Hukum islam, encrypted-tbn0.gstatic.com |
Setidak-tidaknya
terdapat dua jenis pengkajian Islam dilihat dari pelakunya dan masing-masing
jenis mempunyai tujuan sendiri: (1) pengkajian yang dilakukan oleh orang
Muslim, (2) pengkajian yang dilakukan oleh orang bukan Muslim.
Muslim
mengkaji, pada umumnya untuk tujuan pengamalan. Islam dipelajari dengan
pertanyaan utama: Apa pesan Allah kepada kaum beriman, melalui ajaran Islam,
dalam menjalani kehidupan di dunia ini? Hasil kajian adalah untuk diamalkan
atau ditinggalkan. Kalau pesan itu sudah ada dalam tulisan yang dibuat oleh
orang-orang terdahulu yang dianggap mempunyai kewenangan untuk merumuskan
perintah dan larangan Allah, maka pengkajian dimaksudkan untuk memahaminya. Kalau
sudah ada tetapi ternyata tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman, pengkajian
bisa jadi dimaksudkan untuk menyesuaikan apa yang sudah dirumuskan di masa
lampau dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang. Kalau belum ada,
maka pengkajian bisa jadi dimaksudkan untuk menghasilkannya.
Pengkajian
yang dilakukan oleh orang-orang bukan Islam mengalami perkembangan baik dari
metode maupun tujuannya. Hasilnya tentu saja mengikuti perkembangan itu. Pada
masa penjajahan dan sebelumnya ketika orang Kristen berusaha untuk merebut
kembali wilayah-wilayah yang dikuasai penguasa Muslim di Andalusia, pengkajian
Islam dimaksudkan untuk tujuan menglahakna dan menguasai umat Islam. Dalam
tradisi pengkajian yang disebut Orientalisme (Kajian orang Eropa terhadap
bangsa-bangsa Orient, atau Timur, tidak hanya Muslim), tujuan ini sangat
kentara pada awalnya. Di antara tokohnya adalah Christiaan Snouck Hurgronje
yang mulai penelitiannya dengan menyamar sebagai Muslim dengan nama ‘Abd
al-Ghaffar di Mekah dan kemudian menikah dengan putri pengulu di Jawa Barat
dengan pernikahan Islam. Di antara tujuan penelitiannya adalah mendapatkan
keterangan mengenai bagaimana mengalahkan Aceh dan membuat warga Indonesia yang
mayoritas beragama Islam patuh kepada Belanda.
Akan
tetapi, tujuan ini kemudian berubah ketika banyak dilakukan dalam kerangka
etnografi (the scientific description of the customs of individual peoples and
cultures atau pemerian ilmiah mengenai adat istiadat kaum dan budaya tertentu)
dan antropologi (ilmu tentang manusia, terutama budayanya) serta Islamologi
(ilmu tentang Islam). Di sini Islam dipelajari untuk mendapatkan gambaran yang
setepat-tepatnya tentang bangsa-bangsa yang menganut agama Islam. Kajian
dilakukan dengan semangat “seobyektif mungkin”. Di antara hasilnya adalah
diterbitkannya buku-buku klasik Islam semisal kitab al-Tauḥīd dari Imam
al-Māturīdi, al-Sīrah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyām, al-Kāmil fī
al-Tārīkh karya Ibn al-Atsīr dan Ḥikmat al-Isyrāq karya
al-Suhrawardi. Pada tahun-tahun terakhir ini Islam dan umat Islam dipelajari
dalam kerangka ilmu sosiologi, antropologi, kajian kawasan dan sebagainya untuk
tujuan akademik.
