Alli Khoemaini, http://liputanislam.com |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dari segi geo-politik, Iran berada di
lokasi yang sangat strategis di wilayah Timur Tengah. Dengan posisi Geografis
yang sedemikian rupa Iran selalu menjadi salah satu wilayah terpenting dari
strategi global negara-negara besar. Bukan hanya dari segi politik, tapi juga
dari segi ekonomi. Karena posisi Iran berada di jalur pelayaran internasional.
Dalam pemeritahan politik Iran menggunakan
politik Islam, Dinasti Qajar memimpin sebelum kemudian digantikan oleh rezim
Pahlevi. Kebijakan yang dilakukan oleh rezim Pahlevi bagi sebagian kelompok
sudah menyimpang dari Islam. Rezim ini menggunakan sistem pemerintahan monarkhi
absolut dan cenderung otoriter, di samping itu rezim ini juga memiliki
keterikatan yang kuat degan Barat, dan memberlakukan modernisasi yang cenderung
mirip dengan Barat, maka dari itu banyak terjadi perlawanan-perlawanan dari
rakyat Iran dan golongan ulama’ di Iran yang menginginkan sebuah perubahan.
B.
Rumusan
masalah
1. Apa
saja yang melatarbelakangi terjadinya
Revolusi Iran?
2. Bagaimana
proses terjadinya Revolusi Iran?
3. Apa
saja dampak dari Revolusi Iran?
4. Siapa
saja tokoh di balik terjadinya Revolusi Iran?
BAB II
PEMBAHASAN
Eksisnya rezim Pahlevi menguasai setelah
rezim Qajar masih juga mengalami banyak pertentangan, karena kebijakannya yang
lebih kepada memodernisasi Iran dengan pengaruh Barat dan menerapkan sistem
pemerintahan yang monarkhi absolut menggantikan monarkhi konstitusional membuat
golongan ulama dan pejuang Muslim di Iran melakukan perlawanan.
Pada tahun 1925 Reza Khan menjadikan
dirinya Shah Iran, dan kemudian lahirlah dinasti Pahlevi yang berlangsung
hingga 1979. Rezim pahlevi membentuk negara dengan ideologi nasionalis, dibawah
pemerintahan yang otoriter negara memberlakukan program modernisasi ekonomi dan
westernisasi kultural secara gigih.
Langkah pertama yang ditempuh Shah Reza
adalah membangun kekuatan militer modern. Dengan dukungan pasukan militernya
dan pemerintahannya yang kuat, rezim ini mengatasi oposisi elite agama,
pedagang dan elite kesukuan. Meskipun Shah Reza meraih kekuasaan dengan
dukungan sebagian ulama’ yang menginginkan perbaikan Kerajaan Iran dan
mengharapkan lahirnya pemerintahan yang kuat untuk menekan pengaruh asing,
namun ketika telah kukuh rezim Pahlevi justru menghapuskan pengaruh ulama’.[1]
Rezim ini memberlakukan sekularisasi ekonomi dan pendidikan yang semakin
memukul mundur ulama’.
Modernisasi yang disponsori negara
menimbulkan perubahan politik dan ekonomi yang berdampak panjang. Program
Pahlevi menyerukan pembangunan negara sekuler dan rezim nasionalis yang memusat
dan program selanjutnya modernisasi masyarakat yang sejalan dengan modernisasi
Barat.[2]
Di bidang hubungan internasionl, Iran masa
rezim Pahlevi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh asing. Pada dekade
1920-1930-an, tercatat beberapa negara mencoba memberikan pengaruh di Iran.
Amerika Serikat membantu mengorganisir pengumpulan pajak, bank nasional Iran
didirikan pada tahun 1927 di bawah manajemen keuangan Jerman. Pada dekade yang
sama Inggris dan Rusia saling berlomba memberikan pengaruh ekonomi di Iran.
Rusia merupakan mitra perdagangan, sementara Inggris menguasai produksi minyak
dengan perusahaan mereka The
Anglo-Persian Oil Company.
