Hdis Jaminan Masuk Surga Dari Rasulallah

blogspot.com

   A.   Latar Belakang
Hadis, bersama Alquran merupakan pedoman dan petunjuk bagi umat Islam. Keduanya merupakan wasiat Nabi Muhammad saw. sebelum wafat. Dan dari keduanya pula ditunjukan jalan kebenaran untuk menghadapi kehidupan di dunia dan mendapat buah kebahagiaannya di akhirat.
Di dalam hadis Nabi, ditemukan hadis yang muatan isinya jaminan surga pada sahabat-sahabatnya. Salah satunya yang penulis ambil adalah hadis jaminan surga para sahabat yang melakukan baiat pada Nabi di bawah suatu pohon. Dan jaminan surga ini dikecualikan hanya pada orang munafik.
Hadis ini bersifat eskatologis, jadi hanya para Nabi dan utusan-Nya yang mengetahui tentang hal ini. Karena urusan seseorang masuk surga dan neraka adalah urusan Allah dan manusia tidak akan mengetahuinya tanpa perantara wahyu. Hadis ini terdapat pada Jami’ al-Tirmidzi kitab al-Manaqib ‘An Rasulillah bab Fii Man Sabba Ashab al-Nabi nomor 3798 yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَزْهَرُ السَّمَّانُ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ خِدَاشٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ إِلَّا صَاحِبَ الْجَمَلِ الْأَحْمَرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Dengan terjemah:
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Azhar al-Saman dari Sulaiman al-Taimi dari Khidasy dari Abu al-Zubair dari Jabir dari Nabi saw. beliau bersabda: "Sungguh akan masuk surga orang-orang yang berbai'at di bawah pohon, kecuali pemilik unta merah (Ja'd bin Qais seorang munafik)." Abu Isa berkata; "Hadis ini adalah hadis hasan gharib."
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, hadis ini berisi jaminan surga pada sahabat Nabi yang telah melakukan sumpah setia kecuali orang munafik. Hadis ini juga bisa dibilang menjelaskan tentang orang munafik dengan disertai ancaman tidak masuk surga. Penulis hanya mengambil satu hadis di atas supaya bisa fokus dan mendalam dalam melakukan penelitian terhadapnya.

   B. Takhrij Hadis
Setelah dilakukan upaya takhrij hadis melalui aplikasi CD-ROM Mausuah Hadis Syarif, ditemukan satu hadis lain dalam Sahih Muslim kitab Sifat al-Munafiqin wa Ahkamuhum nomor 4986 yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا قُرَّةُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَصْعَدُ الثَّنِيَّةَ ثَنِيَّةَ الْمُرَارِ فَإِنَّهُ يُحَطُّ عَنْهُ مَا حُطَّ عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالَ فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ صَعِدَهَا خَيْلُنَا خَيْلُ بَنِي الْخَزْرَجِ ثُمَّ تَتَامَّ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّكُمْ مَغْفُورٌ لَهُ إِلَّا صَاحِبَ الْجَمَلِ الْأَحْمَرِ فَأَتَيْنَاهُ فَقُلْنَا لَهُ تَعَالَ يَسْتَغْفِرْ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَأَنْ أَجِدَ ضَالَّتِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِي صَاحِبُكُمْ قَالَ وَكَانَ رَجُلٌ يَنْشُدُ ضَالَّةً لَهُ و حَدَّثَنَاه يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا قُرَّةُ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَصْعَدُ ثَنِيَّةَ الْمُرَارِ أَوْ الْمَرَارِ بِمِثْلِ حَدِيثِ مُعَاذٍ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ وَإِذَا هُوَ أَعْرَابِيٌّ جَاءَ يَنْشُدُ ضَالَّةً لَهُ.
Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Qurrah bin Khalid dari Abu Az Zubair dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; 'Barangsiapa mendaki bukit Al Murar? Maka dosanya akan diampuni sebagaimana diampuninya dosa Bani Israil.' Jabir bin Abdullah berkata; 'Yang pertama kali mendaki bukit itu adalah pasukan berkuda kami dari Bani Khazraj. Setelah itu, barulah pasukan yang lain menyusul bersama-sama.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; 'Dosa kalian akan diampuni, kecuali dosa pemilik unta merah.' Setelah itu kami pun pergi mendatangi pemilik unta merah itu sambil berkata; 'Ayo, mintalah kepada Rasulullah agar beliau memohonkan ampun untukmu! ' Ternyata sang pemilik unta merah itu menjawab; 'Sungguh aku lebih senang mendapatkan kembali untaku yang hilang daripada temanmu itu (Nabi Muhammad) memohonkan ampun untukku.' Jabir berkata; 'Ternyata orang tersebut sedang mencari untanya yang hilang.' Dan telah menceritakannya kepada kami Yahya bin Habib Al Haritsi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Al Harits telah menceritakan kepada kami Qurrah telah menceritakan kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir bin 'Abdullah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; 'Barangsiapa mendaki bukit Al Murar atau Al Marar? Sebagaimana Hadits Mu'adz hanya saja dia berkata dengan lafazh; dan ternyata orang itu seorang badui yang sedang mencari untanya yang hilang.'

