Islam Damai, blogspot.com |
BAB
I
A. LATAR BALAKANG
Dalam
dunia barat cara berpandangan dan menggap agama Islam adalah agama terosisme yang melakukan dan bertindak
dengan cara kekerasan, yang dalam berpikir terlalu dini, terlalu sempit
pemikirannya dengan menyukai hal-hal kekerasan. Banyak orang beranggapan bahwa Islam
adalah gudang teroris, pendorong terror,
bom bunuh diri. Yang tertanam dalam kepalanya adalah dengan mati secara syahid
dengan cara berjihad. Pandangan barat terhadap Islam tersebut memandang Islam
secara parsial masih terjadi sampai sekarang, terutama setelah peristiwa teror
di WTC pada tahun 2001 yang lalu.
Islam
sendiri kini menjadi sorotan mata dunia dengan berbagai peristiwa-peristiwa
yang mengejutkan dunia, seperti, terror
dan bom bunuh diri dimana-mana dan yang menyita perhatian dunia yaitu kekerasan
terhadap wanita. Islam sendiri dianggap anti wanita dengan melecehkan dan merendahkan hak-hak
wanita dengan kasus-kasus yang beredar di berita-berita maupun sosial media.
Padahal Islam sendiri jauh dari kekerasan dan mengajarkan tentang kebaikan dan
perdamaian.
Perdamaian
sebenarnya adalah hal yang paling diperjuangkan dalam Islam dan itu adalah
suatu ajaran yang paling mendasar. Oleh karena itu, di dalam makalah ini kami
akan mencoba menjelaskan untuk mengubah persepsi masyarakat umum bahwa Agama
Islam adalah agama yang membawa teror menjadi agama Islam adalah agama yang
memperjuangkan perdamaian dan melawan kekerasan dan terror.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
itu Perdamaian di dalam Islam
2. Bagaimanakah
tentang Jihad di dalam Islam
3. Bagaimana
cara Mewujudkan Perdamaian di dalam Islam
BAB
II
Jihad
dikaitkan dengan kekerasan dan itu tidak saja dalam benak non-muslim, namun
juga dalam banyak Islam. Slogan jihad dinaikan oleh anak-anak muda yang
frustasi tidak mampu menemukan jalan lain, dan juga oleh mereka yang berjuang
untuk kemerdekaan nasional dan otonomi wilayah. Slogan tersebut menciptakan kesan kuat bahwa perang suci di sahkan
oleh Islam, dan mengesankan bahwa Islam sebagai agama kekerasan. Kekerasan
adalah fenomena politik dan social. Perang dapat dikatakan integral jika hanya
kitab suci memandatkan kekerasan sebagai sebuah solusi yang diinginkan.
Penting
untuk membedakan mana yang empiris dan mana yang ideologis. Keduanya tidak
selamanya bertemu. Kekerasan merupakan suatu hal yang empiris, sedangkan
kedamaian adalah suatu ideologis. Seluruh kitab suci, khususnya Al-Qur’an,
memperbolehkan jalan kekerasan dalam situasi yang tidak terelakkan, namun
memerintahkan damai sebagai sebuah norma. Agama-agama besar dunia datang untuk
menegakkan keadilan dan kedamaian. Kekerasan tidak pernah menjadi bagian dari
agama manapun, begitu juga Islam.
Satu hal pasti, bahwa Islam bukan secara tidak langsung
mengisyaratkan pemaksaan, apa lagi kekerasan disaat menjumpai hal yang religius
dan spiritual. Bila ada seseorang pada posisi tidak menerima keadlian atau
sebagai korban, maka dia harus berjuang mencari keadilan secara damai. Dan apabila
terpaksa menggunakan jalan kekerasan, dan tidak ada jalan lain kecuali berbuat
demikian, diperbolehkanlah melakukan hal tersebut.