Pada dekade 1940-an, Iran berjuang merebut
The Anglo-Persian Oil Company. Pada
tahun 1951, Muhammad Mosaddeq melalui parlemen mengajukan rancangan
nasionalisasi perusahaan minyak tersebut. Pergolakan ini mengancam rezim
Pahlevi, Amerika Serikat membantu militer Shah Iran untuk mengalahkan Mossadeq,
dan menegakkan kembali rezim otoriter, hal itu menandai semakin terikatnya
rezim Pahlevi terhadap Amerika Serikat. Setelah pemerintahannya kembali tegak,
pada tahun 1953, Shah Iran merombak sistem pemerintahan yang awalnya monarkhi
konstitusional, menjadi monarkhi absolut.
Baca Juga : Iran Pada Zaman Dulu
Di sektor ekonomi, dengan pengaruh asing
yang semakin kuat rezim pahlevi turut serta memajukan perindustrian di
perkotaan. Sehingga masyarakat pedesaan mengalami kesulitan dalam mengembangkan
perekonomian. Sehingga banyak dari mereka yang memilih untuk melakukan
urbanisasi ke kota, yang mengakibatkan padatnya penduduk di perkotaan. Keadaan
semacam itu mencerminkan sebuah ketimpangan sosial yang besar antara masyarakat
yang tinggal di kota dan masyarakat yang tinggal di desa.[3]
Ayatullah Khomaeni merupakan salah satu
tokoh penggerak revolusi Iran dari golongan ulama’ dan didukung oleh beberapa
aspek masyarakat Iran yang menginginkan rezim Pahlevi untuk mundur
B.
Meletusnya
Revolusi Iran
Sebelum pecahnya “Hari Revolusi Islam”
yang terjadi pada 11 Februari 1979, ada beberapa peristiwa yang berhubungan
dengan kejadian pada tahun 1979 tersebut. Dimulai dari perayaan 2.500 tahun
terbentuknya Kerajaan Persia pada Oktober 1971 yang memusatkan pelaksanaan
acaranya di Persepolis. Acara tersebut sendiri berlangsung selama hampir tiga
hari dengan kisaran biaya yang terpakai sebesar 100-120 juta dolar.
Selain itu ada juga peristiwa “oil boom”
yang terjadi pada akhir 1974. Adanya peristiwa “oil boom” ini dikarenakan
janji-janji Shah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Iran hanya
sekedar rekayasa semata. Adapun yang terjadi justru sebaliknya. Gap antara
tingkat ekonomi tinggi dan ekonomi rendah semakin melebar, warga perkotaan dan
pedesaan mengalami perbedaan kehidupan yang signifikan, dan puluhan ribu orang
asing tinggal di Iran dengan tujuan untuk memfungsikan atau mengoperasikan
peralatan perang Amerika yang dibeli Shah.
Pada 1974, Shah membentuk Partai Sosialis
Restakhiz yang partai ini merupakan satu-satunya partai pemerintah di Iran.
Seluruh Rakyat Iran diharuskan untuk bergabung dengan partai tersebut. Apabila
ada diantara rakyat yang menentang hal tersebut, maka secara langsung akan
diusir dari Iran. Partai ini menerapkan sikap “anti profiteering” yang berujung
pada pengenaan pajak bagi para pedagang dan pelaku ekonomi. Hal tersebut jelas
berdampak negatif bagi ekonomi Iran secara keseluruhan, bahkan secara politis
juga memberikan dampak buruk dan kontraproduktif.
Dan peristiwa lain yang terjadi sebelum
benar-benar meletus Revolusi Islam adalah pemerintahan Shah yang mengganti
kalender Islam Hijriah yang biasa digunakan dengan kalender yang digunakan oleh
pihak kerajaan pada penghujung tahun 1976. Hal tersebut benar-benar
menghidupkan amarah penduduk muslim di Iran. Keputusan tersebut diambil dewan
permusyawaratan dan senat dalam acara peringatan hari lahirnya Reza Khan.