   C. I’tibar Sanad
محمد صلى الله عليه وسلم
عن
جابر
عن
محمد بن مسلم

عن


عن
خداش بن عياش
قرة بن خالد
عن

حدثنا


حدثنا
سليمان
معاذ بن معاذ
خالد بن الحارث
عن
حدثنا
حدثنا
أزهر بن سعد
عبيد الله
يحيى بن حبيب
حدثنا


حدثنا


محمود بن يلان
حدثنا
الترمذي
مسلم

Hadis yang akan diteliti ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dalam kitab Jami’nya. Pemilihan ini dikarenakan di dalam Jami’ al-Tirmizi menurut para ulama banyak terdapat hadis yang da’if jika dibandingkan dengan kitab Sahihain. Maka jika hadis dalam riwayat al-Tirmizi ini saja sudah sahih, maka hadis dalam riwayat Muslim kemungkinan besar lebih sahih lagi kualitasnya. Dan jika dalam riwayat al-Tirmizi ini benilai da’if, maka hadis ini dapat meningkat kualitasnya dengan muttabi’ dari riwayat Muslim.
Dari skema sanad di atas, dapat diperhatikan urutan periwayatannya sebagai berikut:
No.
Nama Periwayat
Urutan Sebagai Periwayat
Urutan Sebagai Sanad
1.
Jabir ibn Abdillah
Periwayat 1
Sanad 6
2.
Muhammad ibn Muslim
Periwayat 2
Sanad 5
3.
Khiddasy ibn Iyasy
Periwayat 3
Sanad 4
4.
Sulaiman al-Taimi
Periwayat 4
Sanad 3
5.
Azhar ibn Saad
Periwayat 5
Sanad 2
6.
Mahmud ibn Gailan
Periwayat 6
Sanad 1
7.
Al-Tirmizi
Periwayat 7

Mukharrij

Sanad hadis yang diriwayatkan al-Tirmizi ini menggunakan sighat al-tahammul wa al-ada’ dengan al-Qira’ah (haddasana) hanya pada sanad pertama dan kedua. Setelah itu semuanya menggunakan ‘an.
Dari skema sanad di atas, dapat diketahui setidaknya periwatan di tingkatan sahabat hanya Jabir seorang diri, jadi hadis ini tidak mempunyai syahid. Dan untuk periwayat kedua, yakni Muhammad ibn Muslim hanya seorang diri tanpa muttabi’. Dan untuk periwayat ketiga terdapat seorang muttabi yakni Qurrah ibn Khalid. Periwayat keempat memiliki dua orang muttabi’ yakni Mu;ad ibn Mu’ad dan Khalid ibn al-Haris. Sebagaimana periwayat keempat, periwatat kelima juga mempunyai dua orang muttabi’ yakni Ubaidillah dan Yahya ibn Habib. Dan periwayat keenam tidak memiliki muttabi’ karena hadis dalam riwayat Muslim hanya memiliki lima perawi sebelum mukharrij hadis.

