Syari'ah, syariahmandiri.co.id |
Pendahuluan Perkembangan Konsep
Syari’ah Pembaharuan Tradisionalis: Ibnu, Taymiyah Syari’ah dan Hukum
PENDAHULUAN
Konsep yang paling penting dan komprehensif untuk
menggambarkan Islam sebagai ‘suatu fungsi adalah konsep ‘Syari’ah’ atau ‘Syarʻ.’
Semula kata ini berarti ‘jalan menuju ke sumber air’ yakni jalan ke arah sumber
pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara‘a berarti
‘menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air’. Dalam
pemakaiannya yang bersifat religius, kata ini mempunyai arti ‘jalan kehidupan
yang baik’ yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara, fungsional dan
dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia.
Syari’ah berbeda dari Sunnah dalam subyeknya. Subyek Sunnah ‘membimbing’
melalui contoh yang aktual clan oleh sebab itu tindakannya pun sama dengan yang
mengikuti dan menerima contoh dari Sunnah, sementara subyek Syar’ menunjukkan atau
menetapkan jalan tersebut dan oleh karena itu subyek Syar‘ tidak lain adalah
Tuhan — sumber nilai-nilai religius.
Yang sangat erat hubungannya dengan Syari’ah adalah ad-Dīn
yang secara harfiah berarti ‘kepatuhan’ dan ‘ketaatan’. Kalau Syari’ah
merupakan penentuan jalan dan subyeknya sendiri adalah Tuhan, maka ad-Dīn
adalah tindakan mengikuti jalan tersebut dan subyeknya adalah manusia. Dalam
pengertian yang bersifat korelatif ini aI-Qur’an mengatakan: ‘Tuhan telah menetapkan
jalan yang harus kau ikuti’[1]) dan juga
‘Lalu apakah mereka mempunyai 140
Tuhan-tuhan lain yang telah menetapkan jalan yang harus mereka ikuti?[2]). Tetapi
apabila kita simpulkan dari titik rujukannya kepada Tuhan dan kepada manusia,
maka Syari’ah dan ad-Dīn adalah identik selama menyangkut jalan tersebut
dan apa yang terkandung di dalamnya, Oleh karena itu, berdasarkan idiom
al-Qur’an seseorang dapat berpendapat bahwa Syari’ah dan ad-Dīn bisa
saling dipertukarkan selama menyangkut kandungan agama. Tetapi selama al-Qur’an
bernada nasihat moral bagi manusia yakni untuk mengikuti, patuh dan memohon,
dengan asumsi bahwa jalan bagi pemohon yang ikhlas itu ada di ‘situ’; maka
istilah ad-Dīn atau yang hampir equivalent (Islam) jauh lebih sering
dipakai di dalamnya daripada ‘istilah, Syari’ah. Bagaimanapun, bagi kaum Muslim
yang taat, menjelaskan ‘Syari’ah –‘jalan’ atau ‘perintah Tuhan’ tersebut,
adalah tugas utamanya.
PERKEMBANGAN KONSEP SYARI’AH
Sejak awal mulanya, tujuan praktis tertentu telah merupakan
bagian dan konsep Syari’ah: jalan yang ditetapkan oleh Tuhan di mana manusia harus
mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Ia adalah konsep praktis yang
berhubungan dengan tingkah laku pribadi an sich. Tetapi di sini
menyangkut seluruh tingkah laku—spiritual, mental dan fisik. Dengan demikian
hal ini eliputi baik keyakinan maupun praktek membenarkan dan meyakini adanya
Tuhan adalah bagian dan Syari’ah, sebagaimana halnya kewajiban shalat, puasa
dan sebagainya. Selanjutnya, segala transaksi hukum dan sosial serta semua
tingkah laku pribadi tergolong dalam Syari’ah sebagai prinsip keseluruhan
cara hidup yang komprehensip. Tetapi masalahnya. Bagaimana memahami Syari’ah
tersebut?
Dalam periode paling awal setelah Rasulullah, dikenal dua
sumber atau metode untuk menjelaskan Syari‘ah. Yang pertama adalah sumber
tradisional, yang sudah diketahui otoritasnya, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul
yang berfungsi sebagai dasar-dasarnya. Tetapi karena sumber otoritatif yang
diketahui tersebut jelas tidak mampu memenuhi, kebutuhan yang terns berkembang
dan generasi-141 generasi
berikutnya, maka prinsip kedua yang berupa akal dan pemahaman manusia hampir
sejak mulanya sudah diakui. Prinsip pertama disebut ‘ilmu’ (dalam bahasa Arab: ‘ilm,
bukan ‘pengetahuan’ seperti yang kadang-kadang telah diartikan: prinsip kedua
disebut ‘pengertian’ atau ‘pemahaman’ (dalam bahasa Arab: fiqh).
Tidak jarang buku-buku yang berasal dari periode ini menggambarkan,
perbedaan yang kontras tapi komplementer antara ‘ilm dan fiqh dan
orang sering menjumpai bab-bab tertentu yang menerangkan bahwa seseorang adalah
pandai dalam ‘ilm tetapi tidak pandai dalam fiqh, atau seseorang
menonjol dalam ‘ilm, — yaitu dalam mempelajari al-Qur’an dan
Hadits-haditsnya — juga dalam fiqh — yakni dalam kemampuannya untuk
memahami tradisi yang sudah diakui dan menarik kesimpulan lebih lanjut daripadanya.
Nah, fiqh dalam periode in: tidak lebih daripada ra’y atau ‘pendapat
pribadi’ yang kita bahas dalam bab IV. Hal ini menimbulkan kontradiksi antara ‘ilm
dan fiqh, dalam bentuk lain. Karena sementara ‘ilm adalah sesuatu
yang sudah diakui secara mantap dan obyektif, maka fiqh adalah sesuatu
yang subyektif. Karena ia mencerminkan pemikiran pribadi seorang ulama. Hal ini
memberikan titik kontras lebih lanjut pada kita: sementara ‘ilm adalah
proses belajar dan menunjuk pada perkumpulan data yang obyektif, terorganisir dan
terdisiplin, maka fiqh pada tahap ini bukanlah nama suatu disiplin atau sistem obyektif
tertentu, tapi hanyalah nama suatu proses atau kegiatan memahami dan
menyimpulkan.[3]
Sekalipun fiqh dan ‘ilm dengan demikian dibedakan
sebagai cabang-cabang ilmu pengetahuan, namun keduanya adalah serupa sebagaimana
pokok permasalahannya yang identik. Keduanya betul-betul diterapkan secara
universal dalam segala macam ilmu pengetahuan. Sehingga ada ‘ilm bahasa
Arab (yaitu ilmu mengenai materi tradisional filologis), dan juga ilmu agama;
demikian pula ada fiqh atau apresiasi ‘ilm tersebut-dan juga fiqh
tentang masalah-masalah agama. Akan tetapi secara bertahap, ketika studi-studi
masalah agama telah meluas, fiqh akhirnya dibatasi pada masalah-masalah
keagamaan saja, Namun sekalipun demikian, seluruh ruang 142 lingkup pemikiran agama masih merupakan
fiqh — keyakinan maupun praktek, dogma maupun hukum. Demikianlah sebuah buku yang
dihubungkan dengan pendiri Mazhab Hanafi, Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) berjudul
‘Fiqh Besar’ berkisar hampir seluruhnya pada masalah-masalah dogmatik
dan theologis.
Dalam fase permulaan ini, kira-kira sampai pada abad ke-2
H/8 M, gabungan pengetahuan tradisional dan penggunaan pemikiran bebas dan
bersifat individual terhadapnya, menghasilkan pengetahuan yang’ bersifat
‘keagamaan. Tetapi adalah menarik dan perlu dicatat bahwa istilah Syari’ah
jarang — kalaupun pernah — diterapkan pada hasil kegiatan ini, yang hampir
selalu disebut ad-Dīn, dan kumpulan pengetahuan di mana ia dikukuhkan,
kedudukannya, disebut ‘pengetahuan tentang ad-Dīn’, dan hal ini merupakan
kasus yang tidak hanya merujuk kepada dogma tetapi juga menyangkut hukum.
Istilah ‘Syari’ah (yang dalam periode ini dipakai terutama dalam bentuk jamak)
jarang sekali dipakai, dan kemudian ia dipergunakan dalam hubungan dengan
perintah-perintah spesifik dan tertentu dan al-Qur’an. Hal ini berbeda menyolok
dengan melimpahnya pemakaian istilah Syari’ah dalam masa Islam yang
terkemudian. Tentu saja hal ini dapat merupakan kebetulan belaka dan bahkan
kelihatannya tidak penting sejauh kandungan konkrit dari ad-Dīn dan Syari’ah,
sebagaimana telah kami tunjukkan di atas, adalah identik. Tetapi ada dua
pertimbangan yang signifikan yang mungkin dapat memberikan jawaban: yang satu
bersifat religius dan yang lain, yang berhubungan dengannya, bersifat historis.