Al-Qur’an sama sekali tidak mengakui penggunaan kekerasan
sebagai norma. Pada kenyataannya, semua ayat yang mengizinkan kekerasan
didahului oleh kalimat “Jika mereka memerangi kamu…”, sangat jelas bahwa Al-Qur’an
tidak memberi tempat terhadap adanya perang tanpa syarat dan agresi, dan Allah tidak
menyukai agsesor, tetapi mengizinkan perang
hanya jika di serang oleh pihak lain.
(Q.S. 2 : 190). Kalimat “Di jalan Allah” pada ayat ini sangat penting.
Berperang di jalan Allah membatasi diri seorang muslim dari sikap agresi dan
berlebih-lebihan.[1]
Kaum muslim di pikuli beban kewajiban untuk mewujudkan
perdamaian dimuka bumi, sebagaimana yang telah kami kemukakan, yaitu: Perdamaian
dalam Perasaan, Perdamaian dalam Keluarga, dan Perdamaian dalam Masyarakat.
Kita telah mengetahuai dasar-dasar semua bentuk perdamaian tersebut, demikian
pula prinsip-prinsipnya seperti peng-esa-an (tauhid) Allah Swt. Dalam hal
ketuhanan dan kekuasaan-Nya; keadilan, kesamaan dan kemerdekaan; jaminan hukum
dan penghidupan, jaminan keamanan dari perlakuan zalim dan lenyapnya kezaliman;
terwujudnya keseimbangan social, kegotong-royongan, dan saling bantu;
penghapusan sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan serta
pertengkaran antar individu dan antar golongan; meniadakan sebab-sebab yang
memberi kemungkinan lahirnya golongan-golongan dengan berbagai macam hak
istimewanya dan pertarungannya dan lain sebagainya.
Kewajiban pertama yang dibebankan kepundak kaum muslimin
adalah menjaga dan melindungi orang-orang beriman dari bencana yang akan
memaksa mereka meninggalkan agamanya, yakni kewajiban menghadapi kezaliman dengan
kekuatan. Sebab, tidaklah pada tempatnya kalau ajakan kebajikan ditindas dengan
kekuatan. Kewajiban kedua yang dibebankan kepada kaum mislimin adalah
mempertahankan kemerdekaan berdakwah dan menghapuskan setiap kekuatan zalim dimuka bumi yang
merintangi dan menghalangi umat manusia menerima dakwah islam. Dengan sikap
demikian itu mereka sesungguhnya mengaku berhak atas ketuhanan dan menempatkan
diriya sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah.[2]
2.
Apakah
Jihad Itu
Jihad
di tonjolkan sebagai perang melawan kafir dan sebagai kewajiban seluruh muslim.
Sesungguhnya, jihad adalah konsep multi-lapis yang di salah pahami sebagai satu
dimensi, yaitu berperang dengan sengaja melawan semua orang-orang kafir. Apa
yang terjadi pada 11 September 2001 di
New York, memberikan pelintiran yang salah untuk hal yang sangat penting,
kompleks dan multi dimensi islam ini.
Jihad
dalam pemahaman berperang menggunakan senjata harus dipahami secara hitoris.
Ungkapan Al-Qur’an juga merupakan multi-lapis dan multi-dimensi; sejumlah
dimensi bersifat historis, bersifat social, etis dan abadi. Memahami hal ini
dalam sikap berdimensi tunggal yang salah menerapkan karena disebabkan keliru
memahami atau sebab motif-motif pribadi, dan merupakan ketidak adilan besar terhadapnya.
Jika
mempelajari Al-Qur’an dan Hadits dengan sangat hati-hati, terang bahwa konsep jihad jauh di atas sekedar kekerasan dan
perang. Sayangnya, perang berlangsung dalam sejarah Islam (yang tidak selalu
untuk alasan-alasan agama) dan menyebabkan ajaran Islam menjadi menyusut. Sufi,
orang yang menjaga jarak dari perebutan kekuasaan dan dari para penguasa,
menyadari bahwa adanya salah-terap konsep jihad, merasa penting untuk
menegaskan kembali aspek-aspek social dan moral.
