SURAT AL-ISRA AYAT 78-79 (Waktu Shalat)


SURAT AL-ISRA AYAT 78-79  (Waktu Shalat), https://alquranmulia.files.wordpress.com
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah membeikan nikmat yang begitu banyak sehingga kami bisa melaksanakan salah satu kewajiban kami sebagai seorang pelajar untuk mencari ilmu yang sebanyak-banyaknya agar bisa diamalkan sehari-hari serta di sampaikan kepada orang lain di kemudian hari.
Dalam penyusunan makalah ini tentu saja penyusun mendapati beberapa tantangan maupun hambatan. Tetapi karena di dasarkan pada keinginan dan semangat yang tinggi, beberapa kendala Alhamdulillah dapat teratasi. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada Bapak Dr. Afdawaiza, S.Ag., M.Ag.. yang telah membimbing dan mengarahkan kami sehingga bisa menjadi insan yang lebih baik di lingkungan akademik.
Penyusun menyadari betul akan segala kekurangan yang ada dalam tulisan ini. Sehingga, kritik dan saran dari semua pihak juga sangat kami butuhkan. Harapan kami selanjutnya semoga apa yang kami sajikan ini bisa memberikan manfaat bagi kami secara khusus dan bagi orang banyak secara umum.


 Yogyakarta, 15 Maret 2018

Penyusun






DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 2
D. Metode Penelitian 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Ayat dan Terjemah 3
B. Makna Mufrodat 3
C. Asbanunnuzul 4
D. Munasabah Ayat 5
E. Tafsir Ayat 5
F. Hukum Kandungan Ayat 12
BAB III PENUTUP 15
A. Kesimpulan 15
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 17 
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 
Shalat merupakan salah satu ibadah yang teramat berharga bagi pemberat timbangan manusia di Hari Akhir. Kedudukannya dijadikan sebagai amalan yang pertama dihisab. Dari apa yang diketahui bahwa shalat merupakan ibadah harian yang dilakukan oleh umat islam, dengan menjalankannya selama 5 kali dalam sehari untuk pelaksaan shalat wajib, dan  diiringi dengan banyaknya shalat lain yaitu shalat sunnah. Dalam hal ini, islam mengatur secara rinci mengenai pelaksanaan waktu shalat ini. Disisi lain shalat pada waktunya pun menjadi salah satu syarat sah sebuah shalat. Segelintir kekeliruan yang tampak, dibarengi dengan banyaknya faktor yang menghambat dalam diketahuinya waktu shalat secara pasti. 
Selanjutnya, islam menyediakan sebuah tatanan shalat yang kedudukannya lebih tinggi diantara shalat sunnah lainnya. Dengan adanya penghambat  yang sejatinya merupakan sebuah hal yang sulit untuk dilakukan yakni shalat Tahajjud. Dalam hal ini, penulis akan menggali lebih dalam mengenai waktu shalat yang diatur dalam islam, yang dalam hal ini penulis lebih fokus pada kajian tafsir al-Qur’an dan hadits sebagai pendamping. 

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas untuk memudahkan penulis, maka penulis akan merumuskan masalah. Masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Asbab an-Nuzul Surah al-Isra Ayat 78-79 ?
2. Bagaimana Makna Mufrodat dari Surah al-Isra ayat 78-79 ?
3. Bagaimana Munasabah Ayat Surah al-Isra ayat 78-79 ?
4. Bagaimana Tafsir Ayat Surah al-Isra ayat 78-79 ?
5. Bagaimana Hukum yang terkandung dalam Surah al-Isra ayat 78-79 ?


C. Tujuan Penulisan
Untuk memperoleh hasil yang terarah maka diperlukan adanya tujuan penulisan dari makalah ini, yaitu untuk mengetahui:
1. Asbab an-Nuzul Surah al-Isra Ayat 78-79.
2. Makna Mufrodat Surah al-Isra Ayat 78-79.
3. Munasabah Ayat Surah al-Isra Ayat 78-79.
4. Tafsir Ayat Surah al-Isra Ayat 78-79.
5. Hukum yang Terkandung dalam Surah al-Isra Ayat 78-79.