Mengenai faktor religius, sejak semula kita tahu bahwa
al-Qur’an, dalam kesemangatannya untuk mengatur sikap orang-orang yang beriman lebih banyak berbicara ten tang ad-Dun, Iman
dan Islam daripada Syari’ah. Selama dorongan al-Qur’an masih segar dan hidup,
seorang Muslim mungkin sekali akan lebih menekankan usahanya untuk patuh dan mengikuti
bimbingan Allah. Dengan sikap ini, apapun yang dipahami olehnya dan Syari’ah
Tuhan, secara wajar ia akan memandangnya sebagai usahanya untuk melaksanakan ad-Dīn,
dan tidak menyatakannya sebagai Syari’ah dan Tuhan, karena 143 Tuhanlah yang mengetahui apakah
pemahamannya itu adalah benar-benar Syari’ah, yakni Kehendak-Nya, ataukah bukan.
Kedua, sebagai suatu kenyataan sejarah, seperti yang telah kami katakan, fiqh
atau pemahaman pada masa itu lebih berarti suatu proses daripada suatu kumpulan
pokok-pokok pengetahuan, dan sifatnya adalah pribadi, bebas dan agak subyektif dan
bukan suatu disiplin yang obyektif. Adalah suatu hal yang tak mungkin bagi
siapapun untuk menyatakan bahwa hasil pemikirannya sendiri sajalah yang dapat dianggap
sebagai satu-satunya kandungan Syari’ah. Tugas untuk menjelaskan Syariʻah secara
terperinci seharusnya adalah tugas seluruh ummat dengan bimbingan para ulama.
Dalam tahap berikutnya, yang dapat dikatakan bermula
sekitar pertengahan abad ke-2 H/8 M; hal itulah yang benar-benar terjadi. Dalam
Bab III dan IV kami telah menjelaskan kebangkitan dan perkembangan mekanisme
yang menjadi metodologi Islam. Kami telah menunjukkan bahwa dalam mekanisme untuk
memahami firman Tuhan dan penjelasannya dalam Sunnah, maka tempat yang paling besar
diduduki oleh lembaga Ijma’ atau konsensus ummat. Argumen kita di sini
memberikan alasan-alasan rasional dan kenyataan sejarah perkembangan ini, dan
menunjukkan bahwa perkembangan ini terjadi karena kebutuhan suatu logika batin
dan sejarah keagamaan Islam. Ini tidaklah mengingkari adanya pengaruh-pengaruh
asing, terutama pengaruh kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dari hukum Romawi,
yang banyak dibahas oleh para sarjana — tetapi menegaskan bahwa secara
esensial, asal-usul dan sifat strutural dari metodologi Islam haruslah dijelaskan
dengan dasar-dasar internal Islam sendiri dan bukannya atas dasar pengaruh-pengaruh
asing.
Dengan pemantapan metodologi Islam (yakni saling hubungan
antara Sunnah, Ijtihad dan Ijma’) maka terjadilah perubahan yang radikal dalam
sifat fiqh, yang berubah dan wujudnya sebagai suatu kegiatan pribadi
menjadi berarti suatu disiplin yang berstruktur serta kumpulan pengetahuan yang
dihasilkannya. Kumpulan pengetahuan tersebut dengan demikian distandardisir dan
dimapankan 144 sebagai
suatu sistem yang obyektif. Fiqh berubah menjadi suatu ‘ilm.
Sementara dalam tahap yang pertama orang menyatakan ‘kita harus mempergunakan
fiqh’ (‘pemahaman’), maka sekarang orang harus mengatakan ‘kita harus
“belajar” atau “mempelajari” fiqh’. Tetapi apa isi Fiqh ini? (yang,
sebagai suatu disiplin atau sains, di sini kita tulis dengan F besar).
Pada waktu yang sama ketika sistem metodologi Islam telah
berkembang sepenuhnya, maka Fiqh tampaknya telah menjadi terbatas pada
hukum dan yurisprudensi. Fiqh menjadi identik dengan ilmu hukum. Bagi penulis,
tampaknya penjelasan yang kadang-kadang diajukan[4]— yakni bahwa
istilah fiqh dipakai untuk disejajarkan dengan istilah jurispridentia
dari hukum Romawu—tidaklah bisa menjelaskan perubahan ini dengan cukup memadai.
Sesungguhnya, perubahan tersebut demikian jauh jangkauannya dan begitu dalam
mempengaruhi perkembangan masa depan agama, sehingga penjelasan yang semata-mata
bersifat filologis seperti yang diajukan tersebut tampak sama sekali tidak berarti.
Karena itu, marilah kita mencari jawabnya dalam peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam Islam sendiri.
Kita telah mencatat dalam bab ini bahwa pada tahap pertama
fiqh dan ‘ilm kedua-duanya berlaku pada seluruh lapangan keagamaan,
dan bahwa dogma, moral, dan hukum semuanya tercakup dalam kedua-istilah ini.
Akan tetapi, sejak dan semula, telah terlihat suatu keasyikan dengan hukum, daripada
theologi misalnya. Mungkin akan dikatakan bahwa in i disebabkan karena keingintahuan
dalam masalah-masalah moral dan theologis murni belum terbangkitkan sepenuhnya
seperti pada abad ke-2 H/8 M. Tetapi juga terdapat fakta bahwa situasi
masalah-masalah yang aktual pada waktu itu memerlukan pemikiran hukum sebagai kebutuhan
yang mendesak. Dan walaupun pemikiran hukum ini, sejak dan semulanya, telah memiliki
sifat sebuah ruang sekolah, namun hanya bisa sedikit diragukan bahwa materi di
mana pemikiran- hukum tersebut beroperasi adalah situasi-situasi yang diketahui
secara konkrit dan praktek hukum dalam lingkungan administratif dan hukum yang
ril. 145
Tetapi di samping faktor-faktor ini, barangkali: faktor
yang paling krusial adalah kecenderungan pribumi yang hampir-hampir dapat disebut
keengganan untuk membicarakan masalah-masalah theologis murni. Di belakang
sikap ini terletak suatu jenis penalaran yang tak sadar, yang memandang pembicaraan-pembicaraan
tentang Zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya sebagai petualangan yang ceroboh,
Hendaklah diketahui bahwa al-Qur’an sendiri hanya mengandung sedikit sekali doktrin
theologis dalam batas minimal yang mesti ada dalam suatu agama. Adalah pasti bahwa
hadits-hadits yang secara positif melarang spekulasi theologis, seperti, ‘Janganlah
berpikir tentang Tuhan, tapi berpikirlah tentang ciptaan-Nya’ atau ‘Ummat-ummat
yang terdahulu telah binasa karena mereka terjun dalam pembicaraan-pembicaraan
tentang qadar (Kehendak Tuhan)’ mencerminkan sikap yang paling awal dari
;U:ii.hW Musfimln, bahkan kalaupun hadits-hadits tersebut tidak secara verbal
berasal dari Nabi.
Hampir-hampir merupakan dosa untuk melakukan penalaran
terhadap Tuhan. Sikap ini, seperti telah kita lihat dalam bab yang terdahulu,
telah dijaga kuat-kuat oleh Ahl al-Hadits selama berabad-abad. Tetapi begitu
denyut spekulasi theologis dan moral dikencangkan dengan sekuat-kuatnya dalam
tubuh masyarakat Islam, maka fiqh dsan Syariʻah lalu diisolir dari rasionalisme
an sich, yang akhirnya disebut dengan istilah ‘aql.
Dalam periode pra-spekulatif dan pra-kontroversi, nalar (fiqh)
dan tradisi (‘ilm) dipandang ‘sebagai saling melengkapi,’ dan tak ada
keraguan bahwa dalam sikap kaum Muslimin yang awal, nalar dan wahyu, atau nalar
dan Syari’ah tidaklah berbeda. Tetapi pada akhir abad ke-2 H/8 M dan 3 H/9 M,
kaum rasionalis Mu’tazilah mengetengahkan, pertentangan antara ‘aql (nalar)
dan sam’ (tradisi atau ororita) atau Syari’ah. Pada waktu itu hukum
telah dikukuhkan dengan Ijma’ dan metodologi legislasi telah dimapankan. Dan
dengan itu ia telah menjadi bagian dan otorita atau tradisi, dan mengubah
konsep fiqh, sebagaimana telah kita lihat, Kaum Mu’tazilah pada umumnya
menerima struktur hukum ini, bersama-sama dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan
moral dan aksioma-aksioma yang dikandungnya, sebagai bagian dan otorita (samʻ,
atau syarʻ) yang telah 146
mapan. Tetapi mereka tetap menyatakan bahwa theologi maupun prinsip-prinsip
moral yang mendasar adalah obyek-obyek yang patut diselidiki oleh akal manusia.
Kebaikan dan keburukan, menurut anggapan mereka, bukanlah syar’i atau perintah
hukum Tuhan, tetapi adalah aqli atau rasional (bandingkan dengan pembedaan
pandangan Stoa antara yang ‘sudah menjadi watak aslinya’ [ϕὐσει] dengan
‘yang diperintahkan” [θέσει]. Tuhan telah melarang pembunuhan karena hal
itu adalah buruk, bukan hal itu buruk karena dilarang oleh Tuhan.