Sufi
tidak mengada-ada, tetapi konsep jihad besar (menahan hawa nafsu diri)
didasarkan pada ketentuan Al-Qur’an. Jihad, seperti yang dikenal dikalangan
pelajar bahasa Arab, bermakna berusaha keras. Dalam buku Mufradat al-Qur’an. Imam
Raghib pertama kali mendiskusikan arti dari akar kata “juhd” , yang berarti bekerja keras atau berusaha keras. Dan juhud
berarti kapasitas tinggi seseorang. Keduanya disatukan akan bermakna
berusaha sampai kapasitas tertinggi seseorang. [3]
3. Bagaimanakah
Cara Mewujudkan Perdamaian di dalam Islam
Islam
membina masyarakat di mulai dari nurani individu, menanamkan benih kecintaan didalam
lubuk hati dan jiwa yang sedalam-dalamnya dan meniupkan rasa kasih sayang yaitu
kecintaan manusiawi yang murni tulus. Islam mendorong manusia supaya selalu
ingat akan asal mula kejadiannya yang dari satu jiwa, yakni Adam; menggugah
hati nurani dan perasaannya tentang kaitan asal keturunan (nasab) dan tali
kekerabatan; dan mengingatkan akan hubungan persaudaraan (ukhuwwah) dibawah
naungan satu Tuhan, mengingatkan asal kejadiannya dan tempat ia kembali. Apa
bila segala perasaan yang lembut itu telah membuat perangai manusia menjadi halus,
tentu akan lebih mengarah kepada tenggang rasa dan perdamaian. Karenanya
berbagai macam sebab yang menimbulkan perselisihan dan pertikaian akan melemah,
sehingga memungkinkan suksesnya pelaksaan tatanan hukum yang telah ditetapkan
untuk menjamin perdamaian. Hati nurani dan perasaan demikian itu memang
merupakan jaminan yang paling kuat bagi berhasilnya pelaksanaan hukum dan
peraturan sehingga roda kehidupan dapat berputar dengan lancar.
Hai
segenap manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian
dari seorang (yakni Adam), dan dari dia jugalah Allah menciptakan istrinya;
kemudian dari kedua-duanya Allah mengembangbiakkan (manusia) lelaki dan
perempuan yang banyak (jumlahya). Dan hendaknya kalian bertakwa kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian selalu meminta. Hendaknya kalian
memelihara hubungan silaturahim (kekeluargaan dan kekerabatan). Sungguh Allah
senantiasa mengawasi kalian (an-Nisa,1).
Kepada
mereka itulah Rasulallah SAW. Berseru: “Janganlah kalian saling membenci,
saling beriri hati, dan saling bertolak belakang. Hendaklah kalian menjadi
hamba-hamba Allah yang saling bersaaudara”. Kasih sayang adalah “saudara
kembar” kecintaan. Allah swt. Berulang-ulang menerangkan hal itu sebagai salah
satu sifat keagungan-Nya, dan menganugerahkan sifat kasih sayang itu kepada
Nabi dan Rasul-Nya dengan menjadikan hati beliau lemah lembut penuh kasih
sayang.
Bahkan
islam dengan ajaran kasih sayangnya melangkah lebih jauh lagi sehingga
melampaui batas alam kehidupan manusia dan meliputi makhluk hidup lainnya. Hati
nurani yang lembut dan penuh cinta kasih memancarkan kecintaan dan keramahan terhadap
setiap makhluk hidup. Rasulullah saw. Bercerita kapada para sahabatnya “pada
suatu hari di saat seorang lelaki kehausan di tengah jalan, ia menemukan sebuah
sumur (tidak seberapa dalam) lalu turunlah kedalamnya kemudian meminumnya
sepuas-puasnya. Ketika keluar dari sumur itu ia melihat seekor anjing
menjulur-julurkan lidah menjilati tanah karena kehausan. Lelaki itu berkata :
tampaknya anjing itu kehausan seperti saya tadi! Ia segara turun lagi kedalam
sumur lalu mengisi khufnya (semacam sepatu) dengan air. Sambil memegangi mlut
khuf yang penuh air itu ia naik kembali lalu memberi minum anjing yang sedang
dicekik kehausan. Anjing itu kemudian bersyukur
kapada Allah atas pertolongan yang diberikan oleh lelaki itu, dan
sebagai imbalan atas kabaikan hatinya Allah swt. Memberikan ampunan atas
dosa-dosanya.”