D. Metode Penulisan
Metode penelitian yang kami lakukan yaitu metode studi kepustakaan.  Dengan cara kami mengambil sumber dari buku-buku yang ada di perpustakaan, kemudian kami baca dan pahami. Setelah itu kami susun ke dalam makalah ini. 

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat dan Terjemah
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا۞ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا۞
(78) Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
(79) Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

B. Makna Mufrodat
دُلُوكِ الشَّمْسِ : Tergelincirnya matahari dari lingkaran pertengahan siang ( meridian)
الغَسَقِ : kegelapan yang pekat
قُرْآنَ الْفَجْرِ : shalat subuh
كَانَ مَشْهُودًا : malaikat jaga siang dan malaikat jaga malam, semua berkumpul pada waktu subuh untuk bertukar giliran. Jadi orang yang mengerjakan shalat subuh disaksikan banyak malaikat. Berbeda dengan shalat lain, yang hanya disaksikan oleh malaikat jaga siang saja, atau oleh malaikat jaga malam saja. 
التَّهَجُّد : bangun dari tidur untuk melakukan shalat
نَافِلَةً : kewajiban tambahan atas sembahyang 5 waktu yang difardhukan kepadamu
المَقَامُ المَحْمُود : tempat pemberian syafaat yang terbesar disaat pengadilan Tuhan dimana taka da seorang kecuali dibawah panji Rasulullah SAW. 

C. Asbabunnuzul 
Imam Syafi’I berkata “menurut satu pendapat, ayat di atas menasakh ayat lain yang terdapat didalam surat Al-Muzammil yaitu ayat 1-2  , dengan firman-Nya yang berbunyi:
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). 
Imam Syafi’I berkata “ penjelasan sunnah Rasulullah yang telah dipaparkan tadi, aku terima dari Malik, dari pamannya, Abu Suhail bin Malik, yang bersumber dari ayahnya bahwa dia mendengar Thalhah bin Ubaidillah berkata “ suatu ketika seorang laki-laki menemui Rasulullah. Orang itu bertanya kepada Beliau tentang islam, Rasulullah pun bersabda 
خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِيْ اليَومِ وَاللَّيلَةِ
“(Islam adalah) melakukan shalat lima waktu dalam sehari semalam.” Orang itu bertanya lagi, “adakah sesuatu (shalat) yang lain yang harus kulakukan?” Rasulullah menjawab, “tidak, kecuali jika kau ingin mengerjakan (shalat) sunnah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’I, dan lain-lain). 
Imam Syafi’I berkata “jumlah shalat wajib hanya lima waktu, shalat selain yang lima itu hukumnya sunnah.”  
Dalam sumber lain dikatakan bahwa Ayat ini turun bertepatan dengan suatu peristiwa Nabi SAW dan umat islam diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu wajib dalam sehari semalam, sedang ketika itu penyampaian Nabi SAW baru bersifat lisan dan waktu-waktu pelaksanaannya pun belum lagi tercantum dalam Al-Qur’an, hingga akhirnya turunlah ayat ini.  

D. Munasabah Ayat
Pada ayat sebelumnya yaitu surah al-Isra’ ayat 73 tentang tipu daya orang-orang kafir dan provokasi mereka. Oelh karena itu, dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk beribadah menghadap Allah dan tidak menyibukkan diri dengan orang-orang kafir.
Ayat ini turun setelah ayat-ayat tentang ketuhanan, hari akhir, dan tentang kenabian. Setelah ayat-ayat tersebut maka datang Firman Allah berupa perintah shalat sesuai waktunya dan tentang sebaik-baiknya ibadah.
Ayat ini juga menjelaskan tentang janji Allah berupa tempat yang baik yang diartikan sebagai syafa’ah al - ‘Uẓma sesuai kesepakatan para mufasir. Adapun perintah mendirikan shalat tahajud dan janji Allah tentang tempat yang baik merrupakan ajakan Allah agar manusia memperhatikan hal-hal yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hayyan bahwa penjelasan dan isi ayat ini masih bersifat umum. 