  D. Kritik Sanad
Penelitian sanad ini diawali penulis dengan meneliti semua perawinya.
   1.  Al-Tirmizi
a.       Nama lengkap: Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah ibn Dahhak al-Salami al-Tirmizi.[1]
b.      Lahir/wafat/tempat: -/279 H[2]/Khurasan[3]
c.       Guru: Muhammad ibn al-Munzir, Haisam ibn Kulaib, Abu al-Abbas al-Mahbubi[4]
d.      Penilaian: al-Hafiz al-‘Allamah, Ahad al-Aimmah[5]
   2.  Mahmud ibn Gailan
a.       Nama lengkap: Abu Ahmad Mahmud ibn Gailan al-‘Adawi[6]
b.      Lahir/wafat/tempat: -/239 H[7]/-
c.       Guru: Azhar ibn Saad al-Saman, Ibrahim ibn Habib ibn Syahid, Ahmad ibn Salih al-Misri, Azhar ibn al-Qasim, Bisyr ibn al-Sari, Hujain ibn al-Musanna, Husein ibn Ali al-Ju’fi, dll.[8]
d.      Murid: jamaah ulama, selain Abu Daud, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Mutayyan, al-Husn ibn Sufyan, al-Haisam ibn Khalaf, Abu al-Qasim al-Baghwi, Ibrahim ibn Abi Talib, Abu al-Abbas al-Sarraj, Ja’far ibn Ahmad, Muhammad ibn Syazan, dan Ibn Khuzaimah.
e.       Penilaian: Siqah[9], siqah[10]
   3. Azhar ibn Saad
a.       Nama lengkap: Azhar ibn Saad Abu Bakr al-Saman al-Bahili[11]
b.      Lahir/wafat/tempat: 111 H[12]/203 H[13]/Basrah[14]
c.       Guru: Sulaiman al-Taimi, Abdullah ibn ‘Aun, Hisyam ibn Abi Abdillah al-Dastu’i, Yunus ibn Ubaid[15]
d.      Murid: Mahmud ibn Ghailan, Ibrahim ibn Muhammad, Ahmad ibn Ibrahim, Ahmad ibn Usman, Mas’ud ibn al-Farat, dll.[16]
e.       Penilaian: Salih al-Hadis, siqqah[17], daif[18], siqah[19]
   4.  Sulaiman al-Taimi
a.       Nama lengkap: Sulaiman ibn Tarkhan Abu al-Mu’tamar al-Taimi
b.      Lahir/wafat/tempat: -/143 H[20]/Basrah[21]
c.       Guru: Khiddas al-‘Abdi, Aslam al-‘Ijli, Anas ibn Malik, Barkah Abi al-Walid, Bakr ibn Abdillah al-Muzani, Sabit al-Bunani, al-Hasan al-Basri, Khalid al-Asbaj, dll.[22]
d.      Murid: Ibrahim ibn Saad, Asbat ibn Muhammad, Ismail ibn ‘Ulayyah, Jarir ibn Abd al-Hamid, Hafs ibn Giyas, Hammad ibn Salamah, dll.[23]
e.       Penilaian: mudallis[24], siqah[25].
   5.  Khiddasy ibn ‘Iyasy
a.       Nama lengkap: Khiddasy ibn ‘Iyasy al-‘Abdi[26]
b.      Lahir/wafat/tempat: -/-/Basrah[27]
c.       Guru: Abu al-Zubair al-Makki[28]
d.      Murid: Abu Hafs Juhair ibn Yazid al-Abdi, Sulaiman al-Taimi, Muhammad ibn Sabit al-Abdi[29]
e.       Penilaian: majhul[30], siqah[31]
   6.  Muhammad ibn Muslim
a.       Nama lengkap: Abu Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus[32]
b.      Lahir/wafat/tempat: -/128 H[33]/Makkah[34]
