Qutaybah yang berjudul Ta’wīl Mukhtalif al-Hadits (Penafsiran Hadits-hadits yang Nampaknya Tak Bersesuaian) khusus ditujukan untuk menjawab tuduhan-tuduhan khusus kaum Mu‘tazilah terhadap ketidaksesuaian-ketidaksesuaian dan anthropomorfisme dalam batang tubuh Hadits.

PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Pada pertengahan abad ke-3 H/9 M Hadits telah mempunyai bentuk yang tertentu, hampir semua isinya secara mendetail telah terkukuhkan, dan perlawanan terhadapnya juga telah terpatahkan. Sejauh menyangkut isinya, secara bagus ia mencerminkan pertumbuhan dan pertentangan berbagai pendapat dan pandangan keagamaan (termasuk yang bersifat politis) kaum Muslimin pada dua abad pertama sejarah mereka. Untuk mengumpulkan, menyaring dan mensistematisir produk Hadits yang sangat melimpah ini, sejumlah ulama terkemuka telah melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia Islam pada masa iru. Gerakan ini dikenal sebagai ‘Pencarian Hadits’. Pencari-pencari Hadits yang bersemangat pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dan bertanya dari orang yang satu ke orang lainnya. Pada akhir abad ke-3 H/permulaan 10 M beberapa koleksi Hadits telah dihasilkan, enam di antaranya sejak waktu itu kemudian dipandang otoritatif secara khusus dan dikenal sebagai ‘enam yang asli’. Yang paling depan dari jajaran kcenam kitab ini adalah shaḥīḥ (‘asli’) oleh Muhammad Ibnu Isma’il al-Bukhari (l94-256 H/810-870 M) yang kemudian dinyatakan oleh kaum Muslimin hanya berada setingkat di bawah al-Qur’an dalam otoritasnya. Shaḥīḥ oleh 83 Muslim Ibnu al-Ḥajjāj (wafat 261 H/875 M) menyusul di bawah Shahih Bukhari. Keempat kitab yang lain adalah karya-karya Abu Daud (wafat 275 H/888 M), al-Tirmidzi (wafat 279 H/892 M), al-Nasa’i (wafat 303 H/916 M), dan Ibnu Majah (wafat 273 H/886 M).
Pada masa itu juga kritik Hadits, seperti yang telah dikenal oleh kaum Muslimin, disempumakan dalam ‘Ilmu Hadits’. Kritik ini khusus ditujukan kepada isnad atau mata rantai penyampai Hadits. Suatu penyelidikan yang sistematis dan rumit dilakukan terhadap riwayat hidup para penyampai (rawi) dan ke-bonafid-annya, dan dikenal sebagai Ilmu Justifikasi dan Penolakan Rawi (Ilmu Rijāl al-Ḥadīts). Usaha-usaha dilakukan untuk memastikan kebaikan budi pekerti dan rehabilitasi (kepercayaannya) ingatan para rawi. Dengan demikian para rawi dibagi dalam kategori-kategori yang berbeda seperti ‘betul-betul bisa dipercaya’, ‘bisa dipercaya’, ‘lemah’, ‘tak bisa dipercaya’, ‘tak dikenal’, dan seterusnya, walaupun masih ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai beberapa rawi. Juga dibuat klasifikasi lain yang menyangkut bersinambung atau tidaknya penyampaian serta tahap penyampaian 
di mana mata rantainya terputus. Karegori yang ketiga menyangkut jumlah rawi pada waktu yang bersamaan pada setiap tahap penyampaian. Berdasarkan penyelidikan-penyelidikan ini, hadits-hadits dikelompokkan dalam berbagai kategori seperti ‘asli’, ‘baik’, ‘lemah’, ‘tidak dikenal baik’, ‘kontinyu’, ‘terputus’, ‘terputus pada sumbernya’ (marfu’, yakni di mana hubungan dengan Nabi adalah tak langsung), dan sebagainya. Garis-garis kritik tersebut saling silang, yakni sebuah Hadits mungkin dipandang ‘asli’, walaupun satu mata rantai transmisinya hilang. Sebuah Hadits yang pada setiap 
tahap transmisinya mempunyai banyak rawi disebut Hadits Mutawatir atau disimpulkan sebagai demikian pastinya hingga keraguan terhadapnya hampir-hampir tidak ada.