E. Tafsir Ayat
Firman Allah أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ. dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. Ketika disebutkan berbagai tipu daya orang-orang musyrik maka Allah memerintahkan Nabi-Nya agar bersabar dan memelihara shalat. Didalamnya adalah permohonan kemenangan atas semua musuh. Perumpamaannya, sebagaimana dalam Firman Allah, 
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ۞ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ۞
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan (78), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat) (79).” (al-Hijr)
Telah berlalu penjelasannya berkenaan dengan makna “mendirikan shalat” dibagian awal surat al-Baqarah. Ayat ini berdasarkan ijma’ para ahli tafsir menunjukkan pada shalat fardhu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat, tentang “tergelincir” menjadi dua pendapat:
1. Artinya adalah tergelincirnya matahari dari jantung langit (zenith). Demikianlah dikatakan oleh Umar dan putranya, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan sekelompok selain mereka dari kalangan ulama, tabi’in dan lain-lain.
2. دُلُوكِ adalah terbenam. Demikian dikatakan oleh Ali, Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Demikian diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Al-Mawardi berkata “barangsiapa menjadikan دُلُوكِ sebagai isim yang menunjukkan arti terbenam karena manusia memejamkan kedua matanya saat istirahat. Dan jelasnya keadaan matahari terbenam. Sedangkan yang menjadikannya sebagai isim yang menunjukkan arti tergelincir karena dia memejamkan kedua matanya disebabkan kuatnya cahaya matahari.” 
Di dalam bahasa bahwa permulaan دُلُوكِ adalah tergelincir dan akhirnya adalah terbenam. Dari waktu tergelincir hingga terbenam dinamakan دُلُوكِ karena dalam keadaan miring. Maka Allah menyebutkan shalat-shalat yang ada dalam kondisi cenderung, sehingga termasuk didalamnya shalat dzuhur, ashar dan maghrib. Boleh juga maghrib, masuk ke dalam غَسَقِ اللَّيْلِ.
Suatu kaum berpendapat bahwa shalat dzuhur waktunya memanjang dari matahari tergelincir hingga matahari terbenam. Karena Allah mengaitkan hukum wajibnya dengan دُلُوكِ sedangkan sepanjang waktu tersebut adalah دُلُوكِ semuanya. Demikian dikatakan oleh al-Auza’I dan Abu Hanifah dalam Tafsyil. Malik dan asy-Syafi’I mengisyaratkan kepadanya dalam kondisi darurat.
Firman Allah إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ “sampai gelap malam” Malik meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata “دُلُوكِ الشَّمْسِ adalah tergelincirnya, sedangkan غَسَقِ اللَّيْلِ adalah bergabungnya malam dengan gelapnya. Sedangkan Abu Ubaidah berkata “الغَسَق adalah kelamnya malam. 
Dikatakan غَسَقِ اللَّيْل, قُسُوقاً dan الغَسَق adalah isim dengan fathah pada huruf sin, yang makna aslinya dari kata سَيلاَنُ atau (aliran). Dikatakan غَسَقَةِالعَينِ artinya mata yang mengalirkan airnya. “تَغسَقَ وَ غَسَقَ الجَرحُ غَسقَاناً artinya, luka yang mengalirkan air berwarna kuning.  اَغسَقَ المُأَذِّنُartinya jika muadzdzin mengakhirkan shalat maghrib hingga gelap malam.
Al fara’ mengikuti غَسَقَ الّيلُ وَ اَغسَق, ظَلَمَ وَ اَظلَمَ, وَدَجَ وَاَدجَ, وَغَبَصَ وَ اَغبَصَ (menjadi gelap malam). Sedangkan ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata kepada muadzdzinnya dihari yang mendung اَغسِق اغسِق artinya akhirnya shalat maghrib hingga malam menjadi gelap. Yaitu mulai muncul gelapnya.
Firman Allah وقرءان الفجر “(dirikanlah pula shalat) Shubuh” kata qur’an manshub karena dua hal:
Salah satunya, Ma’thuf kepada shalat. Artinya: Dirikanlah shalat fajar. Maksudnya, shalat subuh. Demikian dikatakan oleh Al-Farra’. Sedangkan ulama Basrah mengatakan, “Manshub karena untuk ighra’(perintah). Maksudnya, hendaknya engkau tegakkan shalat fajar. Demikian dikatakan oleh Az-Zujjaj.
