Pancasila Sebagai Etika Politik Bangsa

Koreo Pancasila, media.beritagar.id

PENDAHULUAN
A.    RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian etika politik?
2.Bagaimana dimensi politis manusia?
3.Apa nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik?
B.     TUJUAN
1.Mengetahui apa pengertian etika politik
2.Mengetahui bagaimana dimensi politik
3.Mengetahui apa nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik?
PEMBAHASAN
1.         Etika
            Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban.[1] Etika dibagi menjadi 2 yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas tentang prinsip dasar tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip yang berhubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya.[2]
            Etika khusus dibedakan lagi menjadi 2, yaitu etika Individual dan etika Sosial. Etika individual adalah kewajiban manusia terhadap dirinya  dan terhadap Tuhannya melalui suara hati, sedangkan etika sosial adalah kewajiban manusia dengan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara yang terkait dengan norma-norma moral. Secara substantif pengertian etika politik ini tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral.[3]
2.         Politik
        Politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan atau segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.[4]
        Dalam pengertian lain, politik berasal dari kata  politic, yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Dan penentuan pelaksanaan tujuan politik menggunakan sistem skala prioritas. Dalam pelaksanaan tujuan politik berkaitan erat dengan konsep negara, kekuasaan, kewenangan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, pembagian, serta alokasi.[5]
Jadi, etika berpolitik adalah sifat seseorang yang berhubungan dengan baik buruk dalam berpolitik.
     
B.     DIMENSI POLITIS MANUSIA
1.          Manusia sebagai makhluk individu-sosial
            Manusia sebagai makhluk individu-sosial. Manusia sebagai makhluk individu tertuang dalam paham individualisme,paham ini menjadi induk atau cikal bakal dari paham liberalisme yang bermakna “aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh ikut campur)” serta “usaha perjuangan menuju kebebasan.”[6]
            Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.[7]
            Manusia sebagai makhluk social tertuang dalam paham kolektivisme, paham ini menjadi dasar dua paham, yaitu sosialisme yang berarti ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industry, dan perusahaan menjadi milik negara. Dan komunisme yang berarti paham atau ideologi yang menganut ajaran Karl Mark dan Frederic Engels, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikanya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negara.[8]
            Kolektivisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk social saja. Individu menurut paham kolektivisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi masyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada, sifat kodrat manusia sebagai makhluk social.[9]
                        Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari – hari, manusia tidak mungkin memenuhi segala kebutuhanya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau social saja. Manusia memang merupakan makhluk yang bebas, namun untuk menjamin kebebasannya ia senantiiasa memerlukan orang lain atau masyarakat. Oleh karena itu manusia tidak mungkin bersifat bebas jikalau ia hanya bersifat totalitas individu atau social saja.[10]
            Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, halo ini dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk social. Manusia didalam hidupnya dapat bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang; karena hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segala kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat. Kesosialan manusia dapat dibuktikan dalam kodrat kehidupannya, sebab manusia lahir di dunia senantiasa merupakan hasil interaksi social. Maka realitas yang kita alami, isi pengalaman kita sendiri senantiasa berwujud social karena dipolakan melalui bahasa.[11]
            Dalam bahasan pancasila sebagai etika politik dan hubunganya dengan materi manusia sebagai makhluk individu dan social adalah bahwasanya berpolitik mempunyai subyek yaitu manusia dan hubungan timbal balik berpolitik itu ada dalam hubungan sosial, etika politik pada dasarnya adalah hubungan antar politis itu sendiri.

2.          Dimensi politis kehidupan manusia
            Manusia memiliki kebebasan individu dan kebebasan sosial, oleh karena itu tidak jarang terjadinya perbenturan kepentingan antar individu dalam lingkungan sosial. Tidak jarang dalam perbenturan itu dapat menimbulkan anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-hak nya, dan masyarakat itulah yang disebut negara. Dalam dimensi politis mencangkup kelembagaan hukum dan negara, sistem-sistem nilai serta ideology yang memberikan legitimasi kepadanya.[12]
            Dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat . dimensi politis ini memiliki 2 fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Moral menjadi tolak ukur perbuatan manusia terhadap manusia lain atau masyarakat. Jikalau pada tingkatan moralitas tidak dapat memenuhi hal tersebut maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif yaitu hukum.[13]
            Dengan demikian hukum dan kekuasaan negara merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai penataan masyarakat secara normatif, serta kekuasaan negara bagi lembaga piñata masyarakat yang efektif pada hakikatnya yang sesuai dengan struktur sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

C.    NILAI PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
            Politik salah satunya juga mencangkup urusan demokrasi. Demokrasi yang kita jalankan adalah demokrasi pancasila yang norma-norma pokoknya, hukum-hukum dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi pancasila berarti demokrasi, kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila yang lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan y.m.e. menurut keyakinan agama masing-masing. Haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat manusia, haruslah menjamin dan memperkokoh persatuan Bangsa, dan nharus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial.[14]



