Sejarah, Pengertian dan Makna Filosofis Sila "KETUHANAN" yang maha esa

image.slidesharecdn.com



          Segala puji bagi Allah SWT berkat rahmat,taufik,dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Dra. Soraya adnani, M.Si. selaku dosen yang telah memberikan kesempatan untuk menjelaskan materi ketuhanan. Suatu kebanggan bagi kami yang telah diberi kepercayaan ibu pengampu untuk menjelaskan hal tersebut.
Maka dari itu, kami sebagai pihak yang diberi tugas mencoba memaparkan beberapa ilmu yang kami ambil dari beberapa sumber dalam bentuk makalah yang kami akan presentasikan.
Sekian dari kami mohon maaf bila terdapat kesalahan baik dalam segi penulisan maupun dalam redaksi. Kritik dan saran kami harapkan.



Yogyakarta,  September 2017



                                                                                                       Penulis








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I      : PENDAHULUAN ...................................................................... iii
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah

BAB II    : PEMBAHASAN
1.      Pengertian sila ketuhanan yang maha esa?
2.      Sejarah sila ketuhanan yang maha esa?
3.       Makna filosofis dan Arti Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ?

BAB III   : PENUTUP ............................................................................................
A.    Kesimpulan
B.     Saran

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................











BAB I
PENDAHULUAN


   A. Latar Belakang
            Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan dengan masing masing sila-silanya. Nilai pancasila dianggap nilai dasar dan puncak sari budaya bangsa.  
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat suatu pengakuan yang rendah hati dan penuh rasa syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Esa”. Secara historis, hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Dengan demikian, Indonesia bisa keluar dengan solusinya tersendiri dalam mencari hubungan yang harmonis antara agama dan negara.  
   B.  Rumusan Masalah
1.      Pengertian sila ketuhanan yang maha esa?
2.      Sejarah sila ketuhanan yang maha esa
3.       Makna filosofis Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ?
   C. Tujuan
·         Untuk mengetahui pengertian sila ketuhanan yang maha esa
·         Untuk mengetahui makna filosofis sila ketuhanan yang maha esa

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan berasal dari kata Tuhan pencipta segala yang ada dan semua mahluk. Yang Maha Esa berarti yang Maha tunggal, tiada sekutu, Esa dalam zat-Nya, Esa dalam sifat-Nya, Esa dalam Perbuatan-Nya. Sifat Tuhan adalah sempurna, bahwa perbuatan Tuhan tidak dapat disamai oleh siapapun. Jadi ke-Tuhanan yang maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa, pencipta alam semesta, beserta isinya.
 Keyakinan adanya Tuhan yang maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar yang dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika. Atas keyakinan yang demikianlah maka Negara Indonesia berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, dan Negara memberi jaminan kebebasan kepada setiap penduduk dalam memeluk agama dan meyakini agama sesuai dengan kepercayaan dan keimanan masing-masing. Bagi kita dan didalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dan tidak boleh ada sikap atau perbuatan yang anti dalam hal ketuhanan yang Maha Esa dan anti keagamaan serta tidak boleh ada paksaan agama dengan kata lain dinegara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan yang Maha Esa (ataisme).
Akhirnya negara Indonesia yang berketuhanan yang maha esa adalah bukan negara agama, dalam arti negara yang berdasarkan pada salah satu ajaran agama tertentu, meskipun agama terbesar sekalipun dengan cara memaksakan kepada semua warga negara untuk menjalankan agama tertentu dalam kehidupan kenegaraan.

B.     Sejarah sila Ketuhanan Yang  Maha Esa
Kuatnya saham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat arus besar pendiri bangsa tidak bisa membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak lepas dari Ketuhanan.
Bahkan, seorang Tan Malaka, dalam kapasitasnya sebagai pemipin komunis, mempunyai kepedulian yang tinggi untuk merukunkan antara Komunsme dan Islamisme. Pada Kongres Komitern keempat, November 1922, dia terang-terangan mengecam sikap permusuhan Komitern terhadap Pan-Islamisme, karena hal itu dipandangnya sebagai cerminan kekuatan borjuis yang tidak bisa dipercaya. Dia juga menekankan “potensi revolusioner dalam islam di daerah-daerah jajahandan kebutuhan partai-partai komunis untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok radikal islam”. (Malaka, 1991: 92-93, Anderson, 1972: 272).
Golongan islam berpandangan bahwa “negara” tidak bisa dipisahkan dari”agama”. Sedangkan golongan kebangsaan berpandangan bahwa negara hendaknya “netral” terhadap agama. Namun demikian, di dalam masing-masing golongan ini pun, terdapat nuansa perbedaan pandangan. Di dalam golongan islam, tidak semua menghendaki penyatuan sepenuhnya antara agama dan negara (Negara Islam).Demikian pula halnya dalam golongan kebangsaan. Ada golongan kebangsaan yang sepenuhnya menghendaki pemisahan urusan negara dan urusan agam, dan golongan yang tidaj sepenuhnya memisahkan urusan negara dan agama. Bahkan ada pula tokoh-tokoh dari golongan kebangsaan yang ingin melaksanakan syariat islam dengan sungguh-sungguh.
Dalam perbenturan antara kedua paham tersebut,sulit menemukan kemungkinan lain dalam melihat hubungan negara dan agama di luar pola “penyatuan” (fusion) dan “pemisahan” (separation). Percobaan untuk menceri alternatif  dilakukan secara konseptual oleh Muhammad Hatta dan secara praktis oleh Soekarno, dua orang tokoh berlatar pendidikan Barat dengan akar atau relasi keislaman yang kuat.
Ketuhanan menjadi prinsip yang diusulkan oleh hampir semua anggota BPUPKI yang beragam, khusunya golongan agama. Namun sila ketuhanan ini mengandung perdebatan yang cukup panjang. Golongan islam tentu saja menawarkan konsep ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” di belakang sila ketuhanan, yang telah memunculkan kontroversi terpanas dalam sesi terakhir persidangan BPUPKI, dicoret lantas diganti denga kata-kata “Yang Maha Esa”.
Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia berdasarkan Pancasil-sila Ketuhanan Yang Maha Esa-bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Tidak terpisah, karena negara, seperti dikatakan Roeslan Abdoelgani, “secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengambangkan agama”, khususnya melalui departeman agama. Tidak pula menyatu dengan negara, karena negara  tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan, “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama’”.

C.    Makna filosofis sila Ketuhanan Yang Maha Esa
1.      Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing,
2.      Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda sehingga terbina kerukunan hidup,
3.      Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing,
4.      Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
5.      Setiap warga Negara Indonesia sudah seharusnya mempunyai pola pikir, sikap, dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa.
6.      Setiap warga Negara diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan sikap dalam memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia.

Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama. relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam kehidupan beragama. 

BAB III
PENUTUP

   A. Kesimpulan
Dengan berjejak pada nilai-nilai molaritas ke-Tuhanan seperti dinyatakan dalam sial pertama Pamcasila, segera terbentang misi profetik yang diemban oleh agam sipil ini: mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, konsensus secara bijaksana, serta keadilan sosial yang mengatasi tirani perorangan dan golongan.


Baca Juga: Pancasila sebagai Idiologi Nasional

0 komentar:

Post a Comment