Diungkapkan dengan kata “Qur’an” adalah khusus untuk shalat subuh dan bukan untuk shalat-shalat yang lain, karena panjangnya bacaan qur’an saat shalat subuh. mengingat karena bacaannya sangat panjang dengan suara keras sebagaimana yang dipahami dan tertulis dari Az-zujjaj pula.
Menurut Al-Qurthubi: telah jelas di Madinah bahwa memanjangkan bacaan Al-quran dalam shalat shubuh dengan ukuran tidak membahayakan orang dibelakang imam-dalam shalat subuh membaca yang panjang-panjang ayatnya dan berikutnya dalam shalat dzuhur dan jum’at-sudah mentradisi. Lalu meringankan bacaan dalam shalat maghrib dan membaca yag pertengahan pada shalat ashar dan isya’. Ada yang mengatakan berkenaan dengan shalat ashar: “diringankan seperti dalam shalat maghrib.”
Sedangkan yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lain-lain adalah memanjangkan bacaan pada shalat-shalat yang biasa dengan bacaan pendek dan memendekkan bacaan pada shalat-shalat yang biasa dengan bacaan panjang. sebagaimana yang dilakukan Rasullulah dalam shalat subuh yang membaca Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), sebagaimana diriwayatkan oleh An-Nasa’I dan beliau membaca surah Al-A’raaf da Al-Mursalat serta Ath-Thuur dalam shalat maghrib, adalah hadits matruk dalam pengamalannya dan juga karena beliau mengingkari Mu’adz saat menjadi imam kaumnya dengan memanjangkan bacaan dalam shalat isya’ karena dia mulai membaca surah Al Baqarah. 
Firman  وقرءان الفجر  “(dirikanlah pula shalat) Shubuh,” adalah dalil yang menunjukkan bahwa tidak sah shalat melainkan dengan bacaan (ayat qur’an) karena shalat dinamakan qur’an . Para ulama telah berbeda pendapat berkenaan degan bacaan shalat. Jumhur mereka berpedapat wajib membaca ummul qur’an (Al-Fatihah) bagi imam dan orang shalat sendirian di setiap rakaat. ini adalah masyhur sebagai pendapat Malik. Darinya pula bahwa bacaan itu wajib dalam semua shalat. ini adalah pendapat Ishak. Darinya pula, wajib dalam satu rakaat saja. juga dikatakan oleh AL-Mughirah dan Suhnun. Darinya pula bahwa bacaan (Al-Fatihah) tidak wajib dalam shalat apapun. ini adalah pendapat yang paling aneh darinya.
Dikisahkan dari Malik juga bahwa bacaan (Al Fatihah) itu wajib dalam setengah shalat. Al-Auza’I juga mengambil pendapat ini. Juga dari Al-Auzai dan Ayyub bahwa bacaan (Al Fatihah) itu wajib bagi imam, orang shalat sendirian dan bagaimanapun makmum. ini adalah salah satu pendapat dari pendapat Asy-Syafi’I dan telah berlalu dalam pembahasan surah Al-Fatihah dengan cukup.
Firman Allah  كان مشهودا”dikatakan” diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW berkenaan dengan firman Allah, وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهودا “ Dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat). Abu Hurairah berkata, “jika kalian mau bacalah: وقرءان الفجر”dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat). karena makna yang demikian disegerakan shalat ini, barangsiapa tidak menyegerakan shalatnya maka hanya disaksikan oleh salah satu dari dua kelompok para malaikat. Karena makna yang demikian ini pula, maka Malik dan Asy-Syafi’I berkata “menyegerakan (ketika masih gelap) pelaksaan shaat shubuh lebih utama.”
Abu Hanifah berkata “Yang paling utama adalah penggabungan antara gelap dengan ketika ufuk timur menguning. Jika tertinggal yang demikian maka ketika ufuk timur menguning lebih utama daripada ketika masih gelap.”
Ini bertentangan dengan apa yang disampaikan Rasulullah yang senantiasa melakukannya ketika masih gelap. Selain itu dari waktu itu maka akan terlewatkan penyaksian dari para malaikat malam.