Islam
pun menganjurkan setiap orang membiasakan diri mengucapkan salam kepada siapa
saja dan dimana saja, baik orang yang sudah dikenal maupun yang belum. Dengan
demikian semua orang merasa bersaudara dan tidak mempunyai kecurigaan terhadap
apapun juga. Hal itu dianjurkan Rasulullah saw: “Hendaknya yang kecil
mengucapkan salam (lebih dulu) kepada yang lebih besar, yang berdiri kepada
yang duduk, Jemaah yang jumlahnya sedikit kepada jemaahnya yang lebih banyak”
(hadits diketengahkan oleh Bukhari). Pada suatu hari Rasulullah saw. Ditanya:
“Islam yang bagaimanakah yang lebih afdhol?” beliah menjawab:” Hendaknya engkau
memberi makan (fakir miskin) serta
mengucapkan salam kepada orang yang telah kau kenal dan yang belum kau kenal”
(hadits diketengahkan oleh Bukhari). Bahkan Islam mengajarkan supaya orang
membalas perbuatan buruk orang lain dengan perbuatan baik.
Islam
mengikat semua individu dalam masyarakat atas dasar persamaan kepentingan.
Islam memperkokoh perasaan saling bantu dan setia kawan, dan memperteguh
kesadaran memikul kewajiban bersama untuk kepentingan bersama. Islam menetapkan
batas-batas kebebasan individual dalam menghadapi kepentingan bersama. Islam
menanamkan kesadaran dalam pikiran semua orang, bahwa mereka itu mempunyai
tujuan bersama yang tidak mungkin dapat diwujudkan apabila hanya dilakukan oleh
seseorang, tetapi harus diupayakan bersama-sama atas daar prinsip saling bantu.
Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw. Bersabda: “Barang siapa yang mempunyai makanan
cukup empat orang hendaklah ia makan berlima atau berenam”(hadits
muttafaq’alaih). Dalam hadits lain beliau bersabda; “Barang siapa mempunyai kelebihan
makanan untuk siang hari hendaknya ia memberikan kelebihan itu kepada orang
yang tidak mempunyai makanan untuk siang hari; dan barang siapa (dalam
perjalanan) mempunyai kelebihan bekal hendaknya ia memberikan kelebihan itu
kepada orang yang tidak mempunyai bekal” (hadits diketengahkan oleh muslim dan
Abu Dawud).[4]
Berpikir
adil dan tidak berat sebelah tidak mungkin mengingkari adanya jiwa dan semangat
toleransi kemanusiaan di dalam Islam, yaitu toleransi terhadap segenap umat
manusia, tidak terbatas pada suatu bangsa atau penganut kepercayaan tertentu.
Ketika
Islam dalam memberikan tuntunannya kepada umat manusia telah berhasil
menunaikan kewajiban menangkal kezaliman yang merusak kehidupan umat manusia,
ia tidak mungkin bertindak sewenang-wenang terhadap siapapun juga, tidak
sedikitpun menyimpan rasa permusuhan atau dendam.