Sejumlah besar Hadits dinilai palsu oleh ulama-ulama Muslim klasik sendiri dan dikeluarkan dari keenam Hadits kanonik. Al-Bukharī dan Muslim hanya memasukkan ke dalam koleksi mereka hadits-hadits yang mereka pandang ‘asli’. Kedua ulama ini hanya 84 melolossensorkan beberapa ribu hadits saja dari ratusan ribu hadits yang beredar, dan beberapa orang pemalsu hadits yang mengaku sendiri dilaporkan telah dihukum mati. Terutama al-Bukhari, kritikus hadits yang paling ahli dan tajam pandangannya, menunjukkan kehati-hatian yang luar biasa dalam menilai hadits-hadits. Tetapi hendaklah diingat bahwa kritik historis ini bukanlah satu-satunya prinsip seleksi yang dipakai oleh kolektor-kolektor Hadits kanonik. Masa itu sendiri, di mana disiplin Hadits mencapai tingkat kesuburannya yang paling tinggi adalah juga masa selama mana, dari interaksi masif pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin keagamaan yang berbeda bahkan bertentangan, suatu ortodoksi sedang timbul dan naik ke permukaan. Ahl al-Ḥadīts (kelompok pendukung Hadits) secara aktif terlibat dalam drama yang besar ini. Sungguh, merekalah pengawal-pengawal ortodoksi tersebut, orang-orang yang meng-kristalisasikan ortodoksi tersebut dalam karya-karya mereka, walaupun perumusannya masih harus dicapai oleh orang-orang seperti al-Asy‘ari (kira-kira 300 H/913 M). Sesungguhnyalah, sebagaimana telah kami tunjukkan pada bagian yang baru lalu, pada waktu itu terjadi perang yang sengit antar Ahl al-Kalam yang rasionalis dan kaum traditionis sejak dari mula sekali, suatu peperangan di mana Ahl al-Kalām mengandalkan, di samping rasionalisme mereka, tradisi Sunnah yang hidup pada pertengahan abad ke-3 H/9 M kedudukan mereka sudah goyah karena tradisi Sunnah yang hidup telah ditranslasikan ke dalam bentuk Hadits. Tetapi mereka masih terus menyerang Hadits-hadits individual atas dasar inkonsistensi dan dasar akal. Ruang lingkup intensitas perjuangan ini dapat dilihat dalam sebuah contoh. Menurut sebuah Hadits, ‘Aisyah, istri Nabi, dilaporkan telah mengatakan bahwa pada saat-saat Nahi akan wafat, sebuah ayat al-Qur’an diwahyukan kepada beliau yang isinya adalah perintah merajam orang-orang yang berzina. Dalam suasana shock dan kebingungan karena wafatnya Nabi, demikian laporan tersebut, potongan kertas yang berisi catatan ayat tersebut termakan oleh seekor kambing yang nyasar. Ahl al-Kalam merasa shock atas kesan bahwa sebagian dari al-Qur’an — Kalam Allah yang sempurna bisa hilang dengan cara demikian. Ibnu Qutaybah[30] menjawab serangan 85 ini dengan mengatakan bahwa bukan suatu yang mengejutkan dalam kenyataan bahwa sebagian dari al-Qur’an secara verbal musnah, asalkan ia masih sur i e dalam praktek yang hidup.