Jadi, kaum Mu’tazilah tidaklah mempertanyakan sifat hukum
sebagai perintah Tuhan dan si fat mengikatnya, tapi hanyalah membatasi konsep Syari’ah
padanya, dan dalam artian yang sebenarnya, mengisolirnya dan prinsip-prinsip
moral yang mendasar mengenai yang benar dan yang salah, dan metafisika
theologis di mana mereka mencanangkan kemerdekaan akal manusia yang
hampir-hampir tak terbatas. Sayap kanan kaum ortodoks menentang hal ini. Mereka
berusaha sekuat tenaga untuk menjaga etika dan theologi serta hukum agar tetap
berada dalam konsep Syari’ah. Mengenai akal, mereka menekankan Kekuasaan dan
Kehendak Tuhan, berlawanan dengan ide Mu’tazilah tentang Keadilan Tuhan,
sebagaimana dipaparkan dalam bab yang lalu. Mereka tidak mempertahankan thesis bahwa
tindakan-tindakan Tuhan adalah inasional atau non-rasional, tetapi bahwa apa
yang harus dilakukan Tuhan tak dapat didikte oleh akal manusia, dan dan sudut
pandangan agama, adalah paling ‘bijaksana untuk menisbatkan tindakan-tindakan
Tuhan kepada Kehendak-Nya. Karena itu, serangan kaum Mutazilah memaksa sayap
ekstrim ortodoks untuk mengubah sikap pra-kontroversial Islam yang awal, dan
secara terang-terangan menolak wewenang akal manusia.
Dalam sintesa kalam Asy‘ariyyah ortodoks yang muncul pada
abad ke-4 H/10 M, tak syak lagi telah dicoba untuk membuat kompromi dan sudut
pandangan ini. Semua issu-issu praktis, termasuk hukum dan etika, yang membentur
pada kehidupan yang konkrit dan aktual diserahkan kepada otorita Syari’ah atau
Perintah Tuhan, tetapi semu a issu-issu theologis dan metafisik murni
diserahkan 147 kepada ‘aql
(akal). Satu hasil yang sangat mendasar dan perkembangan ini adalah pemencilan
theologi dan hukum dan moral. Ini menghasilkan perbedaan, yang tajam antara Syari’ah
dan Dīn. yang pada mulanya adalah identik, seperti yang telah kami kemukakan
pada awal bab ini. Theologi ditegakkan sebagai ‘Prinsip-prinsip Agama’ (Ushulud-Din)
dan ajaran-ajaran-rentang moral dan hukum dinyatakan, sebagai Syariʻah. Ini dikemukakan
dengan jelas dalam pasasi dari al-Asy‘arī di bawah ini:
[Generasi-generasi yang awal] telah
membicarakan dan berselisih tentang masalah-masalah yang timbul pada waktu itu
yang menyangkut ad-Dīn dari sisi Syari’ah (yakni hukum)... seperti kewajiban-kewajiban
hukum... seperti hukuman-hukuman, dan perceraian, yang terlalu banyak untuk
disebutkan di sini
Nah, ini semua adalah masalah-masalah hukum yang berkenaan
dengan detail-detail kehidupan dan yang mereka (yakni generasi-generasi awal)
masukkan ke dalam Syari’ah yang berkepentingan dengan tingkah laku hidup yang
terperinci (furāʻ), dan dengan demikian tidak akan bisa dipahami kecuali
dengan otorita yang datang dan Nabi-Nabi. terapi, mengenai masalah-masalah yang
timbul di lapangan prinsip-prinsip penentuan persoalan-persoalan (mengenai
iman), setiap Muslim yang cerdas harus merujukkannya kepada prinsip-prinsip umum
yang telah disetujui dan berdasarkan akal, pengalaman, pengetahuan yang paling
dekat dengan masalah itu dan sebagainya.
Jadi, masalah detail-detail Syariʻah (yakni hukum) yang didasarkan pada ororita
tradisional, haruslah dirujukkan kepada prinsip-prinsip Syari’ah yang sumbernya
adalah otorita tradisional, sedangkan masalah-masalah yang timbul dari akal dan
pengalaman haruslah dirujukkan kepada dasar-dasarnya sendiri; otorita dan akal
selamanya tak boleh dicampuradukkan.[5]
Pemasukan kembali moralitas ke dalam Syari’ah, berlawanan
dengan anggapan Mu’tazilah, didasarkan pada usaha untuk menunjukkan bahwa akal,
dalam kenyataannya, tidak menghasilkan 148 prinsip-prinsip moral yang universal. Kondisi rasionalitas alamiah,
dalam suatu perang pendapat yang tak berbeda dengan Hobbes, menjurus kepada bellum
omnium contra omnes, di mana setiap orang memandang apa yang sesuai dengan kemauannya
sebagai ‘yang baik’ dan memandang yang sebaliknya sebagai ‘yang buruk’.[6] Bahkan apa
yang disebut pernyataan universal dan etika rasional, misalnya ‘berbohong itu
buruk’ dikatakan telah memperoleh semi-universalitasnya dan kenyataan bahwa diktum
ini berlaku dalam kebanyakan, bukan semua kasus.[7] Kaum
Mu‘tazilah memprotes dengan keras terhadap penolakan universalitas etika rasionalistik
ini:
Pembahasan anda mem bawa kepada kesimpulan berikut: bahwa
‘kebaikan’ dan keburukan (rasional) dapat dikatakan sebagai menunjang
terlaksananya keinginan-keinginan manusia sendiri dan juga menghalanginya.
Tetapi kami lihat bahwa manusia yang rasional memandang baik sesuatu di mana ia
tidak (mesti) mendapatkan manfaat dan (kadang-kadang) memandang buruk apa sesuatu
yang mungkin bermanfaat baginya…. Apabila seseorang melihat seorang manusia
atau seeker binatang yang terancam bahaya, maka ia memandang sebagai kebaikan
bila ia menyelamatkannya.. walaupun tidak percaya pada Syari’ah dan bahkan
walaupun ia tidak mengharapkan manfaat duniawi apa pun dan perbuatannya itu,
dan bahkan walaupun hal itu terjadi di suatu tempat di mana, tak ada orang yang
melihat perbuatannya itu dan memujinya. Sungguh, kita bisa mengandaikan tak
adanya motif (mementingkan diri sendiri) yang manapun... maka jelaslah bahwa
‘kebaikan’ dan ‘keburukan’ mempunyai arti lain daripada yang telah anda jelaskan.[8]
Dalam jawabannya, al-Ghazali dengan keras mempertahankan
peninjauan utilitariannya atas etika rasionalis dengan melakukan analisa
psikologis terhadap motivasi. Dalam kutipan di atas, ia menegaskan bahwa sang
penyelamat pada pokoknya terdorong untuk menyelamatkan suatu makhluk hidup yang
terancam bahaya, karena bila ia tidak berbuat demikian, maka perasaan
kasihannya 149 yang kuat
akan terganggu: dengan demikian, ia memuaskan dirinya dengan menyelamatkan
orang tersebut. Selanjutnya, ia menganggap bahwa bila ia sendiri berada dalam
bahaya dan ada seseorang yang bisa menolongnya tapi tidak mau melakukannya, maka
ia tidak akan menyukai hal itu. Dan sebagainya.[9] Tetapi
apabila akal semata-mata dalam, kondisinya yang alamiah tidak mampu untuk menghasilkan
prinsip-prinsip moral, maka lebih-lebih lagi ia tidak akan mampu untuk menghasilkan
kewajiban-kewajiban positif (wājibāt). Keduanya harus datang dan Syari’ah
atau jalan yang diperintahkan Tuhan, dan secara desisif al-Ghazali menyimpulkan,
‘Tak ada kewajiban yang timbul dan akal, tetapi dari Syari’ah.’[10]
Jadi, moralitas dan hukum membentuk Syari’ah. Tetapi
bagaimana dengan theologi? Di sini, seperti dijelaskan dalam bab yang lalu,
dengan mengikuti suatu perkembangan awal dan Sufisme ortodoks, al-Ghazali membuat
sintesa. Mereka tidak puas dengan formalisme logikal kalām, ia berusaha
mengintegrasikan metode Sufi dengan rumusan-rumusan kalam dan dengan keras menyerukan
untuk ‘menghidupkan’ atau melakukan ‘interiorisasi’ terhadap
kepercayaan-kepercayaan yang bersifat rasional semata-mata, yang secara an
sich dipandangnya tidak merupakan iman yang hidup. Lebih lanjut, sintesa
ini, yang dikerjakan menjadi suatu program pensucian batin dan spiritual dalam
cinta sepenuh hati kepada Tuhan, dinyatakannya sebagai makna yang sejati dari Syari’ah.
Iman yang dimasukkan ke dalam batin ini dinamakannya Dīn. Jadi Dīn
adalah esensi dan Syari’ah, atau kehidupan batinnya. Syari’ah tanpa Dīn
adalah kulit yang kosong, dan Dīn tanpa Syari’ah jelas tidak akan bisa
terwujud.
Tetapi walaupun al-Ghazali meneguhkan suatu hubungan yang
perlu dan intim antara keduanya, namun Dīn dan Syari’ah masih tetap mempertahankan
dualisme tertentu, dan kesamaan asal dan keduanya tak bisa dipulihkan kembali.
