Islam | Pembentukan dan Perkembanganya

Prof Machasin, data:image

oleh Machasin

Pendahuluan
Islam sebagai suatu sistem ajaran keagamaan sering kali dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit dalam keadaan yang telah sempurna, bersifat sakral dan tidak menerima perubahan. Ajaran ini diyakini cocok untuk segala keadaan di mana pun atau صالح لكل زمان ومكان, karena bersifat universal.
Pertanyaan kemudian timbul mengenai kecocokannya untuk segala keadaan, mengingat bahwa keadaan tidak tetap dan tidak sama, melainkan berubah dari satu masa ke masa yang lain dan berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain itu, ternyata pula bahwa apa yang diyakini sebagai ajaran Islam itu sangatlah lengkap dan mencakup berbagai perincian, padahal suatu aturan yang lengkap dan terinci tidak akan dapat sesuai dengan keadaan-keadaan yang berbeda. Kelengkapan dan keterinciannya akan mengurangi keluwesannya. Aturan yang berkenaan dengan waktu salat, misalnya, sudah sedemikian cermat untuk negara-negara tropis tempat tinggal kebanyakan orang Islam, dengan ukuran jam maupun dengan menggunakan gejala-gejala alam. Ketika seorang muslim pergi ke daerah dekat kutub utara pada musim panas atau musim dingin, aturan-aturan itu menjadi tidak lagi dapat dijalankan. Di Musim panas, matahari selalu kelihatan di sana. Orang Perancis menyebutnya les nuits blanches (malam putih), karena di malah hari pun matahari tetap di atas kepala. Untuk dapat tidur, orang lalu memakai kacamata hitam (lunettes noires). Di musim dingin, sebaliknya, selama beberapa hari matahari tidak muncul. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana prang menjalankan salat atau puasa? Mengikuti perjalanan matahari di situ, mengikuti perjalanan matahari di daerah tropis atau bagaimana? Karena aturan itu sangat terperinci untuk daerah tropis, kemungkinan penerapannya di daerah kutub menjadi sangat sulit.
Orang lalu berpikir bahwa keuniversalan Islam semestinya ada pada hal-hal yang bersifat mendasar, sementara untuk hal-hal yang berkaitan dengan perincian dimungkinkan adanya penyesuaian sepanjang tidak menyalahi hal-hal yang bersifat dasar itu. Kecocokan Islam untuk segala zaman dan tempat berarti kemungkinannya untuk tetap mempertahankan hal-hal pokok dengan memberikan ruang bagi penyesuaian-penyesuaian terhadap keadaan yang berbeda. Akan tetapi, orang tidak sepakat mengenai bagian-bagian mana yang dianggap dasar nan tidak boleh diubah (al-tsābit, jamak: al-tswābit) dan bagian yang bersifat perincian nan boleh berubah (al-mutaḥawwil).
Penyelidikan sejarah menunjukkan bahwa Islam mengalami perkembangan, bukan hanya dalam pembentukannya dari suatu gerakan dakwah yang dimulai oleh Nabi Muhammad saw. menjadi suatu sistem ajaran, melainkan juga bahwa sistem yang telah terbentuk pun tidak berada dalam satu keadaan yang sama. Makalah ini akan berbicara mengenai bagaimana sistem ajaran Islam terbentuk dan kemudian berkembang menjadi pusaka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan oleh banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Faktor-faktor yang terlibat dalam perkembangan itu pun akan dibicarakan sehingga diharapkan dapat dibuat gambaran yang jelas mengenai proses yang dialami Islam dalam perjalanan sejarahnya.

Dakwah Nabi dan Sumber Utama Islam
Islam datang mula-mula sebagai seruan perbaikan bagi praktek kehidupan di jazirah Arab dan sekitarnya, yang diwarnai berbagai ketimpangan. Kehidupan, oleh kebanyakan orang yang hidup pada sekitar abad ketujuh Masehi di daerah ini, diyakini hanya sebatas kelahiran dan kematian individu,[1] sehingga keberhasilan hidup diukur dengan perolehan-perolehan material dan kepuasan-kepuasan jangka pendek. Dalam bidang sosial tatanan yang berlaku lebih banyak memberikan hak-hak istimewa kepada kelas atas, namun menindas kelas bawah. Karena itu sementara kaum atas, yang memperoleh keuntungan material berlimpah dari kegiatan perdagangan,[2] hidup dalam kenikmatan dan kebebasan, banyak terdapat orang-orang fakir yang tidak dapat lepas dari kemiskinan dan anak-anak yatim yang terlantar. Penyembahan berhala dan penuhanan orang-orang kuat menjadi semacam “agama”, sedangkan kemuliaan hidup diukur dengan keunggulan-keunggulan yang dikaitkan dengan perang. Spiritualitas dan pertimbangan yang melewati batas-batas kehidupan duniawiah absen dari kesadaran mereka.
Pandangan hidup yang seperti itu tergambar dengan sangat jelas dalam syair Ṭarafah bin al-‘Abd al-Yasykurī yang termasuk dalam Muʻallaqāt,[3] sebagai berikut:
ولَولا ثَلاثٌ ھُــــنَّ من عیشةِ الْفـَتى #  وَجدِّكَ لم أَحفِلْ مَتى قامَ عُوْدي
فَمِنْھُنّ سَبْـــــقِي الْعــاذِلاتِ بِشَربَـةٍ  #  كُمَیْتٍ متى ما تُعْلَ باَلماءِ تُزْبِدِ
وَكَـــــرِّي إِذَا نادَى المُضَافُ مُحَنَّباً #  كَسِیدِ الْغَـــضا نَبّھْتَـــهُ الُمتَوَرِّدِ
وَتقصیرُ یوم الدَّجنِ والدجنُ مُعجِبٌ #  بِبَھْكَنَةٍ تَحْـــتَ الخِــباءِ الُمعَمَّدِ

