Sosiologis, data:image |
Pendekatan sosiologis melihat agama sebagai
gejala sosial, yaitu gejala hubungan antar manusia dengan hukum-hukum alam yang
terjadi di situ. Islam yang dikaji adalah Islam yang ada di dalam hubungan
antar manusia, bukan yang ada di dalam kitab suci atau di dalam buku ajaran
Islam. Selanjutnya, gejala yang ada di dalam hubungan itu dijelaskan dengan menggunakan
teori-teori yang ada di dalam ilmu sosiologi. Misalnya, di dalam masyarakat
Islam terdapat pengkelasan masyarakat (stratifikasi sosial) terkait dengan
agama. Ulama (Kiai, Tuan Guru, Buya, Anangguru, Ajengan, Tengku dst.) menempati
kedudukan yang tinggi, di atas orang biasa, padahal di dalam Islam tidak ada
ajaran tentang penentuan kedudukan orang di dalam masyarakat berdasarkan
agamanya. Memang ada ayat yang menyatakan bahwa orang yang paling mulia adalah
yang paling bertakwa. Akan tetapi ketakwaan tidak ditunjukkan dengan ilmu yang
dimiliki, melainkan dengan keyakinan dan perbuatan. Mengapa orang menempati
kedukukan tinggi atau rendah dalam masyarakat dapat diketahui dengan
teori-teori mengenai stratifikasi sosial yang merupakan salah satu kajian ilmu
sosiologi.
Dalam
kaitan dengan kajian sosiologi terhadap agama, terdapat disiplin khusus yang
disebut Sosiologi agama. Tinjauannya dapat berupa salah satu dari kedua hal
berikut, atau kedua-duanya sekaligus:
I. Pengaruh agama atas perilaku masyarakat. Ini
dapat berupa:
-
perubahan dari persaudaraan kesukuan ke persaudaraan keagamaan
-
pranata-pranata sosial keagamaan
- strata
sosial yang timbul karena agama: haji, kiai, awam
Yang
menjadi soal dalam kaitan dengan kajian sosiologis terhadap Islam adalah “apa,
bagaimana, kapan” ajaran Islam mempengaruhi hubungan-hubungan antar manusia.
Kasus-kasus seperti kerusuhan di Tasikmalaya (1998) dan pemberontakan petani di
Banten (1888) dapat dijadikan kajian studi.
Perlu
diingat di sini bahwa yang penting bukan “benar atau salahnya suatu ajaran”,
melainkan fungsi ajaran ¾yang
diyakini masyarakat sebagai ajaran Islam¾ itu dalam masyarakat.
II. Pengaruh
masyarakat atas ajaran agama (Islam).
Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah “apa, bagaimana, kapan” kebutuhan, tradisi,
aspirasi masyarakat mempengaruhi paham orang tentang ajaran agama. Misalnya:
-
Perubahan paham kesalehan, dari kesalehan individual ke kesalehan sosial.
-
Perubahan pengertian taqwa dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat
lain.
-
Perubahan pandangan orang mengenai prinsip politik “Para pemimpin Islam harus
dari suku Quraisy”.
-
Perubahan pandangan mengenai kedudukan perempuan dalam masyarakat.
Yang
terjadi dalam semua itu adalah bahwa teks atau nas yang sama dipahami orang
secara berbeda-beda karena perbedaan keadaan masyarakat dan perbedaan individu
yang tidak lain adalah anak masyarakat juga.
Ada dua macam sosiologi agama: (1)
yang merupakan bagian dari sosiologi, dan (2) yang merupakan bagian dari ilmu
agama. Yang pertama melihat datanya dari sudut pandang sosiologi dan
menganggapnya sebagai gejala sosial, sedangkan yang kedua menganggapnya sebagai
gejala iman.
Secara lebih jelas kutipan berikut
ini menyatakan bahwa keduanya adalah:
1. A
subdivision of sociology: views the data sociologically. It is interested in
religion within the framework of the objectives of sociology, that is, to gain
a knowledge of man and society insofar as it may be achieved through
investigation of the elements, processes, antecedents and consequences of group
living. ([Sosiologi agama yang merupakan] suatu sub-bagian dari sosiologi:
melihat datanya secara sosiologis. Ia tertarik kepada agama di dalam kerangka
kerja tujuan-tujuan sosiologi, yaitu memperoleh pengetahuan tentang manusia dan
masyarakat sepanjang itu dapat diperoleh melalui penyelidikan terhadap
elemen-elemen, mukadimah [sebab] dan natijah [akibat] dari kehidupan kelompok).
Sosiologi agama jenis ini mempunyai asumsi bahwa “the conduct of the person and
the nature of the social order are to be understood as a product of group life
(perilaku seseorang dan tabiat tatanan sosial mesti dipahami sebagai hasil dari
kehidupan kelompok).[1]
2. A
subdivision of Religionswissenschaft: views the data of religion
religio-scientifically. The point of departure of Religionswissenschaft
is the historically given religions. In contrast to normative disciplines, it
does not have a speculative purpose, nor can it start from an a priori
deductive method. While it has to be faithful to descriptive principles, its
inquiry must nevertheless be directed to the meaning of religious phenomena.
The meaning of a religious phenomenon can be understood only if it is studied
as something religious ([Sosiologi agama yang merupakan] sub-bagian dari Ilmu
Agama: melihat data keagamaan secara keagamaan-ilmiah. Titik tolak dari Ilmu
Agama adalah agama-agama yang senyatanya ada dalam sejarah. Berbeda jauh dengan
disiplin-disiplin normatif, ia tidak mempunyai tujuan spekulatif, tidak pula ia
dapat berangkat dari suatu metode deduktif apriori. Meskipun ia mesti percaya
penuh kepada prinsip-prinsip deskriptif, namun pencariannya mesti diarahkan
kepada makna gejala keagamaan. Makna gejala keagamaan hanya dapat dimengerti
jika dikaji sebagai sesuatu yang bersifat keagamaan).[2]
Menurut
Joachim Wach, seorang ahli sosiologi agama abad lalu, the task of the sociology
of religion is “the investigation of the relation between religion(s) and
society in their mutual ways of conditioning each other and also of the
configuration of any religiously determined social processes.” (Tugas sosiologi
agama adalah “menyelidiki hubungan antara agama[-agama] dan masyarakat di dalam
kenyataan bahwa keduanya saling membentuk dan penyelidikan terhadap konfigurasi
proses-proses sosial yang ditentukan secara keagamaan.”)[3]
Baca Juga: Pendekatan Psikologis
[1]Lihat
Mircea Eliade & Joseph M. Kitagawa (eds.), The History of Religions:
Essays in Methodology (Chicago & London: The University of Chicago
Press, 7th impression, 1974), 20.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
0 komentar:
Post a Comment