Tafsir Tahlili



 
Tafsir Tahlili, blogspot.com
            A. Tafsir tahlily
1.      metode tafsir tahlili yang biasa disebut metode tajzi’i ini termasuk metode tafsir tertua usianya.
2.      pembagian metode tafsir tahlili
a)      tafsir bil ma’tsur
tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran dengan menengahkan penafsiran pada para sahabat Nabi dan para kaum tabi’in yang selalu disertai dengan isnad (sumber-sumber riwayat) dan di perbandingkan untuk memporeloh penafsiran yang kuat dan tepat.
metode tahlili dengan pendekatan tafsir bil ma’tsur memiliki keistimewaan namun juga memiliki kekurangan . Adapun keistimewaannya yaitu:
1)      menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-quran
2)      memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya
3)      mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.
Adapun kekuranga tafsir bil ma’tsur yaitu:
1)      terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
2)      seringkali konteks turunnya ayat hampir dapat dikatakan tarabaikan sama sekali, sehingga ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
b)      tafsir bir ra’yi
adalah tafsir ayat-ayat yang didasarkan pada ijtihad para mufassirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya.
sebab-sebab para ulama menetapkan diterimanya tafsir bil ra’yi
1)      benar-benar menguasai bagahasa arab dengan segala seluk beluknya.
2)      mengetahui asbabun nuzul, nasilah mansilah, ilmu qiraat, dan imu-ilmu yang lain.
3)      tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas tuhan untuk mengetahuinya
4)      tidak menafsirkan ayat berdasarkan hawa nafsu
5)      tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan maksud justifikasi alirian tersebut
6)      tidak menganggap bahwa tafsirannya itulah yang paling benar dan yang dikahendaki oleh tuhan tanpa argumentasi yang pasti

3.      ciri-ciri metode tafsir tahlili
a.       membahas segala sesuatu yang menyangkut suatu ayat
b.      sesuai bahasan yang ditonjolkannya seperti hukum, riwayat dan lain-lain
c.       pembahasnnya sesuai urutan ayat
d.      titik berat pada lafazdnya
e.       menyebutkan munasabah ayat
f.        menggunakan asbabun nuzul
g.      mufassir bergerak terus walau masalah belum selesai disatu ayat karena berhubungan dengan ayat lain

4.      kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlily
·         kelehihan
a.       metode tafsir ini dapat menampung berbagai  ide dan gagasan yang terpendam dalam benak mufassir dalam upaya menafsirkan al-quran
b.      keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pelestarian dan pengembangan khazanah intelektual islam khususnya dalam bidang tafsir alquran
c.       mudah mengetahui relevansi/munasabah antara suatu surat atau ayat dngan satu surat atau ayat lainnya
d.      memudahkan seseorang atau para da’i atau pengajar untuk memahami dan memahamkan orang lain tentang tafsir sebuah ayat
·         Kekurangan
a.       faktor subyektif tidak mudah dihindari
b.      terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama.

                        B. metode ijmali

Yaitu, metode penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara menjelaskan maksud al-Qur’an secara global, tidak terperinci seperti tafsir tahlili. Para pakar menganggap bahwa metode ini merupakan metode yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir, karena didasarkan pada kenyataan bahwa era awal-awal Islam, metode ini yang dipakai dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Realitas sejarah bahwa dahulu para sahabat adalah mayoritas orang Arab yang ahli bahasa Arab dan mengetahui dengan baik latar belakang asbabun nuzul-nya ayat, bahkan menyaksikan serta terlibat langsung dalam situasi dan kondisi umat Islam ketika ayat-ayat al-Quran turun. Hal ini dapat menyuburkan persemaian metode global karena sahabat tidak memerlukan penjelasan yang rinci dari Nabi, tetapi cukup dengan isyarat dan uraian sederhana.

Dengan metode ini, langkah awal yang dilakukan para mufassir adalah membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang ada pada mushaf, lalu mengemukakan arti yang dimaksud ayat-ayat tersebut dengan global. Ma’na yang diutarakan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat atau menurut pola-pola yang diakui jumhur ulama’ dan mudah difaham semua orang.Adapun bahasa, diupayakan lafadznya mirip bahkan sama dengan lafadz yang digunakan al-Quran sehingga pembaca bisa merasakan bahwa uraian tafsirnya tidak jauh berbeda dari gaya bahasa al-Quran dan terkesan bahwa hal itu benar-benar mempresentasikan pesan al-Quran.

