Pendekatan Historis, data:image |
PendekatanHistoris
Sejarah:
-
Peristiwa
yang telah terjadi di masa lampau (ما حدث في الماضي,
ce qui est passé, what happened in the past) = sejarah sebagai peristiwa
-
Sejarah
sebagai cerita (سرد الأحداث, account of the past,
l’histoire de ce qui est passé) = sejarah sebagai cerita
-
Sebuah
peristiwa tidak terjadi secara terpisah dari yang mendahuluinya dan yang
sesudahnya
-
Sejarah
berbicara tentang asal-usul dan perubahan = perkembangan dalam waktu.
è Pendekatan
historis terhadap Islam berarti menganggap Islam sebagai sebuah organisme yang
berkembang dan melihat perkembangan itu sebagai pokok kajian.
Beberapa catatan
tentang Sejarah
1.
Sejarah
ditulis berdasarkan fakta, tetapi fakta selalu tidak cukup dan karenanya
digunakan juga imajinasi untuk membangun kembali masa lampau. Yang penting di
sini adalah eksplanasi yang masuk akal
2. Sejarah
mempelajari proses dalam waktu: asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan dari
sekelompok orang, suatu ide, suatu praktek dsb. Yang menjadi perhatian adalah
apa yang diyakini benar-benar terjadi di masa lampau. Untuk melalkukan itu,
keyakinan dasar bahwa tidak ada yang sakral dalam penyelidikan sejarah
merupakan dasar paling dalam.
3. Ide dan peristiwa
selalu berada dalam konteks. Karena itu, kesadaran akan ruang dan waktu sangat
penting dalam penelitian historis.
4. Manusia merupakan
pelaku sejarah dan manusia mempunyai tabiat dasar yang tetap. Karena itu,
sejarawan yakin bahwa apa yang terjadi pada masa lampau dapat diterangkan
berdasarkan pengalaman manusia masa kini. Ide dan peristiwa selalu berada dalam
konteks. Karena itu, kesadaran akan ruang dan waktu sangat penting dalam
penelitian historis. Di dalam bahasa Perancis dikatakan orang l’histoire se
répète (sejarah berulang). Akan tetapi dalam kenyataannya, tidak pernah ada
peristiwa yang sama. Karena itu dikatakan ole seorang filsuf Yunani, Demokritos:
Πάντα ῥεῖ (Panta rhei), on the same stream one never steps twice.
(Semua mengalir; pada aliran air tidak ada orang yang dapat mencebur dua kali).
5. Manusia merupakan
pelaku sejarah dan manusia mempunyai tabiat dasar yang tetap. Karena itu,
sejarawan yakin bahwa apa yang terjadi pada masa lampau dapat diterangkan
berdasarkan pengalaman manusia masa kini.
àPendekatan
historis terhadap Islam: Islam adalah sesuatu (ajaran, umat, entitas politik
dst.) yang berproses dalam ruang dan waktu.
Metode Sejarah:
I.
Merumuskan pertanyaan
II.
Mengumpulkan bahan-bahan (Heuristik), the search for material on which
to work, for sources of information.
III.
Meneliti data yang terkumpul (Kritik), the appraisement of the material
or sources from the viewpoint of evidential value ® menyusun fakta.
1.
Kritik
eksternal
2.
Kritik
internal
IV.
Merumuskan hasil, formal statement of the findings of heuristic and criticism
which includes the assembling of a body of historical data and their
presentation in terms of objective truth and significance (synthesis and
exposition).[1]
Ada yang
memberikan variasi lain sebagai berikut:
IV. Menafsirkan fakta (Auffassung)
V. Menulis cerita (Darstellung),
Menurut Drijvers, ada empat tahap yang
harus dilalui dalam penerapan metode historis:
1. Examination of the facts on the basis
of the available data.
2. Formulating an explanatory hypothesis.
3. Analysis of the implications of this
hypothesis.
4. Checking these implications by means of
additional data.[2]
Menurut Joachim
Wach, pendekatan historis “attempts to trace the origin and growth
of religious ideas and institutions through definite
periods of historical development and to assess the role of the forces
with which religion contended during these periods.[3]
(Pendekatan historis berusaha untuk melacak asal usul dan pertumbuhan ide-ide
dan lembaga-lembaga keagamaan sepanjang jangka waktu tertentu dari perrumbuhan
historis dan menilai peran kekuatan-kekuatan yang dilawan agama selama waktu
itu).