Kalaulah bukan karena tiga hal yang merupakan pokok kehidupan pemuda,
Demi kakekmu, tak peduli aku kapan orang datang menakziahiku

Pertama: minumku sebelum orang yang nyinyir mengata-ngataiku
Anggur merah yang manakala dituangi air keluar buahnya

Kedua: lariku ke medan perang ketika orang menabuh genderang
Bak rubah hutan yang lari kencang ketika kau usik dari tidurnya

Ketiga: menghabiskan hari gerimisoh indahnya hari gerimis itu
Dengan perempuan montok di bawah tenda yang bertiang

Jadi, bagi penyair zaman Jahiliah ini yang penting dalam hidup ini hanyalah: minuman keras, perang dan perempuan.
Memang benar bahwa Makkah sekitar satu abad sebelum Islam merupakan kota perdagangan transit yang membawa kemakmuran. Akan tetapi, kemakmuran itu hanya dinikmati oleh sebahagian kecil dari penduduknya, yakni kaum elitnya saja. Sebahagian besar penduduk yang lain hidup dalam kesulitan dan terpaksa harus berhutang dengan bunga yang sangat besar (aḍʻāfan muḍaʻʻafah: berlipat-lipat). Akibatnya, terjadi penindasan dari yang pemberi pinjaman atas orang-orang yang terpaksa berhutang. Selain itu, bangsa Arab berada dalam himpitan dua kekuatan besar yang bersifat hegemonik. Di sebelah barat terdapat kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan di sebelah timur imperium Persia. Keduanya saling berebut hegemoni dan bangsa Arab kebanyakan tidak menyadari kedudukan mereka yang terjepit itu. Dua keluarga dari mereka Bani Ghassān dan Bani Mundzir memilih untuk menjadi vazal atau penguasa taklukan dari kedua kekuatan besar itu. Bani Ghassān yang terkenal dengan sebutan Ghasāsinah di Syria dan sekitarnya merupakan sekutu Bizantium, sementara Bani Mundzir yang disebut al-Manādzirah sekutu Persia di Irak. Di bagian tengah jazirah Arab yang tidak tersentuh kekuasaan kedua imperium hegemonik di atas, kabilah-kabilah Arab sibuk dengan kehidupan mereka yang penuh dengan pertikaian berdarah karena hal-hal yang sangat sepele. Banyak dari mereka yang hidup dalam pengembaraan mengikuti jatuhnya hujan agar mereka dapat mendapatkan makanan untuk ternak mereka.
Nabi Muhammad saw.  datang dengan seruan perbaikan bagi keadaan itu, dan—sebagaimana dapat dilihat dalam ayat-ayat yang mula-mula turun di Makkah—seruan-seruan beliau dilakukan berulang-ulang secara lisan. Seruan ini berupa peringatan-peringatan moral dan keagamaan yang tidak mempunyai nilai mengatur secara paksa, dalam pengertian tidak ada sangsi-sangsi hukuman bagi orang-orang yang tidak mau mengikuti anjuran dan melanggar larangannya.
Di antara seruan itu adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Hidup manusia di dunia adalah sebuah kepercayaan (amānah):
{إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا، لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا} [33/الأحزاب: 72-73]
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan; dan Allah menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Apa yang dikerjakan di dunia harus dipertanggungjawabkan di akhirat:
{إِنَّهُ مَنْ يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِمًا فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى، وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى، جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ مَنْ تَزَكَّى} [20/طه: 74 - 76]
Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sungguh baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Tetapi barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman, dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia), (yaitu) syurga ‘And, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang yang menyucikan diri.  

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ} [31/لقمان: 33]
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada suatu hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan janganlah (pula) kamu terpedaya oleh penipu dalam (mentaati) Allah.
3. Anjuran untuk memberi bantuan kepada yang memerlukan bantuan:
{أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ؟ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ} [الماعون: 1-7]
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria, dan enggan (memberikan) bantuan.
4. Ada bagian untuk orang lain dalam harta yang kita miliki:
{إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ، آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ. كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ، وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ، وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ} [51/الذاريات: 15 - 19]
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah); Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.

{إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا، إِلَّا الْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ، وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ، لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ، وَالَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ} [70/المعارج: 19 - 26]
Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan suka mengeluh: apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, apabila mendapat kebaikan ia kikir; kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, yang setia melakukannya, yang di dalam harta mereka ada bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta; dan yang mempercayai hari pembalasan.

Di Makkah kekuasaan berada di tangan orang lain, dan karenanya yang dapat dilakukan hanyalah seruan-seruan perbaikan. Di Medinah keadaannya berbeda, karena Nabi Muhammad saw. menjadi pemimpin masyarakat orang-orang yang beriman. Bagaimana perbaikan itu dilakukan baru dimulai ketika sudah terdapat suatu masyarakat dengan mayoritas orang-orang yang percaya di dalamnya. Ayat-ayat yang turun di periode ini pun lebih banyak berisi hal-hal yang diperlukan dalam pembentukan “kepribadian baru” masyarakat itu menurut “cita perbaikan” yang sudah diserukan sebelumnya di Makkah.
Akan tetapi, pada waktu Nabi meninggal, al-Qur'an yang turun sedikit demi sedikit itu belum terkumpul dalam satu kumpulan yang utuh, apatah lagi tersusun dalam suatu susunan yang rapi. Pengumpulannya, penulisannya dalam satu kitab dan pembakuan menjadi kitab yang dapat kita baca sekarang terjadi dalam suatu proses yang panjang dan tidak lepas dari perbedaan pendapat. Ini berarti bahwa sumber pertama Islam ini mengalami proses duniawiah sebelum sampai kepada bentuknya yang terakhir.
Hadis yang merupakan segala hal yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. juga belum terkoleksi ketika beliau meninggal dunia. Karena merupakan rekaman berdasarkan ingatan atas komunikasi beliau dengan orang-orang di sekitar beliau sepanjang kehidupan kenabian beliau, hadis pada awalnya tidak tersusun secara sistematis. Penyebarannya yang bersandar pada aktivitas lisan untuk waktu yang cukup lama, menyebabkan pemakaiannya sebagai rujukan yang mudah diperoleh dalam penentuan “hukum” Islam tidak nampak pada masa-masa pembentukan sistem hukum Islam.
Itu semua berarti bahwa ketika Nabi Muhammad saw. wafat, walaupun prinsip-prinsip agama Islam telah diletakkan, apa yang kemudian diwarisi sebagai ajaran Islam belum lagi tersusun. Benih memang sudah disebarkan, tetapi untuk tumbuh menjadi pohon diperlukan waktu dan datangnya musim, air yang cukup dan petani yang memelihara pertumbuhannya.
Hal lain yang mesti diperhatikan adalah kenyataan bahwa sejak kedatangan dakwah Islam, bangsa Arab yang sebelumnya hidup dalam tatanan suku pengembara (nomaden) dan sedikit peradaban di beberapa kota seperti Mekkah dan Medinah, mengenal sistem kekuasaan yang disebut negara. Tidak mudah memang menyatukan kabilah-kabilah yang terbiasa hidup dengan peperangan dan berpindah-pindah tempat itu untuk dipersatukan di bawah sebuah kekuasaan pusat yang mengontrol seluruh wilayah.
Begitu Nabi wafat, kebanyakan dari suku-suku pengembara di luar Hijaz—bagian barat Jazirah Arab yang mencakup kedua kota suci: Mekkah dan Medinah—tidak mau patuh lagi kepada Khalifah Abū Bakr. Hanya dengan peperangan yang disebut Perang Kemurtadan (ḥarb al-riddāh, perang melawan orang-orang murtad) saja mereka dapat dipaksa kembali taat kepada kepemimpinan Khalifah di Medinah, walaupun kebiasaan lama mereka tak dapat hilang sama sekali. Khalifah Umar mengarahkan keberanian dan kesukaan mereka berperang untuk meneguhkan kekuasaan “daulah Islam” seraya memperluasnya sehingga mencakup wilayah yang sangat luas, dari Kadisiah (Persia, timur) sampai Fusṭāṭ (Mesir, barat) dan Damaskus (Syām atau Syria, utara). Perang-perang penaklukan ini berlangsung  ke arah barat dan tidak berhenti sampai ‘Abdurrahman al-Ghāfiqī terbunuh dalam perang melawan pasukan Charlemagne di Tours (Perancis selatan) pada tahun 114 H/732 M. Ke arah timur, perang-perang itu menaklukkan banyak wilayah sampai perbatasan Xinjiang, China, dan baru terhenti dengan kematian Qutaibah bin Muslim al-Bāhilī di lembah Ferghana pada tahun 96 H/715 M.

