Pendekatan-Pendekatan dalam Kajian Islam | Pendekatan Normatif

Buku dan Pena, http://mahad-assalafy.com


Islam dalam kenyataan historis terdiri dari beberapa hal:
1. Sumber-sumber ajaran. Secara ijmak al-Qur’an (Alquran, Quran) diakui sebagai sumber utama dan al-Sunnah (Sunnah Nabi, al-Hadīts, Hadis) sumber kedua. Sumber ketiga dan seterusnya tidak sepenuhnya disepakati, seperti ijmā’ (ijmak, konsensus), ‘urf (kebiasaan baik yang berlaku pada masyarakat Muslim) dan ra’y (penalaran). Mengenai ijmak, perbedaan pendapat berkenaan dengan apakah itu merupakan sumber atau metode. Jika sumber, ijmak siapa yang mesti diambil? Ijmak para Sahabat Nabi Muhammad saw., ijmak para ulama, atau ijmak umat? Kalau ijmak para Sahabat, apa yang diambil dari situ: metodenya, isinya atau kedua-duanya? Kalau ijmak para ulama, bagaimana caranya, sejauh mana hasilnya mengikat kaum Muslimin, apakah orang yang berada jauh dari segi ruang dan waktu boleh menyelisihinya atau membuat ijmak sendiri? Kalau ijmak umat, bagaimana caranya, keabsahannya dst.
Mengenai kemungkinan ijmak menjadi metode, penjelasannya adalah: di dalam Islam tidak ada otoritas (pihak yang berwenang) untuk menentukan bahwa hukum ini berlaku atau tidak berlaku pada umat Islam. Yang ada secara pasti dan tidak diperdebatkan adalah al-Qur’an sebagai sumber, sementara pemahaman terhadapnya bisa sangat bervariasi. Dari sebuah ayat yang sama dapat dipahami pengertian yang berbeda. Ayat: وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ [الصافات: 96], (sedangkan Allah menciptakan kalian dan misalnya, dipahami oleh kaum Asy’ariah sebagai pernyataan bahwa manusia dan perbuatannya diciptakan oleh Allah, sementara kaum Mu’tazilah tidak. Bagi kaum Asy’ariah kata مَا تَعْمَلُونَ dipahami sebagai “apa yang kalian lakukan”, sedangkan bagi kaum Mu’tasilah kata ini berarti “[bahan dari] apa yang kalian buat” yakni patung. Ayat ini merupakan argumen yang diajukan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya ketika beliau mereka persalahkan karena telah menghancurkan patung-patung yang mereka sembah. Beliau lalu berkata, “Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat ini, sedangkan Allah menciptakan kalian dan apa yang kalian buat?” Jadi beliau mempersalahkan mereka karena telah menyembah patung yang kedudukannya sama (atau bahkan lebih rendah), yakni patung yang juga diciptakan.
Adat kebiasaan yang berlaku pada kaum Muslimin juga begitu. Kapan ia menjadi sumber hukum mengapa ia menjadi sumber hukum? Kalau ada bagian-bagiannya yang berbeda atau bertentangan dengan ajaran Islam yang dirumuskan di tempat dan waktu lain, apakah ia dapat dijadikan sumber?
2. Norma-norma, yakni aturan-aturan yang mengikat pemeluknya, menjadi panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang berlaku dan berterima. Bahwa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah baik, sedangkan mencuri tidak baik. Bahwa giat belajar adalah baik, sedangkan malas belajar dan mencontek sewaktu ujian adalah tidak baik. Bahwa menolong orang lain yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya adalah baik, sedangkan membiarkannya tak tertolong adalah tidak baik. Demikian seterusnya. Ada perbuatan yang wajib dilakukan, ada yang dianjurkan (sunat), ada yang dibebaskan tanpa anjuran atau larangan (mubah), ada yang tidak dianjurkan (makruh) dan ada yang tidak boleh dilakukan (haram).