Sesungguhnya, adalah suatu hal yang signifikan bahwa ia memberi judul kepada magnum
opus-nya tentang agama menghidupkan kembali ilmu-ilmu Dīn, dan
bukannya ‘ilmu-ilmu Syariʻah, Setelah dia muncullah suatu jenis 150 literatur keagamaan yang
baru, yakni ‘ilmu tentang makna batin iman (‘ilm Asrāriddīn) yang tak
syak lagi merupakan sumbangan yang besar dalam mendasari Syari’ah dengan
dasar-dasar spiritual yang langgeng, atau seperti dikatakan al-Ghazali sendiri,
dengan dasar ‘jalan tengah yang pelik dan sulit antara kebebasan yang semau-maunya
dan kaum rasionalis murni) dan kebekuan kaum Hanbali’[11]). Tetapi dualisme
antara yang lahir dan-yang batin tidak bisa dihilangkan, dan keseimbangan yang
rapuh: antara keduanya diruntuhkan oleh perkembangan-perkembangan selanjutnya
yang bercirikan konflik antara Sufisme dan Syari’ah.
Sejak masa itu theologi sendiri pecah menjadi dua jenis
yang jelas berbeda. theologi kalam yang dogmatis dan secara formal rasional,
dan theologi spekulatif Sufisme. Mengenai jenis yang kedua, theologi ini berkembang
pada garis-garis yang seluruhnya adalah garis-garisnya sendiri, di bawah naungan
pembelahan yang dirumuskan secara tajam antara Syari’ah dan ‘kebenaran’ mistik,
seperti yang selanjutnya akan kita pelajari. Theologi dogmatis, yang kandungan
dan arahnya telah kami jelaskan dalam bab yang lalu, terus mempertahankan
struktur kredo Syari’ah dengan senjata-senjata rasional yang “dihidupkan
kembali dengan materi-materi filosofis. Tetapi segera setelah hal ini terjadi,
ruang lingkup Ilmu Theologi lalu dipertanyakan. Sebagian orang menyerukan pemisahan
antara theologi dan metafisika. yang pertama dibatasi pada tugas mempertahankan
ajaran, sedang yang kedua menyelidiki problem-problem pokok filsafat murni.[12] Tetapi mayoritas
theolog khawatir bahwa hal itu akan menyebabkan munculnya suatu cabang ilmu
pengetahuan yang berada di luar dan di atas Syariʻah, dan mereka menolak seruan
tersebut. Jadi, walaupun mereka mengambil sejumlah besar doktrin filsafat murni,
termasuk doktrin tentang perkembangan alamiah dan kecerdasan (kenabian),[13] namun
mereka menegaskan bahwa tugas theologi hanyalah semata-mata mempertahankan
ajaran-ajaran agama dengan argumen-argumen yang rasional, dan tidak untuk menyelidiki
dan menafsirkannya dengan metoda-metoda rasional.[14] Hasilnya
adalah bahwa sementara dogma keagamaan tetap sama dalam bentuk dan isinya,
tanpa panafsiran 151
kembali yang substansial, namun rumusan-rumusan dan argumen-argumen yang, rumit
dan canggih (sophisticated) yang dipinjam dan filsafat menjadi tak bisa dijangkau
oleh masyarakat awam.
Dengan demikian theologi memonopoli seluruh bidang metafisika
dan tidak mengizinkan pemikiran semata-mata untuk menyelidiki secara rasional
sifat alam serta manusia. Dengan demikian ia mengklaim, bagi dirinya sendiri kedudukan
sebagai ‘sains Syariʻah yang tertinggi’ sebagai perumus prinsip-prinsip agama (Ushulud-dīn).[15] Dengan demikian,
Syariʻah sekali lagi menjadi identik dengan Dīn. Tetapi sementara itu hukum
telah berkembang terpisah dan theologi dan walaupun para ahli hukum juga telah
mengakui validitas theologi kalām sebagai benteng pertahanan agama,
namun otorita-otorita hukum sekarang mendiktekan kepada theologi masalah-masalah
apa yang harus ditanganinya dan sejauh mana ruang lingkupnya.
Ahli hukum al-Syāthibī (w. 790 H/1388 M), yang termasuk
generasi yang menyusul segera sesudah generasi theolog-filosof al-Ījī, menulis
sebuah buku yang berjudul Kitāb al-Muwāfaqāt tentang filsafat hukum dan
yurisprudensi. la tidak hanya menyerukan pemisahan antara masalah-masalah iman
yang murni dengan ilmu hukum, tetapi juga sama sekali mengutuk
pembahasan-pembahasan teoritis dan intelektual murni sebagai anti-Syari’ah dan
di luar ruang lingkup theologi.
‘Setiap masalah-dalam yurisprudensi di atas mana hukum
bisa didasarkan, tetapi yang perdebatan tentangnya tidak membawa kepada
perbedaan dalam legislasi aktual, maka tak ada gunanya sama sekali untuk
mempertahankan atau menolak pandangan apa pun mengenai hal itu... Jadi..
kontroversi (antara kaum ortodoks dan Mu’tazilah) adalah konfrontasi keyakinan
yang berdasarkan pada suatu prinsip yang sudah mapan dalam theologi, walaupun
ia juga menemukan ekspresinya dalam batasan-batasan yuristik, yakni ‘apakah’ kewajiban-kewajiban
dan larangan-larangan.. dapat dirujukkan kepada sifat-sifat hal-hal itu sendiri
[yakni apakah kewajiban-kewajiban dan larangan-152 larangan tersebut dapat ditemukan oleh nalar
alami?] ataukah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan itu berasal dari
perintah-perintah Syariʻah….’[16]
Kemudian, sekali lagi, ia membuat pernyataan bukan
tentang hukum, tetapi tentang Syari’ah an sich:
‘Penyelidikan tentang masalah apapun yang tidak merupakan
dasar bagi suatu tindakan tidaklah dipujikan oleh bukti apapun dari Syari’ah.
Dengan tindakan, saya maksudkan tindakan fisik maupun mental (jilid I, hal.
46). Para filosof menyatakan bahwa esensi filsafat adalah untuk menyelidiki
wujud-wujud pada umumnya... Jadi ini semu a adalah bukti-bukti bagi suatu
rekomendasi mutlak atas semua ilmu pengetahuan pada umumnya. Jawabannya
adalah.. bahwa rekomendasi umum ini sebenarnya adalah khusus’ (hal, 52). ‘Dan
demikian pulalah halnya dengan setiap cabang ilmu pengetahuan yang mengklaim
hubungan dengan Syari’ah, tetapi tidak (secara langsung) bermanfaat bagi
perbuatan tidak pula dikenal oleh bangsa Arab’ (hal, 54).
Al-Syāthibī meneruskan pendapatnya bahwa tidak ada
gunanya dan bukanlah bidang Syari’ah untuk mencari definisi-definisi ilmiah
yang mesti selangsung dan sepraktis mungkin — tidak hanya untuk hukum, tapi
secara umum. Adalah jauh lebih baik untuk mendefinisikan sebuah bin tang
sebagai ‘(benda bersinar) yang kita lihat di waktu malam’, daripada sebagai
‘sebuah benda sederhana yang bundar yang tempatnya adalah di angkasa’, dan
seterusnya.
Sampai sejauh ini, pokok-pokok masalah yang telah kita
bahas adalah (1) bahwa pada permulaannya,
walaupun istilah Syari’ah dan Syar‘ secara relatif sedikit sekali dipakai,
namun pemakaiannya adalah sepadan dengan istilah Dīn, tergantung apakah
titik tolaknya Tuhan atau manusia; (2) bahwa pada masalah yang menentukan di
mana kata Syariʻah menjadi luas dan umum dipakai, ditandai dengan perdebatan
apakah akal atau Syariʻah yang membuahkan prinsipprinsip moral dan norma-norma
praktis, (3) bahwa karena itu Syari’ah
mulai lebih banyak diterapkan kepada hukum daripada 153 theologi, yang dengan memakai
argumen-argumen rasional, disebut dengan istilah Dīn, bukannya Syari‘ah,
(4) bahwa dalam perkembangannya lebih lanjut, theologi masuk lagi ke dalam
ruang lingkup Syari’ah dan bahkan mendakwakan diri sebagai Sains Syari’ah yang
tertinggi dan utama; tetapi akhirnya, (5) bahwa hukum dalam kenyataannya telah
berkembang independen dari theologi, dan tidak saja sulit untuk menciptakan
suatu mata rantai yang ril dan hidup di antara keduanya, tapi juga dalam kenyataannya
para ahli hukum mengklaim bahwa hukum adalah manifestasi Syari’ah par
excellence, dan bahkan secara positif berusaha melemahkan sains-sains theologis
dan sains-sains serta studi-studi sekutu dan pembantunya yang lain.
PEMBAHARUAN TRADISIONALIS: IBNU TAYMIYAH
Keempat arus aliran pemikiran utama tadi, yang mencirikan
kehidupan keagamaan dalam Islam, terus berkembang sejak dari abad ke-4 H/10 M
hingga abad-abad berikutnya. Keempat aliran pemikiran ini, masing-masing
rasionalisme, sufisme, theologi dan hukum, hanya dapat disintesakan dan
diintegrasikan dalam suatu konsep religius yang komprehensip seperti Syari’ah.