Dengan demikian, terpisah dari kritik historis atas mata rantai transmisi hadits dan jauh lebih mendasar daripada jenis kritik ini, suatu prinsip seleksi intuitif yang lain secara diam-diam sedang beroperasi pada waktu itu. Prinsip ini adalah prinsip kesesuaian dengan Sunnah. Tetapi prinsip selektifitas intuitif ini tidaklah terutama bersifat historis, tetapi doktrinal. Historisitasnya pertama-tama tentulah bersifat sangat tidak langsung, dan disebabkan desakan bentuk disiplin itu sendiri. Justifikasi historisitas ini diberikan oleh jenis penalaran yang sama dengan yang dipakai sebelumnya dengan memandang kandungan Sunnah yang hidup sebagai Sunnah Nabi, 
yakni sebagai disimpulkan daripadanya dalam jiwanya dan oleh karena itu diberi nama Sunnah. Ini membuat kita menyadari makna sepenuhnya dari apa yang disebut Hadits yang mengatakan bahwa Nabi telah mengatakan ‘Apapun ucapan yang baik, dapat engkau anggap sebagai ucapanku’. Apalagi yang lebih tepat dari diktum ini bagi batang tubuh ajaran, di mana pengalaman-pengalaman yang panjang dan terus menerus dari generasi terawal dikukuhkan dengan menyatakannya sebagai jiwa dari risalah Nabi. Kita tidak bisa menerangkan, dengan dasar hipotesa lain kenyataan bahwa perkembangan-perkembangan yang nyata sesudah masa Nabi—kedudukan-kedudukan theologis mengenai kemerdekaan manusia, sifat-sifat Tuhan, dan sebagainya, —secara verbal dinisbatkan kepada Nabi sendiri, dan kenyataan bahwa kaum Syi’ah, suatu mazhab utama dalam Islam, yang secara doktrinal berbeda dari ortodoksi Muslim, juga ternyata memiliki kumpulan Hadits yang sama sekali tersendiri.

Tetapi lebih lanjut lagi, antara kepribadian Nabi dan al-Qur’an di satu pihak dengan perkembangan Sunnah - Hadits di pihak lain, terdapat hubungan kontinuitas kesejarahan umum yang sifatnya unik di antara agama-agama besar dunia. Nabi tidak hanya semata-mata membangun suatu agama, tapi juga suatu masyarakat skala besar yang berkembang, dan ini terjadi dalam sinar terangnya sejarah. 86
Sungguh kontinuitas umum antara Nabi dan masyarakatnya adalah jaminan yang sebenarnya dari Sunnah Nabi, yang membedakannya dengan kasus yang paralel dalam sejarah awal agama Kristen. Adanya bayangan-bayangan itu tidaklah mengingkari kenyataan dasar ini tapi bahkan menguatkannya. Banyak dari kenyataan sinar ini mungkin sekali benar-benar ber-radiasi dari media yang ada di jalan sejarah, tapi sepanjang media tersebut bersifat homogen media-media tersebut tidaklah mendistorsi dan menyembunyikan sumbernya, tapi malahan mengungkapkannya. Pasti inilah alasan yang paling dasar mengenai mengapa para orientalis yang cerdas memandang 
aliran utama Islam ini sebagai ortodoksi! Karena kenyataan ini tidak bisa diterangkan semata-mata dengan dasar jumlah pengikut atau atas dasar klaim, sebagai ortodoks. Hubungan rangkap inilah —hubungan semangat dan hubungan kontinuitas kesejarahan — yang menjadikan Hadits mampu bertahan menahan serangan-serangan terhadapnya di zaman Islam klasik. Pada gilirannya ia memberikan kontinuitas dan stabilitas kepada karir masyarakat Muslim selama berabad-abad, walaupun stabilitas ini, pada abad pertengahan yang kemudian dipelihara dengan mengorbankan orisinalitas dan kreativitas yang segar.  

