Penelitian Sanad Hadis

Sanad Hadis, blogspot.com


Teks hadis
أخبرنا الفضلُ بنُ الحُباب ، قال: حدثنا القَعْنَبي ، قال: حدثنا عبدُ العزيز بن محمد ، عن العلاء ، عن أبيه عن أبي هريرة قال : أَتَى رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ، وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ، فَقَالَ رَسولُ اللَّهِ: لَئِنْ كَانَ كَمَا تَقُولُ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ المَلَّ، وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ  (رواه ابن حبان)
Artinya : Telah menceritakan pada kami al-Fadl bin Hubbab, ia berkata: telah menceritakan pada kami al-Qa’nabi, ia berkata: telah menceritakan pada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari al-Ala’, dari bapaknya, dari Abu Hurairah ia berkata: telah datang seorang laki-laki seraya berkata: Ya Rasulallah, saya mempunyai kerabat. Saya selalu berupaya untuk menyambung silaturahim kepada mereka, tetapi mereka memutuskannya. Mereka menyakiti saya, sedangkan saya selalu berupaya untuk berbuat baik pada mereka. Mereka tak acuh pada saya, sedangkan saya selalu berusaha lemah lembut pada mereka. Lalu Rasulullah bersabda : Jika benar seperti yang kamu ungkapkan, maka kamu seperti memberi makanan mereka debu yang panas, dan selama kamu berbuat demikian maka pertolongan Allah akan selalu bersamamu. (HR. Ibn Hibban)
Untuk melihat keshahihan sebuah hadis, kaidah ilmu hadis menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan shahih, barulah matan-nya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matannya dipandang tidak shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadis di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Jalur periwayatnnya adalah: Nabi saw.→Abu HurairahAbdurrahman bin Ya’qubal-Ala’Abdul Aziz bin Muhammadal-Qa’nabial-Fadl bin HubbabIbn Hibban. Berikut ini identitas orang-orang yang meriwayatkan dari jalur tersebut.
Ulama berbeda pendapat mengenai nama Abu Hurairah hingga 20 macam,[1] begitu pula nama bapaknya.[2] Namun nama yang paling diunggulkan adalah Abdurrahman bin Sakhr.[3] Selain berguru pada Nabi, ia juga berguru pada Ubay bin Kaab, Usamah bin Zaid, Bashrah bin Abu Bashrah, Umar bin Khattab, Fadl bin Abbas, Kaab al-Ahbar, Abu Bakar dan Aisyah.[4]
Dan yang meriwayatkan darinya banyak dari kalangan shahabat dan tabiin. Serta dikatakan bahwa jumlahnya sebanyak bilangan shahabat-shahabatnya.[5] Di antaranya adalah Abdurrahman bin Ya’qub, Ibrahim bin Ismail, Ibrahim bin Abdullah bin Hunain, Ibrahim bin Abdullah bin Qaridl, Ishaq bin Abdullah, Aswad bin Hilal, Anas bin Malik, dan lain-lainnya karena sangat banyak orang yang meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah.
Ia merupakan salah satu shahabat Rasulullah dan digelari Sayyid al-Huffadz al-Asbat.[6] Ia merupakan ahlu suffah yang paling terkenal, mengabdikan padanya sepanjang hidup Nabi dan tidak berpindah darinya.[7] Imam al-Syafii berkata: “Abu Hurairah adalah periwayat paling Hafidz di dunia.[8] Ia meninggal sekitar tahun 57 H atau 58 H.[9]

2.        Abdurrahman bin Ya’qub
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Ya’qub al-Juhani al-Madani dan merupakan bapak dari al-Ala’ bin Abdurrahman.[10] Ia meriwayatkan hadis dari Ibn Abbas, Ibn Umar, Abdurrahman bin Yamin al-Madani, Abdul Malik bin Naufal al-Haris, bapaknya sendiri yang bernama Ya’qub, Abu Said al-Khudri, Abu Salamah dan Abu Hurairah.[11]
Dan yang meriwayatkan hadis darinya yaitu Salim Abu al-Nadlr, Umar bin Hafs, putranya yang bernama al-Ala’ bin Abdurrahman, Muhammad bin Ibrahim al-Haris, Muhammad bin Ajlan dan Muhammad bin Amr bin Alqamah.[12]
Menurut al-Nasa’i, ia laisa bihi ba’s, dan Ibn Hibban menyebutnya dalam kitab al-Siqqah.[13] Al-Ajuli berkata, ia adalah tabiin yang siqah.[14] Al-Dzahabi mengatakan bahwa ia termasuk siqah.[15]

