Pendekatan Bahasa dan Filologi dalam Studi Islam, data:image |
A.
Latar Belakang
Dalam studi Islam terdapat dua pendekatan,
yaitu pendekatan normatif dan pendekatan historis. Pendekatan normatif
merupakan sebuah salah satu pendekatan yang sudah pasti adanya, hingga
memunculkan beberapa aliran seperti missionaris, apologetik, serta simpatik
(irenis). Sedangkan pendekatan secara historis merupakan pendekatan yang
dilihat dari segi sosialnya. Pendekatan historis sangatlah dibutuhkan dalam
suatu agama, karena objek dari suatu agama adalah masyarakat serta predikat
dari ibadah maupun ketentuan-ketentuan yang ada pada suatu agama adalah masyarakatnya. Dalam penggunaan
pendekatan secara historis, terdapat pada beberapa hal ini, yaitu dalam hal
filologi dan sejarahnya, ilmu sosial, serta fenomenologinya.
Penggunaan pendekatan
bahasa (linguistic) sebenarnya sudah digunakan sejak masa islam klasik dulu.
Contohnya saja buku tafsir karangan Ibnu Katsir yang sampai sekarang masih
digunakan sebagai acuan-acuan ulama masa kontemporer untuk mengarang buku
tafsir.
Selain pendekatan bahasa, juga ada pendekatan filologi. Sebuah
pendekatan yang bertugas menelaah dan menyunting suatu karangan, agar karangan
tersebut dapat dipahami oleh khalayak umum.
Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pendekatan bahasa dan
filologi dalam Islam secara lebih mendalam.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apakah
pengertian bahasa serta bagaimanakah pendekatan bahasa dalam studi Islam?
b.
Apakah
pengertian filologi serta bagaimanakah pendekatan filologi dalam studi Islam?
C.
Tujuan
a.
Untuk
mengetahui pengertian bahasa dan pendekatan bahasa dalam studi Islam.
b.
Untuk
mengetahui pengertian filologi dan pendeketan filologi dalam studi Islam.
Bab II
Pembahasan
A.
Pendekatan
Bahasa (Linguistik)
1.
Pengertian
Bahasa (linguistic)
Bahasa
sebagai alat komunikasi harus dapat dipahami dan dimengerti, untuk itu bahasa
harus bersifat sistematis dan sistemis. Bahasa mesti bersifat sistematis karena
bahasa memiliki kaidah atau aturan tertentu, dan bersifat sistemis karena
memilki subsistem, yaitu, subsistem fonologis, subsistem gramatikal dan
subsistem leksikal. Beberapa tokoh mengartikan bahasa.
Ibnu
Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan bahasa sebagai bunyi yang digunakan
oleh setiap kaum untuk menyampaikan maksudnya. Bunyi-bunyi bahasa menurut Plato
secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Kridalaksana sebagaimana yang
dikutip oleh Aminuddin mengartikan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang
dipergunakan suatu masyarakat untuk berkerja sama, berinteraksi dan
mengindentifikasi diri.
Ferdinand
De Saussure yang sering disebut Bapak atau pelopor linguistik, Leonard
Bloomfield, Jhon Rupert Firth, Noam Chomsky dsb, merupakan tokoh-tokoh bahasa
dari Barat. Sedangkan dalam Islam ada beberapa nama seperti abu Aswad ad-Duali,
imam Khalil, Sibaweh, Ibnu Jinni, Ibnu Faris dan yang lainnya
2.
Pendekatan
Bahasa dalam Studi Islam
Bahasa
(linguistik) dalam hal ini memegang peran yang cukup penting dalam memahami
teks-teks keagamaan. Tidak hanya yang termaktub dalam al-Qur’an tetapi juga
terhadap hadist nabi. Dalam ajaran Islam banyak aturan dan ritual keagamaan
yang berkaitan dengan trem-trem kebahasaan, seperti konsep kepercayaan yang
terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin, kafir, fasik, murtad dan
sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan yang berkaitan dengan relasi
Tuhan dan manusia, seperti konsep Ibadah, jihad, hijrah, haji, zakat dan lain
sebagainya. Pemahaman tentang konsep-konsep keagamaan diawali dari pemahaman
dari sudut kebahasaan sangat diperlukan, seperti contoh kata zakat, pada
awalnya kata zakat merujuk pada makan tumbuh/berkembang secara umum, namun
setelah datang Islam, kata zakat memiliki makna yang lebih menyempit merujuk
kepada, batasan yang telah diwajibkan untuk dikelurkan dan diberikan kepada
yang berhak dari harta yang telah sampai pada nasab yang telah ditentukan .