Perluasan Wilayah dan Konflik Internal Umat
Tidak lama dari waktu kemangkatan Nabi Muhammad saw., umat Islam disibukkan dengan berbagai pertempuran, baik di dalam jazirah Arab maupun di daerah sekitarnya, bahkan kemudian ke wilayah-wilayah yang lebih luas lagi di Timur Tengah, Afrika Utara dan semenanjung Iberia. Perang-perang yang disebut dengan futûhât itu menghasilkan perluasan wilayah kekuasaan politik kaum muslimin. Di samping memberikan keuntungan-keuntungan material kepada penguasa Islam (terutama Bani Umayyah), perluasan wilayah yang terjadi pada saat ajaran is belum lagi dirumuskan dalam sistematika yang rapi itu menyebabkan timbulnya berbagai persoalan baru. Di antaranya adalah pengaturan wilayah dan orang-orang yang ada di dalamnya, yang tidak semuanya beragama Islam. Bagaimana rampasan perang harus dibagi, bagaimana negara mengambil hak-haknya atas “tanah-tanah negara” yang diolah oleh para petani bukan muslim, dan bagaimana kedudukan orang-orang non muslim dalam negara merupakan contoh-contoh persoalan yang berkaitan dengan perluasan wilayah itu. Karena sebelumnya persoalan seperti itu belum pernah ada, pengaturan siap pakai pun belum ada. Ada laporan-laporan yang menyebutkan bahwa pada awalnya orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan mempergunakan praktek setempat sebagai rujukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru seperti itu. Ra’y atau pertimbangan nalar juga tidak jarang ditemui sebagai salah satu dasar pembuatan keputusan. Kenyataan bahwa Imam al-Syâfi`î mempropagandakan pemakaian hadis âhâd dalam kitabnya, al-Risâlah, mendukung laporan-laporan seperti itu.
Ketika kaum muslimin menaklukkan daerah-daerah di sekitar jazirah Arab itu kebebasan agama dari orang-orang yang tinggal di daerah yang ditaklukkan tidak dicabut. Mereka diperbolehkan mempraktekkan agama mereka sampai batas-batas tertentu. Mereka yang mempunyai keahlian dalam bidang-bidang yang diperlukan penguasa bahkan dipekerjakan sesuai dengan bidang keahlian mereka. Jadilah banyak ahli administrasi keuangan, ahli pengobatan, penerjemah dan sebagainya hidup di lingkungan istana Bani Umayyah karena keahlian mereka diperlukan. Dari situ timbul dialog Islam dengan budaya dan tradisi lokal serta agama dan filsafat yang ada di daerah-daerah taklukan itu. Pindahnya ibu kota negara dari Medinah ke Damaskus (yang merupakan salah satu pusat agama Kristen pada waktu itu) memperkenalkan pemikiran Arab yang sederhana dengan pemikiran keagamaan dan filsafat yang rumit.
Pertemuan ini memunculkan kesadaran pada sementara individu di antara kaum muslimin akan perlunya suatu sistem ajaran Islam. Dalam pertemuan antara dua orang yang berbeda agama, kekalahan dalam dialog sering kali tidak diikuti konversi, melainkan usaha yang lebih giat dari pihak yang kalah untuk mencari argumen atau rumusan baru untuk memenangkan perdebatan pada pertemuan berikut. Kata seorang ahli yang banyak melakukan dialog antar agama, “... if some of their arguments come to seem untenable this does not faze them: they simply go home and think up new arguments!”[4]
Selain itu, kaum muslimin juga mengalami konflik-konflik internal umat, terutama sejak pemerintahan khalifah ketiga, Utsman. Dalam konflik-konflik itu legitimasi keagamaan sering kali dipakai untuk mendapatkan kewenangan atau mengalahkan lawan. Misalnya, bahwa yang berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat religius yang baru tumbuh itu adalah orang-orang yang benar-benar beriman, sementara pemimpin yang ada melakukan tindakan-tindakan tertentu yang dianggap membuktikan bahwa ia tidak beriman, maka ia tidak sah memimpin. Orang lalu berpikir apakah tindakan-tindakan seperti itu, yang disebut kabâ’ir, memang merusak keimanan seseorang. Apa batasan iman? Apakah perbuatan termasuk bagian dari iman? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menyadarkan sementara orang akan pentingnya pembentukan suatu rumusan ajaran.