c.       Guru: Jabir ibn Abdillah, Said ibn Zubair, Sufyan ibn Abd al-Rahman al-Saqafi, Tawus ibn Kaisan, Abdullah ibn Babah, Abdullah ibn Zubair, Abdullah ibn Salimah, Abdullah ibn Damrah, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Amr, dll.[35]
d.      Murid: al-Zuhri, Lais ibn Abi Salim, Ismail ibn Umayyah, al-A’masy, Ammar al-Dahni, Hisyam ibn ‘Urwah, Musa ibn ‘Uqbah, dll[36]
e.       Penilaian: da’if[37], mudallis[38], siqah[39], huffaz[40]
   7.   Jabir ibn Abdillah
a.       Nama lengkap: Jabir ibn Abdillah ibn Riab ibn al-Nu’man ibn Sinan ibn Ubaid ibn Adi ibn Ganam, ibn Ka’ab ibn Salamah al-Ansari al-Salami[41]
b.      Lahir/wafat/tempat: -/74 H, 78 H, 77 H[42]/Madinah[43]
c.       Guru: Rasulullah saw., Khalid ibn al-Walid, Talhah ibn Ubaidillah, Abdullah ibn Unais, Ali ibn Abi Talib, Ammar ibn Yasir, Umar ibn Khattab, Muaz ibn Jabal, Abu Bakr al-Siddiq, Abu Humaid al-Sa’idi, Abu Said al-Khudri, Abu Ubaidal al-Jarrah,dll.[44]
d.      Murid: Ibrahim ibn Abdillah ibn Qarid, Ibrahim ibn Abd al-Rahman ibn Abdillah, Ismail ibn Basyir, al-Hasan al-Basri, dll.[45]
e.       Penilaian: siqah[46]
Setelah dipaparkan keterangan masing-masing perawi, terdapat perawi yang memiliki ta’dil dan tajrih sekaligus. Maka penulis memilih kaidah tajrih didahulukan daripada ta’dil, karena menurut penulis yang sepakat dengan pendapat ulama sebelumnya, yakni para ulama hadis itu merupakan orang yang berhati-hati dari mencela seseorang tanpa alasan. Dan bisa diambil kesimpulan juga bahwa ulama yang men-tajrih lebih mengetahui keadaan perawi daripada yang hanya men-ta’dil saja.
Dan dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa al-Tirmizi siqah, Mahmud ibn Gailan siqah, Azhar ibn Saad da’if, Sulaiman mudallis, Khiddasy ibn Iyasy majhul, Muhammad ibn Muslim mudallis dan Jabir siqah. Beberapa dari perawi ada yang didapatkan data antara guru dan murid, dan ada yang tidak. Tetapi jika dilihat dari kesezamanan perawi, bisa dimungkinkan semua perawi memiliki hubungan antar guru dan murid. Jadi belum bisa dipastikan apakah antar perawi memiliki hubungan antar guru dan murid ataukah sumber data dari kitab rijal yang kurang lengkap.
Dari penggunaan sigat al-tahammul wa al-ada’ terdapat sigat ‘An yang digunakan menghubungkan Azhar ibn Saad, Sulaiman, Khiddasy ibn Iyasy dan Muhammad ibn Muslim yang keempat perawi tersebut dinilai da’if dan terdapat dua dua diantaranya dituduh mudallis. Dan untuk penelitian syaz dan illat penulis masih belum bisa melakukannya karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa sanad dari hadis ini bernilai da’if.