Secara
teori kebahasaan, suatu bahasa akan dapat mengalami perkembangan, pergeseran
atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam bentuk meluas ataupun
menyempit. Perubahan makna dapat juga berarti penggantian rujukan, rujukan yang
pernah ada diganti dengan rujukan yang baru . Kata hijrah misalnya secara
leksikal ia memilki makna “keluar dari satu negeri ke negeri yang lain” . Namun
ketika kata hijrah telah terhubung dengan kata iman dan jihad dalam sebuah
kalimat maka makna yang terkandung didalamnya tidak hanya sekedar sebuah
aktifitas perpindahan badan dari satu tempat ketempat yang lain. Dalam konteks
ini kata hijrah akan mengalami perkembangan makna yang bisa jadi mengarah
kepada perluasan maupun penyempitan.
Islam
sebagai agama telah memberikan pencerahan dan pembaharuan dari segala bidang,
baik itu kebudayaan, kepercayaan, tatanan hidup bermasyarakat, bernegara dan
termasuk juga didalamnya pembaharuan dari segi kebahasaan. Beberapa kunci
terminologi etika Jahiliyah telah mengalami transformasi semantik yang
spesifik, seperti karīm yang merupakan pengertian dari karam dan lawan dari
bakhīl terdapat dalam al-Qur'an sebanyak 47 kali dengan berbagai pengertiannya.
Pada awalnya karīm merupakan cita-cita Jahiliyah tertinggi dalam hal
kedermawanan tanpa perhitungan sebagai pendapat langsung dari kemuliaan.
Kemudian menghadapi transformasi ke dalam sesuatu semantik yang mendalam, pada
saat yang sama, dan dalam kaitannya dengan hal itu, kata karim lalu diterapkan
kepada seseorang yang sungguh-sungguh percaya dan taat, yang bukannya
menghabiskan kekayaannya dengan membabi buta, tanpa berpikir panjang dan
semata-mata untuk pamer, namun sama sekali tidak ragu-ragu untuk menggunakan
kekayaannya untuk tujuan yang jelas dan benar-benar “mulia” berdasarkan konsep
yang baru, yakni membelanjakan kekayaanya “dijalan Allah .
Masih
banyak lagi konsep-konsep keagamaan yang harus difahami secara utuh dan
mendalam, hal tersebut bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan pemahaman yang
akan berakibat pada kesalahan dalam pengamalan. Dapat dibayangkan mislanya
apabila umat Islam memahami kata sholat sebagaiamana pengertiannya dimasa
jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab diartikan sebagai “do’a”,
padahal setelah kata sholat digunakan dan dimasukan dalam trem yang sangat
pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telah mengalami pemaknaan yang lebih
khusus dan lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat juga menjadi pokok atau tiang dari
agama Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh hadits-hadits nabi saw. Untuk
dapat mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah, mua’amalah dan akidah
secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahasa memegang
peran yang sangat besar.
B.
Pendekatan
Filologi dalam Studi Islam
1.
Pengertian Filologi
Filologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu kata
“philos” yang berarti ‘cinta’ dan “logos” yang berarti ‘pembicaraan’, ‘kata’
atau ‘ilmu’.Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang
kepada ilmu” atau “senang kebudayaan”, hingga dalam perkembangannya sekarang
filologi identik dengan ‘senang kepada tulisan-tulisan yang ‘bernilai tinggi’. Sebagai
istilah, kata ‘filologi’ mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok
ilmuwan dari Iskandariyah. Istilah ini digunakan untuk menyebut keahlian yang
diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu
beratus-ratus tahun sebelumnya.
Dalam perkembangannya, filologi menitikberatkan
pengkajiannya pada perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu
penciptaan dan melihat perbedaan-perbedaan itu sebagai alternatif yang positif.
Dalam hubungan ini suatu naskah dipandang sebagai penciptaan kembali (baru)
karena mencerminkan perhatian yang aktif dari pembacanya. Sedangkan
varian-varian yang ada diartikan sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif
untuk memahami, menafsirkan, dan membetulkan teks bila ada yang dipandang tidak
tepat.
