Pemikiran Teologi Asy'ariyah


Ilustrasi Gambar Kaum-kaum Asy'ariyah, blogspot.com


PENGANTAR


                Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmatNya lah karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik, walau banyak kendala dalam pembuatan karya ilmiah ini, mulai dari pencarian sumber referensi dan kesulitan memahami materi. Namun berkat latihan dan bimbingan dari pihak lain, maka makalah dengan tema bahasan teologi dan dengan judul Pemikiran Teologi Asy’ariyah telah selesai di susun.
            Teologi adalah pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah dan agama, terutama berdasarkan kitab suci).[1] Islam adalah agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW. Berpedoman pada kitab suci Alquran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.[2]
            Pemikiran teologi dalam islam sendiri dimulai dari permasalahan politik semasa Khalifaur Rasyidin. Sikap Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr Ibn al-‘As untuk mengadakan arbitrase, tidak disetujui oleh sebagian besar tentaranya. Mereka berpendapat Ali melakukan hal yang salah karena arbitrase karena keputusan tersebut tidak datang dari hukum Alquran, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisan Ali, dan munculah Teologi Islam pertama.[3]



BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

       Sebenarnya islam mempunyai sumber hukum yang mutlak dari Alquran yang datangnya dari Allah SWT lewat malaikat jibril ke Rasul dan juga yang langsung ke Rasul, juga ada Hadis dan sunah yang datangnya dari Rasul lewat perkataan dan perbuatan. Namun setelah ada konflik politik mulailah terpecah kekuatan politik, bahkan menjurus ke perbedaan teologi yang terbagi menjadi beberapa aliran Teologi islam. Aliran – aliran teologi penting yang timbul dalam islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiah. Aliran – aliran Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sejakarang ialah aliran – aliran Asy’ariyah dan Maturidiah dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al-jama’ah.[4] Teologi – teologi inilah yang melatar belakangi bahasan dalam makalah ini, khususnya kami mengambil bahasan Teologi Asy’ariyah.

B. Rumusan Masalah

1.    Bagaiman awal sejarah munculnya pemikiran teologi Asy’ariyah?
2.    Bagaimana Pemikiran Teologi Asy-‘ariyah?
3.    Apa saja karya – karya teologi Asy-‘ariyah?
4.    Adakah kaitannya Teologi Asy-‘ariyah dengan Ahli Sunah dan Jamaah?
5.    Siapa saja tokoh – tokoh yang mempunyai paham teologi Asy-‘ariyah?

C. Tujuan

1.    Mengetahui awal sejarah munculnya pemikiran teologi Asy’ariyah
2.    Mengetahui Pemikiran Teologi Asy-‘ariyah
3.    Mengetahui karya – karya teologi Asy-‘ariyah
4.    Mengetahui Ada atau tidaknya kaitan Teologi Asy-‘ariyah dengan Ahli Sunah dan Jamaah
5.    Mengetahui tokoh – tokoh di balik teologi Asy-‘ariyah



BAB II. PEMBAHASAN

A. Awal Sejarah Teologi Asy-‘Ariyah

            Awal mula munculnya teologi ‘asy Ariyah adalah karena ketetapan imam Ahmad ibn hambal. Dalam suatu kisah dikatakan saat Mu’tazilah menjadi mahzab resmi dalam dinasti Abbasiyah, Raja saat itu sangat patuh kepada Mu’tazilah. Mu’tazilah pun memaksa semua rakyat termasuk ulama-ulama yang bertentangan dengan faham Mu’tazilah. Hingga sampai akhirnya hanya ada 4 orang yang masih berani mempertahankan hukum Allah, yaitu Iman Ahmad ibn Hambal, Muhammad ibn Nuh, Al-qawawiri, dan Sajjadah. Namun Sajjadah hanya bertahan 1 hari, dan keesokan harinya giliran Al-qwawiri yang melepaskan keyakinannya, menyusul Muhammad ibn Nuh yang akhirnya tunduk pula. Dari ke-4 ulama tadi hanyalah Imam Ahmad ibn Hambal yang tetap teguh pada pendiriannya. Penderitaannya terus berlanjut hingga kepemimpinan Abbasiyah berganti khalifah, akhirnya Imam Ahmad diusir dan dilarang member fatwa agama, dia bersembunyi disebuah goa dan akhirnya wafat dalam I’tikadnya.[5]
            Rakyat akhirnya mulai berfikir bahwa Mu’tazilah salah. Hari demi hari pengikut paham imam Ahmad semakin bertambah, dan justru  orang yang mendukung paham imam Ahmad adalah pembesar Mu’tazilah yaitu, Abul Hasan Al-asy’ari, dan Abu Mansur al-Maturidi. Sampai suatu hari Jumat Asy’ari masuk ke masjid jami Bashrah dan naik mimbar seraya mengikrarkan tentang ketaubatannya, dengan meninggalkan ajaran Mu’tazilah dan berpendirian Ahli sunnah dan jamaah, atau lebih dikenal juga dengan Teologi Asy-ariyah.[6]
            Al-asy’ari pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah, tetapi kemudian,  menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran – ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran – ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran – ajaran itu dan membentuk  ajaran – ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-asy’ariyah atau al-Asya’irah.[7] Sebenarnya pada waktu kecil, Al-‘asyari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal, abu ali al-Jubba’I, untuk mempelajari ajaran – ajaran Mu’tazilah dan memahaminya. Namun sebab lain bahwa al-Asy’ari berdebat dengan  gurunya al-Jubba’I dan dalam perdebatan itu guru guru tak dapat menjawab tantangan murid.