Akan tetapi, konsep ini, seperti telah diperlihatkan oleh penuturan historis kami
sebelumnya, sejak saat ia dipakai secara umum dipergunakan oleh kaum rasionalis
untuk menentang akal dan diidentikkan dengan hukum. Selanjutnya, ia dipakai
oleh kaum Sufi untuk dipertentangkan dengan ‘kebenaran’ (haqīqah) mistik
dan diterapkan pada hukum. Para theolog sendiri, pada mulanya menggunakan untuk
membedakan hukum dan theologi, walaupun lama kelamaan ia juga diterapkan pada
theologi. Kekisruhan antara Syari’ah yang dipakai dengan cara demikian
dan akal, dan antara Syariʻah dan kebenaran mistik, sebagaimana dipergunakan
oleh masing-masing cendekiawan-cendekiawan Sufi dan rasionalis, adalah nyata.
Tetapi sebaliknya pula di dalam kalangan ortodoks, kekisruhan antara theologi
kalam dan dasar-dasar hukum tidak kurang besarnya, walaupun tidak terlalu
nampak, karena theologi ini telah nyata-nyata dikembangkan untuk mempertahankan
hukum. 154
Sintesa ortodoksnya antara doktrin Mu’tazilah (rasionalis)
mengenai kemerdekaan manusia dengan pendirian kaum tradisionis yang mempertahankan
Kemahakuasaan Tuhan, sebagaimana telah kita lihat pada bab yang lalu, al-Asy‘ari
telah menekankan Kehendak Tuhan dan kreasinya dalam perbuatan manusia, walaupun
ia telah berusaha mempertahankan tanggung jawab manusia. Al-Asy’ari, bila
diperiksa lebih cermat, tak dap at disebut seorang determinis theistik karena
ia nyata-nyata membedakan antara perbuatan manusia yang dilakukan atas kehendak
manusia sendiri dan perbuatan manusia yang di luar kehendak manusia.[17]
Sesungguhnya, doktrin al-Asy’ari mengenai kreasi Tuhan, melalui Kehendak-Nya,
yang berupa semua tindakan-tindakan manusia (dan, bahkan juga segala kejadian)
tidak punya kaitan apa-apa dengan masalah determinisme dan kebebasan
berkehendak. Dalil pokoknya sederhana saja, yakni tak ada sesuatu pun yang dapat
terjadi tanpa Kehendak dan Kekuasaan Tuhan. Sekalipun demikian, baik al-Asy’ari
maupun murid-murid penerusnya, bila didesak untuk menerangkan doktrin mereka
tentang ‘pemerolehan’ oleh manusia atas tindakan-tindakannya (yang diciptakan
oleh Tuhan), dengan menyatakan bahwa jika demikian seakan-akan manusia dan
Tuhan adalah kekuatan-kekuatan yang bersaing dan bahkan bisa saling
menggantikan, dalam menghasilkan tindakan-tindakan manusia, mereka lantas
mengingkari ‘kekuatan’ kehendak manusia untuk membela Tuhan dan mengatakan
bahwa terjadinya perbuatan-perbuatan manusia sebagai ‘bersyaratkan’ atau
‘dihubungkan dengan’ kehendak manusia.
Sebagaimana juga telah kita lihat, doktrin ini, yang
dikukuhkan baik oleh doktrin filosofis tentang kemestian alamiah maupun doktrin
Sufi tentang Tuhan sebagai Wujud satu-satunya, telah berkembang selama dua abad
sesudahnya menjadi suatu doktrin yang sudah selayaknya disebut fatalisme yang
keras. Ini diperburuk lagi oleh dua doktrin Asy‘ariyyah yang lain. Dalam
doktrin pertama, dalam usah a mengangkat kedudukan Tuhan di atas
kategori-kategori manusia tentang ‘tujuan’ dan ‘keadilan’, yang merupakan
tema-tema sentral-pemikiran Mu’tazilah, Asy‘ariyyah telah menolak atribusi
kedua hal tersebut terhadap Tuhan. Kedua, dalam doktrinnya 155 tentang atomisme, ‘Asy‘ariyyah
mengingkari kausasi, dan bersamaan dengan itu juga ide tentang potensialitas
atau kapasitas-kapasitas yang terkandung dalam benda-benda.
Tetapi hukum yang didasarkan pada konsep-konsep ini tidak
bisa disebut hukum. Hukum menuntut bahwa manusia harus merdeka dan menguasai
tindakan-tindakannya. Hukum menuntut bahwa manusia harus memiliki kekuasaan dan
kemampuan-kemampuan obyektif. Lebih lanjut, konsep Hukum Tuhan, atau Syari’ah, menuntut
‘bahwa Tuhan harus bersifat adil dan memiliki tujuan, kalau tidak, maka
keseluruhan ide atau perintah dan larangan Tuhan akan kehilangan pijakannya.
Dan sesungguhnyalah, kerjasama antara kalām dan Sutisme (dan filsafat) dalam
menggantikan Syari’ah atau Perintah Tuhan dengan Kehendak dan Kekuasaan-Nya,
menempati sebagian besar sejarah keagamaan Islam zaman pertengahan.
Di atas telah kita paparkan dengan singkat usaha
al-Ghazali untuk membuat sintesa yang merupakan persemaian kemampuan integratif
keagamaan dalam Islam. Tetapi karena dorongan al-Ghazali yang terutama adalah
ke arah kesalehan dan kesucian pribadi, maka sintesanya jelas memiliki watak yang
pribadi pula. Pembaharuannya dalam theologi dan hukum pada dasarnya berupa memberikan
kepada keduanya keberartian dan kedalaman pribadi. Tanpa karyanya, terus terang
saja, Sufisme dan rasionalisme filosofis mungkin akan telah menyapu bersih
ethos Islam. Bertentangan dengan ide para filosof tentang Sebab Pertama dan
Penggerak Pertama, al-Ghazali mengemukakan ‘Perintah’ sesuai dengan apa yang
terdapat dalam al-Qur’an. Berlawanan dengan rumusan-rumusan, para theolog dan
pantheisme kaum Sufi, ia menghidupkan kembali ide tentang Tuhan yang Hidup,
yang menuntut dan memenuhi kebutuhan manusia, yang menanamkan rasa takut dan
harapan yang asli dalam diri manusia.
Karya al-Ghazali dapat dilukiskan sebagai suatu sintesa
bilateral antara theologi dan Sufisme di satu pihak dan hukum serta Sufisme di
pihak lain. Sufisme berdiri di tengah-tengah, benar-benar klop dengan watak pembaharuan
ai-Ghazali yang bersifat pribadi. 156 Tetapi al-Ghazali tidaklah memperbaharui kandungan theologi ortodoks.
Tidak pula ia membawa theologi kepada hubungan yang asli dengan hukum, apalagi
karena curahan perhatiannya adalah pada kesalehan pribadi. Ia, tampaknya tidak
menangani hukum secara serius. Sebab, Syari’ah tidak bisa hanya bersifat
pribadi saja, walaupun ia harus didasarkan pada pengertian dan penerimaan
pribadi. Sesungguhnya, hukum pada esensinya adalah suatu fenomena yang
non-pribadi. Dan kita bisa menghadirkan kembali kenyataan ini dengan realisasi
yang segar dari kekuatannya, bahwa magnum opus al-Ghazali tidak
ditujukan kepada Syari’ah, melainkan kepada Dīn. Dalam keseimbangan
kekuatan-kekuatan agama yang ada pada abad ke-7 H/13 M, kaum tradisionis (Ahl
al-Hadits) adalah satu-satunya kelompok yang tidak terbawa oleh arus manapun dari
keempat arus-arus pemikiran yang telah kami jelaskan, mereka diam menunggu,
mengamati situasi. Pada awal kehidupan keagamaan dalam Islam, mereka memang
hanya merupakan segunduk kekuatan yang berdiri di belakang al-Asy‘ari, akan
tetapi kemudian muncullah dari kalangan mereka seorang yang memiliki
kepribadian dinamis, Taqiuddin Ibnu Taymiyah (661-728 H/1263-1328 M).
