Hubungan Pancasila dan Moral Bangsa

Pancasila dan Masyarakt, beritabali.com


            Dengan menyebut nama Allah swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Hubungan Pancasila dengan Moral Masyarakat Indonesia Pra-Islam dan Setelah Islam”.
            Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin serta telah mendapat bantuan dari berbagai pihak yang berguna untuk kelancaran pembuatan makalah. Untuk itu, kami sampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah berkontribusi baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam pembuatan makalah kami.
            Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun isi serta kelengkapannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala bentuk kritik serta saran yang membangun dari pembaca sekalian. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian, Amiin.




Yogyakarta, Maret 2018


Penyusun 



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memiliki beragama perbedaan, tidak hanya terbatas dalam agama, tapi juga ras, adat, bahasa serta corak peradaban yang beragam. Di sisi lain, Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia.
Antara Islam dan Pancasila masing-masing memiliki nilainya tersendiri. Nilai yang menonjol dalam Islam adalah sifat religius, sedang Pancasila memiliki lima nilai utama, yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.
Apabila ditelaah lebih lanjut terdapat nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya selaras dengan nilai ajaran Islam. Dalam Pancasila pun juga diajarkan apa yang diajarkan oleh agama. Sehingga, inilah yang dapat dijadikan acuan moral bangsa Indonesia.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa pengertian dan fungsi dari Pancasila?
2.    Bagaimana bentuk pengamalan Pancasila sebelum Islam datang?
3.    Bagaimana perspektif Islam terhadap nilai-nilai Pancasila?
4.    Apa bukti pengaruh Islam terhadap moral bangsa Indonesia?

1.3 TUJUAN PENULISAN
            Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Mengetahui pengertian dan fungsi dari Pancasila.
2.    Mengetahui bentuk pengamalan Pancasila sebelum Islam datang.
3.    Mengetahui perspektif Islam terhadap nilai-nilai Pancasila.
4.    Mengetahui bukti pengaruh Islam terhadap moral bangsa Indonesia.