Obyek kajian filologi adalah teks, sedang sasaran kerjanya
berupa naskah. Naskah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
peninggalan tulisan masa lampau, dan teks merupakan kandungan yang tersimpan
dalam suatu naskah. ‘Naskah’ sering pula disebut dengan ‘manuskrip’ atau ‘kodeks’
yang berarti tulisan tangan, yang mempunyai karaktristik bahwa naskah tersebut
tercipta dari latar social budaya yang sudah tidak ada lagi atau yang tidak
sama dengan latar social budaya masyarakat pembaca masa kini dan kondisinya
sudah rusak.
2.
Pendekatan
Filologi dalam Studi Islam
Az-Zamakhsyari, sebagaimana dikutip Nabilah Lubis,
mengungkapkan kegiatan filologi sebagai tahqiq al-kutub.Secara bahasa, tahqiq
berarti tashhih (membenarkan/mengkoreksi) dan ihkam (meluruskan). Sedang secara
istilah, tahqiq berarti menjadikan teks yang ditahkik sesuai dengan harapan
pengarangnya, baik bahasanya maupun maknanya. Dari definisi ini, dapat dipahami
bahwa tahqiq bertujuan untuk menghadirkan kembali teks yang bebas dari
kesalahan-kesalahan dan sesuai dengan harapan penulisnya. Tahqiq sebuah teks
atau nash adalah melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya terkandung dalam
teks tersebut.
Bangsa Arab pra-Islam dikenal dengan karya-karya syair
maupun sastra prosanya. Karya yang paling terkenal adalah “Muallaqat” (berarti
“yang tergantung),berupa qasidah-qasidah panjang dan bagus yang digantungkan
pada dinding Ka’bah dengan tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-hari
pasar dan keramaian lainnya.
Penelitian
naskah Arab telah lama dimulai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah Abu
Bakar. Pada masa itu, nash al-Qur’an mulai dikumpulkan dalam satu mushaf. Hal
ini membutuhkan ketelitian untuk menyalin teks-teks al-Quran ke dalam mushaf
tersebut. Ayat-ayat al-Quran yang sebelumnya tertulis secara berserakan pada
tulang belulang, kulit pohon, batu, kulit binatang, dan sebagainya dipindah dan
disalin pada sebuah mushaf dan dijadikan satu. Pekerjaan menyalin ayat-ayat
al-Quran ini dilaksanakan dengan ketelitian menyangkut orisinalitas wahyu ilahy
yang harus senantiasa dijaga.
Setelah Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol pada abad
ke-8 Masehi sampai abad ke-15 Masehi, pada zaman Dinasti Bani Umayyah ilmu
pengetahuan Yunani yang telah diterima bangsa Arab kemudian kembali ke Eropa
dengan epistemologi Islam. Puncak kemajuan karya sastra Islam ini mengalami
kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Karya tulis al-Ghazali, Fariduddin
Attar, dan lainnya yang bernuansa mistik berkembang maju di wilayah Persia dan
dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi rujukan wajib
mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik pelajar di Eropa.
Dalam konteks keindonesiaan, manuskrip Islam terbagi ke
dalam tiga jenis. Pertama, manuskrip berbahasa dan tulisan Arab. Kedua,
manuskrip Jawi, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa
Melayu. Ketiga, manuskrip Pegon, yakni naskah yang ditulis dengan huruf Arab
tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton,
Banjar, Aceh dan lainnya.
Manuskrip keislaman di Indonesia lebih banyak berkaitan
dengan ajaran tasawuf, seperti karya Hamzah Fansuri, Syeh Nuruddin ar-Raniri,
Syeh Abdul Rauf al-Singkili, dan Syeh Yusuf al-Makassari. Tidak sedikit pula
yang membahas tentang studi al-Quran, tafsir, qiraah dan hadis. Misalnya Syeh
Nawawi Banten dengan tafsir Marah Labib dan kitab Al-Adzkar. Ada pula Syeh
Mahfudz Termas dengan Ghunyah at-Thalabah fi Syarh ath-Thayyibah, al-Badr al
Munir fi Qiraah Ibn Katsir dan karya-karyanya yang lain. Sebagian karya-karya
tersebut sudah ditahqiq, dalam proses tahqiq, dan dicetak tanpa tahqiq
.Sementara sebagian besar lainnya masih berupa manuskrip. Padahal umumnya,
karya kedua tokoh ini juga menjadi rujukan dunia Islam, tidak hanya di
Indonesia.