Adapun kalender tersebut dalam penghitungannya berdasarkan pada didirikannya
kerajaan Archaemenid pada 529 SM.[4]
Memasuki awal tahun 1978 masyarkat muslim
secara terang-terangan mulai melakukan berbagai aksinya, yang mana sebelumnya
mereka cenderung hanya melakukan perjuangan di bawah tanah. Berbagi demo segera
dilakukan oleh masyarakat muslim Iran pasca sebuah koran di Iran bernama Ettelaat memuat tulisan artikel yang
menghujat Imam Khomeini dan kalangan ulama’ secara umum. Demo tersebut berujung
pada peristiwa pembantaian yang dilakukan tentara terhadap warga kota Qom.
Gerakan kebangkitan rakyat silih berganti terjadi di beberapa kota penting,
seperti Qom, Tabriz, Isfahan, Yazd, Shiraz dan kota-kota lainnya.[5]
Peran Ayatullah Khomeini dalm proses
Revolusi Islam sangatlah nampak jelas. Berbagai hal telah ia lakukan demi
meruntuhkan pemerintahan kerajaan dan mendirikan pemerintahan Islam. Bahkan
Ayatullah Khomeini sempat mengeluarkan fatwa menjelang bulan Ramadhan pada
tahun 1978. Adapun fatwa yang ia keluarkan berisikan tentang “Wajibnya bagi
seorang dai untuk membongkar berbagai tindak kejahatan Shah selama mereka
melakukan tablig di bualn Ramadhan”. Atas fatwa yang dikeluarkan Ayatullah
Khomeini tersebut, revolusi pun menyebar ke seluruh penjuru Iran. Puncaknya
terjadi di kota Isfahan pada bulan Ramadhan, yang mana revolusi benar-benar
pecah di daerah tersebut. Pemerintah akhirnya menetapkan keadaan darurat di
berbagai kota-kota di Iran.Demonstrasi terus berlangsung dalam waktu yang lama
serta dalam lingkup yang semakin luas,
hingga mencapai wilayah-wilayah pusat, seperti Teheran dan Abadan.
Pada tanggal 4 September 1978 atau
bertepatan dengan Idul Fitri tahun 1357 Hijriah, kekuatan oposisi yang dipimpin
oleh Ayatullah Khomeini menunjukan kualitasnya guna meruntuhkan pemerintahan
Shah. Usai shalat Idul Fitri, berbagi demonstran dari berbagai wilayah di Iran
berkumpul di Teheran. Akibatnya, pemerintah mengumumkan keadaan darurat di
Teheran dan 12 kota besar lainnya. Meskipun tank-tank dan truk-truk pengangkut
tentara berdatangan memenuhi jalan-jaln, rakyat Iran tetap meneruskan
perjuangannya.[6]
Rangkaian peristiwa demonstrasi mencapai puncaknya di Teheran yang dikenal
dengan “Black Friday”. Pada Kamis 7 September 1978, terjadi lagi
demonstrasi besar yang diperkirkan pada saat itu terdapat sebanyak 500.000 dari
berbagai wilayah di Iran berkumpul untuk menyanggah pengumuman Hukum Darurat
Perang oleh Dekrit Kerajaan. Sepanjang hari para demonstran meneriakkan slogan,
“Kematian bagi Shah!” Pada hari Jumat tanggal 8 September 1978, terjadilah
sebuah tragedi yang dikenal sebagai Tragedi Jumat Berdarah. Ketika Sekitar
75.000 orang yang melakukan demonstrasi duduk bersama di lapangan Jaleh, secara
tiba-tiba militer dan kepolisian menembaki mereka dengan senapan mesin dari
pesawat helikopter, dan pasukan tank beserta tentara dan polisi di darat dengan
menghujani mereka menggunakan peluru.[7]
Sekitar 4.000 orang gugur sebagai syuhada’, namun pemerintah mengumumkan bahwa
korban dari peristiwa tersebut hanya berjumlah 58 orang yang gugur dan yang
luka-luka hanya berjumlah 25 orang.[8]
Pasca peristiwa Black Friday, Ayatullah
Khomeini membentuk Dewan Revolusi Iran pada Januari 1979. Setelah terbentuknya
dewan tersebut, Shah Iran kabur meninggalkan Iran pada 16 Januari 1979. Berita
tersebut disambut suka cita oleh seluruh rakyat Iran. Kekosongan pemerintahan
pun diisi oleh perdana menteri Bahtiar.
