Penerapan politik islam pada era modern perspektif Ibn Khaldun


Penerapan politik islam pada era modern perspektif   Ibn Khaldun, data:image

A.    Latar belakang
Membicarakan term negara sebagai bagian dari politik, merupakan kajian yang cukup menarik untuk diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena upaya menentukan konsep dan bentuk negara memiliki imbas balik terhadap warna kebijakan politik suatu negara. Negara meminjam istilah Weber- merupakan perwujudan historis sebuah kolektivitas sosial dalam memenuhi tuntutan harkat manusia pada sebuah negara (Balandier, 1986:161). Eksistensinya merupakan sistem pelaksanaan tata aturan yang telah disepakati oleh komunitas manusia dalam sebuah wilayah teritorial tertentu.
Negara merupakan institusi yang berupaya mengakomodir kepentingan individu dalam sebuah tatanan kehidupan kemasyarakatan menjadi kepentingan kolektif. Kriteria tersebut tidak bersifat spesifik dalam menunjuk konsep negara. Spesifikasi tersebut muncul dari interaksi dan konsensus masyarakat suatu negara yang ikut dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Spesifikasi keinginan kolektif inilah yanng kemudian membedakan bentuk dan konsep negara yang satu dengan yang lain ; liberal, otokrasi, parlementer, dan lain sebagainya. Dalam komunitas Islam, persoalan bentuk dan konsep negara merupakan kajian yang sering mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat. Hal ini muncul karena baik al-Quran maupun hadis tidak menyebutkan secara khusus dan jelas bentuk dan konsep negara yang harus dikembangkan umatnya. Kedua dasar tersebut hanya memberikan prinsip-prinsip dasar sebuah negara ideal.”[1]
B.     Rumusan masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, antara lain :
1.      Bagaimana awal perjalanan Ibnu khaldun terjun kedunia politik ?
2.      Bagaimana strategi Ibnu khaldun terhadap politik islam pada era klasik ?
3.      Bagaimana pemikiran politik islam pada era modern ?

C.     Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai perjalanan ibn khaldun.
2.    Untuk mengetahui strategi-strategi Ibnu khaldun terhadap politik islam pada era klasik, dan kita bisa menerapkan beberapa strateginya pada era modern.
3.      Untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Bhs.Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
       
  v  Awal perjalanan Ibn Khaldun didunia politik
            Nama lengkap Ibn Khaldun adalah Wali al-Din ‘Abd.al-Rahman ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad Al-Hasan ibn Khaldun, beliau lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 723 H (7 Mei 1332 M) dan wafat pada tanggal 19 Maret 1406 M. Ia berasal dari suku Arabia Selatan. Beliau mempunyai nenek moyang yang sejak abad ke-8 telah hijrah ke Spanyol dan telah menyaksikan perkembangan islam di Barat.[2]
            Ibn khaldun terjun kedunia politik dimulai sebagai tukang stempel surat dalam pemerintahan Ibnu Tafrakin. Ketika ibnu tafrakin berkonflik dengan Abu Zaid, dan pemerintahannya berhasil ditaklukan. Konflik tersebut bermula pada sebuah intrik dan perebutan kekuasan, lalu Ibnu Khaldun melarikan diri ke Tlemeen membuat persekutuan sekaligus menyusn strategi buat menjatuhkan sultan Abu Inan, dengan kecerdasan Ibn Khaldun tak butuh selang waktu yang lama, kemudian ia diangkat sebagai skretaris sultan Abu Inan, selanjutnya Ibn Khaldun melibatkan dirinya ke dalam sebuah intrik politik, dimana beliau bekerjasama dengan rival Sultan Abu Inan, yakni Amir Abu Abdullah. Dalam intrik tersebut sultan Abu Inan mencium bau penghianatan, dan melahirkan sebuah petaka bagi Ibn Khaldun, lalu Ibn Khaldun dipenjarakan selama dua Tahun oleh sultan Abu Inan setelah persengkokolan politik dan kekuasaan Amir Abu Abdullah ditumpas habis oleh sultan Abu Inan.[3]