Menurut Al-Qurthubi: Dengan demikian maka shalat Ashar juga bukan bagian dari shalat malam, dan juga bukan bagian dari shalat siang, dalam Ash-Shahih terdapat hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, beliau bersabda “para malaikat malam dan para malaikat siang akan saling bergantian mengawasi kalian. mereka berkumpul pada waktu shalat ashar dan shalat shubuh”
Dimaklumi bahwa shalat ashar itu adalah bagian dari shalat siang, dengan demikian maka shalat shubuh adalah juga bagian dari shalat malam, adapun shalat subuh bagian dari shalat siang seperti shalat ashar maka hal itu berdasarkan dalil puasa dan sumpah.
Firman Allah ومن اليل” Dan pada sebagian malam hari” من untuk menunjukkan arti sebagian, sedangkan huruf fa’ dalam firmanNya فتهجد “bersembahyang tahajudlah kamu” sebagai penyesuai enggan sesuatu yang disembunyikan. maksudnya, bangkit dan shalat tahajjudlah engkau.
به maksudnya, dengan Al-Qur’an. Tahajjud dari kata hujuud yang artinya kebalikan. dikatakan هجد نام(tidur) dan هجد سهر(begadang)selalu berlawanan
Sedangkan هجد dan هجّدته sama artinya hajjattuhu artinya: Engkau tidurkan dia dan hajattuhu artinya: engkau bangunkan. التّهجّد adalah jaga setelah tidur. lalu menjadi nama sebuah shalat karena perhatian untuk melakukannya. Maka  التهجّد adalah bangun menunaikan shalat setelah tidur.
Sejumlah orang mengatakan dengan maknanya, yaitu: Al-Aswad, Al-Qamah, Abdurrahman bin Al-Aswad dan lain-lain. Ismail bin Ishak Al Qadh meriwayatkan dari sebuah hadits Al-Hajjaj bin Umar, seorang sahabat nabi, dia berkata “Apakah salah seorang dari kalian menyangka bahwa jika dirinya melakukan shalat semalam suntuk bahwa dirinya telah shalat tahjjud! Sesungguhnya tahajjud itu adalah shalat setelah tidur, kemudian shalat setelah tidur dan kemudian shalat setelah tidur. Demikian itulah shalat Rasulullah SAW.
Firman نا فلة لك"ّ “Sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.” Maksudnya, sebagai kemuliaan dan kesenangan bagi kalian. Demikian dikatakan oleh Muqatil. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah shalat tahajjud khusus untuk Nabi SAW tanpa umatnya.
Ada yang berpendapat,” shalat malam adalah fardhu atas beliau. Hal itu berdasarkan firman-Nya: نا فلة لك (sebagai suatu ibadah tambahan bagimu)”. Maksudnya, ibadah tambahan atas suatu ibadah fardhu yang rutin atas umat.
Menurut Al-Qurthubi: Takwil jauh dari kebenaran berdasarkan dua hal, pertama: Penyebutan fardhu dengan nafl (tambahan) itu adalah majaz dan bukan hakiki. Kedua: Sabda Rasulullah Saw. ,خمس صلوات فرضهنّ على العباد “lima shalat yag difardhukan oleh Allah atas para hamba.”
Ada yang mengatakan,”Shalat malam adalah tathawwu’ (sunah) bagi beliau yang pada awalnya adalah wajib atas setiap orang. kemudian hukum wajib dihapus sehingga tahajjud itu menjadi sunah setelah sebelumnya fardhu. “sebagaimana yang dikatakan Aisyah, hal ini akan dijelaskan dalam tafsir surah Al-Muzzammil.
Dengan demikian maka perintah itu menjadi tanafful (tambahan) dalam kerangka sunah dan pesannya kepada Nabi SAW karena beliau adalah orang yang sudah diampuni. Maka jika beliau melakukan shalat sunah (yang tidak wajib atas beliau) maka yang demikian itu menjadi tambahan atas derajat beliau, sedangkan bagi umatnya maka tathawwu’ mereka menjadi penghapus dan penambalan atas kekurangan dalam ibadah fardhu. Mujahid dan lain-lainnya juga berpendapat demikian.
Ada pula yang mengatakan maknanya adalah “athiyah (pemberian). Karena seorang hamba tidak akan mendapat kebahagiaan pemberiaan yang lebih utama daripada taufik untuk melakukan ibadah.
