Iman Kepada Qadha dan Qadar

blogspot.com

IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
   A.    Pendahuluan
Beriman kepada takdir, baik yang buruk ataupun yang baik yang merupakan istilah lain dari qadha dan qadar ini adalah suatu akidah yang dibina umat Islam berdasarkan keimanan kepada Allah dan ditegakkan atas pengetahuan yang benar terhadap dzat-Nya yang maha tinggi, asma-Nya yang utama dan sifat-Nya yang mulia. Dan tidak diragukan lagi bahwa Islam telah memastikan bagi Allah itu sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan, begitupun sebutan-sebutan untuk penghormatan dan menyampaikan pujian-pujian.[1]
Maka di antara hal-hal yang seharusnya diimani dan diyakini sepenuh hati ialah bahwa milik Allah sendiri-Nya sifat-sifat ilmu, iradat yang tidak terbatas, kodrat yang sempurna, dan bahwa Dia setelah melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan Dia mengetahui apa yang dilakukan-Nya itu. Dan berdasaran sifat-sifat inilah berdirinya akidah terhadap qadha dan qadar.[2]
Persoalan qadha dan qadar tidak habis-habisnya dibicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam persoalan tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Alquran yang pengertian lahirnya saling bertentangan. Di satu pihak beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Dan di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Allah menjadikan segala sesuatu.[3] Karena persoalan qadha dan qadar ini adalah persoalan yang gaib, maka pengetahuan tentangnya hanya bisa didapat melalui teks Alquran dan hadis. dan dikarenakan juga akal tidak dapat memastikan dan menguji kebenarannya tanpa petunjuk dari dua teks di atas.
Dari pendahulan singkat di atas, muncul sejumlah persoalan ilmiah, yakni:
1.      Apa makna qadha dan qadar serta perbedaan pemahaman tentangnya menurut masing-masing golongan dalam Islam?
2.      Bagaimana kontekstualisasi dan penerapan iman pada qadha dan qadar jika diterapkan pada masa sekarang ini?

   B. Hadis Iman Pada Qadha dan Qadar
a.       Teks hadis
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ أَنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَهُ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَهُ ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُؤْذَنُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ فَيَكْتُبُ رِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ ثُمَّ يَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى لَا يَكُونُ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا[4]
b.      Terjemah hadis
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Al A'masy aku mendengar Zaid bin Wahb aku mendengar 'Abdullah bin Mas'ud radliyallahu'anhu, telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam yang beliau adalah seorang yang jujur menyampaikan, dan berita yang disampaikan kepadanya adalah benar, bahwa penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama empat puluh hari, atau empat puluh malam, kemudian menjadi segumpal darah dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging dalam empat puluh hari berikutnya, kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat kalimat (empat hal); tentang rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia. Kemudian Allah meniupkan ruh padanya, sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan-amalan penghuni surga hingga tak ada jarak antara dia dan surga selain sehasta, namun kemudian takdir telah mendahului dia, lantas ia pun melakukan amalan penghuni neraka dan akhirnya masuk neraka. Dan sungguh ada salah seorang diantara kalian yang melakukan amalan penghuni neraka, hingga tak ada jarak antara dia dan neraka selain sehasta, namun kemudian takdir mendahuluinya, lantas ia pun mengamalkan amalan penghuni surga sehingga ia memasukinya."
c.       Takhrij hadis
Setelah dilakukan takhrij dengan aplikasi CD-ROM Mausuah Hadis Syarif ditemukan sejumlah beberapa hadis, yakni:
1.      Sahih Muslim, kitab al-Qadr, nomor 4781.
2.      Jami’ al-Tirmizi, kitab al-Qadr ‘An Rasulillah, nomor 2063.
3.      Sunan Abi Daud, kitab al-Sunnah, nomor 4085.
4.      Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, nomor 73.
5.      Musnad Ahmad, kitab Musnad al-Mukassirin min al-Sahabah, nomor 3372, 3441, 3738, 3882.

d.      Skema hadis
e.      

f.        Penjelasan hadis
Hadis ini adalah hadis agung yang mencangkup semua keadaan manusia dari mulai awal penciptaan, kedatangannya ke dunia hingga akhirnya masuk surga atau masuk neraka sesuai amalnya ketika di dunia dan sesuai dengan ilmu, takdir dan qadha Allah.[5] Hadis di atas menerangkan tidak hanya tentang takdir saja, melainkan juga tentang fase bayi dalam janin. Tapi karena pembahasan ini bukan pada permasalahan hadis sains, maka yang dikaji adalah fokus pada tema ini yaitu iman terhadap qadha dan qadar.
Terdapat penjelasan bahwa rahmat Allah mendahului kemurkaannya. Kalimat ini menunjukkan adanya kepastian takdir sebagaimana telah menjadi pendirian ahli sunnah bahwa segala kejadian berlangsung dengan ketetapan Allah dan takdir-Nya, dalam hal kebaikan atau keburukan, juga dalam hal yang bermanfaat atau berbahaya.[6]
Dua kalimat terakhir hadis ini secara tersurat menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan amalan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga kurang satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena takdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk.[7]
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa amal dan perbuatan manusia telah ditakdirkan oleh Allah. Tetapi jika kita berdalih karena takdir yang telah ditentukan, Allah telah memerintahkan kita untuk beriman kepada Allah dan menaati0Nya, serta melarang kita untuk kufur dan bermaksiat kepada-Nya. Itulah yang dibebankan kepada kita. Sedangkan apa yang Allah tetapkan atas kita dari kebaikan dan keburukan adaah sesuatu yang tidak diketahui dan kita tidak diminta pertanggungjawaban dari hal itu. Orang-orang yang sesat, kafir dan fasik tidak bisa berdalih dengan takdir, ketetapan dan kehendak Allah sebelum ketetapan itu terjadi.


Adapun terhadap peristiwa yang sudah terjadi, maka diperbolehkan bagi kita untuk berdalih dengan takdir Allah. Karena dengan demikian orang yang beriman akan lapang dan tenang hatinya karena dia tunduk kepada qadha Allah, dan qadha Allah itu baik selamanya bagi orang mukmin, baik yang berupa nikmat maupun berupa cobaan. [8] Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan: “Rahasia takdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui.”[9]


[1] Muhammad al-Ghazali, Aqidah Muslim, terj. Mahyuddin Syaf, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1986, hlm. 125.
[2] Muhammad al-Ghazali, Aqidah Muslim, hlm. 125.
[3] Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 154.
[4] Sahih al-Bukhari, kitab al-Tauhid, bab Qauluhu Ta’ala Laqad Sabaqat Kalimatuna Li ‘Ibadina al-Mursalin, nomor 6900.
[5] Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, terj. Iman Sulaiman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014, hlm. 23.
[6] Ibn Daqiq al-Ied, Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, terj. Muhammad Thalib, Yogyakarta: Media Hidayah, 2001, hlm. 38.
[7] Ibn Daqiq al-Ied, Syarah Hadits Arba’in, hlm. 37.
[8] Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi: Syarah Hadits Arba’in, hlm. 27.
[9] Ibn Daqiq al-Ied, Syarah Hadits Arba’in, hlm. 39.

0 komentar:

Post a Comment