1.3  METODE PENYUSUNAN MAKALAH
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi pustaka dan pencarian sumber secara online (browsing).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DAN FUNGSI PANCASILA
     Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa menggunakan bahasa Prakerta. Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India. Merupakan ajaran moral yang dibagi dalam tiga tahap: Dasasyiila, Saptsyiila, Pancasyiila.[1] Menurut ajaran Budha Pancasyiila merupakan ajaran moral lima dasar yang berupa larangan yang tidak boleh dilaksanakan oleh umat Budha. Lima moral tersebut berupa: dilarang membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan minum-minuman keras.
     Perkataan Pancasila dalam kesusastraan di zaman Majapahit dalam pemerintahan Hayam Wuruk dan Maha Patih Gadjah Mada, dapat ditemukan dalam Keropak Negarakertagama, yang berupa kumpulan syair pujian karangan Empu Prapanca yang selesai ditulis pada tahun 1365 M.[2] Kemudian setelah keruntuhan Majapahit dan berdirinya kerajaan Islam, pengaruh Pancasila yang merupakan sisa-sisa kerajaan Budha masih tetap berlaku dalam masyarakat Jawa.
     Sedangkan sebagai dasar negara, proses perumusan Pancasila dimulai ketika rapat BPUPK yang membahas tentang suatu calon rumusan dasar negara yang nantinya akan digunakan sebagai dasar negara Indonesia. Pada 1 Juni 1945 dalam sidang tesebut Ir. Soekarno menawarkan Pancasila yang artinya lima dasar sebagai dasar negara Indonesia. Pada 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya termuat lima prinsip dasar. Sejak saat itu Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum untuk menyebutkan lima dasar negara Indonesia.
       Kedudukan dan fungsi Pancasila bilamana dikaji secara ilmiah memiliki cangkupan pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara Indonesia, sebagai pandangan hidup dan ideologi bangsa, sebagai kepribadian dan beretika berpolitik, sebagai landasan dalam moral bangsa serta merupakan ciri khas dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.
     Disinilah tafsir tentang kedudukan Pancasila mulai beroperasi dan mengalami pembaruan. Ia akan bergerak seiring dengan pergerakan kebudayaan dan generasi bangsa. Sebab, Pancasila adalah kristalisasi kebudayaan bangsa Indonesia yang mono-pluralis, berbeda-beda tetapi tetap satu: Indonesia.[3]
     Beberapa fungsi dari Pancasila adalah sebagai berikut:
a)      Kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
Kesatuan sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formil logis saja namun juga  meliputi kesatuan makna, dasar ontologis, dasar epistemologis, serta dasar aksiologis.[4] Pancasila yang terdiri dari lima sila setiap sila tidak berdiri secara sendiri-sendiri, melainkan memiliki kesatuan dasar antologis yang satu. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis.[5]
Dasar epistemologis tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya, Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu Filsafat Pancasila.[6] Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan.[7] Inilah yang disebut sebagai dasar aksiologis.
b)      Pancasila sebagai etika berpolitik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas Pencasila.[8]
Secara subtansif, pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dari manusia, yaitu subjek dari pelaku etika itu sendiri. Oleh karena itu etika politik berkaitan dengan moral. Hal ini berdasarkan kesimpulan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai pelaku dari etika.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu ada dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara.
c)      Pancasila sebagai ideologi dasar negara
Dasar ditetapkan karena ada cita-cita yang mau dicapai. Sebaliknya, cita-cita ditetapkan berdasarkan atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetapkan pula. Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “ideologi Negara”., yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun Negara.[9]
2.2 BENTUK PENGAMALAN PANCASILA SEBELUM ISLAM DATANG
     Pada abad ke-7 Masehi, telah berdiri kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa Syailendra di daerah Sumatera Selatan. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan menggunakan huruf Pallawa ini mayoritas penduduknya telah beragama Budha. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya ssiddhayatra subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur).[10]
     Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an, Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo dan Kota Kapur.[11]
     Pada hakekatnya, nilai budaya semasa Kerajaan Sriwijaya telah menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yaitu:
a)    Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu (sebagai minoritas) dapat hidup secara berdampingan dan damai.
b)   Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Kerajaan Sriwijaya dengan Dinasti Harsha di India.
c)    Nilai sila ketiga, sebagai negara yang terkenal karena kemaritimannya Sriwijaya telah menerapkan konsep negara kepulauan sesuai dengan konsep Nusantara.
d)   Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang luas meliputi Siam hingga Semenanjung Melayu.
e)    Nilai sila kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayaran dan perdagangan, sehinga kehidupan rakyatnya dapat tercukupi dengan baik.
Kemudian berlajut ke masa kejayaan Majapahit yang dipimpin oleh Hayam Wuruk mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaannya membentang dari Semenanjung Melayu sampai ke Irian Jaya. Pengamalan Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama saat  itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama Islam.[12]
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara. Sila kerakyatan sebagai nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan Majapahit menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan terdapat penasehat kerajaan yang memberikan nasehat kepada raja dan menumbuhkan adat musyawarah untuk mufakat. Sila keadilan sosial adalah wujud dari berdirinya kerajaan yang berdiri selama bebarapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.[13]
Berdasarkan uraian tersebut, bisa dipahami bahwa di masa sebelum Islam atau pada masa kerajaan Hindu Budha telah terjadi pengamalan Pancasila walaupun pada zaman tersebut nilai-nilai tersebut belum dinamai dan dirumuskan secara konkrit.