Pembentukan Sistem
Pada mulanya usaha memikirkan rumusan ajaran agama dilakukan oleh individu-individu yang merasa prihatin atas praktek kehidupan, terutama pertikaian politik yang mengancam kesatuan umat. Mereka kebanyakan merupakan orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik-konflik politik itu. Dalam perjalanan waktu, individu-individu yang mulai perumusan itu menarik minat orang-orang yang kemudian menjadi kawan atau pengikutnya. Mereka mengembangkan, mengritik dan menyempurnakan pikiran tokoh-tokoh pemikir itu. Dari sinilah muncul mazhab-mazhab yang sebenarnya merupakan perumus sistem-sistem ajaran itu.
Usaha untuk merumuskan ajaran ini sudah dimulai pada masa Bani Umayyah, sebagai semacam kritik atas praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai menyimpang dari “jalan keislaman”. Ketika penyimpangan itu semakin terasa, muncullah orang-orang saleh yang berusaha untuk mengembalikan sejarah kepada relnya yang benar. Bagi orang-orang ini, Bani Umayyah hanya menjadikan Islam sebagai stempel. memang benar bahwa warna Islam cukup kelihatan pada tindakan-tindakan Bani Umayyah pada bagian luar, semisal ukuran minimum dalam masalah keyakinan, peribadatan standar dan moralitas elementer; kurang menyentuh bagian terpenting. Mereka mengharapkan Islam memiliki dan melaksanakan ajaran-ajarannya sendiri dalam bidang hukum, keilmuan, etiket, prinsip-prinsip kehidupan pribadi dan tatanan sosial, tanpa merujuk kepada kebiasaan-kebiasaan sebelum Islam.[5]
Pada menjelang masa akhir Bani Umayyah mereka mendapatkan sekutu dari dua kelompok besar anggota masyarakat Islam: (1) orang-orang Arab non Syria yang kurang puas terhadap perlakuan istimewa Bani Umayyah terhadap orang-orang Arab Syria, pendukung utama Bani Umayyah, dan (2) orang-orang Islam non Arab yang dikenal dengan sebutan mawâlî. Dengan ini protes-protes moral kelas ulama ini mendapatkan saluran politik, dan ini menandai keterlibatan mereka secara aktif di bidang ini secara nyata.
Ketika kemudian Bani `Abbâs muncul ke atas panggung kepemimpinan, para ulama ini mendapatkan dukungan dari negara untuk menjalankan program-program mereka dan gerakan perumusan ajaran menjadi lebih besar. Gerakan ini tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mendapat dukungan penguasa, melainkan juga mereka yang ada di luarnya. Tidak hanya mereka yang masuk dalam kategori ulama yang berusaha untuk memikirkan dan melakukan perumusan, melainkan juga orang-orang lain yang merasa terpanggil untuk itu, semisal ahli-ahli ilmu pengetahuan umum dan para dokter yang banyak membaca filsafat Yunani kuna dan peninggalan-peninggalan filsafat dari zaman sebelum Islam. Dari gerakan inilah terumuskan sistem-sistem hukum, kalam, filsafat dan sebagainya.

Perjalan berikutnya

Setelah sistem ini terbentuk dalam wujud pemikiran-pemikiran mazhab, saling pengaruh di antara mereka pun terjadi. Ada usaha-usaha untuk mengkonvergensikan beberapa mazhab yang berbeda, namun hasilnya tidak diambil menjadi suatu sistem padu yang menghilangkan mazhab-mazhab. Yang terjadi kemudian adalah pemilihan mazhab tertentu oleh masyarakat, atau penguasa, tertentu untuk dilaksanakan sebagai representasi dari Islam, yang dianggap sebagai ajaran ortodoks. Kekuasaan politik, tradisi tulis dan hegemoni budaya tertentu ikut berperan dalam pemilihan ini.
Setelah pemilihan ini yang menjadi perhatian adalah bagaimana mewariskan ortodoksi itu kepada generasi berikut. Sesuai dengan itu aktivitas pemikiran bukan lagi ditujukan untuk menemukan hal-hal baru atau memecahkan persoalan-persoalan yang sebelumnya belum pernah ada, melainkan kepada pemudahan pewarisan itu. Itu dilakukan dengan membuat ringkasan, penjelasan, kumpulan poin-poin keimanan dan sejenisnya. Tidaklah aneh kalau kemudian orang menyebut tahap ini sebagai tahap kebekuan bagi ortodoksi.
Ketika Islam masuk zaman modern keadaan ini belum berubah sehingga muncul orang-orang yang berusaha untuk memperbaharui rumusan ajaran. Kesulitan utama yang dihadapi para pembaharu itu adalah perlawanan dari para pembela rumusan ajaran lama. yang terakhir ini menganggap rumusan itu sesuatu yang sakral karena berasal dari Tuhan.