Islam modern sangat memerlukan kreativitas, dan demi kepentingan kemajuan yang baru ini, beberapa kelompok tertentu telah muncul,[31] yang, bila pernyataan-pernyataan mereka hanya dilihat pada permukaannya saja, tampaknya ingin menolak sebuah Hadits dan hanya berpegang pada al-Qur’an saja. Tetapi dalam kelompok-kelompok ini hampir-hampir tak ada kesadaran sedikit pun akan masalah-masalah yang sedang dipertaruhkan. Tidak jelas apakah mereka mau mengingkari validitas doktrinal ataukah validitas historis Hadits. Kedudukan yang tak jelas ini, (dan tidak adanya apresiasi mereka terhadap sifat perkembangan Hadits) membuat mereka terlihat memiliki banyak sekali persamaan dengan kedudukan Ahl al-Kalam dalam zaman klasik. Tetapi ada satu perbedaan utama. Di masa dahulu, Ahl al-Kalam ingin menolak Hadits (tradisi verbal) demi membela tradisi yang hidup. Tetapi sekarang ini, satu-satunya tradisi yang ada hanyalah tradisi verbal tersebut, karena Sunnah 87 yang hidup, sejauh ia masih ada, sekarang hanya dapat memperoleh validitasnya dari Hadits, melalui mana terletak jalan satu-satunya bagi kita untuk berhubungan dengan Nabi, dan secara fundamental, juga dengan al-Qur’an, karena al-Qur’an diturunkan kepada dan dipahami oleh masyarakat Muslim itu juga. Karena apabila Hadits secara keseluruhan disingkirkan begitu saja, maka dasar historisitas al-Qur’an akan turut hilang, dengan sekali sapu saja. Tetapi keresahan yang timbul sekarang ini adalah juga keresahan yang murni, keresahan yang mengungkapkan adanya suatu kebutuhan yang nyata. Kebutuhan akan vitalitas dan interpretasi yang segar tidak akan dapat, dan memang tidak boleh, ditindas. Tetapi pengawal-pengawal tradisi ortodoks selama ini telah menunjukkan sikap konservatif yang tak kenal kompromi dan tidak adanya usaha untuk menilai situasi yang baru sekarang ini maupun perkembangan Hadits yang aktual pada masa dahulu. Mereka tidak menyadari bahwa sikap seperti ini jauh daripada menunjang stabilitas yang padahal merupakan alasan yang sebenarnya dari sistem Hadits. Dengan sikap seperti ini justru akan menghancurkannya dengan sekali goncangan saja. Tetapi kaum modernis juga hams menyadari bahwa walaupun sebagian dari Hadits tidak mewakili ajaran Nabi yang verbal dan murni namun ia tetap masih memiliki hubungan intim dengan Nabi dan terutama sekali mencerminkan perkembangan yang paling awal dari pemahaman masyarakat Muslim akan ajaran tersebut. Orang boleh menafsirkan kembali al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sepanjang tidak menimbulkan kekacauan — dan ini bila dilakukan hanya dengan mengikuti praktek generasi-generasi kaum Muslimin yang paling terdahulu tapi ia tak dapat mengabaikan, walaupun dicobanya, ethos. Hadits dan lembaga-lembaga yang dijalin olehnya. Tetapi harus diingat! tak ada penafsiran yang dapat dilakukan dalam suatu kevakuman, karena al-Qur’an tidak diturunkan dalam suatu kevakuman. Di sinilah timbul paradoks bahwa bahkan orang-orang yang benar-benar skeptis terhadap Hadits pun terpaksa mencari dukungan bagi pandangan-pandangannya dari Hadits juga, bila Hadits yang bersangkutan cocok dengan pandangan mereka itu. 88
Pelepasan unsur-unsur kesejarahan Nabi barangkali tak dapat sampai dh sepenuhnya karena tak adanya sumber-sumber yang cukup awal. Tetapi suatu penyelidikan yang jujur dan bertanggung jawab mengenai perkembangan Hadits oleh kaum Muslimin sendiri adalah suatu kebutuhan yang paling mendesak. Apa pun yang dapat dihasilkan dari penyelidikan ini akan benar-benar merupakan keuntungan yang berharga, karena ia akan mengungkapkan hubungan yang intim antara masyarakat kaum Muslimin dengan Nabi di satu pihak, dan antara revolusi doktrinal dan praktikal dari masyarakat kaum Muslimin dengan pertumbuhan Hadits di pihak lain. Ia akan menerangi hubungan antara ketiga hal tersebut dan membentangkan jalan bagi perkembangan yang wajar di masa depan. 89

 Baca Juga: AL-QURAN



[1]I. Goldziher, Muhammedanische Studien, 1961, II, hal. 5, baris kc-14 dan seterusnya.
[2]Misalnya pada al-Anfal, 8:38; al-Hijr, 15: 13; Ya Sin, 36:69 dan seterusnya.