Di
antara ilmuwan yang menyampaikan kritik atas kajian yang dilakukan oleh ilmuwan
Barat terhadap Islam adalah almarhum Mohamed Arkoun. Sarjana Muslim warga
Perancis yang berasal dari Oran, Aljazair ini, mengritik kajian Barat terhadap
Islam yang disebutnya berkisar pada logosentrisme. Yang dimaksud dengan
logosentrisme adalah bahwa kajian tentang Islam itu berpusat pada apa yang
dianggap sebagai ungkapan resmi Islam. Logos berarti kata, perkataan;
dan dalam hal ini yang dimaksud adalah perkataan tentang Islam, atau Islam yang
diungkapkan dengan kata (yang ditulis). Kajian Barat tentang Islam, kata Arkoun
hanya bersandar pada Islam yang tertulis dalam buku-buku yang dianggap mewakili
paparan tentang Islam. Ini tidak dapat diterima, katanya, karena banyak unsur
dan aspek dari Islam yang tidak diungkapkan secara tertulis. Banyak bangsa
Muslim yang tidak mempunyai budaya tulis di samping banyak orang yang karena
sebab tertentu tidak dapat menuliskan keislamannya. Misalnya, mereka yang hidup
di bawah tekanan rezim otoriter yang tidak menenggang setiap ungkapan keislaman
yang berbeda dengan yang dianggap resmi.
Selain
itu, dikatakannya bahwa kajian Barat tidak memakai hasil-hasil pengembangan ilmu
di Barat untuk memahami Islam. Disebutnya setidak-tidaknya empat ilmu:
sosiologi yang mempelajari hukum-hukum (alam) dalam hubungan antar manusia baik
secara individu maupun kelompok, antropologi yang mempelajari manusia dengan
budayanya, ilmu bahasa dan sejarah.
Kajian
Barat tentang Islam juga tidak bertujuan untuk membantu kaum Muslim memecahkan
masalah yang mereka hadapi. Kajian tentang Islam dianggapnya hanya untuk
memuaskan rana ingin tahu (curiosité, curiosity).
Karena itu ia mengajukan apa yang disebutnya L’islamologie appliquée
(Islamologi terapan). Kajian Islam semestinya dilakukan dengan metode ilmiah
untuk mengungkap kenyataan keislaman, namun didorong keinginan untuk membantu memecahkan
persoalan yang dihadapi umat Islam yang selama ini membuat mereka tertinggal
oleh bangsa-bangsa maju. Menurutnya pengkaji Islam harus penggunaan keempat
ilmu yang disebutkan di atas untuk memahami Islam dari sejak kelahirannya
sampai keadaannya yang terakhir. Temuan-temuan mutakhir dalam penelitian
ilmu-ilmu semestinya dipergunakan untuk membuka hal-hal yang selama ini masih
belum cukup jelas dalam fakta-fakta keislaman.
Prof.
A. Mukti Ali, mengajukan usulan yang hampir serupa. Menurutnya, Islam harus
dikaji secara ilmiah (scientific), namun hasilnya harus memberikan
tuntunan yang berupa ajaran Islam atau setidak-tidaknya membantu umat Islam
untuk menyesuaikan ajarannya dengan tuntutan zaman (doctrinaire). Karena
itu kajian Islam yang diusulkannya itu disebut dengan kajian Islam yang scientific
cum doctrinaire, yakni kajian yang memenuhi persyaratan keilmuan pada
umumnya, namun berakhir dengan implikasi pengamalan bagi umat Islam. Untuk itu
Islam mesti dikaji secara socio-historical dan filosofis. Yang pertama
melihat dalam perjalanan umat Islam di masa lalu; bagaimana ajaran Islam
diamalkan umat Islam dalam hubungan internal dan eksternal mereka. Yang kedua
mempelajari esensi dari keislaman, sebagimana ada dalam sumber ajarannya dan
yang dipraktekkan oleh kaum Muslim. Yang pertama mempelajari proses, sedangkan
yang kedua mempelajari esensi.