Firman Allah عسى ان يبعثك ربك مقامامّحمودا”Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan مقامامّحمودا “tempat yang terpuji” menjadi 4 pendapat:
Pendapat pertama: (dan ini pendapat yang paling benar), Syafaat bagi orang banyak pada hari kiamat. Demikian dikatakan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman. Sedangkan di dalam Shahih Al-Bukhori dari Ibnu Umar, ia berkata “sungguh semua manusia di hari kiamat akan menjadi kelompok-kelompok. setiap umat akan mengikuti Nabinya dengan mengatakan “Hai Fulan, berilah syafaat”. Hingga syafaat itu berakhir pada Nabi SAW. Hal itu terjadi pada haari beliau dibangkitkan oleh Allah berada di tempat yang terpuji.
Pendapat kedua: Maqam yang mulia adalah ketika beliau diberi panji pujian kelak pada hari kiamat. Menurut Al-Qurthubi: pendapat ini tidak berbeda dengan pendapat pertama. Bahwa di tangan beliau sebuah panji pujian dan beliau memberikan syafaat.
Pendapat ketiga: apa yang dikisahkan oleh Ath-Thabari dari suatu kelompok ulama, diantaranya adalah Mujahid, mereka mengatakan, “Maqam yang mulia adalah ketika Allah menundukkan Muhammad bersama-Nya di atas Kursi-Nya.” Dalam hal ini diriwayatkan sebuah hadits. Menurut Al Qurthubi: hal ini disebutkan Ibnu Syihab dalam sebuah hadits tentang at-Tanzil. juga diriwayatkan dari Mujahid berkenaan dengan ayat ini ia berkata,”Dia menundukkan beliau di atas Arsy,” ini adalah takwil yang tidak mustahil, karena Allah sebelum menciptakan segala sesuatu dan Arsy berdiri sendiri. Kemudian Dia menciptakan segala sesuatu yang Dia tidak butuh kepadanya, akan tetapi untuk menunjukkan kemampuan dan hikmah-Nya, agar diketahui wujud-Nya, keesaan-Nya, KesempurnaanNya dan pengetahuan-Nya akan segala perbuatan-Nya yang teratur. Kemudian Dia menciptakan untuk dzat-Nya sebuah Arsy di mana Dia bersemayam di atasnya sebagaimana yang Dia kehendaki dengan tanpa ada sentuhan dari-Nya. atau Arsy menjadi tempat bagi-Nya.
Ada yang mengatakan “sekarang Arsy sebagaimana sifat yang menyebutkan bahwa Dia diatasnya sebelum Dia menciptakan ruang dan waktu. “Dengan dasar pendapat ini baik yang berkenaan dengan bolehnya bahwa Dia menundukkan Muhammad di atas Arsy-Nya atau diatas bumi, karena semayam Allah di atas Arsy bukan berarti perpindahan, hilang atau perubahan kondisi dari berdiri dan duduk dan kondisi yang menyibukkan arsy itu,akan tetapi Dia bersemanyam di atas arsy-Nya sebagaimana disampaikan tentang dzat-Nya tanpa bagaimana teknisnya. Bukanlah perkara menundukkan Muhammad di atas Arsy-Nya menjadi mewajibkan bahwa bagi beliau sifat rubbubiyah (ketuhanan) atau mengeluarkan beliau dari sifat ubudiyah (penghambaan), akan tetapi hal itu adalah peninggian kedudukan beliau dan pemuliaan di atas semua makhluk-Nya.
Pendapat keempat: pengeluaran pelaku dosa dari neraka dengan syafaat beliau. demikian dikatakan oleh Jarir bin Abdullah yang kemudian disebutkan oleh Muslim.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan qiyamullail (shalat tahajjud) menjadi sebab untuk meraih maqam yang terpuji, sehingga muncul 2 pendapat: pertama, bahwa Sang Pencipta membuat apa saja yang Dia kehendaki dari perbuatan-Nya menjadi sebab bagi keutamaannya dengan tanpa ada hikmah yang diketahui atau tidak. kedua: bahwa di dalam qiyamullail terdapat suasana berduaan dengan Sang Pencipta dengan bermunajat tanpa ada orang lain. Maka Allah memberikan suasana berduaan dan munajat kepada-Nya didalam qiyamullail itulah maqam yang terpuji. Dalam hal ini manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan derajatnya. Maka orang yang paling agung derajatnya dalam hal ini adalah Muhammad SAW, beliau diberi apa-apa yang tidak diberikan kepada seorangpun dan beliau diberikan baik syafaat yang tidak pernah diberikan oleh orang lain. 