Faktor-faktor yang Terlibat dalam Pembentukan Ajaran
Banyak faktor yang terlibat di dalam pembentukan ajaran itu. Di sini hanya akan dibicarakan hal-hal yang bersifat profan. Ini tidak berarti bahwa hal-hal yang suci tidak penting, melainkan karena selama ini kesucian itulah yang dipakai untuk menyebut ajaran Islam, perhatian semestinya lebih banyak diberikan kepada unsur-unsur tak suci, agar terjadi keseimbangan dalam melihat persoalan.
Di antaranya adalah kebutuhan masyarakat dan penguasa akan sistem ajaran itu. Yang disebut pertama membutuhkannya untuk mempermudah mengetahui hal-hal yang menjadi kewajiban dan hak-haknya. Kehidupan adalah sesuatu yang mengalir dengan deras dan manusia yang menjalaninya sering kali tidak sempat memikirkan secara mendalam apa yang sedang dijalaninya, apa yang akan dijalaninya dan apakah itu semua sesuai dengan yang semestinya dijalani. Ia lebih banyak mengambil yang tersedia di hadapannya tanpa pertimbangan-pertimbangan mendalam. Adanya sistem ajaran yang siap pakai sangat sesuai dengan kecenderungan untuk menerima yang sudah tersedia ini.
Sementara itu, penguasa membutuhkannya untuk melindungi kepentingannya. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa pemerintahan yang dijalankannya mempunyai nilai keagamaan atau bahkan merupakan perwujudan dari pelaksanaan hukum Tuhan di atas bumi. Dengan begitu pemerintahan itu mendapatkan legitimasi. Ajaran tertentu juga akan mempermudah penguasa dalam memerintah. Misalnya, ajaran yang mengatakan bahwa rakyat mesti tunduk kepada ûlil amr, betapa jeleknya cara mereka memerintah, karena itu lebih baik dari pada pemberontakan yang menyebabkan kekacauan. “Empat puluh tahun di bawah pemerintahan yang lalim lebih baik daripada satu saat tanpa pemerintahan,” demikian alasan disampaikan.
Walaupun pada dasarnya dalam Islam tidak ada—selain Nabi—orang atau kelompok tertentu yang memegang otoritas keagamaan, dalam kenyataan otoritas/kewenangan yang mengontrol kegiatan berpikir itu dirasakan. Di antaranya adalah apa yang disebut ortodoksi, yakni paham yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin. Ortodoksi ini terbentuk sejalan dengan waktu dan dikontrol oleh kelompok ahli ajaran Islam yang disebut ulama. Pembentukannya pun tidak lepas dari kepentingan-kepentingan duniawiah, semisal dukungan penguasa politik. Pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari main stream Islam, oleh para pendukung ortodoksi akan dianggap sebagai bid’ah dan tidak diberi kesempatan untuk disebarkan.
Sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadis, yang tertuang dalam bahasa Arab yang dipakai oleh orang-orang Arab pada tempat tertentu dan waktu tertentu itu menimbulkan persoalan pemahaman bagi orang-orang yang masa hidupnya jauh dari masa hidup Nabi Muhammad saw. Kemampuan orang dalam memahaminya pun tidak sama di samping bahwa banyak di antara pernyataan-pernyataannya yang memungkinkan pemahaman-pemahaman yang berbeda. Ini ikut menentukan dalam pembentukan ajaran yang diistinbatkan daripadanya.
Selain itu, ada kecenderungan manusia untuk bebas, di satu pihak, dan untuk mengikatkan diri di pihak lain. Ini menimbulkan sensor diri yang tidak selamanya positif. Ketakutan orang untuk tidak bebas, misalnya, tidak jarang membuatnya menolak setiap ajaran yang dirasakan membawa kepada ketidakbebasan, walaupun itu datang dari sumber utama Islam. Penakwilan merupakan hal yang paling banyak dilakukan dalam kasus seperti ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang yang mempunyai kecenderungan untuk mengikatkan diri.
Di dalam pembentukan ajaran itu pertentangan kepentingan juga ikut bermain. Pertentangan-pertentangan seperti itu membentuk hubungan-hubungan solidaritas di antara pihak-pihak yang senasib dan bisa saling mendukung dalam mempertahankan eksistensi dan kepentingannya. Di samping itu, ketegangan-ketegangan tertentu selalu ada di antara pihak-pihak yang berebut kepentingan.
Gambar berikut memberikan contoh hubungan solidaritas¾yang dilambangkan dengan garis horisontal (     )¾, dan ketegangan itu¾yang dilambangkan dengan garis vertikal (   ).




Dalam pertemuan dengan orang lain dengan budaya, tradisi, agama dan filsafat yang berbeda, sering kali terjadi pengambilan-pengambilan yang dilakukan sering kali tanpa kesadaran akan perbedaan antara yang diambil itu dengan ajaran sendiri. Di atas sudah dikatakan bahwa pertemuan dengan orang lain itu sudah terjadi sejak ajaran-ajaran Islam belum tersusun dalam sistem yang rapi. Karena itu, banyak pengambilan yang dilakukan oleh umat Islam dalam membentuk sistem itu. Dalam filsafat, misalnya, bahan-bahan Islam disusun berdasarkan model filsafat Yunani kuna. Misalnya, penjelasan tentang hubungan antara Yang Tunggal dan yang majemuk oleh para filsuf muslim dibangun atas teori yang sama dalam filsafat Yunani, yang terpengaruh oleh teori mengenai planet-planet yang ada di alam semesta pada waktu itu. Banyak prinsip filsafat itu dipakai dalam membaca sumber-sumber Islam, seperti dualisme jiwa dan badan yang tidak begitu jelas adanya dalam al-Qur'an.
            Di atas telah disebutkan bahwa perumusan ajaran itu dimulai usaha perseorangan yang kemudian hasilnya dikembangkan dan dikoreksi oleh orang lain. Pengembangan dan koreksi itu berjalan melalui dialektika pemikiran yang dapat digambarkan sebagai berikut:                                           
                                      

Suatu persoalan merangsang lahirnya ide-ide yang merupakan usaha untuk menjawabnya. Ide tertentu kemudian diambil oleh pembuat kekuasaan dan dijadikan ideologi yang merupakan kerangka acuan dalam mencapai suatu keadaan yang dicita-citakan. Akan tetapi, ideologi ini kemudian mengalami kemacetan dan menjadi persoalan baru yang memberi kesempatan bagi lahirnya ide-ide baru untuk memecahkannya. Demikian seterusnya siklus itu terjadi.