Al-Asy’ari  : bagaimana kedudukan ke tiga orang berikut ; mukmin, kafir dan an kecil diakhirat?

Al-Jubba’I  : yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka

Al-Asy’ari  : kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi disurga,mungkinkah itu?

Al-Jubba’I  : tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.

Al-Asy’ari  : kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan ; itu bukanlah salahku, jika sekiranya engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan – perbuatan baik seperti yang dilakukan orang – orang  mukmin itu

Al-Jubba’I  : Allah akan menjawab : “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum Maka untuk kepentingan mu, aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab.
Al-Asy’ari  : sekiranya yang kafir mengatakan : “engkau ketahhui masa depanku sebagai mana engkau ketahui masa depan nya. Apa sebabnya engkau tidak jaga kepentingan ku?
Disini al-Jubba’I terpaksa diam.[9]

B. Pemikiran Teologi Asy-‘Ariyah

              Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Dia juga menetang bahwa pemakaian akal-pikiran dalam persoalan agama dan persoalan yang tak pernah dibahas Rasul itu merupakan suatu kesalahan.[10] Ia juga menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam (Teologi Islam) dan argumentai pikiran, keberatan saat tidak ada dasarnya dalam Quran dan hadis.[11]
Secara umum pendapat al-Asy’ari berada di tengah – tengah atau menengahi 2 pendapat yang berlawanan.

1. Sifat

          Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat – sifat wujud, qidam, baqa, dan wahdaniah. Golongan-golongan hasywiah dan mujassimah mempersamakan sifat – sifat Tuhan dengan sifat – sifat makhluk. Sedangkan al-Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat – sifat Tuhan tersebut yang sesuai dengan Zat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sifat makhluk. Bahkan Tuhan pun mendengar, namun tidak seperti kita mendengar, dst.[12]

2. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia

               Menurut aliran Mu’tazilah manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri dengan kuasa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran Jabariah manusia tidak berkuasa atas apa yang mereka perbuat, bahkan mereka mengumpamakan manusia seperti bulu yang bergerak kian-kemari menurut arah angin yang meniupnya. Sedangkan al-Asy’ari berpendapat bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.[13]

3. Melihat Tuhan

               Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, dengan demikian mereka mena’wilkan ayat-ayat & hadis-hadis tentang adanya ru’yatullah. Golongan Musyabbihah, tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Al-Asy’ari mengambil jalan tengan dengan berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat, namun tidak dengan cara dan arah tertentu.[14] Seperti dalam Alquran surat al-ahzab:44[15] dan al-mutaffifin:15.[16]
               Dalam penjelasan di buku lain mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat Al-asy’ary. Diantara alasan-alasan yang dikemukakannya, ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan.[17]

4. Dosa Besar

          Anggapan aliran aliran tentang dosa besar seperti; syirik, bunuh diri, zina, takabur, minum khamr, dll.[18] Menurut aliran Mu’tazilah, apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dari dosanya itu, meskipun dia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari api neraka. Aliran murjiah mengatakan, siapa yang iman kepada tuhan dan mengikhlaskan diri kepadaNya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi iman nya, datanglah al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuniNya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa atas kefasikannya, lalu kemudian dimasukkan ke dalam surga.[19]

C. Karya-karya Teologi Asy-‘Ariyah

a.    Maqolatul islamiyyin
                   Kitab pertama yang pertama kali dikarang tentang kepercayaan golongan islam, dan juga merupakan sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya.
b.    Al-ibanah ‘an Usulid Diyanah
                   Kitab ini berisi tentang kepercayaan Ahlusnnah dan dimulainya dengan memuji Ahmad ibn Hambal dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya.
c.    Al-luma’
                   Kitab ini dimaksudkan untuk membantah lawan-lawannya dalam beberapa persoalan Ilmu Kalam.[20]

D. Kaitannya Teologi Asy-‘Ariyah dengan “Alhi Sunnah dan Jamaah”

                   Bagaimanapun, yang dimaksud ahli sunnah wa jamaah di dalam lapangan teologi islam adalah kaum Asy’ari dan kaum Maturidi.[21] Statemen tersebut diperkuat dengan saat keluarnya Al-asy’ari dari Mu’tazilah, ia membuat golongan baru yang berpegang kuat pada hadis.[22] Ditambah lagi pada saat dia menyatakan taubatnya dari ajaran Mu’tazilah menuju kepercayaannya, dia membuka baju dan menjatuhkannya seraya berkata ”Aku tanggalkan semua I’tikadku dahulu itu, sebagaimana aku menanggalkan bajuku ini,” bersamaan dengan Al-asy’ari menunjukkan kitab nya kepada umum, yang ditulisnya menurut pendirian Ahlusunnah wal-Jamaah.[23]