F. Hukum Kandungan Ayat
1. Pensyariatan kewajiban shalat fardhu
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi dan umatnya untuk melaksanakan sholat fardhu. Jumhur ulama bersepakat bahwa ayat ini menjelaskan kewajiban sholat fardhu, hal itu di lihat dari penggunaan fi’il amar di dalamnya. Sebagaimana qaidah ushul fiqih “"الأمر يفيد الوجوب. Ulama berbeda pendapat mengenai arti dari kata “duluk” pendapat pertama menurut sayyidina Umar, ibnu umar, abu hurairah dan ibnu abbas kata tersebut di artikan dengan hilangnya matahari dari pencakar langit, sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa kata duluk di ayat tersebur bermakna terbenam pendapat ini menurut sayyidina Ali, ibnu mas’ud ubay ibnu ka’ab. 
Sedangkan menurut ibnu atiyyah duluk memiliki arti condong, maka awal waktu duluk itu sendiri yaitu hilangnya matahari, dan akhir dari duluk itu sendiri terbenamnya matahari.Dari pendapat ibnu atiyyah dapat kita simpulkan bahwa waktu duluk di mulai dari hilangnya matahari sampai terbenamnya matahari. 
2. Kewajiban membaca al-fatihah dalam sholat
Pada ayat ini, para ulama bersepakat bahwa membaca al-fatihah dalam sholat hukumnya wajib, hal itu berdasarkan kalimat"وقرأن الفجر" kalimat tersebut di artikan dengan sholat pada waktu fajar, maksud dari kata membaca yaitu membaca al-fatihah, karena sholat di haruskan membaca sebagian dari al-qur’an(al-fatihah).
Ulama’ berbeda pendapat mengenai tempat dan waktuu kapan saja kita di wajibkan membaca al-fatihah, pendapat pertama, menurut jumhur ulama’ kita di wajibkan membaca al-fatihah di dala setiap rakaat baik itu berjamaah maupun sholat sendiri, pendapat yang kedua, menurut ishaq cukup bagi kita untuk  membaca al-fatihah pada rakaat pertama saja, tanpa rakaat yang lainnya. Dan pendapat yang ketiga, pendapat yang paling lemah mengatakan bahwa tidak ada kewajiban membaca al-fatihah dalam sholat. 
3. Waktu sholat tahajjud
Shalat tahajjud merupakan shalat yang di kerjakan pada malam hari dan di lakukan setelah bangun tidur, kewajiban melaksanakn shalat tahajjud hanya berlaku bagi nabi saja, sedangkan bagi umatnya tahajjud merupakan sunnah tidak mencapai derajat wajib. 
Juga dengan adanya keistimewaan yang dimiliki oleh shalat tahajjud sehingga disebutkan bahwa, dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda 
اَنَّهُ سُئِلَ اَيُّ الصَّلاَةِ اَفضَلُ بَعدَ المَكتُوبَةِ؟ قَالَ صَلاَةُ الَّيلِ
“Nabi ditanya “shalat apakah yang paling utama selain shalat fardhu?” Beliau menjawab “shalat malam.” (Muttafaq ‘alaih) 