1.         Sila pertama
          Negara berdasarkan asas ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung makna keyakinan terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa sebagai Causa Prima,[15] dan juga mengandung arti bahwa Negara, Bangsa dan Masyarakat mematuhi noram-norma ilahi, yang meliputi norma-norma hukum dan norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu maka dalam N.R.I. tidak boleh dipediarkan ada hukum yang bertentangan dengan sesuatu norma ilahi dan tidak boleh dipediarkan ada “kesusilaan” yang berlawana dengan sesuatu norma ilahi.[16]
2.         Sila kedua
          Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab merupakan sumber nilai moralitas dalam kehidupan negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapat jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas HAM.[17] mengandung makna pengakuan terhadap adanya harkat dan martabat manusia, pengakuan terhadap asas kesamaan dan kebebasan manusia.[18]
3.         Sila ketiga
          Persatuan Indonesia mengandung makna pengakuan terhadap perbedaan hakikat, pengakuan akan sifat konsisten manusia.[19]
          Para rasionalis melandaskan etika legislatif pada prinsip hakiki tentang teori politik; seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama. Prinsip-prinsip tersebut menarik karena tampaknya memberikan satu pondasi yang lebih komperhensif ketimbang pendekatan lain. Prinsip-prinsip itu lebih tahan terhadap keanekaragaman.[20] Hal ini sesuai dengan bunyi pancasila sila ke-3 yaitu, “persatuan Indonesia”, yang mana bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak sekali keragaman.
4.         Sila keempat
          Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan mengandung makna pengakuan bahwa kedaulatan negara adalah ditangan rakyat, musyawarah untuk mufakat dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat, penjaminan tidak adanya tirani minoritas dan dominasi mayoritas.[21]
          Sila keempat ini menjadi dasar berpolitik yaitu, “Demokrasi Pacansila” sebagai istilah dipergunakan oleh M.P.R.S/XXXVII/1968 (pedoman pelaksanaan demokrasi pancasila), dari mana ternyata bahwa istilah “Demokrasi Pancasila” itu hanyalah merupakan kependekan bagi sila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.” Yakni sila ke-4 pancasila.[22] Negara adalah berasal dari rakyat dari segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat oleh karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara.[23]
5.         Sila kelima
          Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna pengakuan kesamaan hak dan kesempatan bagi seluruh Rakyat Indonesia dibidang agama, ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan.[24]
Juga mengandung arti yang luas, bukan hanya tenggang-menenggang perasaan dan kepenteingan dalam pergaulan hidup sesama manusia dan saling hormat menghormati, tetapi juga sama luasnya terbuka semua kemungkinan dan kesempatan untuk mencapai kecerdasan, kecakapan, kedudukan, kesejahteraan, dan perlindungan bagi setiap orang.
Selain berlakunya tanggungjawab biasa dan tanggungjawab politis, dengantidak menhgurangi berlakunya atas setiap penguasa itu peradilan umum karena pelanggaran pidana dan pelanggaran sipil.[25]

          Memerhatikan analisis sila-sila yang telah diberikan, etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau salah sebuah kebijakan.[26] Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijakan senantiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku.[27]




PENUTUP
A.     KESIMPULAN

                        Etika berpolitik adalah tingkah laku seseorang yang berhubungan dengan baik buruk dalam berpolitik.
                        Dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat. dimensi politis ini memiliki 2 fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia.
                        Nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik. Analisis sila-sila yang telah diberikan, etika politik Pancasila dapat digunakan sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau salah sebuah kebijakan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijakan senantiasa harus berdasarkan hukum yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Aryaning A. K., Devi S. W., Agus R., Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara (Jakarta: Salemba          Humanika, 2010)
Dennis F. Thomson, Etika Politik Pejabat Negara (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2000)
Editor: Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1976)
Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta:Tintamas Indonesia, 1973)
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014)
Kbbi.web.id



            [1] Kbbi.web.id
            [2] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 87
            [3] Ibid, hlm. 87
            [4] Kbbi.web.id
            [5] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 88
            [6] Kbbi.web.id
            [7] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 89
            [8] Kbbi.web.id
            [9] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 89
            [10] Ibid, hlm. 89
            [11] Ibid, hlm. 90
            [12] Ibid, hlm. 91
            [13] Ibid, hlm. 91
            [14] Editor: Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS, 1976), hlm. 59
            [15] Aryaning A. K., Devi S. W., Agus R., Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 64
            [16] Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta:Tintamas Indonesia, 1973), hlm. 69
            [17] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 93-94
            [18] Aryaning A. K., Devi S. W., Agus R., Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 64
            [19] Ibid, hlm. 64-65
            [20] Dennis F. Thomson, Etika Politik Pejabat Negara (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2000), hlm. 149
            [21] Aryaning A. K., Devi S. W., Agus R., Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 65
            [22] Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta:Tintamas Indonesia, 1973), hlm. 4
            [23] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 94
            [24] Aryaning A. K., Devi S. W., Agus R., Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 65
            [25] Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta:Tintamas Indonesia, 1973), hlm. 23-24
            [26] Aryaning A. K., Devi S. W., Agus R., Etika dan Tertib Hidup Berwarga Negara (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 64-65
            [27] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Paradigma: Yogyakarta, 2014), hlm. 94

0 komentar:

Post a Comment