   E. Kritik Matan
Sebagaimana sanad, matan juga tidak bebas kritik meskipun sanadnya sahih, apalagi jika sanadnya da’if sebagaimana hadis di atas. Karena sanad dan matan merupakan dua elemen yang harus ada dalam hadis. Dalam melakukan kririk matan ini, penulis menggunakan metode kritik matan Salah al-Din al-Adlabi, yakni tidak bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan dengan hadis dan sirah yang valid, tidak bertentangan dengan akal dan kenyataan empiris, dan menyerupai sabda Rasulullah saw.[47]
1.      Tidak bertentangan dengan Alquran
Dalam hadis ini dapat dipahami secara tektual bahwa orang-orang yang melakukan baiat di bawah pohon akan masuk surga kecuali orang yang munafik. Hadis ini tidak bertentangan dengan Alquran surah al-Fath ayat 18 yang berbunyi:

Teks Arab Tidak Bisa di Tampilkan
Ayat di atas tidak bertentangan dengan hadis yang diteliti melainkan malah menguatkan satu sama lainnya. Dan tentang orang munafik yang dikecualikan ini tidak bertentangan dan didukung pada Alquran surah al-Munafiqun ayat 6 yang berbunyi:
Teks Arab Tidak Bisa di Tampilkan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hadis di atas tidak bertentangan dengan ayat Alquran.
2.      Tidak bertentangan dengan hadis dan sirah yang valid.
Selanjutnya setelah dicek, hadis ini juga tidak bertentangan dengan hadis lain dalam Sahih al-Bukhari bab Gazwah al-Hudaibiah nomor 4072 yang berisi:
حدَّثنا محمودٌ حدَّثنا عُبيدُ اللّهِ عن إِسرائيلَ عن طارقِ بن عبدِ الرحمن قال: انطلَقْتُ حاجّاً فمرَرتُ بقومٍ يصلُّون، قلت: ماهذا المسجدُ؟ قالوا: هذه الشجرة حيثُ بايعَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلّم بيعةَ الرِّضوان. فأتيتُ سعيدَ بن المسيَّب فأخبرته، فقال سعيدٌ: حدَّثني أبي أنه كان فيمن بايع رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم تحتَ الشجرة، قال: فلما خَرجنا من العام المقبل اُنَسِينَاها فلم نَقدِر عليها. فقال سعيد: إنَّ أصحابَ محمدٍ صلى الله عليه وسلّم لم يَعلموها، وعلمتموها أنتم؟ فأنتم أعلم!
Secara historis, hadis ini tidak bertentangan dan mengada-ada, banyak kitab-kitab sirah menjelaskannya tentang Bai’at al-Ridwan yang dilaksanakan pada saat perjanjian Hudaibiyah sebelum Rasulullah melaksanakan Fathu Makkah. Termasuk hadis riwayat al-Bukhari di atas juga menguatkan dari sisi historisnya.
3.      Tidak bertentangan dengan akal dan kenyataan empiris.
Secara akal sehat hadis ini dapat diterima karena jaminan masuk surga ini pantas untuk mereka yang melakukan sumpah setia pada Rasulullah. Dan karena urusan masuk surga adalah perkara yang eskatologis, maka hanya bisa diketahui melalui wahyu dan sabda Nabi, dan hadis di atas telah menjelaskannya. Serta pengecualian terhadap orang munafik yang menunggangi onta merah ini masuk akal juga, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat yang penulis cantumkan sebelumnya.
4.      Menyerupai sabda Rasulullah saw.
Dilihat dari keserupaan dengan sabda Rasulullah, hadis ini bisa dibilang sesuai dengan kekhasan sabda Rasulullah, yakni memberikan jaminan bagi yang pantas mendapatkannya dan tidak berlebih-lebihan, serta tidak menyebut langsung nama orang munafik tersebut, melainkan hanya memberikan kode atau ciri-cirinya saja. Dan mengenai nama orang munafik tersebut merupakan keterangan dari ulama. Karena bukanlah etika yang baik ketika kita menyinggung seseorang dengan namanya langsung meskipun kita tahu ia benar-benar salah, karena akan menimbulkan ghibah. Dan Rasulullah tidak mungkin melakukan ghibah karena akhlak Rasulullah adalah semulia-mulianya akhlak umat manusia.
Maka setelah dipaparan argumentasi mengenai matan hadis, dapat disimpulkan bahwa hadis di atas sahih matannya, karena tidak bertentangan dengan Alquran, hadis yang lain, fakta sejarah, akal sehat dan hadis tersebut tidak bertentangan dengan kekhasan sabda kenabian.

   F.  Kesimpulan
Setelah dipaparkan hasil penelitian atas sanad dan matan, yakni sanadnya da’if dan matannya sahih, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa hadis ini bernilai da’if. Karena tidak ada korespondensi langsung antara kesahihan sanad dan kesahihan matan, sebab terkadang yang pertama sahih tetapi yang kedua tidak.[48] Tetapi hadis ini bisa jadi naik peringkatnya menjadi sahih li gairihi dengan bantuan riwayat penguat dari Muslim jika setelah diteliti riwayat tersebut bernilai sahih.
Meskipun begitu, para ulama hadis berpendapat tentang bisa keliru dan lupanya para perawi siqah, dan bolehnya menilai jujur pada perawi pendusta. Pembolehan ini bukanlah imajinasi dan asumsi yang salah. Akan tetapi hal itu boleh saja terjadi secara akal dan kebiasaan, dan memang pernah terjadi secara hakikat dan praktik. Siapa saja yang jeli, dia bisa menduga adanya kesalahan dalam kabar yang dibawa oleh perawi siqah, dan mungkin menilai jujur kabar yang dibawa perawi yang diragukan olehnya, akhirnya dia tidak bisa mengambil kata final sampai terbukti bahwa fakta dan hakikat bertolak belakang dengan keyakinannya selama ini.
Akan tetapi, jika kabar perawi siqah dibarengi sejumlah indikator kesahihan dan kepercayaan dari semua sisi, semuanya itu menguatkannya, melambungkan derajatnya sampai pada dugaan kuat, derajat menjadi sumber pengetahuan, dan tidak menyisakan keraguan di dalamnya. Demikian juga dengan kabar pendusta, kalau dibarengi sejumlah indikator kedustaan dan keraguan, maka memang dia sudah jelas kedustaannya, dan setelah itu tidak ada lagi kemungkinan untuk membenarkannya.[49]


Oleh karena itu, kesahihan sanad saja tidak cukup memadai untuk menjamin kesahihan matan, begitu pula sebaliknya dalam kasus hadis ini, kesahihan matan yang tidak dibarengi kesahihan sanadnya.