3.        Al-Ala’ bin Abdurrahman (w. 132 H)
Nama lengkapnya adalah al-Ala’ bin Abdurrahman bin Ya’qub al-Huraqi.[16] Ia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Zaid bin Daroh, Salim bin Abdullah, Abbas bin Sahl, Ibn Umar, Abdurrahman bin Kaab, bapaknya yang bernama Ya’qub bin Abdurrahman, Ikrimah, Ali bin Majidah, Ma’bad bin Kaab, Nuaim bin Abdullah, Abu al-Saib, Abu Said dan Abu Kasir.[17]
Murid-muridnya cukup banyak, yaitu Ismail bin Ja’far, Ismail bin Zakaria, al-Hasan bin al-Hur, Hafs bin Maisarah, Kharijah bin Mush’ab, Zuhair bin Muhammad, Zaid bin Abu Unaisah, Saad bin Said, Said bin Abu Hilal, Sufyan al-Sauri, Sufyan bi Uyainah, Sulaiman bin Hilal, Syibl bin Abbad, putranya yang bernama Syibl bin al-Ala’, Syu’bah bin al-Hajjaj, Abdul Aziz bin Muhammad, Abdul Malik bin Juraij, Ubaid bin Umar, Abu al-Umais Utbah bin Abdullah, Fulaih bin Sulaiman, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishaq, Muhammad bin Ja’far, Muhammad bin Ajlan, Muslim bin Khalid, Mush’ab bin Sabit, Warqa’ bin Umar, al-Walid bin Kasir dan Abu Zukair Yahya bin Qais dan lain-lain.[18]
Ulama berbeda pandangan tentangnya. Ulama yang menta’dilnya diantaranya Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa ia termasuk siqah dan tidak ada yang mengatakan hal buruk tentangnya.[19] Al-Nasa’i berkata ia laisa bihi ba’s.[20] Ibn Hibban menyebutnya dalam kitab al-Siqqat.[21] Muhammad bin Umar menyatakan lembaran al-Ala’ masyhur di Madinah, ia siqah dan banyak hadisnya. [22]
Dan ulama yang mentajrihnya diantaranya Al-Dauri mengatakan dari Ibn Main bahwa ia laisa hadisuhu bihujjah.[23] Abu Zar’ah berkata ia laisa huwa bil qowiy.[24] Abu Hatim berkata ia baik dan  orang-orang siqah banyak meriwayatkan darinya tetapi dia munkar dalam beberapa hadisnya dan sering keliru diserupakan dengan al-Ala’ bin al-Musayyab.[25] Ia meninggal pada tahun 132 H di awal kekhalifahan Abu Ja’far (khalifah kedua dinasti Abbasiyah).[26]