Menilik
dari sangat banyaknya khazanah klasik yang ada di Nusantara, merupakan sebuah
pekerjaan besar untuk mentahqiq kitab-kitab peninggalan ulama klasik tersebut.
Bab III
Kesimpulan
Pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah dikenal cukup
lama. Pendekatan ini sangat populer bagi para pengkaji agama terutama ketika
mengkaji naskah-naskah kuno peninggalan masa lalu. Karena obyek dari pendekatan
filologi ini adalah warisan-warisan keagamaan, berupa naskah-naskah klasik
dalam bentuk manuskrip. Naskah-naskah klasik itu meliputi berbagai disiplin
ilmu; sejarah, teologi, hukum, mistisme dan lain-lainnya yang belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dimanfaatkan di negara-negara
muslim. Alat untuk mengetahui warisan-warisan intelektual Islam itu adalah
bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki dan Urdu. Studi filologi merupakan
kunci pembuka khazanah budaya lama yang terkandung dalam naskah-naskah. Karena
itu, menurut Charles, studi filologi haruslah diteruskan dalam studi, karena
banyak naskah yang meliputi sejarah, teologi hukum, mistik dan lain-lainnya,
belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dikaji oleh negara-negara
Islam.
Pendekatan filologi ini memang akan mampu mengungkap corak pemikira
serta isi dari suatu naskah atau suatu kandungan teks untuk kemudian
ditransformasikan ke dalam bahasa konteks kekinian. Karena penekanan dalam
studi filologi terletak pada analisa bahasa dengan seluruh strukturnya. Tetapi
persoalannya menjadi lain manakah studi filologi ini diterapkan pada pengkajian
kitab suci. Dalam hal ini, Charles memberikan ilustrasi dengan mengemukakan
kajian komperasi semitik terhadap kitab suci al-Qur’an. Asumsi awalnya, bahwa
al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan bahasa yang serumpun dengan bahasa
Semit, termasuk didalamnya kitab suci agama Yahudi, karena al-Qur’an dengan
bahasa Arab yang sama serumpun dengan bahasa Semit, maka ketika ada bahasa yang
sama dengan pola struktur bahasa sebelumnya akan dianggap sebagai pinjaman dari
bahasa itu. Implikasi lebih jauh akan berkaitan dengan tradisi yang berlaku
pada suatu masyarakat. Karena itu tidak mengherankan apabila ada asumsi bahwa
sebagian bahasa al-Qur’an merupakan pinjaman dari bahasa lain yang mencerminkan
tradisi dari bahasa sebelumnya. Inilah-yang menurut Charles-menjadi masalah
signifikan dalam kajian yang bersifat filologi.
Disamping pendekatan filologi, bagi Charles pendekatan historis
juga sangat membantu dalam pengkajian Islam, terutama dalam konteks untuk
mengetahui perubahan dan perkembangan. Pendekatan historis ini tidak hanya
menjelaskan bagaimana suatu peristiwa terjadi, tetapi lebih dalam mencoba
menguraikan hukum kausalitas dari suatu peristiwa kesejarahan. Oleh karena itu,
biasanya dalam pendekatan ini, asumsi untuk membangun hipotetis adalah suatu
pertanyaan mengapa dan bagaimana. Dalam hal ini-menurut Charles-esensinya
adalah menggabungkan pendekatan filologi yang penekanannya pada bahasa dengan
pendekatan historis yang sangat berguna untuk memahami kondisi masyarakat pada
suatu masa tertentu.
Melalui pendekatan historis seseorang diajak menukik dari alam
idealis ke alam yang bersifat empirik dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang
akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam
alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Daftar Pustaka
Fadillah, istiqomah. 2008. Pendekatan Normatifitas dan
Historisitas dalam Studi Islammenurut Pemikiran Amin Abdullah , Yogyakarta:
Fak. Ushuludin UIN SUKA.
Mudzhar, atho. 1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek
. Yogyskarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin. 2012. Studi Islam : Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan.
Jakarta : Kencana
Baca Juga: Sejarah Penulisan Sejarah
0 komentar:
Post a Comment