  v  Strategi Ibnu Khaldun terhadap politik Islam pada era klasik           
            “Dua tahun berlalu Ibn Khaldun mendekam dalam penjara, dan dibebaskan setelah sultan Abu Inan meninggal dunia. Abu Zayyan menggantikan kedudukan sultan Abu Inan, namun Wazir Al-Hasan Ibn Umar melakukan kudeta dan mendudukkan Al-Sa’id ibn Abi Inan sebagai putra mahkota boneka. Wazir Al-Hasan membunuh wazir-wazir lain yang menentangnya.
            Melihat kecerdasan Ibn Khaldun dalam dunia politik, Wazir Al-Hasan mengembalikan tugas-tugas kenegaraan semula. Meskipun Ibn Khaldun pernah meminta izin pada Wazir Al-Hasan untuk pulang ke negerinya, wazir tidak mengizinkan dan tetap menugaskan Ibn Khaldun dalam pemerintahannya. Kekuasaan Wazir Al-Hasan juga tidak berlangsung lama, karena ia digulingkan oleh Manshur ibn Sulaiman dari Bani Marin di Maghribi jauh. Uniknya, Ibn Khaldun malah berbalik mengkhianati Wazir Al-Hasan yang telah berjasa kepadanya. Ia ikut serta dalam menggulingkan Wazir Al-Hasan untuk kemudian mengabdi kepada Manshur ibn Sulaiman. Ia menjadi sekretaris pemerintahan ibn Sulaiman.
            Namun seperti halnya dengan Wazir Al-Hasan, pengabdian Ibn Khaldun kepada Ibn Sulaiman juga tidak berlangsung lama. Ia mulai main mata dengan Abu Salim ibn Abi Al-Hasan, salah seorang keturunan Abu Inan, yang sedang menyusun strategi bersama Ibn Marzuq untuk merebut kembali kekuasaan dari ibn Sulaiman. Ibn Khaldun tidak segan-segan bekerja sama dalam menggulingkan Ibn Sulaiman. Bahkan Ibn Khaldun sendir yang memberi masukan masukan apa yang harus dilakukan oleh Abu Salim terhadap Ibn Sulaiman. Usaha ini pun berhasil dan Abu Salim mengangkat Ibn Khaldun sebagai sekretaris negara. Ketika Abu Salim menjadi penguasa terjadi lagi pemberontakan di bawah pimpinan Wazir Umar ibn Abdullah. Sultan Abu Salim dipecatnya dan digantikan dengan Sultan Tasyifin. Akhirnya terjadi perselisihan dan sebagai jalan tengah Ibn Khaldun diizinkan keluar Fez, teapi tidak boleh ke Tunisia atau ke Tilmisani, karena dua wilayah ini merupakan pusat pemerintahan dinasti Hafsh Bani Abdul Wad. Akhirnya Ibn Khaldun pergi ke Andalusia.
            Di Andalusia ia disambut hangat oleh penguasa Granada, Sultan Muhammad Ibn Yusuf dari Bani Ahmar dan perdana menterinya Ibn al-Khatib. Antara Ibn Khaldun dan penguasa ini telah terjalin persahabatan lama sejak masa pemerintahan Abu Salim Fez. Setahu di Granada, Ibn Khaldun diangkat menjadi Duta Besar untuk negara Kristen Castille yang beribu kota Isabelle (Seville). Di Granada pengaruh Ibn Khaldun semakin kuat, sehingga membuat iri perdana mentri Ibn al-Khatib. Akhirnya hubungan kedua sahabat ini terganggu dan hal tersebut sampai ke Sultan Muhammad Yusuf. Melihat glagat yang tidak baik ini, Ibn Khaldun ingin meninggalkan Granada. Kebetulan Abu Abdillah , Sultan Buqi (Bijayah), Tunis yang pernah ditahan oleh Abu Inan bersama Ibn Khaldun berhasil menguasai kembali tahta Buqi. Sultan ini mengharapkannya ke Buqi dan memintanya menjadi pembantu setia Sultan. Ibn Khaldun menerimanya dan menjalankan tugas kenegaraan sebagai perdana menteri.
            Namun suasana ini juga tidak bertahan lama . Di istana terjadi pertentangan antara Amir Buqi Abu Abdillah  dan sepupunya Sultan Abu al-Abbas Ahmad yang ingin menguasai Buqi. Abu Abdillah tewas dalam perebutan kekuasaan tersebut dan lagi-lagi Ibn Khaldun dengan mudah mengabdikan diri pada Abu al-Abbas. Akan tetapi, Abu al-Abbas lebih pintar. Ia tidak menerima begitu saja Ibn Khaldun, sebaliknya Abu al-Abbas mencoba menangkap Ibn Khaldun.
            Ibn Khaldun sendiri melarikan diri ke Baskarah. Di sini ia merasa bosan dengan intrik-intrik politik yang melelahkan. Dari Spanyol ia berangkat menuju Maghribi. Di sinilah ia meninggalkan sama sekali dunia politik dan berkonsentrasi pada dunia ilmu pengetahuan.”[4]