2.1      Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode Ijmali

a) Tafsir al-Jalalayn, karya Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli.
b) Shafwah al-Bayan Lima’ani al-Qurân, karya Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf.
c) Tafsîr al-Quran al-‘Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdiy.
d) Tafsir al-Wasith, karya Tim Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar Mesir.
e) Taj al-Tafasir, karya Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.

2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmaliy

a) Kelebihan Metode Tafsir Ijmaliy
Praktis, simplistis dan mudah dipahami
Bebas dari penafsiran israiliyat
Akrab dengan bahasa al-Quran

b) Kekurangan Metode Tafsir Ijmaliy
Menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai

C)Tidak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan al-Quran dengan permasalahan sosial maupun keilmuan yang aktual dan problematika

d)Menimbulkan ketidakpuasan pakar al-Quran dan memicu mereka untuk menemukan metode lain yang dipandang lebih baik dari metode global

                                      C.     metode muqarram

Metode muqaran adalah metode yang menggunakan pendekatan perbandingan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pengertian ini bisa dipahami dalam beberapa bentuk, yaitu:
Pertama, metode muqaran bisa diartikan sebagai metode yang digunakan dengan cara membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kemiripan redaksi tetapi maksudnya berbeda, atau memiliki redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama.
Kedua, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan. Ketiga, membandingkan berbagai pendapat para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan mereka yang berbeda-beda dalam mengiterpreasikan ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagai contoh penerapan metode ini, ayat 151 dari surat al-An’am:

    Artinya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Dan surah al-An'am:6/151:
    Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.

Ayat diatas kita menemukan redaksi yang berbeda tetapi maksudnya sama, yaitu melarang (mengharamkan) pembunuhan anak hanya karena takut miskin. Namun, jika kita lihat lagi, sasaran dan aksentuasinya berbeda jauh.
Pemahaman itu diperoleh dari bentuk redaksi kedua ayat tersebut. Pada ayat pertama, redaksi yang digunakan adalah min imlaq (takut kelaparan) yang belum tentu terjadi, sedangkan pada ayat kedua redaksinya adalah
khasyata imlaq yang menunjukkan kelaparan itu seudah dan sering terjadi, dan yang mereka takutkan adalah kelaparan itu terus-menerus terjadi.
Perbedaan redaksi yang lain juga bisa dilihat dari kalimat “kami memberikan rezki” (narzuq) yang berbeda kata gantinya. Menurut sebagian mufasir kata min imlaq dan nahnu narzuqukum wa iyyahum pada ayat 151 surat al-An’am member isyarat bahwa orang-orang miskinlah yang sedang mengalami kelaparan, meski dengan alasan itu mereka tetap diharamkan membunuh anak-anaknya dan bahwa Allahlah yang menjamin rezki mereka dan anak-anaknya.
Sebaliknya pada ayat 31 surat Al-Isra, kata khasyata imlaq mengisyaratkan bahwa kelaparan belum terjadi, sehingga khitab dari ayat ini adalah orang-orang kaya yang merasa khawatir dari kelaparan yang disebabkan oleh anak-anak mereka yang turut memakan hartanya. Oleh karena itu Allah menekankan bahwa Dialah yang menjamin rezki anak-anak mereka, bahkan orang tuapun bisa mendapatkannya. Itulah sebabnya rahasia penempatan kata narzuquhum yang didahulukan dari kata wa iyyakum.

Secara umum, langkah-langkah dalam menggunakan metode muqaran adalah sebagai berikut:

           1.Menginventarisir ayat-ayat atau hadis yang akan diperbandingkan.
    2.Meneliti kasus dan asbab an-nuzul/asbab al-wurud ayat atau      hadis tersebut, apakah sama atau tidak.
            3.Melakukan penafsiran terhadap ayat atau hadis yang
    4.Mengemukakan perbedaan pendapat para ulama terkait dengan penafsiran ayat atau hadis tersebut.

                                     D.    metode maudhu’i


Tafsir maudhu’i merupakan sebuah metode tafsir yang dicetuskan oleh para ulama‟ untuk memahami makna-makna dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Sebelum kita mengetahui secara mendalam tentang metode tafsir ini, maka akan peneliti paparkan pengertian metode tafsir ini.
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari kata al-Fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “dharaba-yadhribu” dan nashara yanshuru”. Dikatakan, “fasara (asy-syai’a) yafsiru” dan “yafsuru, fasran” dan “fasarahu” artinya abanahu (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.1
Kata tafsir di ambil dari ungkapan orang Arab: fassartu al-faras ( فسرت الفرس ), yang berarti saya melepaskan kuda. Hal ini dianalogikan kepada seorang penafsir yang melepaskan seluruh kemampuan berfikirnya untuk bisa mengurai makna ayat al-Qur‟an yang tersembunyi di balik teks dan sulit dipahami