Pada 10 Februari 1979, pemerintah mengumumkan keadaan darurat secara total.
Seluruh tank dan buldoser dikerahkan ke jalanan guna menumpas revolusi yang dilakukan
oleh warga muslim Iran. Namun Ayatullah Khomeini menggagalkannya dengan cepat
dengan menggunakan berbagai sarana, seperti para perwira angkatan darat dan
angkatan udara yang menyatakan baiat (janji setia) kepadanya pada tanggal 8
Februari 1979. Selama 24 jam terjadi bentrokan bersenjata antara rakyat yang
dibantu oleh gabungan militer yang telah berbait kepada Ayatullah Khumeini
dengan tentara yang masih setia kepada rezim Shah.
Keesokan harinya atau tanggal 11 Februari 1979, perdana menteri Bakhtiar
kabur ke luar negeri. Dengan kaburnya PM Bakhtiar tersebut, maka berakhirlah
kekuasaan Shah Pahlevi. Sebagai gantinya berdirilah pemerintahan baru dengan
sistem Republik Islam. Pada hari itu juga, Khomeini mengumumkan pemerintahan
sementara yang mana bertahan hingga 31 Maret 1979. Setelah itu, setiap warga
Iran dewasa berhak memilih dalam sebuah referendum guna menerima Republik Islam
sebagai bentuk pemerintahan dan konstitusi yang baru. Hasilnya dari referendum
itu sendiri menetapkan Ayatullah Khomeini sebagai Pemimpin Tertinggi seumur
hidup, dan secara resmi dinyatakan sebagai “Pemimpin Revolusi”.[9]
C. Implikasi Revolusi dan kemajuan Saintifik Iran Kini
Walaupun
revolusi
iran telah berlangsung selama tiga puluh tahun lebih, tetapi masih member pengaruh yang cukup besar, khususnya bagi rakyat Iran dan Negara-negara di sekitarnya. Hal itu
merupakan
sebuah keberhasilan dari “ekspor” pemikiran revolusi Islam Iran. Gambaran atas revolusi yang terjadi di Iran, mengingatkan
banyak orang terhadap
peristiwa
serupa yang telah
terjadi di Prancis, Tiongkok,
Kuba, dan Rusia. Gerakan revolusi yang telah mereka lakukan mempunyai pola yang hampir sama. Dimulai dengan adanya pemimpin yang otoriter dan absolut, kemudian muncul perlawanan dari kelompok yang selama ini paling disengsarakan oleh kebijakan-kebijakan penguasa yang zhalim. Iran memang
telah memasuki era baru setelah kematian Khomeini pada tahun 1989. Sebab, Iran berjalan
moderat
dan menempuh pendekatan pragmatis dengan lebih menekankan pada pembangunan bidang ekonomi dibandingkan bidang politik. Konsekuensinya, Iran pasca-Khomeini telah
gagal mempertahankan posisi Khomeini yang konsisten
untuk menjadikan Iran
sebagai blok alternatif di luar dua blok yang telah ada, baik blok kapitalis maupun blok komunis.[10]
Dalam
Republik Islam Iran, posisi
presiden
ditempatkan
sebagai
kepala Negara berdasarkan
konstitusi. Dalam
konteks
ini, terjadi
pembagian
kekuasaan
antara Faqih (pemimpin spiritual) dan presiden. Presiden Rafsanjani adalah
presiden
eksekutif
pertama yang diberi
kekuasaan
sangat besar. Ia berusaha mengkonsolidasikan kedudukannya dan berusaha mengurangi pengaruh dari kelompok radikal. Caranya ia tidak mengangkat saingannya kedalam kabinet maupun posisi penting lainnya, atau mengangkatnya kedalam posisi jabatan yang bersifat seremonial, dan posisi penasihat yang tidak berhubungan langsung dengan pembuatan keputusan penting.[11]
Pada 17 dan 24
Juni 2005, Iran menyelenggarakan pemilu kepresidenan periode ke-9. Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran Ayatollah al-Uzhma
Sayid Ali Khemenei
dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa pemilu adalah bentuk lain dari referendum. Tujuannya
menanyakan
