Kegiatan Belajar Mengajar Zaman Abbasiyah, blogspot.com |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peradaban Dinasti
Abbasiyah merupakan salah satu bukti kejayaan umat Islam di masa lampau. Dan
dinasti ini sendiri adalah masa gemilang Islam karena pada masa ini mulai
diadakannya penerjemahan buku-buku asing dengan dukungan pemerintahan setempat
yang ditunjang dengan banyak fasilitas-fasilitas yang sangat menunjang
kebangkitan bagi pengetahuan pada masa itu.
Dengan mengkaji
pengembangan peradaban dan kebudayaan dinasti ini, diharapkan bisa
membangkitkan semangat kita sebagaimana semangat para ilmuwan-ilmuwan muslim
terdahulu khususnya dalam perkembangan pembukuan hadis-hadis nabi, yang pada
masa ini dibukukannya kutub as-sittah oleh
para imam-imam hadis yang sampai saat ini masih menjadi sumber rujukan utama
dalam mencari hadis-hadis nabi. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini
mengenai perkembangan hadis dan tentang peradaban dan kebudayaan pada Dinasti
Abbasiyah. Sehingga kita tahu bagaimana perkembangan kebudayaan hebat dan
pengetahuan khususnya hadis yang kita perdalami saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Kekuasaan dinasti
Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad
Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali
ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).[1]
Dengan demikian, pada masa ini mencangkup pada tiga periode perkembangan hadis.
Dalam periode pertama,
merupakan masa pengumpulan dan pengumpulan hadis. Pada masa ini sebenarnya
melanjutkan proyek pengumpulan hadis pada masa dinasti Bani Umayyah yang
dipelopori oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz dengan menyuruh para ulama untuk
menyelesaikan proyek mulia ini.
Semua ulama besar
yang membukukan hadis adalah ahli-ahli hadis abad ke-2 Hijrah. Kita
menyayangkan kitab Az-Zuhry dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui di mana
sekarang ini. Kitab hadis paling tua yang ada di tangan umat islam dewasa ini
ialah Al-Muwaththa’ susunan Imam Malik atas perintah Khalifah
Al-Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H. (143H).[2]
Di antara
kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah Al-Muwaththa’ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis
(susunan Imam Asy-Syafi’y) serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa as-Siyar (susunan Ibnu
Ishaq).[3]
Dalam abad ini pula, mulai dipisahkan hadis-hadis tafsir dari umum hadis dan
mulai pula dipisahkan hadis-hadis sirah dan
maghazi-nya.[4]
Pada periode kedua
ini merupakan masa pentashhihan dan kaidah-kaidahnya. Dalam abad ke-3 Hijrah,
upaya pembukuan hadis mulai melonjak setelah datangnya kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik yang disambut gembira oleh umat Islam saat itu.
Pada mulanya,
ulama Islam mengumpulkan hadis yang terdapat di kota mereka masing-masing.
Sebagian kecil saja di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadis.
Keadaan ini dipecahkan oleh Al-Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis.
Ringkasnya,
Al-Bukhary membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadis yang tersebar di
berbagai daerah. Enam belas tahun lamanya beliau terus menerus menjelajah untuk
menyiapkan kitab Shahih-nya.[5]
Al-Bukhary menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ ash-Shahih yang membukukan hadis-hadis yang dianggap shahih saja. Kemudian usaha Al-Bukhary
ini diikuti pula oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.[6]
Sesudah Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim tersusun, muncul pula
beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga tersebut, seperti Abu
Daud (Sunan Abi Daud), At-Tirmidzy (Sunan at-Tirmidzy), dan An-Nasa’y (Sunan an-Nasa’y). Itulah yang kemudian
terkenal dalam kalangan masyarakat ulama dengan kitab-kitab pokok yang lima (Al-Ushul al-Khamsah).
Di samping itu
Ibnu Majah berupaya menyusun sebuah kitab Sunan
yakni Sunan Ibni Majah. Kitab ini
oleh sebagian ulama digolongkan dalam kitab-kitab induk, lalu menjadikan
kitab-kitab induk itu enam buah banyaknya terkenal dengan nama Al-Kutub as-Sittah.[7]
Pada mulanya ulama
menerima hadis dari para perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak
menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya. Musuh yang berkedok dan
berselimut islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam mengumpulkan hadis
pun menambah upaya untuk mengacaubalaukan hadis yaitu dengan menambahkan
lafalnya atau membuat hadis maudhu’.
Melihat
kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan mereka,
maka para ulama hadis bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari
berbagai segi, yakni keadilan, tempat, kediaman, masa dan lain-lain, serta
memisahkan hadis-hadis yang shahih dari
yang dha’if yakni menshahihkan hadis.