2.2 PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI PANCASILA
     Sebagai ideologi bangsa Pancasila dituntut untuk tetap pada jati dirinya baik ke dalam (segi intrinsik) maupun ke luar (segi ekstrinsik). Ke dalam, Pancasila harus konsisten, koheren dan koresponden. Ke luar, Pancasila harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan horizontal maupun vertikal.[14]
     Oleh karenanya, Pancasila harus dibaca sebagai kalimat aktif, dan tidak sebagai frase yang netral. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa dibaca sebagai “Memahaesakan Tuhan”, dan sebagainya, sehingga Pancasila benar-benar efektif dan menyejarah. Ia tidak sekuler, tapi juga bukan merupakan agama. Sebagai ideologi Pancasila merupakan objektivikasi dari Islam. Hal ini berarti bahwa unsur-unsur objektif agama ada dalam Pancasila.[15]
Maka sebenarnya, antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai suatu konsep ideologi tidak ada pertentangan. Namun, akan terjadi perseberangan antara keduanya apabila terdapat perbedaan dalam kepentingan politik.
     Muhammad Natsir menyatakan; Pancasila sebagai dasar negara, bercorak ladiniyah, karena itu dikatakannya sebagai sekuler, tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya mengingat Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat. Dapat dipahami bahwa menurut Natsir, negara berlandaskan Islam, karena ada penduduk Islam, sebaliknya jika agama Islam menjadi mayoritas, maka agama itu tidak dijadikan dasar negara. Pemahaman serupa dikuatkan dengan kenyataan sejarah; sejak datang pertama kali ke Indonesia, Islam menjadi salah satu kekuatan politik Nusantara.[16]
     Sila pertama mempunyai prinsip teologi yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah homo-religiosi, bangsa yang beragama. Meskipun nilai ketuhanan merupakan hal yang harus dijunjung tinggi, bangsa Indonesia tidak hidup dalam situasi yang bersifat teologi semata.[17]
     Sila kedua merupakan apa yang disebut Ir. Soekarno sebagai internasionalisme, prinsip ini tidak bisa lepas dari Islam bahwa manusia sendiri merupakan makhluk yang mempunyai satu sumber yang sama. Penambahan istilah ‘adil dan beradab’ merupakan tambahan yang diberikan ketika sidang BPUPKI yang merupakan penegasan dan pengkhususan dari sifat kemanusiaan itu sendiri.
     Sila ketiga merupakan kutipan dari Bung Karno yang menegaskan bahwa bhineka tunggal ika terdiri atas jutaan jiwa manusia dan mendiami ribuan pulau di Indonesia yang merupakan satu kesatuan. Motif atau kehendak bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan adalah mengalang persatuan, suatu prinsip yang sesuai dengan bimbingan Allah swt. Pernyataan tersebut tidak lepas dari pengaruh Islam, dalam hal ini pidato terakhir Nabi saw. di Haji Wada’.[18]
     Sila keempat juga berasal dari pidato Bung Karno yang menyatakan alasan dari permintaannya kepada mereka yang bukan Islam ataupun terutama yang Islam, agar prinsip permusyawaratan, perwakilan dapat diterima. Dengan demikian, dapat dikatakan; musyawarah-mufakat hanya dipergunakan dalam urusan dunia. Dalam hal ini negara Indonesia yang akan dibentuk bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara yang didasarkan atas musyawarah-mufakat dengan sistem pewakilan.[19]
   Sila kelima merupakan prinsip yang Bung Karno namakan prinsip kesejahteraan, tidak ada kemiskinan dalam Negara Indonesia Merdeka. Meskipun Soekarno seorang civil engineer, namun tidak mustahil beliau mahir dalam urusan sosial dan politik yang memiliki karakter sebagai seorang mubaligh.[20]
Prinsip dari kelima sila Pancasila, apabila diamati memiliki kemiripan makna dengan surah Al-Fatihah. Sila pertama memiliki makna ajaran tauhid, diambil dari ayat pertama sampai ketiga. Sila kedua bermakna al-Wa’ad dan al-Wa’id janji baik dan buruk yang diambil dari ayat keempat. Prinsip ibadah persatuan bermakna bahwa semua manusia memiliki status yang sama dihadapan Allah swt, yang termuat dalam sila ketiga. Sedangkan ayat keenam yang membahas tentang bimbingan hidayah kepada manusia agar berpegang kepada wahyu menjadi prinsip sila keempat. Prinsip kelima yaitu qishah tentang akhir kehidupan umat manusia membuah sila kelima Pancasila.