Kesucian Sejarah Umat Beragama
Pada dasarnya agama berasal dari manusia yang mengalami pertemuan dengan sesuatu yang supranatural. Pertemuan ini, yang dalam istilah dikenal dengan pengalaman religius, terungkap dalam berbagai bentuk pengungkapan. Joachim Wach membagi pengungkapan pengalaman religius/keagamaan dalam tiga bentuk: (1) tindakan (action), (2) pemikiran (thought) dan (3) jama`ah (fellowship).[6]
Selanjutnya dikatakannya bahwa ungkapan teoritis yang paling awal dari pengalaman religius terdapat dalam mitos. Mitos, setelah melalui rehabilitasi yang dilakukan oleh para peneliti dari berbagai bidang pengetahuan kemanusiaan, diketahui tidak hanya berisi omong kosong, melainkan menunjuk kepada suatu realitas. Mitos berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Mengapa kita hidup di dunia ini? Dari mana kita berasal? Mengapa kita berbuat dengan cara tertentu? Mengapa kita mati?[7]
Pengungkapan kedua terdapat dalam doktrin. Doktrin mempunyai tiga fungsi yang berbeda: (1) pelukisan dan perumusan keimanan, (2) pengaturan kehidupan secara normatif dalam peribadatan dan pelayanan, dan (3) pembelaan keimanan dan pendefinisian hubungan iman dengan pengetahuan lain. Dengan demikian doktrin mengikat dan berarti hanya bagi jemaat, tidak bagi yang di luarnya.[8]
Pengungkapan yang ketiga terdapat dalam dogma. Kalau doktrin masih membuka kemungkinan untuk berbagi varian atau pilihan, dalam dogma keputusan sudah dilakukan dari antara pilihan yang tersedia.
            Selain itu pengungkapan dapat berwujud pernyataan lisan atau tertulis. Kata-kata suci, cerita-cerita kudus, nyanyian-nyanyian suci dan doa-doa menandai tahap perkembangan pengungkapan teoritis terhadap pengalaman religius.[9]
Dalam agama-agama yang disandarkan kepada Ibrahim (Abrahamic religions) pengalaman keagamaan itu, walaupun mengandung kemungkinan untuk penjelajahan bebas yang sangat luas, tertuntun oleh adanya teks-teks suci Bibel, Taurat dan al-Qur'an. Masing-masing bagi pemeluknya merupakan rujukan yang selalu menarik kembali penjelajahan yang kadang-kadang menjadi terlalu jauh. Teks-teks ini, selain itu, tidak henti-hentinya memberikan inspirasi dan karena kedudukannya yang sangat terhormat dalam singgasana sanubari para pemeluk agama masing-masing, tidak jarang juga dipakai untuk mempengaruhi emosi umat agar dapat digerakkan ke arah tertentu.
Dalam perjalanan sejarah pemikiran keagamaan dalam Islam apa yang disebut ajaran Islam tidak lain adalah hasil dari interpretasi kaum muslimin terhadap teks suci yang terkumpul dalam suatu buku yang disebut Al-Qur’an atau Firman Allah. Karena sumber ajaran itu suci¾lebih tepatnya disucikan atau dianggap suci¾, ajaran yang sebenarnya merupakan hasil karya manusia itu tidak jarang dianggap suci dan sejarah umatnya pun tidak jarang dianggap sebagai sejarah umat pilihan yang mendapat bimbingan dari Tuhan.
            Mohammed Arkoun membuat bagan sebagai berikut