Ringkasnya,
lahirlah tunas Ilmu Diroyah (Ilmu Dirayah
al-Hadis) yang banyak macamnya di samping Ilmu Riwayah (Ilmu Riwayah al-Hadis).[8]
Kemudian pada
periode ketiga atau yang terakhir di masa Bani Abbasiyah ini merupakan masa Tahdzib,
Istidrak, menyusun Jawami’, Zawa’id dan Athraf.[9]
Perlu diketahui
bersama bahwa pada periode ini, ditemukan perbedaan yang menyolok dalam
meletakkan sistem penulisan karya ilmiah, khususnya dalam bidang hadis, sebab
pada masa ini, sudah terjadi pemisahan dua pola dan sistem pemikiran di
kalangan para ulama, bahkan menjadi awal terjadinya pemisahan antara kelompok
ulama mutaqoddimin dan muta’akhirin, yaitu:
a). Mutaqoddimin ialah ulama yang hidup sebelum tahun 300 H.
Sistem penulisan hadis-hadis koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya,
dengan menggunakan pola mendengar hadis langsung dari para guru mereka, lalu
melakukan penelitian sendiri terhadap matan hadis dan perawinya.
b). Muta’akhirin, yaitu ulama yang hidup setelah tahun 300
H. Sistem penulisan hadis-hadis mereka dalam kitab koleksinya, menggunakan pola
menghimpun hadis-hadis dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi hadis
yang sudah ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada penyusunan hadis-hadis
secara lebih sistematis atau hanya membuat resume (ringkasan) atau mensyarahi
kitab-kitab yang sudah ada.[10]
Ringkasnya, para
ulama muta’akhirin ini menyusun kitab-kitab hadis yang telah ada
berdasarkan metode-metode mereka dalam mengumpukan hadis-hadis mereka. Dan
dalam tiap metode tersebut memiliki nama kitab-kitab tersendiri, diantaranya kitab
jami’, mustakhraj, mustadrak, athraf. Dan
kitab-kitab inilah juga merupakan salah satu bukti perkembangan keilmuan
tentang hadis-hadis pada masanya.
B. Peradaban dan Kebudayaan Masa Bani Abbasiyah
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah
Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang
banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat
paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum
juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman
khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji
penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli.
Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tashim,
khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah
terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional.
Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.[11]
Pengaruh dari
kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan
terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi
juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua
metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interprestasi
tradisional dengan mengambil interprestasi dari nabi dan para sahabat. Kedua,
tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu
kepada pendapat dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat.
Imam-imam madzhab hukum
yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah
(700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang
hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi.
Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada
hadis.
Berbeda dengan Abu
Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat
Madinah. Pendapat dua tokoh madzhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i
(767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).
Dalam bidang
filsafat, para filosuf Islam berusaha menjawab persoalan-persoalan umat Islam
yang berkaitan dengan kepercayaan dan pemikiran baik secara teoritis maupun
praktis, kemanusiaan maupun ketuhanan yang dianggap oleh umat Islam perlu untuk
dijawab sebagai pegangan hidup keseharian maupun untuk keselamatan yang lebih
tinggi. Pada masa ini pemikiran filsafat mencangkup bidang keilmuan yang sangat
luas seperti logika, geometri, atronomi, dan musik yang dipergunakan untuk
menjelaskan pemikiran abstrak, garis dan gambar, gerakan dan suara. Para
filosuf semasa Abbasiyah seperti Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi, Abu Nasr Muhammad
al-Farabi, Ibn Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd menjelaskan pemikiran
pemikirannya dengan menggunakan contoh, metafor, analogi dan gambaran
imaginatif.[12]
Ekonomi imperium
Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Barang-barang kebutuhan pokok dan mewah
dari wilayah timur imperium diperdagangkan dengan barang-barang hasil dari
wilayah bagian barat. Di kerajaan ini, sudah terdapat berbagai macam industri
seperti kain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan Irak, kertas dari Samarqand,
serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan kurma dari Iraq.
Hasil-hasil industri dan pertania ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan negara lain. Karena industrialisasi yang muncul di
perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung lagi. Selain itu, perdagangan
barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan barat
(termasuk wilayah yang kini bernama Mali dan Niger) melambungkan perekonomian
Abbasiyah.[13]
Pusat pemerintahan
Abbasiyah saat itu berada di kota Baghdad, negeri seribu satu malam. Baghdad
yang ketika itu menjadi ibu kota negara adalah Baghdad yang menjadi ibu kota
kemegahan. Al-Khathib Al-Baghdadi telah menyifati dan memujinya dengan pujian
yang tidak ada bandingannya, dia menulis, “Baghdad tidak memiliki padanan dalam
kemegahan nilainya, kebesaran negaranya, dan ilmuwannya yang banyak. Masyarakat
dan orang elit memiliki sifat khusus, wilayahnya besar, pinggiran sungainya
luas, rumah, lorong, jalan, toko, pasar, gang, masjid, pemandian, dan
penginapannya sangat banyak. Airnya segar, peneduhan dan naungannya sejuk,
musim panas dan musin dinginnya normal, musim bunga dan musim gugurnya
menyehatkan, dan banyak perkakas yang dikumpulkan dari masyarakat”.[14]
Demikianlah
kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan islam
pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa
ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan
kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan, dan kegemilangan.
Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami
masa keemunduran.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Pada masa Bani Abbas atau yang lebih
dikenal dengan dinasti Abbasiyah ini
bisa dibilang merupakan masa puncak kejayaan semangat umat Islam dalam hal
perkembangan hadis. Diawali dari masterpiece Imam Malik yaitu kitab Al-Muwaththa’
yang menuai banyak pujian dan memberi banyak inspirasi bagi para ulama masa itu
untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam dalam pengumpulan hadis. Dan
dengan kehadiran dua imam hadis yang berjulukan Amir al-Mukminin fi al-Hadis
Imam Bukhori dan muridnya Imam Muslim berhasil membuat karya besar juga yaitu
kitab yang khusus berisi tentang hadis-hadis shohih saja dengan pengkajian yang
sangat teliti dan berhati-hati dengan pengembaraan ke berbagai sumber-sumber hadis
yang ada. Tak lama setelah itu pula muncul karya-karya hadis imam-imam lain
yang sering kita dengar dengan nama kutub as-sittah oleh Imam Abu Dawud,
Imam At-Turmudzi, Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah. Dan pada masa ini muncul
sebuah ilmu tersendiri yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Diroyah yang mempelajari
tata cara pengkajian terhadap hadis. Dan pada masa ini pula muncul metode
penyusunan kitab-kitab baru dengan cara menghimpun, memilah dan mengklasifikasi
hadis-hadis yang telah dibukukan sebelumnya oleh para ulama muta’akhirin yang
juga memudahkan kita dalam mencari dan mempelajari hadis.
Baca Juga: Sejarah Perkembangan Filologi
Begitu pula peradaban dan kebudayaan
Islam pada masa ini juga merupakan puncak kejayaan peradaban Islam yang pada
masanya menjadi panutan dunia terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, baik ilmu
agama maupun ilmu-ilmu umum lainnya yang didapat dengan penerjemahan buku-buku
asing dalam bahasa arab disertai penelitian kembali yang bahkan tidak sedikit
membenarkan teori-teori yang kurang benar yang telah berkembang sebelumnya.
Dengan dukungan para khalifah-khalifah yang memberi dukungan berupa
fasilitas-fasilitas yang salah satunya dikenal dengan nama Bait al-Hikmah
yang berhasil menumbuhkan semangat para ilmuwan untuk mempelajari dan
mengembangkan pengetahuan yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban pada
masanya. Namun sayangnya, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami
kemunduran dan akhirnya kalah dengan peradaban barat yang pada sebelumnya
terinspirasi dari semangat umat muslim yang bahkan sampai saat ini masih belum
mampu mengembalikan masa kejayaannya. Dan semoga tidak lama lagi kita mampu
bangkit dari kemunduran ini dengan berkaca bahwa pada masa lalu Islam pernah
menjadi pusat peradaban dunia dengan semangat keilmuan yang mereka miliki untuk
membangun peradaban yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
al-Isy, Yusuf. 2007. Dinasti Abbasiyah. terj. Arif Munandar.
Jakarta: Al-Kautsar.
Lathiful
Khuluq. 2002. “Perkembangan Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah”. Dalam Siti
Maryam (editor). Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta:
LESFI.
sh-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah
& Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Yatim, Badri. 2014. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Zein, Muhammad
Ma’shum. 2008. Ulumul Hadis & Musthalah Hadis. Jombang: Darul
Hikmah.
[1] Badri Yatim. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2014., hlm. 49.
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka
Rizki Putra. 2009., hlm. 54.
[3] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 55.
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 57.
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 60.
[6] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 61.
[7] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 61-62.
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 60-61.
[9] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar Ilmu.,
hlm. 79.
[10] Muhammad Ma’shum Zein. Ulumul Hadis & Musthalah Hadis. Jombang:
Darul Hikmah. 2008., hlm. 76.
[11] Badri Yatim. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2014., hlm. 52-52.
[12] Lathiful Khuluq. “Perkembangan Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah”.
Dalam Siti Maryam (editor). Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga
Modern. Yogyakarta: LESFI. 2002., hlm. 105-106.
[13] Lathiful Khuluq. “Perkembangan Peradaban Islam”., hlm. 106-107.
[14] Yusuf al-Isy. Dinasti Abbasiyah. terj. Arif Munandar. Jakarta:
Al-Kautsar. 2007., hlm. 271.
[15] Badri Yatim. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2014., hlm. 59.
0 komentar:
Post a Comment