Sistem Ummah dan Konsep Imamah


Umah, tempo.co
Kata Pengantar

            Di dunia ini, banyak sekali sistem-sistem kenegaraan yang dibentuk untuk membantu berlangsungnya negara tersebut juga masyarakat dari negara tersebut. Berjalannya suatu sistem kenegaraan yang baik diperlukan juga pemimpin yang juga baik. Pemimpin yang baik itu termasuk pemimpin yang adil, jujur, tegas, dan tentu saja yang paling penting adalah pemimpin yang tidak korup.
            Di Indonesia, sistem kenegaraan yang digunakan adalah Presidensial dan Demokrasi dengan menggunakan prinsip ideologi Pancasila. Dan sistem kenegaraan ini yang dianggap adalah yang paling tepat untuk Indonesia. Memang di Indonesia terdapat banyak sekali masyarakat beragama Islam, dan Islam ini adalah agama mayoritas. Namun di Indonesia, terdapat banyak sekali agama-agama yang eksis, tidak hanya Indonesia. Maka dari faktor utama inilah kenapa Indonesia tidak menggunakan sistem Negara/politik Islam, karena melihat banyaknya masyarkat yang tidak Islam pula.
            Berbicara mengenai Islam, di agama Islam juga diajarkan bagaimana konsep suatu sistem Negara. Seperti yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, yaitu sistem Khilafah yang di propagandakan HTI. Karena mencuatnya sistem Khilafah ini yang dipropagandakan oleh HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) ini, membuat HTI oleh pemerintah dilarang beredar di Indonesia, karena menyebarkan sesuatu yang bersifat merusak/melawan tatanan sistem Negara yang sedang berjalan (Pancasila).
            Tetapi, sistem kenegaraan ala Islam ternyata tidak hanya Khilafah saja. Dilihat dari sejarah Islam, Khilafah adalah sistem politik Islam yang diusung oleh masyarakat Islam dengan golongan Sunni. Nah, sedangkan di Syi’ah, juga mengusung suatu sistem politik atau Negara yang dinamakan Ummah dengan bentuk kepemimpinan Imamah. Didalam sejarah juga diceritakan bagaimana Konflik antara Sunni dan Syi’ah yang mungkin saja terus ada sampai sekarang. Dan juga tidak ketinggalan pula bagaimana konflik sistem kenegaraan antara Khilafah dan Ummah yang di unggulkan oleh masing-masing golongan tersebut.
            Dan didalam makalah ini, akan di bicarakan mengenai sistem dari Ummah dan Imamah ini menurut seorang pemikir terkenal dari Iran yang juga bergolongan Syiah yaitu Ali Syari’ati.



 Rumusan Masalah
            Rumusan Masalah yang diangkat penulis dalam makalah Sosisologi Islam sebagai orientasi perkembangan Ilmu, yaitu:
1.      Siapakah Ali Syariati
2.      Apakah itu sistem Ummah
3.      Bagaimana dengan konsep Imamah
            Semoga dari beberapa Rumusan Masalah diatas dapat memberikan informasi yang luas dan tepat kepada pembaca.