2.4 BUKTI PENGARUH ISLAM TERHADAP MORAL BANGSA
     Bukti pengaruh Islam terhadap moral bangsa Indonesia bisa ditelusuri dengan menilik kembali berbagai macam budaya yang terbentuk dalam berbagai unsur pembentuk budaya masyarakat Indonesia, baik dalam bentuk material ataupun spiritual dalam berbagai aspek dalam kehidupan.
a)    Secara Teologis
Proses penemuan Kekuatan Yang Maha Besar yang menggerakkan alam semesta dan seisinya dimulai sejak pengaruh animisme, dinamisme, serta veteisme dan sebagainya menguasai jalan pikiran penghuni Nusantara.[21] Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan manifestasi dari kalimat tauhid yang meskipun mereka memuja banyak tetapi akhirnya akan kembali ke Ketuhanan yang tunggal. Ini adalah hasil dari pengaruh agama Islam dalam hal pemurnian akidah moral bangsa Indonesia.
Selain melakukan pemurnian akidah, kaum Muslimin di Indonesia juga melakukan gerakan pemurnian keyakinan masyarakat dari pengaruh syirik, khurafat dan takhayul. Usaha pemurnian kembali akidah, reformasi dan rekontruksi moral menunjang pesatnya pemikiran Islam di Indonesia. Hasilnya cukup terlihat dari tercapainya kemerdekaan Indonesia, terutama kemerdekaan dalam berbudaya. Selain itu Islam mengarahkan manusia untuk selalu berbuat baik, tolong-menolong serta saling memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing.
b)   Secara Antropologis
Salah satu aspek dalam kebudayaan kosmologi Timur adalah adanya keserasian antar manusia sebagai mikrokosmos dengan alam semesta sebagai makrokosmos yang harus saling seimbang satu sama lain. Sinkretisme[22] budaya Timur dengan budaya Islam menghasilkan digantinya Kalender Caka dengan Kalender Islam, yang menjadi Kalender Jawa pada masa Sultan Agung.[23] Bukti lainnya ialah, dalam Islam apbila melangsungkan pernikahan cukup dengan walimatul aqad sedangkan di beberapa daerah di Indonesia masih ditambahkan upacara sanding atau biasa disebut sebagai resepsi.
Islam juga mengisi tata kehidupan seni dalam masyarakat Indonesia dengan mengunakan lagu zikir yang dilakukan oleh masyarakatyang berisi tentang puji-pujian menganggungkan Allah ynag dilaksanakan menjelang datangnya waku untuk shalat.
Dalam menanggapi fenomena baru dalam masyarakat seperti halnya pertumbuhan budaya yang tidak didapati hukumnya di dalam Isla, para pemuka agama Islam dapat menggunakan dua jalan.
Dua jalan tersebut ialah: 1) Jalan kemaslahatan semata, seperti ditempuh oleh Imam al-Tufi, yaitu asal pertumbuhan budaya itu meberikan kemaslahatan baik masyarakat, maka dapat diterima oleh Islam. 2) dengan melihat persesuain budaya dengan syariat Islam, seperti ditempuh oleh Imam al-Syatibi yang terkenal dengan istilah maqasid al-syariah al-islamiyah oleh Alla al-Fasi.

c)    Secara Kosmologis
Pengaruh Islam terhadap moral bangsa di bidang kosmologis tampak pada kepedulian bangsa Indonesia terhadap lingkungan hidup, baik terhadap flora mauoun fauna serta kepedulian terhadap kebebasan air dan udara dari pencemaran.[24] 
Dari bimbingan al-Quran lahir pemikiran yang mendasari kepedulian bangsa untuk tetap menjaga ekosistem dalam keadan yang baik dan terpelihara.  Ini dikarenakan manusia akan mengalami kehidupan yang sehat apabila ekosistem dapat terjaga dnegan baik.