Suatu kenyataan aneh dan menarik dalam sejarah keagamaan
Islam adalah bahwa pada setiap masa kritis menimpanya; kekuatan yang tampil ke depan
dan menguasai situasi bukanlah kekuatan ortodoks yang telah mapan pada waktu
itu, tetapi sesuatu yang menampakkan dirinya sebagai ‘bahan mentah’ bagi
ortodoksi berikutnya yang akan muncul. Dalam dirinya sendiri, kekuatan ini
adalah sesuatu yang sulit digolongkan ke dalam klasifikasi manapun, dan oleh
ketiadaan sebutan yang lebih baik, ia lalu disebut dengan nama-nama seperti
‘Ahl al-Hadits’ atau ‘Ahl al-Sunnah’ oleh kaum Muslimin sendiri, dan
diidentikkan oleh para sarjana Barat modern dengan ‘konservatif’ atau
‘ortodoks’. Tetapi Ahl al-Hadits atau Ahl al-Sunnah bukanlah nama dan suatu
kelompok khusus, sekte, atau partai manapun; dan kalaupun memang ‘ortodoksi’
atau ‘konsevatisme’ itu ada, maka pastilah itu ‘ordodoksi’ atau ‘konservatisme’
yang berkuasa pada masa yang bersangkutan. Tentu saja, dalam 157 batas-batas tertentu, hal
ini juga terjadi pada semua agama yang berkembang. Tetapi sementara dalam agama
Kristen, atau bahkan dalam suatu agama yang sedikit sekali ‘berubah’, seperti
agama Hindu, terdapat sesuatu yang menembusinya seperti sebuah gelombang dengan
unsur-unsur baru yang berada di atas puncaknya, maka ortodoksi Islam tampaknya berkembang
dalam formasi-formasi kuantum yang tercipta kembali, yang dari waktu ke waktu muncul
Islam sendiri. Ortodoksi ini bercirikan campuran yang tak bisa dibedakan dari fundamentalisme
yang dibangkitkan kembali dan progresivisme: ia berkembang tidak hanya dengan
dorongan sendiri, tapi dengan menonton, menyesuaikan dan menyerap ke dalam
dirinya apa yang bergerak dalam dirinya. Ia adalah suatu kegiatan sintetis, dan
sifat inilah yang menandai ‘ortodoksi’ seperti yang
kami nyatakan dalam Bab V.
Program Ibnu Taymiyah pada dasarnya berupa re-statemen Syari’ah
dan mempertahankan nilai-nilai agama. Syariʻah adalah suatu konsep yang komprehensif,
mencakup kebenaran spiritual Sufi (ḥaqīqah), kebenaran rasional (‘aql)
para filosof dan theolog, dan hukum. Sifat ‘serba meliput’ ini tidaklah formal
dan ‘aggregatif” atau tergantung pada musyawarah, tetapi berpangkal pada sifat
agama yang menjadi sumber dari ketiga bidang tersebut. ‘Otorita tradisional’
dan ‘akal’ mungkin bisa dibedakan dan bahkan dipertentangkan, tetapi, Syari’ah dan
‘akal’ tak dapat dipertentangkan secara hakiki. Kenyataan bahwa sebuah bukti
adalah rasional atau didasarkan pada otorita tidaklah dengan sendirinya menjadi
obyek kutukan atau penghargaan, atau menjadi jaminan kebenaran atau kepalsuan’.
“Otorita dan “akal” hanyalah jalan-jalan untuk mendapatkan pengetahuan, walaupun
“otorita tradisional” selamanya tak dapat dipisahkan dari “akal”. Tetapi
kenyataan bahwa sesuatu adalah merupakan nilai Syari’ah tak dapat
dipertentangkan secara sah (valid) dengan sesuatu yang rasional.[18]
Begitu pula, konsep Syariʻah sebagai sebuah kumpulan
ajaran-ajaran dan keputusan-keputusan hukum yang bersifat murni eksternal yang
terpisah dan dasar batiniahnya, haruslah ditolak. Dikhotomi 158 ini dibuat populer oleh
gerakan Sufi. Sebaliknya, Syari’ah adalah sesuatu yang membuat hukum menjadi mungkin
dan adil, dan yang mengintegrasikan hal-hal yang bersifat hukum yang spiritual
menjadi keseluruhan agama yang hidup. Dalam komentarnya terhadap pendapat-pendapat
yang berbeda tentang hukuman mati terhadap tokoh Sufi al-Hallaj (lihat bab
tentang Sufisme), Ibnu Taymiyah menulis satu pasasi yang penting dan menarik
yang dengan jelas menunjukkan bahwa ia tidak hanya tidak bermusuhan dengan Sufisme
an sich, tapi malahan memandangnya sebagai suatu bagian agama yang sama
perlunya seperti hukum. Inilah pendapat Ibnu Taymiyah yang bertentangan dengan
pendapat yang umumnya diikuti:
‘Orang-orang (yang menganggap al-Ḥallāj
telah dibunuh secara tidak adil), terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengatakan
bahwa ia dibunuh secara tidak adil dan mereka menganggap Syari’ah dan pendukung-pendukungnya sebagai musuh.
Kelompok yang lain menentang semua ahli hukum dan ulama, dengan keyakinan bahwa
mereka yang telah membunuh al-Ḥallāj. Mereka ini adalah orang-orang yang
mengatakan: ‘Kita mempunyai hukum (Syari’ah) dan juga ‘kebenaran’ (ḥaqīqah)
yang bertentangan dengan hukum tersebut’. Orang-orang yang berbicara demikian
ini tidak mengerti dengan jelas perbedaan arti kata Syari’ah sebagai yang dipergunakan
dalam firman Tuhan dah Rasul-Nya (di satu pihak) degan arti yang dipakai oleh masyarakat
umum sekarang ini di pihak lain.... ‘Sebagian dan mereka bahkan mengira bahwa Syari’ah
adalah nama yang diberikan kepada keputusan-keputusan yang dibuat oleh hakim-hakim;
banyak dari mereka yang bahkan tidak membedakan antara hakim yang berilmu hakim yang bodoh dan hakim yang tidak adil. Lebih
buruk lagi, orang-orang cenderung memandang keputusan apapun yang dibuat oleh
penguasa sebagai Syari’ah, padahal kadang-kadang tak syak lagi bahwa kebenaran
yang sejati (ḥaqīqah) sebenarnya berlawanan dengan keputusan penguasa tersebut.
Nabi sendiri berkata: ‘Anda semua
membawa perselisihan-perselisihan 159 kepada saya, tetapi mungkin sebagian dan anda mengajukan
kasusnya dengan cara yang lebih baik daripada
yang lain. Tetapi saya harus membuat keputusan berdasarkan bukti yang saya
peroleh. Kalau saya kebetulan merampas hak seseorang, menguntungkah yang lain,
maka janganlah orang yang lain itu mengambilnya begitu saja, karena dalam hal
itu berarti saya telah memberinya sepotong api neraka.’… Jadi hakim membuat
keputusan berdasarkan kekuatan bukti yang diperolehnya, padahal bisa saja pihak
yang dikalahkan dalam perkara itu mungkin sekali memiliki bukti-bukti yang
belum (sempat) dikemukakannya. Dalam kasus demikian, hukum eksternal sebenarnya
bertentangan dengan Syariʻah, walaupun keputusan hakim harus diberlakukan.
Dalam banyak kasus, kebenaran yang tak terlihat berlawanan dengan apa yang dilihat oleh sebagian orang...
Dalam hal ini apabila dikatakan bahwa kebenaran yang sejati bertentangan dengan
kenyataan luar, maka hal itu adalah benar; tetapi apabila kebenaran yang sejati
dikatakan sebagai ‘kebenaran’ dan kenyataan luar sebagai ‘Syari’ah’, maka ini
adalah masalah semantik.