Islam
dipahami sebagai doktrin
Ketika
Islam dipahami sebagai doktrin semata, maka orang melihatnya sebagai ajaran sakral
yang sudah selesai dirumuskan di masa lampau oleh ulama yang memegang otoritas
sebagai penafsir sumber-sumber utama Islam. Yang perlu dan dapat dilakukan pengkaji
masa kini adalah memahami sebaik-baiknya rumusan masa lampau, meringkasnya
dalam bentuk yang mudah dimengerti, menambah penjelasan, melengkapi argumen dan
seterusnya, tanpa mengubah isi pokok ajaran. Ajaran tidak boleh diubah dan
dipertanyakan (غير قابل للنقاش والتغيير).
Bagi
para penganut hanya ada satu pilihan, yaitu mengamalkan ajaran itu
sebaik-baiknya.
Akan
tetapi orang dapat melihat kenyataan bahwa para perumus ajaran itu semua adalah
manusia yang tidak dapat lepas dari sifat atau kodrat kemanusiaan. Mereka
membawa bakat, kekuatan dan kelemahan sejak lahir lalu dibentuk oleh lingkungan
tempat mereka berkembang. Mereka terbatas oleh ruang budaya yang berbeda satu
sama lain sesuai dengan ruang dan waktu. Karena itulah terdapat qawl qadīm (pendapat lama) dan qawl
jadīd (pendapat baru) dalam pemikiran fiqih Imam al-Syāfi’ī, misalnya. Qawl
qadīm dihasilkan pada saat beliau di Bagdad, sedangkan qawl jadīd
sewaktu beliau di Mesir.
Tidak
ada salahnya memandang Islam sebagai doktrin, namun ini harus diikuti dengan
kesadaran bahwa doktrin itu tidak suci dan tetap, melainkan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan ruang dan waktu. Beberapa pemikir Muslim, sejalan dengan itu,
membagi ajaran Islam menjadi dua bagian sehubungan dengan itu: yang tetap dan
tidak boleh diganggu-gugat (al-tsawābit الثوابت)
dan yang boleh berumah (al-mutaghayyirāt المتغيرات).
Yang pertama adalah bagian-bagian pokoknya, semisal keesaan Allah, atau
prinsip-prinsip seperti keadilan, sementara yang kedua adalah yang bersifat
cabang seperti cara berpakaian. Akan tetapi batas antara keduanya tidak
disepakati. Hal-hal mana yang harus masuk dalam bagian pertama dan mana yang
masuk bagian kedua tidak mudah ditentukan batasnya dengan pasti.
Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pengkajian Islam oleh orang Islam semestinya membantu
kaum Muslim menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupan
mereka semisal kemiskinan dan keterbelakangan yang menyebabkan banyak di antara
mereka yang bersikap reaktif terhadap hal-hal yang dirasakan melecehkan
kehormatan mereka. Ada yang mengistilahkannya dengan kaum sumbu pendek yang
mudah sekali meledak atau bereaksi spontan yang sering kali destruktif.
Karena
itu harus dihindari sifat kajian yang hanya mencari kelemahan atau kekurangan
Islam, sehingga hasilnya akan menampilkan Islam sebagai agama yang anti
kemajuan dan tak mampu memberikan sumbangan positif bagi kemajuan kemanusiaan.
Jangan sampai kajian Islam berakhir dengan pelecehan terhadap agama Islam dan
umat Islam. Kajian seperti ini pastilah akan kontra produktif bagi usaha
peningkatan kehidupan umat manusia.
Baca Juga: Pengertian Islam
Kajian
yang dilakukan oleh Ali Sina yang diunggah dalam website http://www.faithfreedom.org/author/asina/,
yang sekarang diblokir pemerintah Indonesia adalah contohnya yang paling jelas.
Orang ini (atau kelompok?) dengan jelas menyatakan bahwa tujuan kajian dan
diskusi Islam di dalam ruang mayantara (virtual) itu adalah “to wean Islam from
the Muslims” atau menghapus Islam dari kaum muslimin. Tentu yang seperti ini
tidak patut dilakukan terhadap Islam dan agama lainnya.
0 komentar:
Post a Comment