[1] Abu al-Fadl, Taqrib al-Tahzib, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995, juz 2, hlm. 121.
[2] Jalal al-Din al-Suyuti, Tabaqat al-Huffaz, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1994, hlm 282.
[3] Jalal al-Din al-Suyuti, Tabaqat al-Huffaz, hlm 282.
[4] Jalal al-Din al-Suyuti, Tabaqat al-Huffaz, hlm 282.
[5] Jalal al-Din al-Suyuti, Tabaqat al-Huffaz, hlm 282.
[6] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, TT, juz 1, hlm. 294.
[7] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 294.
[8] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz 17, hlm. 478.
[9] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 294.
[10] Abu al-Fadl Ahmad ibn Ali al-Asqalani, Tazhib al-Tazhib, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996, juz 5, hlm. 482.
[11] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 65.
[12] Abu Hatim al-Busti, Masyahir Ulama al-Amsar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995, hlm. 192.
[13] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 65.
[14] Abu Hatim al-Busti, Masyahir Ulama al-Amsar, hlm. 192.
[15] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 1, hlm. 505.
[16] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 1, hlm. 505.
[17] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 65.
[18] Abu Ja’far Muhammad ibn Amr ibn Musa ibn Hammad al-Uqaili, Du’afa’ al-Uqaili, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1998, juz 1, hlm. 132.
[19] Jalal al-Din al-Suyuti, Tabaqat al-Huffaz, hlm 148.
[20] Ibn Hibban, Siqat Ibn Hibban, Beirut: Dar al-Fikr, 1975, juz 4, hlm. 300.
[21] Al-Zahabi, MIzan al-I’tidal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995, juz 3, hlm. 300.
[22] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 8, hlm. 68.
[23] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 8, hlm. 68.
[24] Abu al-Fadl al-Asqalani, Lisan al-Mizan, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1996, juz 1, hlm. 244.
[25] Al-Ajuli, Siqat al-Ajuli, hlm. 203.
[26] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 5, hlm. 449.
[27] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 5, hlm. 449.
[28] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 5, hlm. 449.
[29] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 5, hlm. 449.
[30] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 5, hlm. 449.
[31] Ibn Hibban, Siqat Ibn Hibban, juz 6, hlm. 276.
[32] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 223.
[33] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 223.
[34] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 223.
[35] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 17, hlm. 211.
[36] Al-Zahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, juz 6, hlm. 177.
[37] Al-Uqaili, Du’afa’ al-Uqaili, juz 4, hlm. 130.
[38] Abu al-Fadl al-Asqalani, Tabaqat al-Mudallisin, Kairo: Dar al-Sahwah al-Qahirah, 1986, hlm 64.
[39] Jalal al-Din al-Suyuti, Tabaqat al-Huffaz, hlm 157.
[40] Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Ta’dil wa al-Tajrih, juz 1, hlm. 223.
[41] Abu Amr al-Qurtubi, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995, juz 1, hlm. 292.
[42] Abu Amr al-Qurtubi, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab, juz 1, hlm. 292.
[43] Abu Amr al-Qurtubi, al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab, juz 1, hlm. 292.
[44] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 3, hlm. 291.
[45] Al-Hafiz al-Mizzi, Tazhib al-Kamal, juz 3, hlm. 291.
[46] Ibn Hibban, Siqat Ibn Hibban, juz 3, hlm. 52.
[47] Salah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Menalar Sabda Nabi: Menerapkan Metode Kritik Matan dalam Studi Hadis, terj. Ita Qonita, Yogyakarta: Insan Madani, 2010, hlm. v-vi.
[48] Salah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Menalar Sabda Nabi, hlm. 418.
[49] Salah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Menalar Sabda Nabi, hlm. 419.

0 komentar:

Post a Comment