E. Tokoh-Tokoh Asy-‘Ariyah

Adapun tokoh-tokoh teologi Asy’ariyah antara lain: Al-Baqillani, Al-Juwainy, Al-ghazali, Al-sanusy.[24]
1.      Al-baqillani
            Al-baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan aliran Mu’tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan yang tidak terbatas. [25]
2.      Al-juwainy
            Al-juwainy adalah orang yang pertama-tama membentuk fiqih syafi’iy atas dasar aliran Asy’ariyah. Sebagaimana ditulis dalam kitabnya Al-irsyad, berisi pokok-pokok kepercayaan.[26]
3.      Al-ghazali
            Al-ghazali adalah seorang ahli fikir islam yang terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya, dan kedudukannya di aliran Asy’ariyah sangatlah penting. [27]
            Dalam soal metode ia menggunakan logika Aristoteles dan ia adalah orang-orang yang pertama-tama mempergunakannya. Metoe ini digunakan dalam penulisan buku-bukunya yang membahas tentang penentangan aliran batin, keruntuhan filosof-filosof, dll.[28]
4.      Al-sanusy
            Karya-karyanya sebenarnya tidak terlalu besar, namun banyak berpengaruh dalam dunia aliran Asy’ariyah, sehingga banyak yang memberikan ulasan kitab kitab tersebut. Ulama Marroco menganggap dia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya.[29]



BAB III. PENUTUP

Kesimpulan

                   Awal kemunculan teologi Asy-‘ariyah adalah berkat pengorbanan dan perjuangan imam ibn Hambal yang memperjuangkan ajaran islam yang murni. Setelah imam Hambal wafat, pengikutnya bertambah karena penduduk yang mulai menganggap Mu’tazilah tidak benar, dan salah satunya Al-Asy’ari yang akhirnya dijadikan nama teologi islam.
                   Kesimpulannya secara umum pendapat al-Asy’ari berada di tengah – tengah atau menengahi 2 pendapat berlawanan yang membahas tentang sifat Allah, kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia, melihat Tuhan, dan dosa besar. Menengahi pendapat yang berlawan dengan tetap menggunakan akal namun tidak melanggar apa yang ada di Alquran dan tidak pula mengagungkan akal sebagai kekuatan utama dalam berislam.



DAFTAR PUSTAKA

Alquran
A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967)
Ahmad Hanafi, Theology Islam Ilmu Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
Harun Nasution. Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1972)
Labib Mz. dan Muhtadim, 90 dosa-dosa besar (Surabaya:Tiga Dua,1994)
Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Ahlus Sunnah Wal Jamaah Keyakinan Dan I’tikad (Jakarta: Yayasan           Baitul Mal, 1969)
Kbbi.web.id/




                [1] Kbbi.web.id/
                [2] Ibid.
                [3] Harun Nasution. Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm. 6
                [4] Harun Nasution. Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1972) hlm. 9
                [5] Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Ahlus Sunnah Wal Jamaah Keyakinan Dan I’tikad (Jakarta: Yayasan Baitul Mal, 1969), hlm. 115-116
                [6] Ibid, hlm. 116-117
                [7] Harun Nasution. Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm. 9
                [8] A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967), hlm. 104
                [9] Harun Nasution. Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm. 66
                [10] A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967), hlm. 107
                [11] Ibid, hlm. 108
                [12] A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967), hlm. 108-109
                [13] ibid, hlm. 108
                [14] Ibid, hlm. 108
                [15] Alquran Surat Al-Ahzab:44, penghormatan mereka (orang – orang mukmin itu) ketika mereka menemui-Nya, “salam sejahtera dari segala bencana” dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.
                [16] Alquran Surat Al-Mutaffifin:15, sekali-kali tidak!(seperti apa yang mereka katakana bahwa mereka dekat pada sis Tuhan) sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.
                [17] Harun Nasution. Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm. 69
                [18] Labib Mz. dan Muhtadim, 90 dosa-dosa besar (Surabaya:Tiga Dua,1994), hlm. 5-6
                [19] A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1967), hlm. 109-110
                [20] Ahmad Hanafi, Theology Islam Ilmu Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 67-68
                [21] Harun Nasution. Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm. 65
                [22] Ibid, hlm. 68
                [23] Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Ahlus Sunnah Wal Jamaah Keyakinan Dan I’tikad (Jakarta: Yayasan Baitul Mal, 1969), hlm. 117
                [24] Ahmad Hanafi, Theology Islam Ilmu Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm.71
                [25] Ibid, hlm.71
                [26] Ibid, hlm.73
                [27] Ibid, hlm.75-76
                [28] Ibid, hlm.77
                [29] Ibid, hlm.78

0 komentar:

Post a Comment