            Ali Syariati adalah salah seorang tokoh yang membantu perjuangan Imam Khomeini dalam menjatuhkan rezim Syah Iran yang lalim, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam. Doktor sastra lulusan Universitas Sorbonne, Perancis ini berjuang tak kenal lelah dan takut. Selama hidupnya, ia mengabdikan dirinya untuk membangunkan masyarakat Islam Iran dari belenggu kezaliman. Pikiran-pikiran dalam ceramahnya telah membuat para emuda dna mahasiswa Iran tergugah semangatnya untuk memperjuangkan kebenaraan dan keadlian.[1]
            Syariati, anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra, lahir pada 24 Novermber 1933, bertepatan dengan periode ketika ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengeajar di sebuah sekolah dasar, Syerafat. Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini, ritual dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
            Pada masa kanak-kanak, Ali Syariati sudah gemar membaca buku-buku sastra seperti “Les Miserable” karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertamanya di sekolah menengah atas, ia senang membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu sosial, dan studi keagamaan di perpustakaan pribadi ayahnya yang memiliki koleksi 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang bermain dengan teman-teman sebayanya.
            Pada 1955, Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun menghadapi persoalan administrative akibat pekerjaan resminya sebagi guru full-time, Syariati paling tinggi peringkatnya di kelas. Bakat, pengetahuan, dan kegemarannya kepada sastra menjadikannya populer di kalangan mahasiswa.
Di universitas, Syariati bertemu Puran-e Syariat Razavi, yang kemudian menjadi istrinya. Karena perstasi akademisnya di universitas itu, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Pada April 1959, Syariati pergi ke Paris sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan, menyusulnya setahun kemudian.
            Selama di Paris, Syariati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para akademisi, filsuf, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan pemahat. Dair masing-masing mereka, syariati mendapat sesuatu, dan kemudian mengaku berutang budi kepada mereka. Disinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual Barat, antara lain Louis Massignon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque, dll.
            Pribadi Syariati penuh dengan semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Walaupun tidak berada di Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu Syariati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya.
            Setelah meraih gelar doktornya pada 1963, setahun kemudian Syariati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini, ia mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967, Ali Syariati mulai mengajar di Universitas Masyhad. Inilah awal kontraknya dengan mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera saja semarak. Kelas Syariati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator Syariati yang memukau, memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.
            Sejak Juni 1971, Syariati meninggalkan pekerjaan mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikiirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseiniyeh Ersyad sebuah “Universitas Islam” radikal yang modernis.[2]

b.      Sistem Ummah
            Ummah adalah suatu sistem pemerintahan yang biasanya digunakan oleh kalangan Islam Syi’ah, sedangkan dalam Sunni dinamakan dengan Khilafah atau Musyawarah. Kelompok Sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih. Sedangkan Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah.[3] Dan aliran Syiah dengan sistem pemerintahan seperti ini dapat dicontohkan di Negara Iran.
            Istilah Ummah berasal dari kata ‘amma, yang artinya bermaksud (qashada) dan berniat keras (‘azima). Pengertian seperti ini teridiri atas tiga arti yakni “gerakan” dan “tujuan”, dan “ketetapan hati yang sadar”. Dan sepanjang kata ‘amma itu pada mulanya mencakup arti “kemajuan” maka tentunya ia memperlihatkan diri sebagai kata yang teridiri atas empat arti itu: usaha, gerakan, kemajuan, dan tujuan.
            Seraya tetap mempertahankan keempat makna tadi, istilah Ummah (umat) secara prinsipil tetap berarti jalan yang terang. Artinya, suatu kelompok manusia yang menuju ke jaan tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan dan keteladanan, jalan dan tempat yang dilalui, tercakup pula dalam istilah Ummah ini. Dan  berpijak pada pengertian serupa itu, maka keturunan, tanah air, perkumpulan, kebersamaan, baik dalam tujuan, profesi berikut perangkatnya, ras, status sosial dan gaya kehidupan, yang dipandang sebagai pengikat paling dasar dan sakral antara berbagai individu, tidaklah termasuk dalam hubungan tadi.
            Kemudian yang menjadi pengikat paling penting untuk mempersatukan individu-individu didalam pandangan Islam adalah “jalan yang dilalui”. Artinya, ada sekumpulan manusia yang memilih jalan yang sama untuk menuju suatu tujuan.[4]
            Ali Syariati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu menerangkan makna ummah. Ia membandingkan istilah yang di konsepkan oleh Montgomery Watt yang biasa digunakan di Eropa, yaitu Nation, Qaum, Qabilah dan Sya’b, dsb. Bagi Ali, beberapa istilah itu (dengan pengecualian pada istilah qabilah) sama sekali tidak mengandung arti kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja, kelebihan istilah qabilah ditemukan pula pada istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih memiliki kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia mempunyai gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam istilah Ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justru merupakan landasan ideologis.[5]
            Berikut adalah beberapa istilah tersebut yang diambil dari buku Ali Syariati:

   1.  Nation
            Akar katanya adalah Naitre, artinya bangsa. Dengan begitu, pemilik-pemilik nama tersebut menganggap bahwa sifat dasar dan pengikat alamiah yang sakral dan real yang mengikat individu-individu dalam masyarakat yang satu, adalah kekerabatan, rasm dan kesamaan keturunan.
            Dari sudut pandang mereka, sifat-sifat dasar tersebut dianggap sebagai pengikat paling sakral yang menghimpun semua anak bangsa. Disaat orang-orang Eropa memlih istilah Nation dan Nationalism, mereka mengukuhkan ikatan keturunan mereka, yang terus berlangsung hingga sekarang.
            Disini kita bisa melihat bahwa konsep tersebut merupakan esensi pandangan hidup kesukuan, yang didalamnya suatu kabilah mempersatukan anggota-anggotanya melalui ikatan keturunan mereka pada satu moyang, misalnya Bani Tamim, Bani Umayyah, Bani Najjar, dan lain-lain.

   2. Qabillah
            Istilah ini telah berusia sangat tua sekali, bahkan mungkin lebih tua dibandingkan istilah nation. Kabilah merupakan kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama bernaung di bawah kabilah itu. Unsur paling kuat yang mempersatukan individu-individu dalam masyarakat seperti ini adlaah kesamaan tujuan, yakni suatu cita-cita yang dengan itu mereka menjadi bersatu. Setiap kabilah memang mempunyai unsur-unsur pemersatu, serta tempat tinggal yang tetap, baik untuk musim panas maupun musim dingin. Apabila kita mengarahkan pandangan ke padang pasir, niscaya kita akan meilhat bahwa kabilah-kabilah itu menghadap ke arah mata angin tertentu.
            Dengan demikian, kabilah adalah kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama.

   3. Qaum
            Pada tipe masyarakat seperti ini, kehidupan di bangun atas dasar penyelenggaraan fungsi-fungsi secara bersama-sama antara individu-individu. Artinya, individu-individu yang menjadi anggota kaum itu adalah sekelompok orang yang menghuni suatu wilayah tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan tugas-tugas mereka.

   4.  Sya’b
            Istilah Sya’b, Syu’bah, dan insyi’ab, seluruhnya mengacu pada akar kata yang sama. Dengan itu dimaksudkan bahwa bangsa manusia di planet bumi ini terbagi-bagi dalam berbagai cabang (Syu’bah), dan setiap cabang merupakan satu bangsa tersendiri. Artinya, mereka memisahkan diri dalam berbagai kelompok, dan kelompok itu merupakan cabang dari kumpulan manusia.

   5. Thabaqah (Kelas)
            Adalah sekumpulan manusia yang memiliki langgam hidup, institusi, profesi, dan penghasilan yang sama dan setingkat. Orang-orang itu kemudian membentuk elit atau kelas tertentu. Individu-individu yang menempati lapisan sama, mempunyai kesamaan dalam corak kerja dan kehidupan, lalu menguasai kendali sosial dan sumber-sumber kekayaan. Mereka ini membentuk institusi dan kelompok yang dikenal dengan sebutan sociale classe (social class). Dengan demikian, keterikatan sumber penghasilan, dan gaya hidup, khususnya dalam status dan posisi sosial mereka.

   6. Mujtama’ atau Jama’ah
            Istilah ini sekarang berlaku di kalangan masyarakat umum, seperti halnya pula ia berlaku dalam dunia keilmuan. Society atau Jama’ah, baik yang berlaku dikalangan kita maupun kalangan Eropa, merupakan kumpulan manusia yang ada di suatu tempat. Berdasar itu, maka unsur paling penting dan asas utama yang menjadi pengikat masyarakat tipe ini adalah “berkumpulnya anak-anak manusia di tempat yang sama”.

   7. Tha’ifah (Kelompok)
            Adalah sekumpulan orang yang berada di sekitar tempat tertentu. Disuatu padang pasir, misalnya, terdapat kelompok-kelompok yang masing-masing menempati sekitar mata air yang lazimnya merupakan tempat berkumpul mereka.

   8.  Race (Ras)
            Adalah sekumpulan individu-individu yang memiliki ciri-ciri biologis yang sama, misalnya warna kulit, keturunan, dan bentuk tubuh.

    9.   Massa (Mass)
            Adalah segerombolan orang. Yakni sekelompok individu yang tersebar di suatu tempat tertentu.

