Perjalanan, nurani.com |
Perjalanan Pertama ke Syam
Setelah kewafatan kakeknya, ia diasuh oleh pamannya yang bernama
Abu Thalib, ayah dari Ali bin Abi Thalib. Pada usia 12 tahun, ia diajak
pamannya untuk ikut ke Syam bersama pamannya Abu Thalib, dan anak itu ikut
serta dalam rombongan kafilah hingga sampai di Bushra, Syam Selatan.
Dalam riwayat al-Ali dikisahkan dalam perjalannya menuju Syam, ia
bertemu dengan rahib Bahira dan rahib itu berkata: “Orang ini akan menjadi
pemimpin semesta alam dan diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Lalu salah
seorang pembesar Quraish bertanya dari mana kamu mengetahuinya. Rahib itu
mengetahuinya dari bebatuan dan pepohonan yang sujud kepada Muhammad dan ada
stempel kenabian yang berada di bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah
apel yang ia ketahui sesuai dengan petunjuk dalam cerita-cerita Nasrani. Rahib
itu lalu menyarankan supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab
dikhawatirkan masyarakat Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat
jahat kepadanya.
Perang Fijjar dan Hilf al-Fudul
Husein Haikal menjelaskan, sejarah ini tidak memberikan kepastian
berapa umur Muhammad pada waktu terjadinya perang Fijjar. Ada yang mengatakan
15 tahun, dan ada juga yang mengatakan 20 tahun. Mungkin penyebab perbedaan ini
karena perang tersebut berlangsung selama empat tahun. Pada tahun permulaan ia
berumur 15 tahun dan pada tahun terakhirnya perang Fijjar ia sudah memasuki
usia 20 tahun.
Setelah perang Fijjar, atas anjuran Zubair bin Abdul Muthalib di
rumah Abdullah bin Ju’dan diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan.
Muhammad pun menghadiri acara tersebut yang mereka sebut dengan Hilf
al-Fudul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti pakta yang kuhadiri di
rumah Ibn Ju’dan itu dengan barang-barang yang terbaik jenis apapun. Kalau
sekarang aku diajak seperti itu pasti kuterima”. Dalam riwayat, dalam pertemuan
itu Muhammad menjadi saksi.
Menggembala Kambing
Sepulang dari Syam berdagang bersama pamannya pada usia 12 tahun
dan bertemu rahib, Muhammad akhirnya menetap di Mekkah saja dan mengembala
kambing. Ketika mengembala kambing, orang-orang Mekkah pada saat itu berkata
padanya bahwa nabi-nabi yang diutus Allah itu adalah pengembala kambing. Nabi
berkata: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing,
aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad”.
Mengembala kambing membuat hatinya terang, tentram dan banyak
merenung tentang kebenaran. Pemikiran dan perenungan demikian membuat ia jauh
dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu
sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas dihadapannya. Oleh
karena itu, dalam perbuatan dan tingkah lakunya, beliau terhindar dari segala
penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekkah.
Pernah ketika Muhammad mengembala kambing dengan seorang kawannya,
terbesit di keinginannya untuk ikut bermain seperti pemuda-pemuda yang lain.
Kemudian Muhammad memutuskan pada malam itu untuk pergi ke Mekkah dan
menitipkan kambing-kambingnya pada kawannya. Sesampainya di Mekkah,
perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan ia hadir di pesta itu,
dan tetapi tiba-tiba saja Muhammad tertidur. Pada malam berikutnya lagi ia
memutuskan untuk ke Mekkah dengan tujuan yang sama. Terdengar olehnya irama
musik yang indah yang seolah-olah turun dari langit. Ia duduk mendengarkan dan
kemudian tertidur.
Karena itu, Muhammad terhindar dari cacat. Yang baginya sangat
terasa nikmat adalah ketika ia sedang berpikir atau termenung. Kesenangan
berpikir, merenung dan menggembala kambing bukanlah cara hidup yang dapat dapat
membawanya kepada kekayaan yang melimpah-limpah dan memang ia tidak pernah
memperdulikan hal itu. Dan dalam hidupnya, Muhammad memang menjauhkan diri dari
segala pengaruh materi.
Andaikata pada waktu itu Muhammad
dibiarkan begitu saja, tentu ia takkan tertari pada harta. Dan dengan keadannya
pun tetap bahagia. Sebagaimana gembala-gembala pemikir yang telah menggabungkan
alam ke dalam diri mereka dan juga telah berada pada pelukan kalbu alam.
Menjalankan Perdagangan Khadijah
Diceritakan oleh Husein Haikal, tatkala Abu Thalib mengetahui bahwa
Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam,
ia memanggil kemenakannya yang ketika itu sudah berumur 25 tahun. Abu Thalib
berkata pada Muhammad, “Anakku, aku bukan orang berpunya, keadaan makin menekan
kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak
unta. Tetapi aku tidak setuju kalau kau akan mendapat upah semacam itu juga,
setujukah kamu kalau hal ini kubicarakan
ke dia?”. “Terserah paman”, jawab Muhammad.
Abu Thalib pun pergi mengunjungi Khadijah dan berkata padanya,
“Khadijah setujukah anda, mengupah Muhammad? Saya mendengar anda mengupah orang
dengan dua ekor anak unta? Tetapi buat Muhammad, permintaan saya jangan kurang
dari empat ekor”. “Kalau permintaan anda untuk orang yang jauh dan tidak saya
sukai, saya kabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan aku sukai”. Jawab
Khadijah.