4.        Abdul Aziz bin Muhammad (w. 187 H)
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Muhammad bin Ubaid bin Abu Ubaid al-Darawardi.[27] Ahmad bin Sholih berkata ia dari Asfahan dan tinggal di Madinah.[28] Guru-gurunya dalam hadis yaitu Zaid bin Aslam, Shafwan bin Sulaim, Abu Thawalah, Abdul Majid bin Sahl bin Abdurrahman bin Auf, al-Ala’ bin Abdurrahman, Muhammad bin Amr bin Alqamah, Musa bin Uqbah, Zaid bin al-Had dan lain-lain.[29]
Murid-murid yang meriwayatkan darinya yaitu Syu’bah, al-Sauri, Ibn Ishaq, al-Syafi’i, Ibn Mahdi, Ibn Wahb, Waki’, Dawud bin Abdullah al-Ja’fari, Abdullah bin Ja’far al-Raqi, al-Qa’nabi, Asbagh bin Farj, Qutaibah dan Abu Mush’ab dan lain-lain.[30]
Ulama berbeda pendapat tentangnya. Diantaranya ulama yang menta’dilnya yaitu Ahmad bin Abu Maryam dari Ibn Main berkata ia siqah, hujjah.[31] Ibn Hibban memasukkannya dalam kitab al-Siqqat.[32] Al-Ajuli memasukannya dalam kitab Siqqatnya.[33]
Dan diantara ulama yang mentajrihnya yaitu Abu Zar’ah berkata ia buruk hafalannya.[34] Abu Hatim berkata ia tidak bisa dijadikan hujjah.[35] Al-Uqaili memasukannya dalam kitab al-Dhuafa’.[36] Ibn Saad berkata ia siqah banyak keliru hadisnya.[37] Ia meninggal pada tahun 187 H.[38]
5.         Al-Qa’nabi (w. 209 H)
Nama lengkapnya Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab al-Harisi al-Qa’nabi.[39] Ulama berbeda pendapat tentang tempat tinggalnya. Ada yang mengatakan tinggal di Bashrah,[40] dan ada yang mengatakan ia tinggal di Mesir.[41] Guru-guru hadisnya cukup banyak, diantaranya Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Dawud bin Qais, Sulaiman bin Bilal, Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi, Isa bin Yunus dan lain-lain.[42]
Murid-muridnya di antaranya Abu Zar’ah al-Razi, Abu Hatim al-Razi, Abu Ismail Muhammad al-Tirmidzi, Ya’qub bin Sufyan al-Farisi dan lain-lain, tetapi tidak ditemukan muridnya dalam kitab-kitab yang dicari penulis yang bernama al-Fadl bin Hubbab.[43]
Ulama berbeda pendapat tentangnya. Ulama yang menta’dilnya yaitu Abu Hatim mengatakan ia termasuk Shaduq.[44] Al-Suyuti memasukannya dalam kitab Thabaqat al-Huffadznya.[45] Sedangkan ulama yang mentajrihnya yaitu Al-Uqaili memasukannya dalam kitab al-Dhuafa’.[46] Dan ia meninggal di Mesir pada tahun 209 H.[47]

6.         Al-Fadl bin Hubbab
Nama lengkapnya adalah al-Fadl bin Hubbab bin Muhammad bin Syuaib bin Abdurrahman, bapak dari khalifah al-Jumahi.[48] Ia tinggal di Bashrah[49] dan Makkah.[50] Dan lahir pada tahun 207 H.[51] Ia juga merupakan penyair.[52] Meriwayatkan dari al-Qa’nabi dan Muslim bin Ibrahim.[53]
Murid-murid hadisnya ada banyak, di antaranya Abu Awanah, Abu Bakr al-Shuli, Ibn Hibban, Abu Ali al-Naisaburi, Abu al-Qasim al-Thabarani, Abu Ishaq al-Asbahani, Umar bin Ja’far al-Bashri dan lain-lain.[54] Al-Asqalani berkata ia termasuk siqah.[55] Ibn Hibban menyebutnya dalam kitab al-Siqqat.[56] Dan ia meninggal pada tahun 305 H.[57]

7.        Ibn Hibban (w. 354 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad al-Tamimi al-Busti.[58] Seorang tokoh yang banyak tulisannya. Ia merupakan wali qadli di Samarkand dan termasuk alim dalam ilmu agama, hafalannya banyak, paham ilmu nujum dan kedokteran, serta cabang-cabang ilmu lain.[59] Ia menulis [60]musnad, shohih, tarikh, al-Dhuafa’, dan lain-lain. Al-Hakim berkata ia merupakan wadah dalam ilmu fiqih, hadis dan bahasa.[61]
Tokoh-tokoh besar yang pernah ia temui ada banyak, diantaranya adalah al-Fadl bin Hubbab al-Jumahi (berjumpa di Bashrah), Zakaria al-Saji dan Abu Abdurrahman al-Nasai (Mesir), al-Hasan bin Sufyan (Nasa), Ahmad bin al-Hasan (Baghdad), Ibn Khuzaimah (Naisabur), Muhammad bin al-Hasan bin Qutaibah (Asqalan) dan lain-lain. Al-Khatib berkata ia termasuk siqah, cerdas dan faham.[62] Ibn Sholah berkata ia terkadang tercampur dengan campuran yang buruk.[63] Dan ia meninggal pada tahun 354 H.[64]