   10.  People (Rakyat)
            Adalah kumpulan manusia yang menempati bagian tertentu dunia ini dan menganggapnya sebagai tanah airnya. Kebalikan dari people adalah group (grup) yang berarti jama’ah, partai, klan (clan), dan suku.[6]
            Ummah merupakan kumpulan orang yang berpindah. Istilah ini mengandung konsep-konsep berikut:
  1.   Kebersamaan dalam arah dan tujuan
  2.  Gerakan menuju arah dan tujuan tersebut
  3.  Keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif.
            Dengan kata lain istilah ummah mengandung pengertian: kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain saling bahu-membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif.
            Merujuk kepada pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kekerabatan umat manusia untuk menggantikan istilah setanah air, satu keturunan, satu profesi, senasib, setujuan, dan separtai merupakan refleksi akidah dan kebersamaan. Mereka mempunyai pimpinan yang mengharuskan mereka untuk “bergerak menuju ara dan tujuan secara bersama-sama”. Mereka ini mempunyai seorang pemimpin yang bertanggung jawab yang bisa diterima oleh semua orang.
            Di sisi lain, pada saat individu-individu yang terdiri atas manusia itu menjadi anggota suatu ummah, maka ia wajib mematuhi pemimpin komunitas dan menaatinya dengan ketaatan tanpa paksaan. Individu, dalam suatu ummah memiliki hak dalam menjalankan akidah dan kewajiban-kewajiban di depan komunitasnya, sebagaimana halnya masyarakat harus memiliki ideology atau akidah; ideology pada gilirannya, berarti merealisasikan cita-cita dan mencapai kemajuan.

c.       Imamah dan Dasar-Dasar Pemerintahan Islam
1.      Keadilan
            Dalam pandangan Ali Syari’ati keadlian merupakan fundamen yang sangat penting dalam masyarakat Islam, hal ini diungkapkan oleh Ali Syariati dengan melihat bahwa keadilan termasuk dari infrastruktur dari sistem dunia Islam. Berkenaan dengan hal ini ia berkata sebagai berikut:
            Keadlian dalam madzhab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep bahwa keadilan adalah sifat intrinsic Allah. Dengan demikian, setiap tindakan manusia entah benar atau salah haruslah dinilai oleh-Nya. Karena itu, ‘adl adalah infrastruktur sistem dunia dan pandangan kaum muslimin didasarkan atasnya. Konsekwensinya, jika suatu masyarakat tidak dibangun atas landasan ini, maka ia adalah masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang dipastikan bakal hancur lantaran, seperti telah disebutkan, Allah bersifat adil dan penciptaan bertumpu diatas keadilan. Oleh sebab itu, sistem-sistem kehidupan haruslah juga didasarkan atasnya dank arena kenyataan ini, maka kediktatoran dan ketidak adilan dalam pemerintahan adaah sistem-sistem anti-Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti ditumbangkan dan dihancurkan.
            Pernyataan ini menilik begitu pentingnya keadilan dalam tatanan sebuah pemerintahan Islam. Keadilan pula ialah suatu tujuan dari gerakan-gerakan revolusi Islam, khususnya revolusi Iran.

2.      Imamah
            Imamah dalam pandangan Ali Syari’ati memiliki arti penting sebagai dasar dari pemerintahan Islam. Dalam banyak tulisannya ia menekankan bahwa tegak berdirinya sebuah pemerintah tergantung kepada imam. Sebab dalam ajaran syi’ah ada suatu keyakinan akan adanya imam al-Ashr atau imam sepanjang zaman (imam of the Age) yang akan melakukan revolusi pemikiran dan gerakan.
            Imamah menurutnya adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.