Setelah mendapat nasihat pamannya, Muhammad pergi dengan Maisarah,
laki-laki pesuruh Khadijah. Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad
mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah. Dengan cara yang lebih
banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya.
Kemudian Muhammad bercerita dengan bahasa yang fasih tentang
perjalannya dan laba yang diperoleh. Khadijah gembira dan tertarik sekali
mendengarnya. Dalma waktu singkat kegemburaan Khadijah telah berubah menjadi
cinta.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Al-Ghazali menceritakan, karena kekagumannya tersebut Khadijah
tergerak menceritakan isi hatinya kepada teman karibnya, Nufaisah binti
Muhabbih. Kemudian Nufaisah lah yang datang kepada Muhammad untuk membuka jalan
bagi Muhammad agar bersedia mejadi suami Khadijah. Muhammad menyatakan
kesediaannya kemudian memberitahukan hal itu kepada beberapa orang pamannya.
Abu Thalib, Hamzah dan beberapa orang lainnya selaku paman dan
perwakilan keluarga Muhammad menemui paman Khadijah untuk menyatakan lamaran
sekaligus menyerahkan mas kawin berupa 8 unta muda. Ayah Khadijah sendiri telah
meninggal pada saat perang Fijjar.
Ada sedikit berbeda dalam proses perizinan pernikahan Khadijah. Menurut
al-Suyani dan al-Ali dalam kitabnya, ada hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas
bahwa Rasulullah menyebut tentang Khadijah, yang ayahnya enggan menikahkan dia.
Maka Khadijah membuat makanan dan minuman, kemudian mengundang ayahnya dan
beberapa orang Quraisy, setelah itu mereka pun makan dan minum sampai mabuk,
kemudian Khadijah berkata pada ayahnya: “Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah
telah melamarku, maka nikahkanlah aku dengannya.” Maka ayahnya pun menikahkan
Khadijah dengan Muhammad. Lalu Khadijah melepaskan pakaian ayahnya dan
mengenakannya pakaian resmi, maka ia pun berkata: “Ada apa denganku? Apa ini?”.
Khadijah berkata: “Engkau telah menikahkanku dengan Muhammad bin Abdullah”. Ia
berkata: “Aku menikahkan anak yatim Abu Thalib? Tidak, sumpah”. Khadijah
berkata: “Apa engkau tidak malu? Apa engkau ingin mempermalukan dirimu sendiri di
hadapan orang-orang Quraisy? Engkau akan memberitahu kepada orang-orang bahwa
engkau sedang mabuk?”. (Khadijah) terus seperti itu hingga ayahnya rela.
Al-Ghazali mengisahkan bahwa Rasulullah berusia 25 tahun pada saat
menikahi Khadijah yang berusia 40 tahun. Perbedaan usia tak menghalangi
keharmonisan rumah tangga mereka. Selama itu kehidupan mereka berlangsung penuh
keserasian dan kebahagiaan hingga Khadijah meninggal dalam usia 65 tahun. Semua
putera-puteri Rasulullah adalah hasil pernikahannya dengan Khadijah kecuali
Ibrahim.
Putera pertamanya ialah al-Qasim, dilahirkan setelah beliau
diangkat sebagai Nabi dan Rasul, nama puteranya dijadikan nama panggilannya
yakni Abu al-Qasim. Kemudian berturut-turut lahir Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kulsum, Fatimah dan Abdullah yang diberi julukan al-Thayyib dan al-Thahir.
Al-Qasim wafat dalam usia satu tahun, Abdullah wafat pada saat masih bayi, dan
semua puteri Rasulullah wafat ketika beliau masih hidup kecuali Fatimah yang
meninggal enam bulan kemudian setelah Rasulullah wafat.
Al-Albani dalam kitabnya menyebutkan hadis keistimewaan Khadijah di
hati Rasulullah yang diriwayatkan oleh Aisyah yang berbunyi: “Aku tidak pernah
cemburu pada wanita kecuali pada Khadijah, ketika Rasulullah menyembelih
kambing, Rasulullah memberikan daging-daging itu kepada teman-teman Khadijah
untuk berbagi cintanya”.
Pernikahan Rasulullah menunjukkan bahwa beliau sangat cinta dan
setia pada Khadijah walaupun berbeda usia 15 tahun. Beliau tidak menikahi
wanita lain ketika Khadijah masih hidup. Ini membantah perkataan orang-orang
yang mengatakan bahwa Rasulullah gila wanita. Semua istri-istrinya dinikahi
dengan alasan politis ataupun untuk mengangkat derajatnya. Dan perlu diingat
bahwa istri-istri beliau semuanya adalah janda kecuali Aisyah.
Baca Juga: Madzab Dalam Agama Budha
Menurut Ibn Hazm, semua
istri-istri beliau diberikan mahar tidak kurang dari 500 dirham kecuali kepada
Shofiyyah yaitu dengan memerdekakannya. Dan Rasulullah juga melakukan walimah
walau hanya dengan seekor kambing. Beliau juga memberikan infaq kepada isterinya
20 wasaq gandum dan 80 anggur dalam setiap tahunnya.
0 komentar:
Post a Comment