Di sini terjadi reduksi yang ditunjukkan dengan panah menurun¯, dari firman
Allah yang menurut Al-Qur’an tidak akan habis ditulis menjadi wacana keagamaan, yakni—dalam kasus Islam—Al-Qur’an dalam bentuk oral yang disampaikan Rasulullah kepada para sahabatnya. Reduksi berikutnya terjadi ketika wacana ini direkam dalam tulisan. Suasana pembicaraan tidak ikut terekam dalam tulisan itu. Reduksi berikutnya terjadi ketika terjadi pembakuan mushaf. Sebelum dibakukan, ada beberapa mushaf yang sampai batas tertentu berbeda satu sama lain. Pembakuan menghapuskan perbedaan-perbedaan itu. Keresmian memberikan pengertian bahwa pembakuan itu dilakukan oleh penguasa politik yang mempunyai kewenangan (duniawiah), sedangkan ketertutupan berarti bahwa sudah tidak ada lagi penambahan atau pengurangan.
Ketika orang menafsirkan Al-Qur’an, yang ditafsirkan adalah teks tertulis yang sudah mengalami beberapa kali reduksi itu. Hasil dari penafsiran itu adalah korpus tertafsir yang dari segi kuantitas informasinya berkembang, namun dari segi keilahiannya sudah tereduksi. Yang terjadi di sini sebenarnya adalah reproduksi teks, sedangkan yang dimaksud dengan korpus tertafsir bukan hanya tafsir Al-Qur’an dalam pengertian istilah, melainkan juga hukum-hukum, prinsip-prinsip moral, sistem-sistem ajaran dan sebagainya yang dideduksikan dari kitab ini.
Karena ajaran Islam terbentuk dan berkembang dalam sejarah umat manusia, maka ada banyak hal tak sakral yang terkandung di dalamnya. Kepentingan-kepentingan manusia muslim, yang menafsirkan Al-Qur’an, baik yang baik maupun yang tidak baik ikut membentuknya. Akan tetapi hasil dari penafsiran yang dipakai untuk menjawab persoalan-persoalan duniawiah ini dianggap bersifat suci melalui apa yang disebut mitologisasi. Karenanya, sejarah umat Islam itu disebut sejarah penyelamatan mereka oleh Tuhan.

Pembentukan Budaya Islam
Secara garis besar, budaya Islam terdiri dari unsur pokok ajaran yang tetap dan unsur kreativitas manusia yang terus berkembang. Ada penulis yang menggambarkannya dengan orang tawaf: Ka’bah yang dikelilingi tidak bergerak, sedangkan orang-orang yang melakukan tawaf bergerak mengelilinginya. Ini berarti bahwa kreativitas itu, walaupun berkembang, selalu berada tidak jauh dari pokok-pokok ajaran. Kalau suatu saat menjauh, pasti ada usaha untuk mengembalikannya ke pokok ajaran lagi.
Pada mulanya kebudayaan Islam berkembang di kalangan bangsa Arab jazirah Arab yang hidup dengan peradaban yang sangat bersahaja, terutama jika dibandingkan dengan budaya Romawi Timur dan Persia yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, dari segi budaya, Islam dan umatnya cukup akomodatif, sehingga peradaban bangsa-bangsa yang masuk ke dalam wilayah politiknya segera terserap dalam proses akulturasi yang melahirkan budaya Islam yang segar.











Sikap Islam terhadap peradaban dapat digolongkan menjadi tiga:
  1.  Menolak bagian-bagian dari peradaban yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, semisal penyekutuan Tuhan, pemubadziran dan penindasan oleh manusia atas manusia.
  2.  Mendukung bagian-bagian dari peradaban yang berguna atau dapat menciptakan suasana kondusif bagi pengembangan masyarakat Islam. Misalnya, sistem administrasi negara, ilmu-ilmu alam dan teknologi.
  3.  Membiarkan hal-hal yang tidak memberikan kegunaan langsung kepada umat Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran. Misalnya cara berpakaian, cara bercocok tanam dan model-model pembangunan rumah.
            Akan tetapi kiranya perlu diingat bahwa kategori-kategori ini bersifat tarik ulur. Ada kalanya suatu hal dianggap bertentangan dengan ajaran Islam pada suatu saat, tetapi pada saat lain dianggap tidak demikian. Demikian pula sesuatu yang pada saat tertentu didukung, pada saat yang lain ditolak atau dibiarkan. Ini karena dalam pemahaman Islam pun terdapat perkembangan.


Baca Juga: Syari'ah dan Perkembanganya


            [1]Lihat misalnya ayat yang berbunyi وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ (surat 45/al-Jātsiyah: 24) [Mereka berkata, “(Kehidupan) ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.”] dan إِنْ هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ  (23/al-Mu’minūn: 37) [(Kehidupan) itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini; (di sinilah) kita mati dan kita hidup, dan tidak akan dibangkitkan lagi].
            [2]Makkah pada saat itu merupakan pusat perdagangan transit yang menghubungkan Asia, Afrika dan Eropa.
[3]Yakni: puisi-puisi Arab terbaik sebelum Islam yang digantungkan pada dinding Ka’bah. Jumlahnya, menurut riwayat yang masyhur adalah tujuh buah, tetapi ada yang mengatakan sepuluh buah.
            [4]John Hick, A Christian Theology of Religions: The Rainbow of Faiths (Louisville: Westminster John Knox Press, cet. II, 1996), hlm. 7.
                [5]Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1974, I:250-1.
[6]Lihat bukunya, The Comparative Study of Religion, ed. Joseph M. Kitagawa (New York: Columbia University Press, 1958).
[7]Ibid., hlm. 65-8.
[8]Ibid., hlm. 68-71.
[9]Ibid., hlm. 72.

0 komentar:

Post a Comment