Biografi dan Peran Cut Nyak Dien

Biografi dan Peran Cut Nyak Dien
Aceh adalah daerah dimana banyak terlahir pahlawan perempuan yang gigih, tangguh, dan pemberani yang tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien adalah salah satu dari perempuan berhati baja yang di usia lanjutnya masih dapat mencabut rencong dan berjuang melawan pasukan Kolonial Belanda sampai akhirnya ia ditangkap dan dibuang.
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan wanita dari Aceh yang dikenal dengan perjuangan mengusir para penjajah Belanda, pada saat perang Aceh berlangsung. Perannya sebagai pahlawan wanita di Indonesia ini, sangat menginspirasi banyak wanita Indonesia untuk bekerja dan berjuang. Dengan keberaniannya Cut Nyak Dien ikut ke medan perang bersama suaminya. Walaupun pada saat peperangan ia harus kehilangan suaminya, ia tidak menghentikan semangat juangnya untuk melawan pasukan Belanda agar keluar dari Indonesia. 
B. Rumusan Masalah
Pada penulisan makalah ini , penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana peran Cut Nyak Dien dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
C. Tujuan Masalah
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui peran Cut Nyak Dien dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
BAB II
BIOGRAFI DAN PERAN CUT NYAK DIEN
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan Nasional wanita Indonesia yang berasal dari Aceh. Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, yaitu pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar.  Ayahnya yang bernama Teuku Nanta Setia adalah seorang ulubalang  VI Mukim yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati perantau dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan Minangkabau. Sedangkan ibunya adalah putri ulubalang Lampagar.
Cut Nyak Dien merupakan anak yang cantik dan taat beragama. Ia mendapatkan pendidikan agama dari orang tua dan guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang kuat, dan didukung suasana lingkungannya, Cut Nyak Dien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal. Cut Nyak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, yaitu suasana perng Aceh.Ketika usia Cut Nyak Dien menginjak 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga putra dari ulubalang Lam Nga XII pada tahun 1862. Kehidupan pasangan ini berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Pada saat perang Aceh melawan Belanda, suami Cut Nyak Dien, yaitu Teuku Cek Ibrahim turut aktif di garis depan sehingga suami Cut Nyak Dien merupakan tokoh peperangan di daerah Mukim VI.
Cut Nyak Dien mempunyai peran sangat penting dalam perjuangan dan perlawanan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda.  Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Masjid Besar Aceh. Bertahun-tahun peperangan kian berkecamuk. Namun, karena keunggulan Belanda dalam hal persenjataan membuat satu per satu benteng pertahanan Aceh berjatuhan, termasuk Kuta (benteng) Lampadang. Karena terdesak Cut Nyak Dien beserta keluarganya terpaksa mengungsi. Pada pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim Lamnga gugur, yang konon hal ini terjadi karena adanya pengkhianatan dari Habib Abdurrahman. Meski kematian suaminya menimbulkan kesedihan yang dalam bagi Cut Nyak Dien, tapi ini tak membuatnya murung dan mengurung diri. Tetapi sebaliknya, semangat juangnya kian berkobar. Sebagai janda muda dengan seorang anak, ia tetap ikut bergerilya melawan Belanda. Menurut pendapat orang yang dekat dengannya, Cut Nyak Dien pernah bersumpah hanya akan menikah dengan orang yang mau membantunya dalam melawan Belanda. Kehadiran sosok Teuku Umar yang juga adalah seorang pemimpin perjuangan yang gagah berani, sangatlah berarti bagi rencana perjuangan Cut Nyak Dien. Meski keduanya masih saudara sepupu, tetapi keduanya baru bertemu saat acara pemakaman suami Cut Nyak Dien. Karena sama-sama terikat Sabilillah maka pasangan ini kemudian menikah pada tahun 1878 dan dikaruniai seorang anak. 
Selama Cut Nyak Dien mendampingi Teuku Umar banyak hal yang dapat dijadikan sebuah pengalaman yang menarik. Teuku Umar adalah sosok pejuang rakyat yang unik, ia dicintai rakyat tetapi ia pernah dibenci juga. Taktik Teuku Umar dalam peperangan melawan Belanda tergolong “aneh” bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dien. Teuku Umar pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur Loging Tobias, untuk membebaskan kapal Inggris yang terdampar kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh anak buah Teuku Umar. Sesudah peristiwa tersebut Teuku Umar kembali ke Lampisang dan ia tidak mau bekerja sama lagi dengan Belanda. Karena itu Teuku Umar kembali bersatu dengan pejuang Aceh, tetapi pejuang Aceh tidak yakin akan tekad baik Teuku Umar. Persoalan ini selesai setelah kapal Nisiero baru dapat diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dollar kepada raja Tenom.Kejadian lain yaitu pada tanggal 14 Juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton. Kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru Mudi Faya ditahan. Karena Hansen meninggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar,  tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubernur Aceh menyerahkan tebusan sebesar 25.000 dollar. Kali ini uang tersebut diberikan kepada Teuku Umar. Oleh Teuku Umar uang tersebutdibagikan kepada para pejuang Aceh sebagai bukti kesetiaannya kepada Aceh.
Namun ada hal lain yang membuat para pejuang Aceh kembali terbentang.  Pada tanggal 30 September 1893 Teuku Umar beserta pasukannya yang berkekuatan 250 orang secara resmi menyatakan tunduk kepada Gubernur Belanda di Kutaraja. Teuku Umar bersedia untuk membantu Belanda untuk mengamankan Aceh. Karena itu pasukannya di berikan perlengkapan yang cukup. Teuku Umar sendiri diangkat sebagai panglima dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di Lampisang dibangun oleh Belanda. Bentuknya disesuaikan dengan bentuk rumah seorang pejabat, lengkap dengan taman dan kebun serta fasilitas lainnya. Teuku Umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yangmasih dikuasai pejuang Aceh, yang berhasil dijalankan oleh Teuku Umar. Namun dalam kenyataannya, apa yang dilakukan oleh Teuku Umar tersebut merupakan sebuah sandiwara besar yang dibuatnya bersama istrinya, Cut Nyak Dien. Oleh karena itu, setelah tidak beberapa lama kemudian, Teuku Umar beserta pasukannya bergabung kembali dengan para pejuang Aceh beserta perlengkapan persenjataan pemberian Belanda. Mengetahui tindakan pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar,  Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran "Johan Pahlawan"dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda. Akhirnya Teuku Umar beserta Cut Nyak Dien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Selama itu pula Belanda terus mengejar keberadaan pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar berniat melawan kedudukan Belanda di Meulaboh. Namun rencana Teuku Umar ini telah diketahui oleh Belanda. Belanda yang sudah mengetahui rencana Teuku Umar, menanti kedatangan pasukan Teuku Umar di daerah Suak Ujung Kalak Meulaboh. Di daerah ini kemudian terjadi pertempuran. Pada pertempuran ini, Teuku Umar syahid terkena tembakan peluru dari pihak Belanda. Kematian Teuku Umar diketahui oleh Cut Nyak Dien. Walaupun Teuku Umar telah syahid, hal itu tidak menyerah akan menghadapi kolonialisme Belanda. Cut Nyak Dien justru bertekad untuk melanjutkan perjuangan Teuku Umar.
Sejak terjunnya Cut Nyak Dien ke medan perang, bukan hanya ratusan jiwa yang menjadi korban, tetapi ribuan jiwa dan jutaan uang. Sebagai pemimpin, ia tidak pernah merasa lelah dan takluk. Ia seorang yang fanatik dan tabah. Mampu merasakan pahit perjuangan bersama-sama dengan pengikutnya. 
Selama enam tahun memimpin perjuangan bersama pengikutnya, kerentaan karena usia melemahkan tubuhnya. Namun, ketika Pang Laot Ali menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, membuat Cut Nyak Dien sangat marah. Namun karena tak sampai hati melihat penderitaan yang di derita oleh Cut Nyak Dien, akhirnya Pang Laot Ali berkhianat kepada Cut Nyak Dien dan ia melaporkan tempat persembunyian Cut Nyak Dien kepada Belanda. Tetapi Pang Laot Ali memberikan syarat kepada Belanda agar Belanda jangan melakukan kekerasan daan harus menghormatinya. Hal ini membuat Cut Nyak Dien sangat marah kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada  Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahid ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya. Penempatan Cut Nyak Dien di Kutaraja mengundang kedatangan para pengikutnya. Karena khawatir masih bisa menggerakkan semangat perjuangan Aceh, Cut Nyak Dien terpaksa dijatuhi hukuman pengasingan ke Pulau Jawa, yang berarti mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali. 
Menjelang akhir hidupnya, di Sumedang,  Cut Nyak Dien masih tetap berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan terhadap penjajahan kebodohan. Namun sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak megetahui siapa Cut Nyak Dien yang mereka sebut sebagai “Ibu Perbu” (Ratu).
Cut Nyak Dien wafat pada 6 November 1908 di Sumedang, Jawa Barat. Namun makam “Ibu Perbu” baru ditemukan pada 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang mencari tahu kembali tentang siapakah “Ibu Perbu”. Namun informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada “Nederland Indische”, yang ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa “Ibu Perbu” pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dien, dan diakui oleh presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No. 106 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964. 