3.      Konsep Imamah
            Istilah Ummah secara terperinci mengandung tiga konsep: kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan tujuan tersebut; dan keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dari kajian filologi ini, Syariati memandang bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummah tanpa imamah. Apa karakteristik imamah itu? sebagaimana istilah Ummah, istilah Imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa. Yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitias dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikirian mereka menuju bentuk ideal.
            Syariati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang selalu bergerak kearah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari Imamah adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. Dalam kalimat lain namun senada ia menulis:
            Imama dalam mazhab pemikiran Syiah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
            Tugas imam, dimata syariati, tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. Walaupun demikian, Syariati mengingatkan bahwa imam bukanlah supra-manusia tetapi manusia bisa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super.
            Selain itu, Syariati mulai menyinggung peristiwa Saqifah. Menurutnya, dengan mengabaikan polemic nass-wasiyyat, di satu sisi, dan bay’at al-syura, di sisi lain, dalam peristiwa Saqifah hanya ada lima suara: dua suara dari kabilah Aus dan Khazraj, tiga suara dari Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Itu pun dengan catatan apabila pemimpin kabilah Aus, Sa’id bin Mu’adz, sudah tidak ada lagi, maka otomatis Sa’ad bin Ubaidah, pemimpin Khazraj, menjadi pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Makkah. Yang terakhir ini disebut Syariati telah memiliki kesadaran politik tinggi, sebagaimana terbukti pada akhirnya, di mana mereka (Kelompok Makkah) tahu betul apa yang sedang mereka hadapi, dan bagaimana pula seharusnya bertindak. Syariati bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan penduduk Madinah hanya ditemukan oleh lima suara, yang berarti mengabaikan ratusan suara lainnya, dalam peristiwa Saqifah.
            Bagi Syariati, sesungguhnya prinsip bay’at al-syura dan nass-wasiyyat tidaklah bertentangan sama sekali dan tidak pula ada di antara keduanya yang merupakan bid’ah dan tidak Islami. Baik Bay’a, Musyawarah, dan Ijma’ atau apa yang disebut Syiah atau para wasiyyat Al-Rasulullah berjumlah dua belas imam, tidak lebih. Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat Nabi hingga akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.
            Pada masa-masa awal wasiyyat digunakan dalam proses suksesi. Selanjutnya, menurut Syariati, setelah pada tahun 250H  (Tahun gaibnya Imam ke-dua belas) baru berlaku prinsip syura. Kalau ini berjalan mulus maka pada 250H kita telah mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya, dan memiliki kelayakan yang membuatnya patut memilih pemimpin mereka yang paling baik melalui asa musyawarah, yang kemudian menduduki kursi kepemimpinan, dan menggerkakkan sejarah sesuai dengan jalur yang telah digariskan oleh risalah Muhammad SAW.
            Masa sepeninggal nabi sampai 250H adalah masa revolusi yang tidak membutuhkan demokrasi. Sayangnya, menurut Syariati, sesuatu yang tidak terduga telah muncul di Saqifah, bani Sa’idah dan menyeret perjalanan sejarah Islam kearah yang lain. Syariati pun berandai-andai, kalau seandainya peristiwa Saqifah itu terjadi pada 250H dan tidak pada tahun 11H, niscaya sejarah akan lain bentuknya.
           
4.      Pemilihan Pemimpin
            Imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Pertama-tama ia adalah imam sebagai posisi puncak dan manusia paling terpilih lantaran ia memiliki aspek-aspek dan kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan terdahulu. Dia adalah seorang imam, tak perduli apakah ia muncul dari penjara Al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik di dukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keagungannya oleh tujuh atau delapan kelompok saja.
            Imamah tidak diperleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, Masyarakat yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada (pada imam tersebut). Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya sebagai seorang imam.
            Pemerintahan (Khalifah) itu merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah, sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaikan perbedaan tadi, imamah dan khalifah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujuan dengan satu keterbatasan. Jadi seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.
            Dalam pandangan Ali Syariati, hubungan khalifah dengan imam yang ada pada satu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik, dan sosial dengan penguasa, sebagaimana halnya yang ada pada hubungan antara Gandhi dengan Nehru. Bentuk seperti ini, dimata Syariati, adalah bentuk yang wajar, dan pemisahan antara keuda tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan kehormatan imam. Imam meski diam di rumah, tidak berarti ke-imam-annya hulang, karena imam adalah atribut (sifat), tanpa melewati pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan tugas seorang imam, meski tidak dipilih sebagai khalifah, tetaplah ada.[7]
           