kepada rakyat Iran dalam rangka menghendaki bentuk pemerintahan Islami atau tidak. Disisi lain, hal tersebut juga menunjukkan kesetiaan rakyat Negara ini kepada system pemerintahan Islami yang ditegakkan oleh Khomeini.[12]
Sensasi lain yang muncul
dari pemilu tersebut adalah terpilihnya Mahmoud Ahmadinejad sebagai
presiden. Ia
merupakan
salah satu calon yang dianggap tidak diunggulkan karena kalah popular dengan Hashemi Rafsanjani yang merupakan
mantan presiden Iran, baik di kalangan
rakyat Iran maupun
dunia Internasional. Setelah terpilih menjadi presiden Iran, Ahmadineajad menekankan bahwa politik luar negeri yang dijalankan oleh pemerintahannya berlandaskan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati diantara negara-negara dunia. Iran akan tetap menghormati negara-negara lain, dan pada saat yang sama, Negara ini hanya mau menjalin hubungan dengan negara-negara yang menghormati kedaulatan Iran, serta memandang hubungan bilateral melalui kesetaraan.[13]
Selanjutnya
pada 26 Oktober 2005 dalam
The World without Zionism (DuniaTanpaZionisme) yang berlangsung di Teheran,
Ahmadinaejad menyatakan bahwa Israel harus dihapus dari peta dunia. Selanjutnya, pada awalFebuari 2014, Iran kembali memberikan kejutan bagi dunia Internasional, khususnya di bidang
kedirgantaran. Iran merilis
penampakan Qaher-313 (F313),
pesawat tempur siluman dengan desain futuristik. Kemajuan lain teknologi Iran adalah kesuksesan mengirim seekormonyet ke luar angkasa memakai roket penjelajah Kavoshgar Pishgam dan berhasil mencapai ketinggian yang sudah ditentukan. Kemudian, monyet itukembali ke bumi dengan selamat. Tak berselang lama, Iran
kembali merencanakan peluncuran satelit Tolou(Sunrise) dari situs peluncuran
satelit yang baru. Iran pertama kali meluncurkan satelitnya, Omid (Harapan),
pada tahun 2009 dengan roket yang sama hingga saat ini.[14]
Iran juga menunjukkan pertumbuhan yang
paling cepat di dunia dalam bidang ilmu pengetahuan. “Iran juga mengalami
kemajuan pesat di bidang ilmu kedokteran dan pengembangan pertanian.
Perkembangan teknologi di Iran pada tahun ini sangat cepat, bahkan melampaui
negara Tiongkok yang oleh dunia diakui cemerlang dalam bidang sains,” tukas
Archambault. Kemajuan Iran di bidang santifik memang cemerlang. Meski lebih
dari tiga puluh tahun di embergo Barat, Iran telah melakukan langkah besar di
berbagai sektor, termasuk sektor ruang angkasa, nuklir, kedokteran, penelitian
tentang sel, dan kloning. Pada Januari 2014, Iran menjadi negara pertama di
Timur Tengah yang mampu mengembiakkan hewan ternak transgenik, seperti domba
dan kambing.[15]
D. Tokoh-Tokoh Penting pada Revolusi Iran
1. Ali Shariati
Ali Shariati merupakan tokoh
pergerakan Iran yang mempersatukan banyak arus revolusi pada masanya, seperti
oposisi terhadap Shah, penolakan warga asing, dan pembaharuan sosial. Beliau
lahir di Kahak, Iran pada tanggal 24 November 1933, putra dari Muhammad Taqi
Mazinani.[16] Masa mudanya dihabiskan
untuk menuntut ilmu, hingga dia dapat menyelesaikan gelar Doktornya di
Sorbonne, Paris pada tahun 1963 dalam bidang sastra.[17]Pada
September 1973, dia sempat dipenjarakan di penjara Komiteh oleh Shah karena
dianggap sebagai suatu ancaman bagi pemerintah. Shariati sendiri merupakan
seorang pemikir Islam yang inovatif, menganut pendirian yang kontras dengan
interpretasi keagamaan tradisional dari pihak ulama. Beliau juga dipengaruhi
oleh pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, dan
Muhammad Iqbal.