3. Rumusan ajaran: akidah, fiqih dan akhlaq. Untuk memudahkan pemeluk Islam mengerti ajaran agamanya, para ulama merumuskan ajaran-ajaran Islam dalam tiga jenis literatur atau buku ajaran. Rumusan akidah ditemukan dalam buku-buku akidah, ilmu kalam, ilmu tauhid atau ushuluddin, rumusan mengenai kewajiban-kewajiban keagamaan dan larangan-larangannya ditemukan dalam buku-buku fiqih, buku-buku peribadatan yang bersifat umum atau buku-buku khusus seperti pesalatan, tuntunan salat, tuntunan puasa, tuntunan berniaga dan tuntunan berhaji. Rumusan tentang tata perilaku dan disiplin diri terdapat dalam buku-buku akhlaq dan buku-buku adab.
4. Umat yang melaksanakan ajaran. Islam juga dipahami sebagai kumpulan orang-orang menganut ajaran Islam yang disebut umat Islam atau kaum Muslimin. Perilaku dan keadaan mereka selalu dipandang sebagai cermin dari Islam dalam kehidupan nyata, untuk yang baik maupun yang buruk. Akhir-akhir ini Islam diidentikkan dengan kekerasan, kebodohan dan kemudahan diprovokasi untuk melakukan perbuatan tidak tertib atau pengrusakan. Ini terjadi karena ada cukup banyak orang beragama Islam yang melakukan tindakan-tindakan itu, walaupun sebenarnya itu semua bertentangan dengan ajaran Islam.
5. Kebudayaan yang dihasilkan umat. Ini mencakup baik budaya fisik semisal arsitektur rumah ibadah, kuburan dan kompleks perumahan; tradisi berpikir dan berargumen; kesenian; upacara dan hal-hal lainnya yang dihasilkan oleh umat Islam. Tidak selalu kebudayaan yang dihasilkan oleh umat Islam ini sesuai dengan ajaran Islam, karena sifat dasar atau tabiat kebudayaan itu sendiri, yakni dihasilkan oleh keseluruhan anggota masyarakat, sementara tidak semua anggota masyarakat Islam memahami ajarannya, mematuhinya dengan serius dan mencocokkan semua tindakannya dengan perintah dan larangannya.
Karena itulah kajian terhadap Islam dapat (dan mau tidak mau) dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pendekatan berkaitan erat dengan definisi atau asumsi dari pengkaji terhadap obyek kajiannya. Barangkali hal ini akan menjadi lebih jelas dengan mengambil contoh kerumunan orang yang tiba-tiba muncul di halaman kampus. Bagi seorang satpam kerumunan bisa diasumsikan sebagai orang-orang yang bersiap-siap untuk berdemo, maka pendekatan yang digunakannya kemungkinan besar adalah pendekatan keamanan: bagaimana kerumunan itu tidak berkembang menjadi demonstrasi yang gaduh dan desktruktif. Seorang pedang minuman kemungkinan akan mendefinisikan kerumunan itu sebagai kesempatan untuk menjajakan dagangannya, maka ia bisa jadi akan mendekatinya dengan membawa botol-botol air mineral yang dijualnya dengan harga sedikit mahal. Lain lagi dengan dosen yang tempat kuliahnya tidak jauh dari kerumunan itu. Ia bisa jadi mendefinisikan situasi itu sebagai potensi kegaduhan, maka pendekatannya bisa jadi pendekatan komunikasi—entah dengan pejabat kampus, entah dengan pentolan mahasiswa—untuk mengusahakan agar tidak muncul kebisingan yang akan mengganggu perkuliahan.
Dengan demikian, kajian terhadap Islam sangat tergantung pada asumsi atau definisi pengkaji terhadap Islam. Pendekatan dan metodenya akan berbeda sejalan dengan perbedaan pandangan masing-masing pengkaji tentang Islam, atau aspek mana dari realitas Islam yang akan dijadikan obyek kajian.
Pendekatan normatif
Kajian terhadap Islam pada garis besarnya dapat dibagi menjadi pengkajian dengan pendekatan normatif dan pengkajian dengan pendekatan non-normatif. Yang terakhir ini dapat berupa pengkajian historis, sosiologis, antropologis, filosofis dan sebagainya yang secara bebas mengamati dan menganalisis gejala keislaman.
Pengkajian dengan pendekatan normatif berusaha untuk menemukan, memahami dan menjelaskan norma-norma yang semestinya dipakai sebagai pedoman oleh seorang Muslim dan aturan-aturan keagamaan yang semestinya dijalankan. Kajian ini melihat Islam sebagai suatu ajaran yang mutlak, kebenarannya tidak terikat dengan ruang atau waktu. Ajaran ini diyakini sebagai bimbingan dari Allah untuk umat manusia, yang tidak boleh dipersoalkan kebenarannya. Yang tinggal bagi orang yang percaya adalah mengamalkannya dengan sesetia mungkin.