Tetapi ada orang-orang
yang beranggapan kalau ‘kebenaran’ adalah mutlak ‘tak dapat dilihat’ dan Syari’ah
hanya menyangkut kenyataan-kenyataan luar saja. Ini adalah persis seperti
mengatakan ‘Islam’ adalah perbuatan-perbuatan lahir — bila dipersandingkan
dengan ‘Iman’, sedangkan ‘Iman’ adalah apa yang di dalam hati... Demikianlah,
dengan jalan mempersandingkan, orang berbicara tentang ‘Syari’ah (hukum) Islam’
dan ‘kebenaran iman’, yang merupakan pembedaan yang mungkin (secara teknis)
adalah sah. Tetapi bila masing-masing digunakan sendiri-sendiri, bahwa seseorang
hanya memiliki hukum, tanpa kebenaran. batin yang sejati dan tidak bisa dilihat,
maka ia tak dapat disebut seorang yang beriman. Demikian pula, seseorang yang
hanya memiliki ‘kebenaran’ semata-mata yang tidak sesuai dengan Syari‘ah... tak
dapat disebut seorang Muslim, apalagi disebut wali Allah yang saleh. 160
Kadang-kadang, dengan Syari’ah, yang dimaksudkan adalah
apa yang dikatakan oleh ahli-ahli hukum Syari‘ah berdasarkan usaha pemikiran mereka
sendiri, dan dengan ‘kebenaran’ yang dimaksudkan adalah apa yang ditemukan oleh
kaum Sufi melalui pengalaman langsung. Tak syak lagi kedua kelompok ini adalah
pencan-pencari kebenaran. Kadang-kadang mereka benar dan kadang-kadang salah,
sedangkan tak satu pihak pun ‘yang’ berniat menentang Nabi. Apabila penemuan
kedua belah pihak saling bersesuaian dengan baik, maka keduanya patut diikuti,
tapi bila tidak demikian, maka tak satu pihak pun yang berhak menuntut agar
pihaknya sendiri yang diikuti, kecuali bila ia mempunyai bukti yang kuat dan Syariʻah.[19]
Setelah merumuskan konsep Syari’ah dalam semangat yang
komprehensif ini, maka perlulah kiranya memapankan hubungan yang ril dan hidup
antara theologi dan hukum agar theologi tidak menjadi rumusan-rumusan yang
kering, dan hukum tidak menjadi kulit yang kosong, kaku dan mati. Tetapi untuk
melakukan hal ini theologi perlu dirumuskan kembali. Ibnu Taymiyah bahkan tidak
menggunakan istilah kalam untuk theologinya, yang biasanya disebut dengan nama
‘Ilmu Keesaan Tuhan’. Sesungguhnyalah, diperlukan reorientasi theologi yang
radikal, karena doktrin Kehendak Tuhan (qadar), yang diterima dan
dikembangkan pada satu sisinya saja oleh theologi yang ‘resmi’i telah
merongrong kehidupan moral keagamaan. Untuk maksud ini diperlukan suatu
pembedaan yang tajam antara Kehendak Tuhan yang penuh Kemahakuasaan dan fungsi
Tuhan sebagai Pemerintah. Apabila doktrin yang pertama diperlukan oleh
kepereayaan agama, maka doktrin yang kedua merupakan titik tolak tindakan
religius. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan bukanlah argumen bagi siapapun terhadap
Tuhan dan Kreasiya... Jadi, qadar adalah
suatu obyek keimanan, tetapi tak bisa menjadi dasar bagi suatu argumen. Orang
yang tak percaya kepada qadar adalah seperti orang-orang Majusi (yakni
penganut-penganut paham Dualisme), terapi mereka yang menggunakannya sebagai
dasar argumen (da!am masalah tindakan) adalah seperti orang-orang 161 Musyrik yang berbantah
menentang Muhammad dengan mengatakan bahwa seandainya Tuhan menghendaki, tentulah
mereka tidak menjadi orang-orang musyrik).[20]
Terutama yang bertanggungjawab atas semakin rusaknya moral
masyarakat adalah doktrin Sufi yang menyatakan bahwa ‘barang siapa, yang
menyaksikan Kehendak Tuhan, maka ia akan merasa tak lagi terikat dengan Perintah
Tuhan’. Doktrin ini adalah kekufuran yang juga ditolak oleh kaum Yahudi dan
Kristen, dan tak mungkin secara rasional maupun keagamaan.[21] Tetapi
dasar-dasar konseptual dari filsafat yang negatif ini telah disediakan oleh
theologi ‘resmi’ itu sendiri, yang, setelah menganggap Tuhan dan manusia
sebagai bersaing — lalu menyerahkan seluruh persoalan kepada Tuhan. Dengan
demikian para theolog menutup diri mereka dan perintah-perintah Tuhan yang
merupakan sumber kehidupan beragama. Ibnu Taymiya dalam hubungan ini memuji kaum
Mu‘tazilah yang setidak-tidaknya telah memelihara ide tentang kebaikan dan
kejahatan, tentang perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan sebagai kekuatan
keagamaan yang hidup.[22] Ini adalah
ciri khas Ibnu Taymiyah, yang berlawanan dengan kepercayaan umum mengenai dia, menunjukkan
benar-benar ketiadaan prasangka dan keterbukaan sikap terhadap semua pendapat dan terus-menerus
membuat pernyataan-pernyataan yang bernada ‘kebenaran tidaklah menjadi milik
satu golongan saja, tetapi terbagi di antara semua golongan’.
Sesuai dengan sikapnya, Ibnu Taymiyah memasukkan kembali
doktrin ‘sifat bertujuannya tindakan Tuhan’ ke dalam theologi Islam, suatu
doktrin yang disangkal keras oleh Asy’ariyyah, Maturidiyyah dan Ẓahiriyyah sebagai mengompromikan Kemahakuasaan Kehendak
Tuhan dan ketidaksamaannya, kepada makhluk-Nya. Sifat bertujuan ini adalah
keterlibatan Tuhan dalam nasib manusia, dan dari doktrin ini ia langsung
menyimpulkan ide. ten tang Tuhan sebagai Pemerintah atau Pembuat Syari’ah.
Selanjutnya, ia berusaha membedakan bidang-bidang di mana Kehendak dan
Kebijaksanaan Tuhan masing-masing mempunyai arti. Kehendak dan Kekuasaan Tuhan
adalah sebab efisien (efficient cause), tetapi Perintah atau 162 Syari’ah-Nya adalah sebab
akhir (final cause) dan tindakan-Nya.[23] Kemahakuasaan
Tuhan tidak boleh disangkal karena apa pun juga yang terjadi adalah melalui
Kekuasaan-Nya, tetapi menerangkan kejadian-kejadian dengan cara begini, dengan hanya
lewat segi efficient cause, itu berarti memandang ke belakang ke arah permulaan’.
Padahal Syari’ah atau Kebijaksanaan dan
Perintah Tuhan, adalah memandang ke depan, ‘ke arah akhir dan tujuan’.[24]
Ibnu Taymiyah terang-terangan menunjukkan pertentangan yang
ada di dalam dasar antara rumusan-rumusan theologi ortodoks Sunni dan
praduga-praduga hukum: ‘Anda akan melihat banyak ahli hukum yang terlibat dalam
kontradiksi-diri ini. Demikianlah, bila mereka berpikir menurut cara para theolog
yang mengukuhkan satu-satunya Kekuasaan Tuhan dengan mengatakan bahwa kekuasaan
dan kekuatan (efikasi) (manusia) (tidaklah mendahului) tindakannya, (melainkan diciptakan
oleh Tuhan) bersama dengan tindakan tersebut, maka mereka setuju dengan pernyataan
ini. Tetapi bila mereka berpikir dalam batas-batas hukum, maka mereka harus mengukuhkan
adanya sesuatu kekuasaan manusia (yang bebas) dan mendahului tindakannya yang
merupakan dasar adanya Perintah dan Larangan’.[25] Sesungguhnyalah,
kekuasaan manusia dan Kekuasaan Tuhan bukanlah saling bersaing secara eksklusif
satu sama lain dalam menentukan dan menghasilkan tindakan manusia. Untuk bisa
ke sana, Syariʻah memerlukan agen manusia yang bebas. Apabila yang mungkin adalah
ko-ekstensif dengan perbuatan, maka ayat al-Qur’an yang berbunyi: ‘Takutlah
kepada Tuhan sejauh mungkin yang bisa kamu capai’, lalu harus diartikan sebagai,
‘Takutlah kepada Tuhan sejauh takutmu kepada-Nya’, dan ajaran Nabi: ‘Apabila
aku menyuruhmu mengerjakan sesuatu, kerjakanlah sebaik-baik kemampuanmu’, lalu
diartikan pula sebagai ‘Apabila aku menyuruhmu mengerjakan sesuatu kerjakanlah seberapa yang kamu mau kerjakan’ —
maka hal ini sesungguhnya merupakan pernyataan yang ngawur dan seenaknya saja.[26]
Sesungguhnya, apa yang mungkin tidaklah bisa ko-ekstensif dengan apa yang
mungkin secara manusiawi, tetapi adalah absurd bila ini kita simpulkan sebagai 163 bahwa tak sesuatu pun, dalam
kenyataannya, yang secara manusiawi adalah mungkin.
Pengaruh Ibnu Taymiyah hanya terbatas pada murid-muridnya
yang terdekat: dan tidak meluas menjadi suatu gerakan. Akan tetapi, dalam jangka
waktu panjang; ia meresap ke dalam tubuh
inteligensia keagamaan dan pada abad ke-12 H/18 M gerakan Wahabi-lah yang merupakan
satu-satunya manifestasi atau manifestasi yang paling terorganisir, dari
pemikiran-pemikirannya. Pada Bab VIII, sewaktu membahas Sufisme, kita akan melihat
bagaimana gerakan-gerakan yang sama selanjutnya tumbuh dalam Sufisme, yang membawa
pemikiran dan praktek Sufi lebih dekat kepada Islam ortodoks. Dalam kenyataan dapat
dilihat kecenderungan yang luas, di mana Ibnu-Taymiyah adalah contoh yang paling
kuat, yang akhirnya menghasilkan gerakan-gerakan reformasi dari berbagai corak yang
menjadi ciri Islam menjelang perbenturannya dengan pengaruh-pengaruh Barat. Ini
menjelaskan mengapa banyak sarjana Barat modern telah melihat bahwa daIam
banyak masalah, pengaruh Ibnu Taymiyah merupakan tonggak jalan yang utama dalam
akumulasi kekuatan-kekuatan yang akan kita jelaskan dalam Bab mengenai Gerakan-gerakan
Pembaharuan pra-Modernis (Bab XII).