  v  Pemikiran politik Islam pada era modern

            “Abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memperlihatkan sosok buram wajah dunia Islam. Hampir seluruh wilayah Islam berada dalam genggaman penjajah Barat. Dalam internal umat Islam sendiri, pemahaman keagamaan mereka yang tidak antisipatif terhadap berbagai permasalahan membuat mereka semakin jauhtertinggal menghadapi hegemoni Barat. Umat Islam lebih banyak mengandalkan pemahaman ulama-ulama masa lalu daripada melakukan terobosan-terobosan baru untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi
            Kontak umat Islam dengan penjajah Barat ternyata membawah hikmah juga bagi umat Islam. Adanya kontak tersebut menyadarkan umat Islam bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat. Keadaan ini terbalik ketika umat Islam abad pertengahan menguasai ilmu dan peradaban dan Barat belajar banyak kepada dunia Islam.
            Dalam lapangan politik, dunia Islam mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan pemikiran Barat. Sebelumnya, pada masa klasik dan pertengahan, umat Islam dapat dikatakan mendominasi percaturan politik internasional. Dinasti-dinasti Islam silih berganti naik ke puncak kekuasaan politik. Umat Isalm memegang kendali dunia ketika itu. Belum lagi munculnya dinasti-dinasti kecil yang ikut mewarnai politik pemerintahan pada era klasik dan pertengahan.
            Namun keadaan berbalik pada masa modern. Kekalahan-kekalahan dinasti Usmani dari Barat membuat rasa percaya diri Barat semakin tinggi. Hal ini ditambah lagi dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi barat, sehingga mereka mampu menjelajah berbagai belahan penjuru dunia yang pada gilirannya mereka dapat menguasai dunia Islam. Pada zaman modern , hamper seluruh dunia Islam mengalami penjajahan Barat. Di samping menjajah, Barat juga mengembangkan gagasan pemikiran dan kebudayaan mereka ke tengah-tengah masyarakat muslim.
            Menghadapi penetrasi Barat ini, sebagian pemikir muslim ada yang bersikap apriori dan anti-Barat; ada juga yang menerima mentah-mentah segala yang datang dari Barat, serta ada pula yang berusaha mencari nilai-nilai positif dari peradaban dan pemikiran Barat, di samping membuang nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.”[5]
            Beberapa pendekatan-pendekatan politik pada era kontemporer yang bisa kita buat acuan menjadi politikus yang profesional dalam perkembangan zaman yang semakin krisis akan keadilan :
1.      Mengidentifikasi orang-orang yang berpengaruh dalam kedaulatan suatu saham.
2.      Berpikir rasional dan kritis dalam suatu perdebatan (beragumen).
3.      Meniadakan sikap dengki pada sesama politisi, dan bersaing secara sehat.
4.      Saling bekerjasama jika menguntungkan satu sama lain.
5.      Tidak mudah tersulut akan berita-berita yang belum pasti faktanya, karena itu akan merugikan dan mengancam jabatan yang akan kita gapai.
6.      Mencari faktor-faktor (problem) dalam suatu instasi negara, dan mencari penyelesaian yang efektif.
7.      Mematuhi undang-undang negara dalam menjalankan tugas (tidak sewenang-wenang)
8.      Menjunjung tinggi keadilan dan norma agama, menetapkan hukum yang setimpal pada perbuatan yang dilakukan.
9.      Sigap dalam membangun insfrastruktur yang menjadi keluan rakyat, dan semata-mata demi kemaslahatan masyarakat.
      Semua acuan ini tak semudah yang kita kira, dan tidak bisa dikerjakan secara individual. Undang-undang yang telah kita anut pun tidak bisa kita seenaknya merubah tanpa ada persetujuan dari dewan-dewan yang berdaulat dalam instasi negara. Sebagai seorang rakyat pun juga harus membantu tugas para politisi, contoh: Mengurangi tingkat kelahiran (yang menjadi penyebab utama pengangguran [terbatasnya lowongan pekerjaan] dan peningkatan beban ekonomi negara), Membantu mengurangi tingkat kriminalitas (pungli, penculikan, kemaksiatan), dan melaporkan oknum-oknum yang kita curigai dalam peredaran narkoba yang semakin tinggi.
      Dalam suatu politik pasti ada ancaman (bahaya) yang harus tetap kita waspadai, dan itulah intrik politik yang pernah dilalui oleh Ibn Khaldun, dan masih terjadi pada era kontemporer ini. Beberapa bahaya seorang politikus dalam berpolitik yang harus diwaspadai:
1.      Menikam rekan satu instasi dari belakang demi perebutan jabatan.
2.      Melakukan meeting rahasia demi kepintingan individual.
3.      Penarikan dana negara yang berlebihan, dengan alasan pembangunan infrastruktuk (korupsi).
4.      Dengan mudah tercemar nama baik kita dari sebuah perilaku yang menurut masyarakat tak pantas, karena dunia politik tak lepas dari sorotan media.
5.      Perseteruan antar orang-orang dan departemen.
6.      Pembentukan kelompok-kelompok kecil yang bertugas kritik satu sama lain yang berunsur menghina dengan satu tujuan yakni melenserkan jabatan.
            Dengan semua poin-poin tersebut kita bisa waspadai dengan kecerdasan berpolitik, dan membuat benteng yang telah kita siapkan untuk menangkis semua itu dengan tidak mudah meberikan kepercayaan kepada orang yang kita tidak tau betul seluk-beliknya.[6]
           