Bagi Shariati revolusi di Iran
mempunyai dua aspek fundamental, yakni kesatuan identitas nasional dan keadilan
sosial ekonomi. Hanya dengan dua program itulah Iran akan dapat dibebaskan
kembali dari penguasaan politik dan pemerasan ekonomi oleh pihak Barat.
Shariati menyerukan pendekatan ilmiah terhadap Islam untuk membangkitkan
semangat masyarakat muslim yang awalnya merupakan gerakan sosial. Menurutnya
masyarakat Islam yang sejati adalah masyarakat tanpa kelas yang menolak
keistimewaan-keistimewaan berdasarkan suku, lapisan, dan status.[18]
Ali Shariati memang tidak
membentuk atau memimpin organisasi tertentu, namun pencapaiannya dalam berbagai
bidang keilmuan membuatnya dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis
paling berpengaruh di Iran pada masa pra revolusi. Penafsiran Shariati terhadap
Syi’ah Islam sendiri adalah suatu ideologi yang revolusioner, yang tujuannya
membentuk masyarakat yang adil dan banyak menginspirasi gerakan muda. Salah
satu angkatan muda Iran yang mengadopsi pemikiran Ali Shariati adalah Mujahidin
Khalq (pejuang rakyat). Namun Sangat disayangkan Ali Shariati tidak
sempat menikmati hasil dari revolusi Iran, karena pada tanggal 19 Juni 1977
beliau meninggal dunia di Southampton.[19]
2. Ayatullah Khomeini
Ayatullah Khomeini adalah teolog
Islam pertama yang mengembangkan dan mempraktikkan gagasan pemerintahan
Islamnya di dunia modern sehingga warga Iran keseluruhannya menyebutnya sebagai
“Pemimpin Revolusi”. Ruhullah Musavi Khomeini atau lebih dikenal sebagai
Ayatullah Khomeini lahir di Khomein, sebuah kota kecil yang berada di Iran
tengah pada tanggal 24 Oktober 1902. Khomeini merupakan anak bungsu dari
pasangan Said Musthafa dan Khanum yang memiliki enam saudara.[20]
Berbagai jenis pendidikan yang
diperoleh Khomeini merupakan dasar dari proses revolusi yang dilakukan olehnya.
Banyak sekali nama-nama besar dari bidang pendidikan yang menjadi guru Khomeini,
diantaranya adalah AkhundMolla Abolqasem, Mirza Mehdi Da’i, Ayatullah Abdul
Karim Haeriye Zahdi, Javad Aqa Maleki Tabrizi, Rafi’i Qazvini, dan Mirza
Muhammad Ali Shahabadi. Namun pengaruh terbesar datang dari seorang gurunya
bernama Ayatullah Sayyed Husayn Boroujerdi yang mana ia merupakan ulama’ paling
berpengaruh di Qom pada saat itu.[21]
Aktivitas Khomeini sendiri dalam
bidang politik muncul ketika ia berusia duapuluh tahun. Namun ia baru berani
menyuarakan pemikirannya ketika gurunya, yaitu Boroujerdi wafat pada Maret
1961.[22]
Terlebih dalam bukunya yang merupakan latar belakang dari semua isi pidatonya,
ia menuduh Shah seorang yang menghancurkan budaya Islam, dan patuh kepada
dominasi pihak asing. Selain itu Khomeini juga mendorong semua muridnya di Qum
untuk menyadari bahwasanya kewajiban merekalah untuk menegakkan pemerintahan
Islam serta mendesak para ulama untuk berupaya menegakkan negara Islam dengan
cara mengemban tanggung jawab posisi eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pengaruh Khomeini pun akhirnya
membuahkan hasil manis bagi masyarakat muslim Iran. Hal tersebut mulai nampak
sejak bulan Desember 1978 ketika hari Tasu’a dan Asyura. Berjuta-berjuta orang