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Surah al-Isra ayat 78-79 merupakan salah satu dari banyaknya ayat yang menjelaskan tentang perintah beribadah kepada Allah. Didalamnya terdapat keterangan akan adanya perintah bahwa shalat 5 waktu merupakan salah satu ibadah yang diberi fokus lebih oleh Allah, juga dengan adanya 2 waktu shalat yang disebutkan secara istimewa yakni shalat subuh dan ashar. Dengan adanya keistimewaan yang dimiliki oleh shalat fardhu, lantas dalam ayat 79 pun diberikan penjelasan mengenai perintah shalat sunnah yang memiliki posisi yang paling tinggi diantara shalat yang lainnya. Islam mengatur sangat rapih akan apa yang harus dibaca dan digerakkan atau dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah. 

B. Saran
Shalat merupakan amalan pertama yang akan dihisab, maka sudah sepantasnya ajakan dari penulis bahwa sudah menjadi sebuah keharusnya bagi penulis maupun pembaca untuk senantiasa memperhatikan shalat yang dilakukan setiap waktu dalam sehari, karena Allah sudah memfasilitasi dengan adanya al-Qur’an dan hadist mengenai prioritas yang harus ditanamkan dalam diri pribadi umat muslim.  
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad bin Mustafa. 1946. Tafsir al-Maraghi Jilid 17.  Mesir.
Al-Farran, Syaikh Ahmad Musthafa. 2006. Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’I. Riyadh: Dar At-Tadmuriyyah.
Az-Zuhaily, Wahbah. 1991. Tafsir al-Munir. Beirut: Daar al-Fikr.
Muhammad, Abu Abdullah bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurthubi. 1964. al-Jami’ Li Ahkamil Qur’ani.  Dar Kutub al-Mishriyyah: Qohiroh.

Rifa’I, Muhammad Nasib. 1989. Taisiru al-Aliyyil Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir Jilid III. Riyadh: Maktabah Ma’arif.

Space, Adah. 2011. “Kajian Tentang Dasar Hukum Waktu Shalat “. diakses dari http://adahspace.blogspot.co.id/2011/04/kajian-tentang-dasar-hukum-waktu-shalat.html. pada tanggal 16 Maret 2018.

0 komentar:

Post a Comment