… the plurality of
religions in the present world and the variety of cultures moulded by different
religions cannot adequately understood without a thoroughly historical study of
the origin, growth, and development of particular religion, affected by ongoing
dynamic of continuity and change.[4]
(kemajemukan agama-agama di masa kini dan keragaman budaya yang dibentuk oleh berbagai
agama tidak dapat dipahami secara seksama tanpa kajian historis terhadap
asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan agama tertentu, yang digerakkan oleh
dinamika kesinambungan dan perubahan yang terus berlangsung)
Keuntungan metode
historis
Memberikan
gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi, dalam pengertian apa yang dapat
dibangun berdasarkan fakta-fakta yang telah dibuktikan—melalui kritik internal
dan eksternal—dapat dipercaya. Walaupun dalam penjelasan historis seseorang
mempergunakan penyimpulan dan imajinasi untuk menutupi hal-hal yang
tersembunyi, semua itu dilakukan atas dasar peninggalan masa lampau yang
meyakinkan.
Yang dipelajari
dalam sejarah adalah asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan atau ringkasnya
perubahan. Ini membawa kepada sikap terbuka dan kritis. Peneliti sejarah agama
akan sadar bahwa setiap agama bergulat dengan kehidupan sehari-hari,
terpengaruh dan mempengaruhi kekuatan-kekuatan yang bermain dalam kehidupan
manusia. Dengan demikian, semua perkembangannya akan diperlakukan sama. Apa
yang disakralkan oleh suatu kelompok atau aliran tertentu dalam agama, lalu
kelihatan prosesnya yang bersifat “biasa” dalam sejarah dan karenanya tidak
lagi diatribusikan kepada suatu sebab tunggal ilahiah, melainkan kepada
perjalanan sejarah para pemeluk agama itu.
Keterbatasan metode historis
Kemungkinan tergelincir
dalam historisisme, yakni kepercayaan bahwa dengan mengetahui proses
kesejarahan, orang sudah memahami obyek dengan sepaham-pahamnya. Historisisme
melupakan satu postulat sejarah sendiri, yakni bahwa obyek kajiannya mengalami
perubahan. Sejarawan baru memahami bagian yang telah lewat, sedangkan yang akan
datang—walaupun sebahagiannya dapat diprediksikan—mengandung
kemungkinan-kemungkinan yang sering kali tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Subyektivitas yang
timbul karena data selalu tidak cukup sehingga dalam membuat penjelasan dan
paparan yang utuh tentang masa lampau (rekonstruksi dan eksplanasi) orang mesti
menggunakan imajinasi (di samping penafsiran dan penyimpulan). Dalam melakukan
ini, proyeksi pengalaman diri atas tokoh sejarah yang diselidiki sangat sulit
dihindari.
Multi-interpretability data kesejarahan.
Ini dapat menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan fakta-fakta historis.
Walaupun penjelasan logis dapat mendukung setiap interpretasi yang dibuat, kemungkinan
interpretasi “lain” akan tetap ada. Menyebutkan semua interpretasi yang mungkin
dibuat akan membuat pemaparan sejarah terlalu luas dan mengesankan ketiadaan
sikap, tetapi membatasi hanya pada satu atau dua interpretasi menimbulkan
dugaan akan kesempitan pandangan.
Pendekatan historis tidak memberikan kesimpulan
praktis. Karena sifatnya menggambarkan dan menjelaskan, sejarah tidak
menjangkau apa yang kemudian semestinya dikerjakan setelah obyek kajiannya diketahui
dan alasan-alasan perbuatannya di masa lampau dimengerti. Dengan mengingat
bahwa suatu obyek akan tetap mempertahankan sebahagian besar dari
sifat-sifat dasarnya, orang lalu dapat
memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Namun ini tidak
menjadi tanggung jawab peneliti sejarah, walaupun pengetahuan yang cukup
tentang masa lampau akan memberikan bekal bagi seseorang dalam melihat masa
depan
Baca Juga: Islam | Pembentukan dan Perkembangan
[1]Lihat Gilbert J.
Garraghan, S.J., A Guide to Historical Method, ed. Jean Delangiez, S.J.
(New York: Fordham University, 4th printing, 1957), 34. Di sini
Garragham hanya menyebutkan tiga bagian, mulai angka Romawi II.
[2]H. J. W. Drijvers,
“Theory Formation in Science of Religion and the Study of History of Religion”
sebagaimana dikutip oleh Ursula King, “Historical and Phenomenological
Approaches” dalam Frank Whaling (ed.), Contemporary Approaches to the Study
of Religion (Berlin, New York & Amsterdam: Mouton Publishers, 1984),
I:85.
[3]Lihat bukunya, The
Comparative Study of Religions, ed. Joseph M. Kitagawa (New York: Columbia
University Press, 1958), 21.
[4]King, “Historical
and Phenomenological Approaches” dalam Whaling, ibid., I:36-7.
0 komentar:
Post a Comment