BAB III
PENUTUP
  v  Kesimpulan
Seiring dengan berkembangnya zaman pemikiran politik Islam dari era klasik hingga kontemporer saling berhubungan satu sama lain, dan terkadang dalam suatu pemikiran ada pro dan kontra dalam beragumen, terutama dalam suatu politik dengan perbandingan masa ke masa. Pada era klasik sistem politik menggunakan sistem otoriter, sedangkan pada era kontemporer menggunakan sistem Demokrasi, dimana semua rakyat mempunyai hak dalam menduduki kekuasaan dengan memenuhi semua syarat.
Ibn khaldun adalah seorang politikus sekaligus filsuf yang sangat cerdas dalam semua aspek, banyak karya-karya yang dia tulis yang sampai sekarang sebagian besar dijadikan pedoman dalam dunia berpolitik. Ibn Khaldun banyak terlibat intrik-intrik politik yang diawali dari penghianatan-penghianatan, dan itu bagian dari strateginya dalam dunia politik.

  v  Saran
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata “sempurna”. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan memperbaiki makalah ini, dengan senang hati dan terbuka saya menerima kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata, penyusun makalah mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan refrensi khususnya di dunia “politik”.


Daftar Pustaka
Nasution, AH.,dan Muhammad Iqbal.Pemikiran politik Islam.jakarta:kencana.2010.
Ba’ali, Fuad.,dan Ali Mawardi.Ibn khaldun dan pola pemikiran Islam.Jakarta:pustaka firdaus.1989.
Nizar,samsul.2003.Konsep negara dalam pemikiran politik Ibn Khaldun. Jurnal Demokrasi Vol. 2 No. 1 Th.
Cara Berpolitik”. 10 Oktober 2016. http://bettermenejer.blogspot.co.id/2014/08/cara-berpolitik.html.


Baca Juga: Pendekatan Bahasa dan Filologi Dalam Studi Islam


[1] Samsul Nizar, “Konsep negara dalam pemikiran politik Ibn Khaldun”, Jurnal Demokrasi Vol. 2 No. 1 Th. 2003.
[2] Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution. pemikiran politik islam, (Jakarta:kencana, 2010), h.41-42.
[3] Fuad Ba’ali dan Ali Mawardi. Ibn Khaldun dan pola pemikiran Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1989), h.10-11.
[4] Muhammad Iqbal, Amin Husein Nasution.Pemikiran politik Islam (Jakarta:Kencana, 2010), h.44-46.
[5] Ibid., h.55-57.
[6]cara berpolitik”, http://bettermenejer.blogspot.co.id/,pada tanggal 24 okt 2016 pukul 20.11

0 komentar:

Post a Comment