sejarah........Tafsir maudhu’i sebenarnya telah ada sejak zaman dulu, bisa juga disebut sejak zaman Rasulullah, hal ini bisa kita lihat dari sejarah tentang penafsiran Rasulullah terhadap kata (ظالم ) yang dihubungkan dengan kata syirik karena adanya kesamaan makna.
Ali Khalil dalam komentarnya tentang riwayat ini menegaskan bahwa dengan penafsiran ini Rasulullah telah memberikan pelajaran kepada para sahabat bahwa tindakan menghimpun sejumlah ayat dapat memperjelas pokok masalah dan akan melenyapkan keraguan menurut beliau, hal tersebut menunjukkan bahwa tafsir maudhu’i telah dikenal sejak zaman Rasulullah, akan tetapi belum memiliki karakter metodologis yang mampu berdiri sendiri.
Contoh penafsiran yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ketika itu ialah menjelaskan tentang arti Zhulum dalam QS. al-An‟am (6: 82).
Nabi saw. Menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah dalam QS. Luqman (31:13).

Selain al-Farmawi, dalam referensi lain disebutkan bahwa pelopor dari metode tafsir maudhu’i adalah Muhammad Baqir al-Shadr. Dia merupakan tokoh intelektual Syi‟ah dalam kehidupan Islam Kontemporer yang juga memberikan tawaran metodologis dalam dunia penafsiran al-Qur‟an

Macam-macam Tafsir Maudhu’i
Secara umum menurut al-Farmawi, metode tafsir maudhu’i memiliki dua macam bentuk. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menyingkap hukum-hukum, keterkaitan, dan ketertkaitan di dalam al-Qur‟an; menepis anggapan adanya pengulangan di dalam al-Qur‟an sebagaimana yang dilontarkan para orientalis, dan menangkap petunjuk al-Qur‟an mengenai kemaslahatan makhluk, berupa undang-undang syari‟at yang adil yang mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.25 Kedua macam metode tafsir tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, membahas satu surat al-Qur‟an secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang satu dengan yang lain, atau antara satu pokok masalah dengan pokok masalah yang lain. Dengan metode ini surat tersebut tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat, teliti, dan sempurna. Metode maudhu’i seperti ini juga bisa disebut sebagai tematik plural (al-maudhu’i al-jāmi’), karena tema-tema yang dibahas lebih dari satu.
Berkenaan dengan metode ini, al-Sya‟tibi sebagai diikuti oleh al-Farmawi, mengatakan bahwa satu surat al-Qur‟an mengandung banyak masalah, yang pada dasarnya masalah-masalah itu satu, karena hakikatnya menunjuk pada satu maksud.26 Menurut M. Quraish Shihab, biasanya
65
kandungan pesan satu surat diisyaratkan oleh nama surat tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah saw.27
Contoh kitab tafsir bentuk ini adalah al-Tafsir al-Wadhīh, karya Muhammad Mahmud Hijazi dan Nahwa Tafsir Maudhu’i li Suwar al-Qur’an al-Karīm karya Muhammad al-Ghazali, Sirāh al-Waqi’ah wa Manhājuha fi al-‘Aqa’id karya Muhammad Gharib dan karya tafsir yang lainnya
Kedua, tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan.31 Bentuk yang satu ini cukup laris digunakan dan istilah maudhu’i identik dengan bentuk seperti ini. Maka dari itu, penulis akan mengarahkan penelitian ini pada bentuk yang kedua. Metode ini juga bisa dinamakan metode tematik singular atau tunggal (al-maudhu’i al-ahadi) karena melihat tema yang dibahas hanya satu. Banyak kitab-kitab tafsir maudhu’i yang menggunakan bentuk seperti ini, baik pada era klasik maupun kontemporer sekarang ini. Mulai dari yang membahas i’jaz al-Qur’an, nasikh-mansukh, ahkam al-Qur’an dan lainnya. Contohnya adalah al-Mar’ah fī al-Qur’an dan al-insan fī al-Qur’an al-Karīm karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Dustur al-Akhlaq fī al-Qur’an karya Muhammad Abdullah Darraz dan kitab-kitabnya.32
Fahd al-Rumi menambahkan satu macam lagi, yakni tafsir yang membahas satu kalimat saja dengan mengumpulkan semua ayat-ayat yang menggunakan kalimat atau derivasi dan akar kalimat tersebut, kemudian menafsirkannya satu persatu dan mengemukakan dalil dan penggunaanya
dalam al-Qur‟an. Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kalimah al-Haqq Fī al-Qur’an al-Karīm karya Muhammad bin „Abd al-Rahman Al-Rawi, Al-Mushthalahat al-Arba’ah Fī al-Qur’an (al-Ilah, al-Rabb, al-‘Ibadah, al-Dīn) karya Abi al-A‟la al-Maududi.33