BAB III
KESIMPULAN
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan Nasional wanita Indonesia yang berasal dari Aceh. Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, yaitu pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh Besar. Ayahnya yang bernama Teuku Nanta Setia adalah seorang ulubalang  VI Mukim yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati perantau dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan Minangkabau. Sedangkan ibunya adalah putri ulubalang Lampagar.
Perjuangan Cut Nyak Dien tak lepas dari peran seorang Teuku Umar, yakni suami keduanya, yang turut membantunya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari pemerintah Kolonialisme Belanda. Pasca meninggalnya sang suami, Cut Nyak Dien mengambil alih memimpin pasukan untuk berperang melawan Belanda. Namun karena usianya yang semakin renta membuat tubuhnya menjadi melemah. Perjuangan Cut Nyak Dien di Aceh terhenti karena ia dikirim ke Sumedang oleh Belanda karena takut Cut Nyak Dien akan membangkitkan semangat rakyat Aceh kembali untuk melawan Belanda.
Cut Nyak Dien meninggal dan dimakamkan di Sumedang, Jawa Barat, pada 6 November 1908.

MAKAM CUT NYAK DIEN
Makam Cut Nyak Dien.

DAFTAR PUSTAKA
Fitri Yani Amrina “CUT NYAK DIEN SANG PAHLAWAN ACEH”. Di akses di https://wartasejarah.blogspot.com/2014/11/cut-nyak-dhien-sang-pahlawan-aceh.html/. Pada 29 April 2019.
Rindam Iskandar Muda “CUT NYAK DIEN (1848-1908)”. Di akses di https://rindamiskandarmuda.mil.id/cut-nyak-dhien-1848-1908/. Pada 29 April 2019.
Serambinews “Kisah Cut Nyak Dien, Pahlawan Yang Makamnya Baru Ditemukan 50 Tahun Setelah Kematiannya”. Di Akses di https://aceh.tribunnews.com/amp/2018/09/23/kisah-cut-nyak-dhien-pahlawan-yang-makamnya-baru-ditemukan-50-tahun-setelah-kematiannya?page=2. Pada 29 April 2019.

0 komentar:

Post a Comment