berbaris di Teheran menuntut perginya Syah. Pada bulan Januari 1979, Khomeini
membentuk Dewan Revolusi Iran yang mana merupakan langkah pertama menuju
berdirinya institusi yang diperlukan untuk pemerintahan di Iran. Puncak dari
cita-cita Khomeini pun akhirnya terwujud juga pada tanggal 11 Februari 1979,
yang ditandai dengan kaburnya Perdana Menteri Bakhtiar ke luar negeri sehingga
Iran pun menjadi suatu negara Republik Islam.[23]
Pada 3 Juni 1989, Khomeini
menghembuskan nafas terakhirnya. Pada saat itu usianya memasuki 86 tahun. Sakit
yang dideritanya selama bertahun-tahun menjadi alasan bagi masyarakat Iran
merasa kehilangan seorang sosok revolusioner bagi mereka. Ia dimakamkan di
Teheran, Iran dengan dihadari berjuta-juta pelayat yang datang dari penjuru
Iran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terjadinya revolusi Iran diakibatkan oleh banyaknya
perlawanan yang terjadi untuk menentang kebijakan yang dilakukan oleh rezim
Pahlevi yang tidak pro dengan rakyat Iran dan cenderung menggantungkan diri
kepada Barat, rezim ini menggunakan sistem pemerintahan monarkhi absolut dan
semakin memukul mundur peran ulama’ yang semakin tidak mendapat tempat di
pemerintahan Iran. Hal itu membuat rakyat semakin tidak suka dan menuntut
pemerintahan dinasti Pahlevi untuk mundur dengan melakukan berbagai demonstrasi
di abad ke-20.
Memasuki awal tahun 1978 masyarkat muslim
secara terang-terangan mulai melakukan berbagai aksinya, yang mana sebelumnya
mereka cenderung hanya melakukan perjuangan di bawah tanah. Pada tanggal 4
September 1978 atau bertepatan dengan Idul Fitri tahun 1357 Hijriah, kekuatan
oposisi yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini menunjukan kualitasnya guna
meruntuhkan pemerintahan Shah. Rangkaian peristiwa demonstrasi mencapai puncaknya di
Teheran yang dikenal dengan “Black Friday”. Pada Kamis 7 September
1978, terjadi lagi demonstrasi besar yang diperkirkan pada saat itu terdapat
sebanyak 500.000 dari berbagai wilayah di Iran berkumpul untuk menyanggah
pengumuman Hukum Darurat Perang oleh Dekrit Kerajaan.
Dua tokoh yang bisa dikatakan sebagai pencetus adanya revolusi Iran adalah
Ali Shariati dan Ayatullah Khomeini. Keduanya memiliki peran besar dalam
menggerakkan masa untuk melakukan Revolusi menentang rezim Pahlevi.
BIBLIOGRAFI
Anonim,
http://wawasansejarah.com/revolusi-iran/, Diakses pada 18 Maret 2017.
Fauziana, Diyah Ratna dan Mujib,
Izzudin Irsam, “Khomeini dan Revolusi
Iran, 2009. Yogyakarta : Penerbit
Narasi.
Lapidus, Ira M, “Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga”, 1999, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Santoso, Lukman Az, “Para Martir Revolusi Dunia”, 2014. Yogyakarta
[1] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam bagian ketiga,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 45-46.
[2] Ibid., hlm. 53.
[4] Diyah Ratna Fauziana dan
Izzudin Irsam Mujib, Khomeini dan
Revolusi Iran, (Yogyakarta : Penerbit Narasi, 2009), hlm 48-49
[16]Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung
: Penerbit Mizan, 1994), hlm. 203
0 komentar:
Post a Comment