Kesimpulan:
Dari kajian sanad di atas, dari awal mulain dari Abu Hurairah hingga Ibn Hibban dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadis yang dikeluarkan oleh Ibn Hibban ini belum memenuhi syarat kesahihan hadis. Syarat-syarat keshahihan sanad ialah ketersambungan sanad (ittishal al-sanad), para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah), intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah). Semua rijal yang terlibat dalam periwayatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid meskipun ada yang perlu dilihat lebih lanjut. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka belum memenuhi persyaratan. Ada beberapa perawi yang dipertentangkan statusnya yakni al-Ala’ bin Abdurrahman, Abdul Aziz bin Muhammad dan al-Qa’nabi. Maka dari itu, dari segi sanad hadis ini tidak shahih.

Baca Juga: Ilmu Mukhtalaful al-Hadis


[1] Ibn al-Asir, Asad al-Ghobah fi Ma’rifat al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997 M), jld. 3, h. 52. 
[2] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997 M), jld. 4, h. 175.
[3] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 4, h. 175.
[4] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M), jld. 22, h. 90.
[5] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 4, h. 176.
[6] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 4, h. 175.
[7] Al-Asbahani, Hilyah al-Awliya’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2002 M), jld. 1, h. 461.
[8] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994 M), h. 17.
[9] Ibn Hibban, Siqqah Ibn Hibban, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975 M), jld. 3, h. 284.
[10] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 11, h. 428.
[11] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 11, h. 428.

[12] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 11, h. 428.
[13] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 11, h. 428.
[14] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996 M), jld. 3, h. 481.
[15] Al-Dzahabi, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983 M), jld. 2, h. 169.
[16] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 14, h. 493.
[17] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 14, h. 494.
[18] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 14, h. 494.
[19] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 14, h. 494.
[20] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 4, h. 505.
[21] Ibn Hibban, Siqqat Ibn Hibban, jld. 5, h. 247.
[22] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 4, h. 505.
[23] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 4, h. 505.
[24] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 4, h. 505.
[25] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 4, h. 505.
[26] Ibn Hibban, Siqqat Ibn Hibban, jld. 5, h. 247.
[27] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 11, h. 524.
[28] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 11, h. 524.
[29] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 3, h. 512.
[30] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 3, h. 512.
[31] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 3, h. 512.
[32][32] Ibn Hibban, Siqqat Ibn Hibban, jld. 7, h. 116.
[33] Al-Ajuli, Siqqat al-Ajuli, (TT:TP, TT), h. 306.
[34] Al-Asqalani, Tahdzib al-Tadzhib, jld. 3, h. 512.
[35] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 7, h. 594.
[36] Al-Uqaili, Dhuafa’ al-Uqaili, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998 M), jld. 3, h. 20.
[37] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, h. 121.
[38] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, h. 121.
[39] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 2, h. 234.
[40] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 2, h. 234.
[41] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 10, h. 540.
[42] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 2, h. 234.
[43] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 2, h. 234.
[44] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 2, h. 234.
[45] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 2, h. 19.
[46] Al-Uqaili, Dhuafa’ al-Uqaili, jld. 4, h. 430.
[47] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, jld. 2, h. 234.
[48] Al-Asqalani, Lisan al-Mizan, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-Arabi, 1996 M), jld. 4, h. 513.
[49] Al-Asqalani, Lisan al-Mizan, jld. 4, h. 513.
[50] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 11, h. 111.
[51] Ibn Hibban, Siqqat Ibn Hibban, jld. 9, h. 9.
[52] Al-Asqalani, Lisan al-Mizan, jld. 4, h. 513.
[53] Al-Asqalani, Lisan al-Mizan, jld. 4, h. 513.
[54] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 11, h. 111.
[55] Al-Asqalani, Lisan al-Mizan, jld. 4, h. 513.
[56] Al-Asqalani, Lisan al-Mizan, jld. 4, h. 513.
[57] Ibn Hibban, Siqqat Ibn Hibban, jld. 9, h. 9.
[58] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 1, h. 375.
[59] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 1, h. 375.
[60] Al-Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’, jld. 12, h. 246.
[61] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 1, h. 375
[62] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 1, h. 376.
[63] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 1, h. 376.
[64] Al-Suyuti, Thabaqat al-Huffadz, jld. 1, h. 376.

0 komentar:

Post a Comment