d)    Secara Eskatologis
Bukti terjadinya pengaruh Islam terhadap pembinaan moral bangsa dalam aspek eskatologis ialah: keyakinan terhadap keterangan tentang adanya kehhidupan setelah kehidupan di alam dunia.dapat digambarkan dalam keyakinan Islam, tempuhan kehidupan dunia besifat linear, yakni dai kehidupan yang terendah menuju kehidupan yang lebih tinggi. Berbeda dengan proses esktalogis manurut ajaran Hindu yang meyakini reinkarnasi.[25]
Dalam prosesnya, keyakinan eskatologis Islam dapat menggeser kebudayaan eskatologis Hindu-Budha yang sebelumnya merupakan kebudayaan turun temurun masyarakat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa wilayah di Indonesia keyakinan eskatologis Islam belum mampu menggeser kebudayaan secara keseluruhan, ada kalanya Islam akan terakulturasi dengan kebudayaann atau agama sebelumnya.



BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
            Nilai-nilai Islam yang berlandaskan al-Quran dan Sunnah maupun pengembangannya secara ijtihad ternyata mampu mereap dalam masyarakat Indonesia yang dasarnya memiliki beragam ras, agama dan budaya tanpa adanya kegelisahan sosial dalam masyarakat non-muslim.
            Pancasila yang merupakan dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia apabila ditelaah lebih lanjut dipengaruhi oleh ajaran Islam. Ini bisa dilihat dari sila-sila Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Malahan, saling terkoneksi satu sama lain.
            Percampuran budaya Islam dengan budaya Indonesia sendiri yang awalnya merupakan negara yang mayoritas beragam Hindu dan Budha melahirkan kebudayaan yang lebih tinggi dengan mempengaruhi kebudayaan yang lebih rendah. Seringkali, kebudayaan yang sebelumnya dinilai atau meiliki banyak kejelekan bisa digantikan dengan kebudayaan Islam yang membuatnya menjadi kebudayaan yang lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2016. Pendidikan Pancasila. Paradigma: Yogyakarta
Karim, M. Abdul. 2014. Islam Nusantara. Gramasurya: Yogyakarta
Karim, M. Abdul. 2004. Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam. Surya Putra: Yogyakarta
Sastrapedja, M. Pancasila sebagai Dasar Negara, Asas Etika Politik dan Acuan Kritik Ideologi. Academia.edu

Wibisono, Gunawan. Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia. Modul Pendidikan Pancasila: Universitas Mercu Buana



[1]  Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma: Yogyakarta, 2016, hlm. 12
[2]  Ibid, hlm. 13
[3]  M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam, Sunan Kalijaga Press: Yogyakarta, hl. 10
[4]  Kaelan, Pendidikan Pancasila, hlm. 55
[5]  Ibid, hlm. 56
[6]  Ibid, hlm. 60
[7]  Ibid, hlm. 63
[8]  M. Sastrapratedja, Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologi, academia.edu, hlm. 4
[9] Ibid, hlm. 3
[10]  Gunawan Wibisono, Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia (1), Modul Perkuliahan Pendidikan Pancasila Universitas Mercu Buana, hlm.3
[11]  Ibid, hlm. 4
[12]  Ibid, hlm. 5
[13]  Ibid.
[14]  M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancaasila dalam Perspektif Islam, hlm. 47
[15]  Ibid, hlm. 48-49
[16]  M. Abdul Karim, Islam Nusantara, Gramasurya: Yogyakarta, 2014, hlm. 81
[17]  M. Abdul Karim, Menggali Muatan, hlm. 55
[18]  Ibid, hlm. 56
[19]  M. Abdul Karim, Islam Nusantara, hlm. 87
[20]  Ibid, hlm. 88
[21]  Ibid, hlm. 160
[22] Proses perpaduan dari beberapa paham, aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai paham, sehinga hasil yang di dapat dalam bentuk abstrak untuk mencapai keserasian
[23]  M. Abdul Karim, Islam Nusantara, hlm. 166
[24]  Ibid, hlm. 169
[25]  Ibid, hlm. 171

0 komentar:

Post a Comment