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
Hal ini dilakukan setelah menentukan batasan-batasan dan mengetahui jangkauan yang akan dibahas dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Menurut M. Quraish Shihab, walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, untuk menghindari kesan keterkaitan yang dihasilkan oleh metode tahlīlī akibat pembahasan-pembahasannya terlalu bersifat sangat teoritis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa, mufasir maudhu’i diharapkan agar lebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban al-Qur‟an menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit, dan sebagainya.36 Dengan demikian corak dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal diluar wilayahnya.37
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu masalah tertentu.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbāb an-nuzūl.
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur‟an menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam al-Qur‟an. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan suatu kisah atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis suatu peristiwa.38
Terkait asbāb an-nuzūl, hal tersebut tidak bisa di abaikan begitu saja dalam proses penafsiran.39 Ia memiliki peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Asbāb an-nuzūl harus jadi pertimbangan tersendiri untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an.40
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat yang ditafsirkan secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat tersebut yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang „am (umum) dan yang khas (khusus, mutlak dan muqayyad (terikat) ), atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan


. Kelebihan Metode Tafsir Maudhu’i
Jika diamati dengan seksama, metode tafsir maudhu’i ini sesuai dengan selera, pemikiran dan kebutuhan masyarakat sekarang di zaman modern. Telaah-telah qur‟ani memang harus terus dilakukan sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat ini, agar manusia juga tenang dalam menghadapi berbagai tantangan dan perkembangan IPTEK.42 Disamping kekurangan dari tiap sesuatu pasti memiliki kelebihan, begitu dalam metode tafsir maudhu’i ini. Peneliti membagi menjadi dua kelebihan dalam metode tafsir ini, yaitu kelebihan secara teoritis dan praktis.43

1. Kelebihan secara teoritis44
a. Menjawab tantangan zaman.
Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri.
Semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas. Hal itu dimungkinkan karena apa yang terjadi pada suatu tempat pada saat yang bersamaan dapat disaksikan oleh orang lain ditempat lain pula. Bahkan peristiwa yang terjadi di ruang angkasa pun dapat di pantau dari bumi. Kondisi semisal inilah yang membuat permasalahan segera merebak ke seluruh masyarakat dalam waktu yang singkat.
Melihat permasalahan di atas, maka jika dilihat dari sudut tafsir al-Qur‟an, tidak bisa diselesaikan dengan selain metode tematik. Hal ini dikarenakan kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Dengan pola dalam metode ini diharapkan mampu menjawab tantangan-tantangan zaman.

b. Praktis dan sistematis
Tafsir dengan metode ini disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur‟an mereka harus membacanya. Dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur‟an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif, dan efisien.
72

c. Dinamis
Metode tematik membuat metode tafsir al-Qur‟an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur‟an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan strata sosial. Dengan demikian, terasa sekali bahwa al-Qur‟an selalu aktual (Updated) tak pernah ketinggalan zaman (Outdate). Dengan tumbuhnya kondisi serupa itu, maka umat akan tertarik mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur‟an karena mereka merasa betul-betul dapat membimbing mereka ke jalan yang benar.

d. Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan di bahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an dapat diserap secara utuh. Pemahaman serupa itu sulit menemukannya di dalam ketiga metode tafsir lain.45 Maka dari itu, metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas
.
2. Kelebihan secara praktis
Selain secara teoritis, dilihat dari sisi praktisnya metode tafsir ini memiliki beberapa keunggulan. Seperti dibawah ini:
a. Metode ini menghimpun semua ayat yang memiliki kesamaan tema. Ayat yang satu menafsirkan ayat yang lainnya. Karena itu, metode ini juga dalam beberapa hal sama dengan tafsir bi al-ma’tsur.
b. Peneliti dapat melihat keterkaitan anatarayat yang memiliki kesamaan tema. Oleh karena itu, metode ini dapat menangkap makna, petunjuk, keindahan, dan kefasihan al-Qur‟an.
c. Peneliti dapat menangkap ide al-Qur‟an yang sempurna dari ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema.
d. Metode ini dapat menyelesaikan kesan kontradiksi antarayat al-Qur‟an yang selama ini dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki maksud jelek, dan dapat menghilangkan kesan permusuhan antara agama dan ilmu pengetahuan.
e. Metode ini sesuai dengan tuntutan zaman modern yang mengharuskan kita merumuskan hukum-hukum universal yang bersumber dari al-Qur‟an bagi seluruh negara Islam.
f. Dengan metode ini semua juru dakwah, baik yang profesional maupun amatiran, dapat menangkap seluruh tema-tema al-Qur‟an. Metode ini juga memungkinkan mereka untuk sampai kepada hukum-hukum Allah dengan cara yang jelas dan mendalam, serta memastikan kita untuk menyingkap rahasia dan kemuskilan al-Qur‟an sehingga hati dan akal kita merasa puas terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya kepada kita.
74
g. Metode ini dapat membantu para pelajar secara umum untuk sampai kepada petunjuk al-Qur‟an tanpa harus merasa lelah dan bertele-tele menyimak uraian kitab-kitab tafsir yang beragam itu.
h. Kondisi saat ini sebagaimana dikatakan as-Sayyid al-Kumi, membutuhkan sebuah metode tafsir yang lebih cepat menemukan pesan-pesan al-Qur‟an, khususnya pada zaman sekarang ketika atmosfir agama banyak dikotori oleh debu-debu penyimpangan, dan langit kemanusiaan telah ditutupi awan kesesatan dan kemusyrikan.46

F. Kekurangan Metode Tafsir Maudhu’i
1. Memenggal ayat al-Qur’an
Memenggal yang dimaksud disini adalah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan berbeda. Misalnya petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya bentuk kedua ibadah ini di ungkapkan bersamaan dalam satu ayat. Apabila membahas tentang kajian zakat, misalnya, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis
.
2. Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu
ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena, seperti dinyatakan Darraz bahwa ayat al-Qur‟an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan ditetapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut. Dengan demikian dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu memang merupakan kosekuensi logis dari metode tematik.47

G. Kebutuhan zaman modern terhadap tafsir maudhu’i
Sejak kemunculannya, melalui penyesuaian aturan-aturan dan syariat-syariatnya dengan keadaan masyarakat pada waktu itu, Islam telah mengetahui cara agar dapat diterima ditengah-tengah masyarakat. Yang demikian itu karena sisi sosial dalam Islam tidak disebutkan Rasulullah saw sebagai suatu teori umum dan dasar hukum dalam bermasyarakat dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Setelah itu barulah muncul syariat yang kemudian dijadikan sebagai sebuah tatanan oleh masyarakat luas.
Umat Islam dahulu selalu berusaha untuk menerapkan secara langsung undang-undang Islam, dengan alasan semua yang termaktub dalam al-Qur‟an adalah syariat yang tidak bisa ditawar lagi tanpa harus melihat kondisi sosial (tekstual).48 Mungkin hal yang semacam inilah yang
akan tidak menjadikan Islam lebih progresif dan berkembang untuk menjawab tantangan-tantangan zaman. Metode tafsir maudhu’i lah yang nanti akan memberi solusi yang solutif bagi kehidupan masyarakat.
Secara fungsionalnya, memang metode tafsir maudhu’i ini diperuntukkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan kehidupan di muka bumi ini. Dari sini memberikan implikasi bahwa metode ini memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud diturunkannya al-Qur‟an.49 Berangkat dari pemikiran yang demikianlah, maka kedudukan metode ini menjadi kuat dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya, metode ini perlu dipunyai oleh para ulama, khususnya para mufassir agar mereka dapat memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini kejalan yang benar demi meraih kebahagiaan dunia dan di akhirat.
Terjadi pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an, sebagai akibat dari tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam memahami al-Qur‟an.50 Padahal al-Qur‟an berdialog dengan seluruh manusia di setiap masyarakat, sejak turunnya hingga akhir zaman. Maka, jika kitab suci ini menganjurkan kita untuk memikirkan maksud-maksud ayat-ayatnya, dan
mengecam mengabaikannya, dengan memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi sosial, latar belakang pendidikan dan lain-lain.51
Tafsir maudhu’i hadir ditengah-tengah kebutuhan masyarakat saat ini, pada hakikatnya timbul akibat adanya keinginan untuk memaparkan Islam dan pemahaman-pemahaman al-Qur‟an secara teoritis, mencakup dasar-dasar agama yang menjadi sumber bagi seluruh rincian perkara-perkara syariat. Yang dengan demikian memungkinkan kita untuk mengetahui teori-teori umum, melalui syariat dan undang-undang Islam. Hal itu karena antara teori dan penerapannya dalam Islam memiliki keterikatan yang sangat kuat.52

                                                                                               

0 komentar:

Post a Comment