Semangat
toleransi kemanusiaan dalam Islam memungkinkan terpeliharanya perdamaian dimuka
bumi, memungkinkan terciptanya kerukunan semua bangsa dan semua warna kulit,
menanamkan semangat persaudaraan dan kasih sayang di antara semua manusia,
membersihkan suasana kehidupan dari berbagai racun yang merusak, seperti: iri
hati dan dengki, saling menghancurkan antara golongan yang satu dengan yang
lain, atau saling membinasakan atara ras yang satu dan ras yang lain. Kecuali
itu, semangat toleransi Islam pun memungkinkan tercegahnya berbagai macam
peperangan dan pembantaian yang ditimbulkan hal-hal tersebut, atau yang
disebabkan oleh ambisi ekspansionisme yang semata-mata bertujuan menggaruk
keuntungan material dari negeri-negeri lain, atau yang semata-mata untuk
memperoleh popularitas kosong seperti apa yang dinamakan “Adi Kuasa”.
Atas
dasar toleransi kemanusiaan yang murni itulah para khalifah Rasyidun menjalankan
kebijaksanaan pemerintahannya. Demikian pula yang di lakukan oleh kaum muslimin
pada umumnya. Kalau pernah terjadi suatu kefanatikan, itu merupakan
peristiwa-peristiwa insidentil dan kefanatikan itu tidak mengenai soal-soal
yang diwajibkan oleh agama, dan bukan pula dalam rangka perjuangan Islam untuk
melenyapkan kezaliman dan kebatilan. Kefanatikan yang pernah terjadi itu hanya
dilakukan oleh orang-orang yang tidak dapat dipandang mewakili Islam dan tidak
memahami prinsip-prinsip ajarannya yang luhur, termasuk semangat toleransi
kemanusiaanya.
Pada
suatu hari Khalifah ‘Umar Ibnul-Khattab r.a. melihat seorang pengemis sedang
meminta-minta di depan pintu sebuah rumah. Atas pertanyaan Khalifah ‘Umar,
pengemis itu menjawab bahwa ia seorang Yahudi. Khalifah ‘Umar bertanya lagi; “Apa
sebab engkau mengemis?” pengemis itu menjawab: “Ya amirul Mu’minin, aku
mengemis karena aku harus membayar jizyah disamping kebutuhan hidup
sehari-hari, sedang usiaku sudah demikian lanjut!” Khalifah ‘Umar kemudian
mengajak pengemis itu kerumah, lalu kepadanya diberi sekedar untuk mencukupi
kebutuhannya. Setelah itu ia menulis sepucuk surat kepada pengurus Baitu-Mal.
Surat yang di bawa oleh Yahudi itu berbunyi: “perhatikanlah orang ini dan orang-orang
lain yang seperti dia. Demi Allah, tidaklah adil kalau dimasa mudanya ia kita
manfaatkan tenaganya, tetapi setelah jompo ia tidak kita bantu. Zakat adalah
untuk kaum kafir miskin, dan orang ini termasuk kaum miskin dikalangan
Ahlul-Kitab.
Toleransi
kemanusian adalah unsur penting bagi terwujudnya perdamaian. Namun, semua
peradaban yang menguasai dunia dewasa ini telah kehilangan unsur tersebut.
Dunia kita dewasa ini telah dirobek-robek oleh fanatisme keagamaan, fanatisme
rasial, dan fanatisme kemazhaban; sebagai akibatnya dunia sekarang berada
ditepi jurang terjal. Semua bentuk fanatisme yang rendah itu sama sekali kosong
dari semangat toleransi kemanusiaan dan tidak dijiwai oleh keadilan yang
hakiki. Karenanya, tidak aneh kalau fanatisme seperti itu melahirkan semangat
kebencian dan dendam, melahirkan ambisi-ambisi ekonomi dan non-ekonomi,
sehingga merubah kehidupan umat manusia menjadi neraka, baik diwaktu perang
maupun diwaktu damai. Di waktu damai banyak manusia dilanda kelaparan dan ketakutan.