Kesimpulan
            Ummah adalah konsep masyarakat kolektif yang terdiri dari berbagai suku, ras, bangsa dan agama yang memiliki tujuan yang sama dan memiliki seorang pemimpin yang dinamakan Imam. Kemudian kepemimpinan imam menandakan penggunaan sistem pemerintahan Imamah.
            Hubungan antara Ummah dan Imamah menurut Ali Syariati adalah Imam sebagai seorang teladan yang sempurna yang mampu dijadikan sebagai pemimpin dan keteladanannya itu dapat ditiru oleh semua Ummah. Oleh karenanya menurut Ali Syariati, seorang imam haruslah seseorang yang sempurna, sempurna akalnya serta budinya, dan dapat menjadi panutan oleh semua orang, dan Ali Syariati menyamakan kedudukan Imamah dengan sebagai Pahlawan. Seorang imam harus bisa melakukan sinkronisasi dengan umat nya, maksudnya karena ummah adalah sistem yang memiliki satu tujuan kolektif, maka imam haruslah dapat memimpin ummah tersebut menuju sesuatu yang sudah diinginkan tadi.


            Meskipun pandangan Ali Syariati lebih condong ke Syiah, karena Syiah adalah perspektif yang dia gunakan dalam penelitiannya. Tetapi maksud Ali Syariati dalam penelitiannya hanyalah bermaksud agar para Syiah dan Sunni dengan masing-masing konsep kepemimpinannya tidak terus selalu berkonflik mana yang lebih baik atau yang lebih buruk. Ali Syariati hanya menginginkan suatu konsensus dari 2 front tersebut (Syiah dan Sunni). Baginya masing-masing memiliki hal yang negative dan positif nya sendiri-sendiri, dan dia juga berkata meskipun Syiah konsepnya agak individualis atau seinginnya sendiri, tetapi Sunni haruslah menghormatinya atau paling tidak mengakui imamnya, meskipun imam tidak berarti apa-apa bagi Sunni. Begitupula Syiah, yang menghormati adanya seorang Khalifah yang dipilih berdasar Musyawarah, dan menjadikan Khalifah tersebut pemimpin meskipun dia tidak mengikuti kehendak pemimpin tersebut.



Daftar Isi
Syariati, Ali. 2012. Ummah dan Imamah. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute.
Jali, Hasan. 2008. “Konsep Imamah Dalam Pemikiran Ali Syari’ati”. Dalam http://jaliblogspot.blogspot.co.id/  Diakses pada 7 Desember 2017.
Muntaha, Zawahir Faiz. 2013. “Ummah dan Imamah; Sebuah Tinjauan Sosiologis; Dr. Ali Syariati”. Dalam   http://faizzawahir.blogspot.co.id/2013/01/. Di Akses pada 7, 11 Desember 2017.
Wikipedia. 2017. “Ali Syariati”. Dalam https://id.wikipedia.org/. Diakses pada 7 Desember 2017.




                [1]Levi Yamani, “Biografi Ringkas Ali Syariati”. Dalam  https://leviyamani.wordpress.com/. Diakses pada 7 Desember 2017.
                [2] Wikipedia, “Ali Syariati”. Dalam https://id.wikipedia.org/. Diakses pada 7 Desember 2017.
                [3] Hasan Jali, “Konsep Imamah Dalam Pemikiran Ali Syari’ati”. Dalam http://jaliblogspot.blogspot.co.id/  Diakses pada 7 Desember 2017.
                [4] Ali Syariati. Ummah dan Imamah. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute. 2012. Hlm 44.
                [5]Faiz Zawahir Muntaha, “Ummah dan Imamah; Sebuah Tinjauan Sosiologis; Dr. Ali Syariati”. Dalam   http://faizzawahir.blogspot.co.id/2013/01/. Di Akses pada 7 Desember 2017
                [6] Ali Syariati. Ummah dan Imamah. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute. 2012. Hlm 42.
                [7] Faiz Zawahir Muntaha, “Ummah dan Imamah; Sebuah Tinjauan Sosiologis; Dr. Ali Syariati”. Dalam   http://faizzawahir.blogspot.co.id/2013/01/. Di Akses pada 11 Desember 2017.

0 komentar:

Post a Comment