[3]Al-Ahzab, 33:62; Fathir, 35:43; Asy-Syura, 42:23; al-Isrā’, 17:77).
[4]I. Goldziher, op. cit. hal. 13.
[5]Ibid., hal. 12, baris 6 dan seterusnya, di mana dibuat perbedaan yang menarik perhatian antara Hadits dan Sunnah.
[6]Lihat Bab tentang tradisi.
[7]Lihat Bab IV, hal. 69, baris ke-35 dan seterusnya.
[8]Bahwa J. Schacht sendiri tak ingin membuat perbedaan apa pun, dari sudut pandangan ini, antara Hadits Hukum dan non-Hukum terlihat dalam banyak pengamatannya. Lihat khususnya Pengantar dalam bukunya Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford 1950.
[9]Lihat ibid, part I, Bab I tapi juga part II, hal. 138-176.
[10]Ibid. hal. 138.
[11]Ali-Imran, 3:32, 132; an·Nisā’, 4:58; al-Mā’idah, 5:95 dan lain-lain.
[12]Al-Hasyr, 59:7.
[13]An-Nisā’, 4:64.
[14]Ali Imran, 3: 195 (bandingkan dengan al-Fat-h, 48 :28).
[15]Seterusnya an-Nisa', 4 :64 mempunyai rujukan kepada insiden semacam itu yang terjadi mengenai pembagian rampasan perang.
[16]Ibnu Qutaybah, Ta’wīl Mukhtalif al-Ḥadīts. Cairo 1326 H, hal. 31-32.
[17]Der Islam, XXI. hal. 67 dan seterusnya (teks disunting oleh H. Ritter).
[18]Ibid., permulaan teks.
[19]J. Schacht, op. cit. hal. 141.
[20]Der Islam, op. cit., halaman pertama dari jawaban Hasan. Akan tetapi ini tidaklah membuktikan bahwa Nabi sendiri tidak pernah menyatakan pendapat apa pun yang dibahas oleh theologi dogmatis. walaupun tentu saja adalah benar bahwa pandangan ortodoks tersebut an sich, dikcmbungkan jauh lebih terkemudian, dan secara keseluruhan sedikit sekali mempunyai hubungan dengan apa yang mungkin telah atau tidak dikatakan oleh Nabi. Dalam masalah yang sedang dibicarakan. bahkan ortodoksi Sunni akhirnya mengambil pandangan yang bertentangan langsung dengan pandangan Hasan al-Bashri.
[21]Der Islam, loc. cit. kalimat terakhir dalam teks.
[22]Ibnu Majjah, hal. 4 (bagian pendahuluan buku tersebut adalah tentang keperluan dan nilai Hadits dan lain-lain).
[23]Hadits ini terdapat dalam hampir semua kitab kumpulan Hadits; lihat Misykat al-Mashabiḥ, Kitab al-‘Ilm; Hadits no. 1, dan lain-lain.
[24]Al-Syafi'i, Kitab al-Umm, Cairo edisi ke-VII, hal. 255, baris keempat dan seterusnya; juga bagian bawah halaman 243.
[25]Ibid., hal. 244.
[26]Ibid., hal. 240, baris kedua dan seterusnya.
[27]Hal. 250-254 dari Kitab al- Umm, khususnya ditujukan kepada mereka.
[28]Ibid., hal. 250, baris ke-16 dan seterusnya.
[29]Ibid., hal. 252, kasus bukti dalam kasus pembunuhan.
[30]Ibnu Qutaybah, op. cit., hal. 397 dan seterusnya.
[31]Ada satu kelompok semacam itu di anak benua Indo Pakistan, yang menamakan dirinya “Pendukung-pendukung al-Qur’an” (Ahl al-Qur’ān). Mereka telah menerbitkan sejumlah buku, dan juga menerbitkan sebuah majalah berbahasa Urdu dengan judul Thulūʻ-i Islam di Lahore (sebelumnya di Delhi). Akan tetapi jenis pemikiran seperti ini tidaklah umum di Timur Tengah.

0 komentar:

Post a Comment