SYARI’AH DAN HUKUM
Perkembangan-perkembangan yanng terjadi sejak masa al-Ghazali
hingga Ibnu Taymiyah jelas terlihat mempengaruhi ilmu hukum. Teori hukum yang sejarahnya
telah kami terangkan secara garis besar dalam Bab IV, secara eksklusif ditujukan
untuk memenuhi tugas memapankan dan memperinci mekanisme untuk menciptakan
hukum-hukum dan menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum yang khusus dan al-Quran
dan Sunnah. Prinsip-prinsip hukum (ushūl al-fiqh) adalah mekanisme yang
dimaksudkan itu. Tetapi kemudian berkembanglah suatu filsafat hukum yang membahas
dan memperinci dasar-dasar moral-keagamaan dan hukum, yakni tujuan-tujuan hukum
(maqāshid al-Syar’) atau ‘tujuan kewajiban-kewajiban Syariʻah (asrār
al-taklīf). Serangkaian ulama-ulama dan pemikir pemikir yang brilliant dari
abad ke-8 H/14 M hingga 12 H/18 M 164 berusaha untuk menciptakan fondasi-fondasi rasional, moral dan
spiritual dari sistem hukum Islam. Demikianlah al-Syāthibī berbicara tentang filsafat
hukumnya yang dikatakannya sebagai menghembuskan ruh ke dalam jasad yang mati dan
memasukkan substansi yang ril ke dalam kulit luar (hukum).[27] Seperti
telah kita lihat dalam kasus Ibnu Taymiyah, suatu problema yang juga merupakan
problema sentral dari semua filsafat-filsafat hukum ini adalah membuktikan
bagaimana kewajiban moral berhubungan dengan Kemahakuasaan dan Kehendak Tuhan,
dan bagaimana yang pertama dengan semestinya timbul dari yang kedua.[28]
Syariʻah sendiri didefinisikan mencakup baik ‘tindak-tanduk
hati’ maupun ‘tindakan-tindakan lahiriah yang nyata terlihat.[29] Sesungguhnya
ini adalah paduan perintah-perintah Tuhan kepada manusia, yaitu perintah-perintah
yang jelas terutama bersifat moral. Jadi Syariʻah bukan sekedar peraturan tata cara
perilaku formal yang khusus dan utama, tetapi ia sejalan dan sama luasnya (coterminous)
dengan ‘kebaikan’ itu sendiri. Tetapi, anehnya, sedikit sekali usaha yang dilakukan
untuk memikirkan dan merumuskan kembali batang tubuh fiqh yang
utuh, sebagai dahulu pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh keempat aliran hukum. Alasan
utama untuk ini tampaknya adalah bahwa hukum ini dipandang sebagai sesuatu yang
semestinya muncul dari prinsip-prinsip Qur’an dan Sunnah, dan selanjutnya disucikan
oleh Ijma’. Padahal Ijma’, seperti telah kami nyatakan dalam Bab IV, telah
dianggap final, ‘pintu ijtihad’ (pemikiran orisinal) telah ditutup, dan akibatnya
tak seorang pemikir pun, sehebat apa pun dia, yang berani mencoba-coba untuk
membukanya.
Seperti juga telah kami isyaratkan dalam Bab IV motivasi
di belakang penerimaan Ijma’ yang telah sempurna pada abad ke-4 H/10 M adalah
untuk memastikan permanensi dan stabilitas sistem hukum ini, karena sebelumnya
ia telah melewati masa-masa yang penuh pertentangan-pertentangan besar dan
tajam dalam masa pembentukannya. Tetapi dalam perjalanannya selanjutnya, ia
menjadi kaku, dan kekakuannya ini hanya dapat dilunakkan oleh penalaran-penalaran
165 yang pelik tapi palsu,
yang bahkan lebih cenderung membuatnya tidak efektif. Hal ini jugalah yang menyebabkan
terjadinya proses kebekuan pada abad-abad pertengahan, ketika kekuatan-kekuatan
sekular telah menciptakan kumpulan hukum sekular yang dikenal sebagai qānūn,
yang kadang-kadang menjadi pelengkap hukum Syariʻah dan sesekali
menggantikannya pula. Dengan demikian, sekali hukum Tuhan telah dibatasi sedemikian
rupa, maka ia telah mengalami pukulan yang melemahkan, juga terhadap kehormatan
ahli hukum Syariah sendiri.
“Kenyataan bahwa tak ada batas yang ril dan efektif yang dibuat
antara hal-hal yang bersifat moral dan yang bersifat murni hukum, suatu
kenyataan yang kita amati pada akhir Bab IV) juga tentunya telah memberikan sumbangan
kepada anggapan yang berlaku bahwa hukum tidak dapat diubah. Namun sekalipun
demikian, argumen ini, bila didorong terlalu jauh, tentu bisa berakibat tidak
baik bagi pembentukan hukum Islam di tahap awal. Sesungguhnya, kitab-kitab
hukum Islam penuh dengan tema-tema dan pembahasan moral yang berkepanjangan, misalnya
konsep ‘niat’ tidak hanya dibahas dari sudut pandangan hukum, tapi juga dari
sudut etika keagamaan yang daIam. Pada umumnya, justru cara seperti inilah yang
akan membuat jaringan syaraf moral masyarakat tetap peka terhadap kebenaran dan
kesalahan. Kepekaan moral yang hidup, pada masa kapan pun, adalah lebih baik
bagi ummat manusia daripada hukum yang dirancang dengan baik dan tepat untuk mencapai
sasarannya, tetapi tanpa dibarengi kepekaan moral masyarakat. Dalam pembahasan
kita tentang Islam Modern (Bab XIII) akan dijelaskan bahwa tuduhan sebenarnya
pembela-pembela Syari’ah terhadap pembaharu-pembaharu modernis bukanlah
terutama bahwa pembaharu-pembaharu tersebut telah menentang hukum al-Qur’an dan
Sunnah, tetapi bahwa kaum sekularis tersebut tak mempunyai etika selain mencari
kemudahan dan kesesuaian dengan kehendak mereka sendiri saja (walaupun hampir
selamanya kedua belah pihak tidak benar-benar saling memahami). 166
Baca Juga: Asal Usul Tradisi dan Perkembangannya
[1]Al-Qur’an,
al-Fath, 48: 13.
[2]Ibid., al-Fath,
48:21.
[3]Lihat 1.
Goldziher, Richtungen der Islamischen Koranauslegung, bab II; Encyclopaedia of
Islam, artikel “‘Ilm” dan “Fiqh”.
[4]I. Goldziher,
‘Fiqh’, dalam Encyclopaedia of Islam, edisi pertama.
[5]Al-Asy’ari,
Risālah fi Iḥtisān al-Khauḍ fil-Kalam dalam Richard J. McCarthy, The Theology
al-Ash ‘ari, Beirut, 1953, hal,94-95 (teks berbahasa Arab).
[6]F. Rahman,
Prophecy in Islam, London, 1.958, hal.97 (rujukan kepada al-Ghazali, Ma‘ārij
al-Quds).
[7]Pernyataan yang
paling jelas tentang relativisme moral dapat ditemukan dalam karya al-Ghazali,
al-Iqtishād fil I’tiqād, hal.73-80.
[8]Ibid. hal. 78.
[9]Ibid., hal. 79.
[10]Ibid., hal. 73.
[11]Al-Ghazali, Iḥyā’
‘Ulūmuddīn, ed. Halabi, Cairo 1346/1927, I, ha1. 93.
[12]Al-Iji, Kitāb
al-Mawaqif, Dengan komentar oleh al-Jurjani dan lain-lain, Cairo 1325 AH, I,
hal. 40-49.
[13]Al-Syahrastānī,
Nihāyat al-Iqdām, hal.463.
[14]Al-Iji, op.
cit., hal. 36-37.
[15]Ibid., ha1.
43-46.
[16]Al-Syāthibī,
Kitāb al-Muwāfaqāt, Cairo 1302 AH, hal. 45.
[17]Al-Asy ‘ari, op.
cit. (Kitāb al-Luma’), hal.41.
[18]Ibnu Taymiyah,
Muwāfaqāt Sharīḥ al-Ma‘qūl li-Shahīh al-Manqūl, Cairo 1321 H, I, hal. 48
(dicetak pada pinggir kitab Minhāj al-Sunna oleh pengarang yang sama). Sungguh,
seluruh isi buku ini diabdikan pada tema ini.
[19]Ibnu Taymiyah,
Al-Iḥtijāj bil-Qadar dalam bukunya Rasā’il, Cairo 1323 AH, II, hal. 96-97.
[20]Ibnu Taymiyah,
Al-Irādah wa’l-Amr, dalam bukunya Rasā’il, Cairo 1323 AH, I, ha1. 348.
[21]Ibid., I, hal.
341.
[22]Ibid., I, ha1.
334-335.
[23]Ini adalah
sinthesa yang diajukan oleh Ibnu Taymiyah antara Mu’tazilisme dan Asy’ariisme
dalam karya-karyanya, Muwāfaqāt Sharīh al-Ma‘qūl bi Shaḥīḥ al-Manqūl dan al-Iḥtijāj
bil-Qadar, hal. 91; lihat juga Maratib al-Irada, dalam Rasa’il, H. hal,’ 70-71.
[24]Ibnu Taymiyah,
Al-Iḥtijāj bil-Qadar, hal. 91.
[25]Ibnu Taymiyah,
Al-Irādah wal-Amr, hal. 361. baris ke-20 dan seterusnya.
[26]Ibid., hal. 361,
baris ke-15 dan seterusnya.
[27]Al-Syāthibī, op.
cit., I, hal. 5, bar is ke-14.
[28]Syah Waliyullah
al-Dihlawi, Ḥujjat Allāh al-Bāligha, Cairo, 1322 H, I, hal. 16-19 [bab mengenai
kenyataan bahwa kewajiban-kewajiban (religius moral) ini bersumber dari
determinisme Tuhan].
[29]Al-Syāthibī, op.
cit., hal. l6, baris terakhir dan seterusnya
0 komentar:
Post a Comment