Orality Journal, encrypted-tbn0.gstatic.com |
Budaya lisan dan otoritas, waktu pertama kali membaca judul ini
kita pasti akan kebingungan tentang apa hubungan dua kata ini, dan bagaimana
kekuatan otoritas dari budaya lisan. Tapi setelah kita baca sedikit saja pada awalnya,
kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud adalah ucapan, perbuatan atau
ketetapan yang disandarkan pada Nabi, atau yang biasa kita sebut dengan Sunnah
atau Hadis. Hadis sendiri terdiri dari dua komponen yaitu sanad dan matan.
Memang inti dari hadis adalah matan, tetapi hadis tanpa sanad hanyalah suatu
ungkapan atau perkataan yang tidak memiliki kekuatan otoritas. Maka dari itu
beberapa ulama menyatakan bahwa sanad adalah senjata agama, karena seperti yang
telah diungkapkan di atas yaitu tanpa sanad, matan tidak akan memiliki kekuatan
sebagaimana senjata yang bisa memberi kekuatan pada penggunanya.
Mungkin ada pertanyaan lain mengapa pada masa itu tidak langsung
ditulis tangan saja supaya tidak terlalu sulit untuk menentukan validitas
hadis. Sebagaimana yang dijelaskan dalam teks tersebut yaitu pada masa tersebut
budaya oral atau lisan masih sangat tinggi dan sebaliknya budaya tulis-menulis
pada masa awal Islam cukup rendah yang juga dikarenakan sedikit yang bisa
membaca dan menulis. Selain itu ada suatu kebahagiaan dan kebanggaan serta
semangat menerima otoritas hadis jika mendapatkan hadis tersebut secara
langsung pada sumbernya yang berbeda rasanya jika mendapatkan hadis dalam
bentuk buku atau tulisan.
Pada masa-masa tersebut juga, lingkungan di sekitar umat muslim
juga mendukung pada pembelajaran hadis. Anak-anak yang hidup di lingkungan yang
berkecukupan terdorong untuk memulai belajar hadis pada usia antara lima dan
sepuluh tahun. Mereka mendatangi guru-guru hadis dan membentuk suatu
kelompok-kelompok belajar. Para pelajar yang lebih tua, yakni pada usia 20
tahunan rela memberikan waktu luang dan semangat mudanya untuk menekuni
hadis-hadis bahkan hingga mendatangi tempat-tempat yang jauh hingga
meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka.
Sebenarnya bukan hanya hadis saja yang mereka pelajari, tetapi juga
ilmu-ilmu keislaman lain seperti hukum Islam, tauhid, penafsiran al-Quran, dan
tentu saja pengalaman kritis mereka terhadap hadis juga tinggi. Dan sebaliknya
yang pergi untuk mempelajari ilmu yang sekuler seperti medis, filsafat dan
astronomi lebih sedikit.
Baca Juga: Kebudayaan dan 3 Konsep Masyarakat Jawa
Di dalam tulisan tersebut terdapat seorang sarjana dari Iran yang
bernama Abd al-Karim al-Sam’ani. Dia telah menulis buku tentang kelakuan yang
baik dalam belajar dan mengajar hadis. Salah satunya yaitu mengajar dengan
menunjukkan dan mendemonstrasikan
kekuatan otoritas hadis, seperti menganjurkan untuk bersiwak yang merupakan
sunnah nabi dan memiliki alasan yang berasal dari shahabat Ali ibn Abi Thalib
ra bahwa mulut adalah jalan al-Quran, maka bersihkanlah dengan menggunakan
siwak. Dia juga menjelaskan bahwa kesuksesan guru hadis adalah ditentukan oleh
tingkah laku guru tersebut yang mencerminkan hadis dari Rasululloh yang
dikutipnya
0 komentar:
Post a Comment