Pendekatan normatif terhadap Islam didasari pada anggapan bahwa Allah menurunkan aturan-aturan untuk dijadikan pedoman bagi orang yang percaya. Aturan-aturan itu disampaikan melalui wahyu (al-Qur’an) yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan sabda beliau, perbuatan dan penetapannya. Yang terakhir ini (yang disebut taqrîr) adalah persetujuan beliau atas usulan atau praktik Sahabat beliau. Sabda, perbuatan dan penetapan beliau itu—kadang-kadang ditambah dengan rangkaian nama orang-orang yang menjadi sandaran dalam periwayatan (sanad) dan informasi ringkas mengenai beberapa hal yang dianggap penting oleh periwayat—dikumpulkan dalam literatur yang disebut hadîts.[1] Dengan pendekatan normatif, pengkaji berusaha untuk menangkap pesan-pesan Allah dalam firman-Nya dan penjelasan yang diberikan melalui sunnah[2] Nabi-Nya.
Ilmu kalam: mempertahankan iman dengan dalil rasional
Fiqh: titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang dibebani hukum/kewajiban.
Akhlak : aturan baik buruk yang berkenaan dengan perilaku manusia.
Pada umumnya kajian dalam ketiga ilmu ini menggunakan pendekatan normatif.
Ilmu bahasa, terutama mengenai seluk beluk bahasa Arab, merupakan penolong yang sangat penting dalam pendekatan ini, karena kedua sumber Islam di atas tersusun dalam bahasa Arab. Demikian juga pengetahuan-pengetahuan teknis seperti cara menyimpulkan, menyelesaikan pernyataan-pernyataan yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dan memilih di antara kemungkinan-kemungkinan makna yang tersedia.
Ciri umum dari kajian ini adalah Kurang memperhatikan kesejarahan teks, yakni bagaimana teks—termasuk teks kitab suci—lahir dalam kaitan dengan suasana tertentu dalam waktu tertentu dan di tempat tertentu. Kesadaran mengenai kaitan setiap teks dengan suasana tertentu ini sudah sejak lama ada dengan bukti munculnya riwayat mengenai sabab nuzûl ayat-ayat al-Qur’an dan sabab al-wurûd hadis. Sabab nuzûl dimaknai sebagai riwayat mengenai kejadian atau suasana tertentu yang ada menjelang atau berkaitan dengan turunnya ayat tertentu dari al-Qur’an. Sumber-sumber Islam yang pokok itu dianggap lepas dari ruang dan waktu
  الثوابت والمتغيرات ( yang tepat tidak berubah dan yang boleh berubah)
Ciri pendekatan normatif terhadap Islam:
·         Berangkat dari teks dengan metode deduktif, tidak mau berangkat dari konsep yang dikembangkan pada realitas historis kehidupan manusia
·         Terkungkung pada tradisi keislaman; tidak terbuka terhadap temuan-temuan baru dalam ilmu pengetahuan, kecuali jika ada mendukung kebenaran ajaran
·         Mengklaim kebenaran ajaran.
·         Tidak kritis.
·         Tidak sensitif terhadap persoalan nyata yang dihadapi umat; problem umat dianggap muncul karena ketidaksetiaan mereka kepada ajaran Islam.
ما لا يدرك كله لا يترك كله
من اعان على معصية ولو بشطر كلمة كان شريكا له فيها


Baca Juga: Pendekatan Historis


[1]Dalam bahasa Indonesia ditulis dengan hadis.
[2]Secara etimologis, sunnah berarti jalan yang terbentuk karena sering dilewati. Sebagai istilah, sunnah berarti kebiasaan atau perkataan dan/atau perbuatan yang berpotensi untuk menjadi kebiasaan. Jadi, sunnah nabi berarti hal-hal yang sering beliau lakukan dan cara beliau melakukan sesuatu perbuatan serta ucapan-ucapan beliau yang “dapat” dijadikan contoh dan pedoman oleh pengikut beliau. Jika disebut al-Sunnah saja, maka yang dimaksud adalah sunnah Nabi Muhammad saw. sebagaimana terdapat dalam literatur hadis.

0 komentar:

Post a Comment