Pluralisme Agama, http://yogyakartanews.com |
Banyak
sekali fenomena di dunia ini yang menyangkut sesuatu yang mencederai
kemanusiaan, contohnya seperti Terorisme, Deskriminasi, penyebaran Hoax, dan
berbagai kejadian lainnya yang menyangkut kepentingan bersama atau Massal. Hal
ini terjadi karena kurang nya rasa kebersamaan, toleransi, dan kebanyakan hal
ini terjadi karena masalah ideologis, seperti kepercayaan, kepentingan, dan
terutama agama.
Banyak sekali contoh-contoh fenomena
intoleran yang menyangkut nama agama, seperti tentu makna “Jihad” dikalangan
Islam yang berpikiran bahwa selain Islam harus di basmi, atau selain Islam
yaitu Kristen di daerah Afrika yang telah lama terjadi konflik antar agama, dan
juga yang sedang ramai saat ini yaitu konflik Muslim Rohingya yang sudah
menjadi rahasia umum bahwa telah terjadi Genosida disana yang dilakukan oleh
Pemerintah Vietnam.
Sebenarnya konflik keagamaan sudah
lama terjadi, konflik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak abad
ke-11 dimana terjadi Perang Salib di daerah Jerusalem. Hal ini terjadi karena
kurang nya rasa kepedulian antar sesama manusia untuk hidup bersama meskipun
antar manusia tersebut terjadi banyak sekali perbedaan, fisik maupun
psikologis. Dalam ranah perbadaan ini, maka di zaman sekarang timbullah suatu
yang dinamakan Pluralitas, yakni dimana manusia yang berbeda-beda hidup
bersama-sama dengan berbagai perbedaan.
Maka agar diterima nya konsep
Pluralitas itu, diperlukan suatu pemikiran yang maju yang terbayang akan
indahnya dunia yang dianut oleh setiap manusia, dan apabila hal itu sudah
terjadi, inilah yang dinamakan Pluralisme, dimana semangat perbedaan dan
kebersamaan menjadi ideology bersama.
Disini kami dari kelompok 2, ingin
membahas atau menguraikan tentang Pluralitas dan Pluralisme Agama, karena
menurut kami, tema ini adalah tema yang sangat tepat saat ini karena melihat
bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki banyak sekali perbedaan, dalam segi
budaya, bahasa, maupun adat dan pemikiran. Melihat juga saat ini banyak sekali
di Indonesia yang menyangkut masalah-masalah Pluralitas, yakni konflik agama,
dan Deskriminasi.
1. Apa itu Pluralisme Agama.
2. Bagaimana Pluralisme agama dalam Realitas Sosial.
Pluralisme dalam Realitas Sosial
Sosiologi pengetahuan dalam
pemikiran Berger dan Luckman, memahami dunia kehidupan selalu dalam proses
dialektik antara inidivu dengan dunia sosio kultural. Proses dialektik itu
mencakup tiga momen simultan, yaitu Eksternalisasi
(Penyesuaian diri dengan dunia soail kultural sebagai produk manusia), Objektivikasi (interaksi dengan dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami isntitusionalisasi), dan Internalisasi (individu mengidentifikasi
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi
anggotanya).
Mengikuti konstruksi sosial Berger,
realitas sosial pluralism agama menjadi terpelihara dalam teks-teks agama bagi
umat beragama. Doktrin agama pun akhirnya berhasil melegitimasi wacana
“pluralism agama” tersebut. terlebih ketika agama dijadikan sebagai ideology
negara. walhasil, bagi umat beragama, “pluralism agama” menjadi sebuah realitas
sosial yang tak terbantahkan, bahkan mustahil untuk dihilangkan. Demikiran pula
wacana yang mengiringinya, “dialog antaragama” atau dialog antariman. Di bawah
ini dijelaskan secara rinci proses dialektika terkait dengan konstruksi sosial
elit agama tentang pluralism dan dialog antarumat beragama melalui tiga momen
simultan.
1.
Eksternalisasi: Momen Adapatasi Diri
Eksternalisasi adalah adaptasi diri
dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia. Bagi elit agama, teks-teks
kehidupan yang abstrak adalah teks-teks yang tertulis dalam kitab suci atau
kitab-kitab rujukan, yang dalam kenyataannya masih mebutuhkan penafsiran, dan
penafsiran tersebut kemudian tidak bersifat tunggal, namun bersifat plural.
Teks-teks kehidupan yang nyata adalah realitas kehidupan dalam dunia
sosio-religious yang sehari-hari dialami oleh elit agama. secara konseptual
proses eksternalisasi tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut:
Pertama,
adaptasi dengan teks-teks kitab suci atau kitab rujukan. Dalam merespon
berbagai fenomena sosial-keagamaan, elit agama berargumentasi dengan
dasar-dasar teks dan kitab rujukan para pendahulunya yang dapat menguatkan
pendapatnya. Dalam konteks ini, elit agama memposisikan teks-teks tersebut
sebagai poisisi sentral dan sebagai instrument pandangan hidup mereka, termasuk
dalam bertindak dan melaksanakan aktivitas ibadahnya.
Kedua,
adaptasi dengan nilai dan tindakan (relasi antar umat beragama). Terdapat
dua sikap dalam adapatasi atau penyesuaian diri dengan nilai dan tindakan
tersebut, yaitu sikap menerima dan menolak. Dalam konteks ini, penerimaan
terhadap nilai dan tindakan tersebut tergambar dalam partisipasi para pengikut
agama dalam berbagai aktivitias pada ruang budaya yang dibuat, seperti Forum
Doa Bersama (FDB), Gerakan Masyarkat Umat Beragama (Gema UB) dsb. Dengan
banyaknya elit agama yang tergabung dalam forum-forum tersebut menunjukkan
diterimanya elit agama terhadap tradisi dan relasi antar umat beragama.
Namun ada juga elit agama yang
menolak kegiatan tersebut, dan penolakan tersebut juga dilandasi pada teks-teks
suci berdasarkan cara pandang dan intepretasi terhadap teks-teks tersebut.
Penolakan terhadap pluralism ini akan berdampak pada penolakan masyarakat umum
terhadap doa bersama, dialog, dan hubungan antar agama.
Baca Juga: Teori Sosiologi Kontenporer
Dalam konteks ini, para pendahulu
dari kalangan ulama’ dan uskup agung memiliki pengaruh besar terhadap
pembentukan pola pikir dan tindakan elit agama. jika elit agama Islam akan
mengikuti pendapat para Ulama’nya, Kristen akan mengikuti pendapat Uskupnya, NU
dengan pemikiran NU, Muhammadiyah dengan pemikiran Muhammadiyah, dan
sebagainya.
0 komentar:
Post a Comment