Bangsa yang satu mencurigai bangsa yang lain, masing-masing mengambil sikap
berjaga-berjaga dan dan selalu resah. Keterangan dimana-mana sangat berat
menekan saraf manusia sehingga banyak yang menderita penyakit tekanan saraf dan
tekanan darah tinggi. Manusia dalam keadaan saling mengintai, dalam keadaan
selalu khawatir tak terjamin keamanannya, tercekam kebencian hingga tak dapat
mengenyam kedamaian, diliputi kegelapan tanpa sinar harapan. Bersamaan dengan
itu berbagai corak peradaban dekaden menemukan banyak pengagum dan pembelanya,
padahal semua peradaban itu menjerumuskan manusia kedalam penderitaan demi
penderitaan, peperangan demi peperangan, bencana demi bencana. Kenapa? Karena
peradaban tersebut menguasai besi dan api, menguasai energi listrik dan uap,
menguasai pembuatan bom nuklir, bom hydrogen, dan berbagai satelit, tetapi sama
sekali tidak mempunyai rasa cinta kasih walau hanya sekecil atom, tidak
mempunyai unsur toleransi walau hanya sekelumit, dan tidak mempunyai energy
kemanusiaan apa pun juga.
Semua
itu merupakan noda yang merusak jiwa manusia di dalam zaman kegelapan dan
kemunduran. Tidak ada obat penyembuh jiwa yang parah itu, dan tidak ada cahaya
apa pun yang dapat menembus kegelapannya, kecuali jika Islam memimpin umat
manusia sekali lagi. Pada saat itulah islam akan mengembalikan manusia kepada
toleransi kemanusiaannya, dan mengubah semua penemuan dan ilmu pengetahuan
menjadi alat mengabdi cinta kasih, peradaban, dan perdamaian. [5]
BAB
III
PENUTUP
Saat
ini agama Islam di anggap oleh masyarakat umum sebagai agama yang membawa
ancaman atau terror karena konsep Jihad yang menggunakan cara kekerasan dan
peperangan. Namun sesungguhnya, itu adalah hal yang salah, Islam sebenarnya
selalu menyebarkan kebaikan dan menjunjung tinggi perdamaian, namun dikarenakan
sejarah Islam yang sering terjadi peperangan membuat pandangan para
muslim-muslim sekarang menjadi anarkis, padahal Islam hanya melakukan
peperangan pada saat posisi terdesak atau terpaksa.
Sebenarnya
konsep jihad yang murni adalah berjuang, berjuang membela agama. Namun membela
tidak hanya dalam makna secara fisik seperti yang berada pada pikiran-pikiran
orang kebanyakan, namun berjuang menegakkan syariat Islam. Oleh karena itu
berjihad seharusnya dilakukan oleh Muslim selama masih hidup. Dan dengan
berjihad itu pula diharapkan perdamaian bisa dicapai.
Baca Juga: Harun Nasution | Akal dan Wahyu Dalam Islam
Perdamaian
bisa dicapai apabila kita saling bertoleransi terhadap orang lain, itu termasuk
suku, agama, ras, dan antar golongan. Dengan toleransi ini, kita bisa mengubah
persepsi masyarakat bahwa agama Islam adalah agama yang mengancam menjadi agama
yang membawa perdamaian, meskipun hal itu perlu waktu agar tercapai.
DAFTAR
PUSTAKA
Engineer, Asghar Ali.
2004. Liberalisasi Teologi Islam: Membangun
Teologi Damai Dalam Islam. Yogyakarta: Alenia Bentang Jendela Aksara.
Engineer, Asghar Ali.
2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Qutub, Sayyid. 1983. Islam Dan Perdamaian Dunia. Jakarta: PT.
Temprint.
[1] Asgar Ali Engineer. Liberalisasi Teologi Islam, Membangun
Teologi Damai Islam. Yogyakarta: Alenia. 2004. hlm. 182-187.
[3] Asgar Ali Engineer. Liberalisasi Teologi Islam_Membangun Teologi
Damai Dalam Islam. Yogyakarta;
Alenia. 2004. hlm. 100-102.
0 komentar:
Post a Comment